Pembinaan Kehidupan Beragama
Urusan agama masih menjadi kewenangan Pemerintah dan di
daerah dikelola oleh Kantor Kementrian Agama. Meskipun demikian untuk
meningkatkan kualitas dalam kehidupan keagamaan
para siswa pendidikan dasar Pemerintah Provinsi memberikan bantuan untuk
guru diniyah di seluruh Jawa Barat dan masing-masing guru memperoleh Rp 1,2
juta.
Pembinaan Budi Pekerti
Masyarakat
Jawa Barat telah memiliki persepsi bahwa
nilai-nilai luhur agama telah menyatu sedemikian rupa dengan budaya daerah,
sehingga berkonotasi Sunda adalah Islam dan demikian sebaliknya. Itu berarti
tidak ada dikhotomi antara ajaran agama dan budaya karena Islam telah
terinternalisasikan sedemikian rupa ke dalam kebudayaan sehingga manusia Jawa
Barat dapat secara utuh menjalankan agama sekaligus kebudayaannya.
Meskipun
demikian seorang kepala sekolah SMP Negeri yang diwawancarai mengungkapkan
kegalauan mengenai perilaku siswa dewasa ini yang disinyalir kurang menghargai
budaya daerah maupun budi pekerti. Pengajaran bahasa, sastra serta kesenian
daerah diharapkan dapat memberikan kearifan lokal bagi siswa dan dapat
mempengaruhi perilaku maupun karakter sebagaimana yang diharapkan. Bahasa
daerah diyakininya memiliki kemampuan menghaluskan pekerti dan rasa sehingga
melahirkan perilaku halus, hormat dan santun dalam pergaulan baik sesama teman
maupun dengan orang tua. Hal senada disampaikan Hidayat Guru PKn SMK Bhakti
Kencana, Limbangan Garut yang mengatakan Pendidikan Indonesia yang dikenal
kental dengan nilai budaya, moral dan religiusitasnya ternyata tidak mampu
membuktikan keunggulan karakter dibandingkan negara liberal yang ateis tapi
patuh pada hukum (Tribun Jabar 13 April 2010).
Pemerintah Provinsi memberikan pedoman pembinaan dan pengembangan budi
pekerti, dengan
mengadakan Semiloka Pengembangan Pembelajaran Budi Pekerti menyusun Pedoman
Teknis Pembelajaran Budi Pekerti , Sosialisasi Tim Teknis Pengembangan
Pembelajaran Budi Pekerti, Penilaian sekolah model Rintisan Pembelajaran Budi
Pekerti. Pedoman Teknis Pembelajaran Budi
Pekerti SMP sebanyak 780 eksemplar dan SMA 780 eksemplar tentunya sangat tidak
memadai untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
Pembinaan Budaya Daerah
Pengakuan
pemerintah terhadap meningkatnya pemahaman dan implementasi budaya daerah di
Provinsi Jawa Barat nampak pada
peluncuran uang logam baru pecahan Rp 1000,00 di Kota Bandung oleh Wakil
Presiden RI. Uang logam baru tersebut memiliki gambar Angklung dan Gedung Sate
pada salah satu sisinya.
Untuk
melihat bagaimana budaya daerah tersebut diimplementasikan melalui pendidikan,
digambarkan dalam uraian berikut.
Pada
aspek pelestarian bahasa dan sastra daerah terdapat tiga bahasa daerah yang
hidup dan berkembang di Jawa Barat yaitu Bahasa Sunda dengan jumlah penutur 75%
dari penduduk Jawa Barat,umumnya digunakan di Wilayah Priangan, Jawa Barat
bagian Tengah dan Bandung Raya; Bahasa Cirebon dengan jumlah penutur 10%
penduduk Jawa Barat umumnya digunakan di Wilayah Cirebon dan Bahasa
Melayu-Betawi dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat dan berada di
Wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan sebagian Karawang.
Bahasa
daerah yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa bahasa Sunda dan Cirebon
yang dalam prakteknya disesuaikan dengan mayoritas penduduk di wilayah di mana
bahasa tersebut digunakan sebagai bahasa ibu. Bahasa Sunda diajarkan di wilayah
Bodebek (Bogor Depok Bekasi) dan
Priangan , bahasa Cirebon diajarkan di wilayah Cirebon, sedangkan bahasa Melayu-Betawi tidak diajarkan di
wilayah Depok dan Bekasi.
