Minggu, 09 Desember 2012

Fast Track Initiative (FTI) Dalam Pendidikan



Bank Dunia mendukung Education for All Fast Track Initiative (FTI) untuk mempercepat kemajuan terhadap kualitas, pendidikan dasar universal dan tujuan EFA lainnya melalui pelbagai kegiatan spesifik di hampir 90 negara dengan upaya-upaya multidimensi untuk : 

(1)   improve primary school access and equity, as well as educational quality and learning outcomes 
(2)   improve the dropout and retention rates of girls, as well as their learning outcomes
(5)   protect EFA prospects in fragile states .

Komponen kunci untuk merealisasi EFA adalah  kebijakan (policy work) yang meliputi analisis sistem pendidikan suatu Negara dan memperkuat kapasitas kementrian pendidikan untuk membangun dan mengimplementasikan kebijakan dan program serta meningkatkan reliabilitas data yang digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja pendidikan.

Akhirnya, Bank Dunia juga mendukung upaya-upaya EFA melalui kerja analitik dan berbagi good practice serta pengetahuan global. Kerja analitik tersebut misalnya adalah melakukan pembuatan benchmarking kualitas, efisiensi dan mobilisasi sumber daya pada sektor pendidikan.

Minggu, 25 November 2012

MDGs


Millennium Development Goals (MDGs)

Asian Development Bank (ADB)  menyatakan 1,9 miliar penduduk di Asia harus hidup dengan biaya kurang dari 2 dollar AS per hari. Karenanya PBB mencanangkan “Tujuan Pembangunan Abad Milenium” (Millenium Development Goals) yang harus dicapai 191 negara anggotanya pada tahun 2015. Ada delapan target yang harus dicapai, yaitu  (1) Meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; (2) Mencapai pendidikan dasar secara universal; (3) Meningkatkan kesetaraan jender dan memberdayakan wanita; (4) Mengurangi tingkat kematian anak; (5) Memperbaiki kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lainya; (7) menjamin kelestarian lingkungan hidup; (8)Membentuk sebuah kerjasama global untuk pembangunan (Kompas, 4 Agustus 2005).
Menurut Sachs, yang merupakan Direktur proyek Millenium PBB, saat ini kemiskinan ekstrem merupakan tentangan yang harus bisa diatasi oleh pembangunan ekonomi dan para ilmuwan. Menurutnya, di planet ini antara 8 hingga 11 juta orang meninggal setiap tahunnya-sebagian besar anak-anak-karena terlalu miskin untuk bisa bertahan hidup. Ini berarti sekitar 20.000 orang meninggal setiap harinya karena kemiskinan ekstrem. Lebih lanjut Sachs mengatakan bahwa negara-negara maju sepakat untuk mengurangi kemiskinan ekstrem, terutama di Afrika. Namun sejak 11 September 2001 mereka lebih bersatu untuk memerangi terorisme. Rekomendasi yang diberikan Sachs untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan menekankan pembangunan transportasi, pengadaan pangan, pemberantasan penyakit dan pendidikan (Kompas, 5 Agustus 2005).
Hingga saat ini masih ada 77 juta anak usia sekolah termasuk 44 juta perempuan yang tidak bersekolah karena alasan keuangan, sosial atau fisikal, tingkat kesuburan yang tinggi, HIV/AIDS dan konflik. 
Akses bersekolah di Negara-negara sedang berkembang membaik sejak tahun 1990. Sebanyak 47 dari 163 negara telah mencapai pendidikan dasar universal (MDG 2) dan 20 negara diperkirakan “on track” untuk mencapai tujuan pada tahun 2015. Sementara itu masih tersisa 44 negara yang menghadapi tantangan, 23 di antaranya adalah Negara-negara Sub-Sahara Afrika.
Meskipun kesenjangan gender pada pendidikan menyempit, anak-anak perempuan tetap tertinggal dalam mengakses dan menyelesaikan pendidikan pada pendidikan dasar maupun menengah di Sub-Sahara dan Asia Selatan.
Miskinnya outcomes pembelajaran   dan pendidikan bermutu rendah merupakan masalah pada sektor pendidikan. Di pelbagai Negara sedang berkembang,  60% siswa sekolah dasar di kelas pertama memperoleh sekolah papan bawah. Rasio siswa dan guru di banyak Negara lebih dari 40:1 dan kebanyakan guru sekolah menengah pertama kurang memenuhi kualifikasi.

Sabtu, 17 November 2012

Pendidikan Untuk Semua


  Pendidikan Untuk Semua (Education for All)
Pada tahun 1990 sebuah prakarsa internasional  Education for All (EFA) pertama kali diumumkan di Jomtien, Thailand, untuk memberikan akses pendidikan pada “every citizen in every society.”  Untuk merealisasikan tujuan tersebut sebuah koalisi luas dari pemerintah, masyarakat madani dan agen pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia berkomitmen untuk mencapai enam tujuan spesifik di bidang pendidikan (six specific education goals) yaitu :
a.      Expand and improve comprehensive early childhood care and education, especially for the most vulnerable and disadvantaged children.
b.      Ensure that by 2015 all children, particularly girls, those in difficult circumstances, and those belonging to ethnic minorities, have access to and complete, free, and compulsory primary education of good quality.
c.       Ensure that the learning needs of all young people and adults are met through equitable access to appropriate learning and life-skills programs.
d.      Achieve a 50 % improvement in adult literacy by 2015, especially for women, and equitable access to basic and continuing education for all adults.
e.       Eliminate gender disparities in primary and secondary education by 2005, and achieve gender equality in education by 2015, with a focus on ensuring girls' full and equal access to and achievement in basic education of good quality.
f.        Improve all aspects of the quality of education and ensure the excellence of all so that recognized and measurable learning outcomes are achieved by all, especially in literacy, numeracy and essential llife skills. (http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTEDUCATION/0,,contentMDK:20374062~menuPK:540090~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:282386,00.html)

Setelah satu dasawarsa berjalan lambat, masyarakat internasional menegaskan komitmen mereka terhadap EFA di Dakar, Senegal,  April 2000 dan sekali lagi di bulan September pada tahun yang sama. 189 negara dan mitra mereka mengadopsi dua tujuan EFA dan  Millennium Development Goals (MDGs).

Selasa, 13 November 2012

Program Wajib Belajar


Program wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun merupakan perwujudan pendidikan dasar untuk semua anak usia 6-15 tahun. Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Mei 1994 dan pelaksanaannya dimulai tahun ajaran 1994/1995.

Bentuk-bentuk satuan pendidikan untuk membantu menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun di Indonesia terdiri dari 10 wahana dan empat rumpun, baik pada tingkat SD maupun SMP, yaitu :
1)      Rumpun SD dan SMP
Terdiri dari SD dan SMP biasa, SD dan SMP kecil dan SD dan SMP Pamong
2)      Rumpun SD dan SMP Luar Biasa
Terdiri atas SD dan SMP Luar Biasa, SDLB dan SMPLB serta SD dan SMP Terpadu.
3)      Rumpun Pendidikan Luar Sekolah
Terdiri