Dalam
pengajaran Bahasa Daerah diajarkan pula Sastra. Sastra Daerah menggunakan
bahasa daerah sebagai media. Sastra daerah ada yang tradisional dan ada pula
yang kontemporer.
Jenis
kesenian tradisional yang ada di Jawa Barat 391 jenis dari 35 rumpun seni. Dari
jumlah tersebut yang dapat dikategorikan sebagai seni sangat berkembang
sebanyak 39 buah, berkembang 61 buah, tidak berkembang 248 buah dan yang
mengalami kepunahan 43 buah.
Apresiasi
masyarakat terhadap budaya daerah telah nampak bermunculan di masyarakat.
Banyak anak-anak muda dengan upaya kreatif melestarikan budaya daerah melalui
berbagai cara dan media. Lili Suparli terpanggil mendirikan Komunitas Lawung
Budaya beranggotakan 60 orang karena
pemerintah dianggap belum mampu menjaga dan mengayomi serta menampilkan seni
budaya daerah sebagai seni budaya nasional. KLB menampilkan kolaborasi tarian
topeng Cirebon diiringi gamelan dan musik jazz Dwiki Darmawan di West Java Night
di Bali Art Center Denpasar (Pikiran Rakyat, 11 April 2010).
Ada pula Supandi, yang mendirikan
Lentera Studio dengan bendera aBiGdev (Anak Bandung Inti Game Developer) yang
membuat dua game online : Nusachallenge untuk mengenalkan budaya dan pakaian
adat Indonesia dan Angklung Heroes Game, dengan mengemas kekhasan budaya daerah
dari aspek music sound dan tampilan visualnya (Galamedia, 31 April
2010).
Angklung
Web Institute setiap tiga bulan sekali menyelenggarakan pagelaran
angklung, bahkan pada bulan Juni 2010 mengikutertakan peserta dari luar negeri
seperti Madrasah Aljunied Al Islamiyah Singapura, Sari-sari Kulintang
Phillipine Group dari Filipina dan pertunjukan angklung dari Thailand. Saung
Udjo sebagai sebuah sanggar angklung juga menyelenggarakan seminar bamboo
internasional di samping pendidikan dan pertunjukan rutin di sanggar.
Koran Kompas edisi Jawa Barat dan
Pikiran Rakyat banyak memuat rubrik dan opini mengenai budaya daerah, sesekali
Pikiran Rakyat memuat puisi-puisi dalam bahasa Sunda dan Cirebon, secara rutin Tribun Jabar memuat carpon (carita pondok), televisi TVRI
Jabar dan semua televisi lokal menyiarkan berita dalam bahasa Sunda dan Cirebon
sekali dalam sehari.
Beberapa instansi pemerintah
“mewajibkan” penggunaan bahasa daerah di tempat kerja sekali dalam seminggu.
Budaya daerah juga muncul setahun sekali dalam peringatan-peringatan lahirnya
daerah. HUT Kota Bogor 528 diperingati dalam rapat paripurna DPRD dengan
menggunakan bahasa Sunda. Tapi banyak pula kegiatan itu bersifat seremonial dan
tanpa perencanaan yang baik, sehingga dalam waktu beberapa bulan saja kewajiban
menggunakan bahasa daerah di tempat kerja pun hilang dengan sendirinya.
Di sisi lain wawancara dengan para guru
bahasa, kesenian serta
teater dan seniman di Cirebon dan
Indramayu serta aktivis Lembaga dan
Bahasa Sastra Cirebon (LSBC) mengesankan
bahwa minat sekolah terhadap budaya
daerah masih rendah, sehingga tidak ada upaya untuk mengembangkan kreativitas
siswa seperti mendatangkan pelatih untuk berkesenian dan membeli peralatan.
Birokrat pendidikan juga dianggap tidak memiliki kebijakan yang jelas, buku
panduan belum cukup memadai, guru khusus yang mengajarkan bahasa dan kesenian
daerah belum ada, jika pun ada masih serabutan mengajarkan mata pelajaran lain.
“Kesenian daerah apa maning, bukue bae
durung ana. Bocah bli bisa bebasan, plonga plongo pao (p3)”. ( Apalagi
bahasa daerah, buku saja belum ada. Siswa tidak bisa berbahasa, hanya bengong saja).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar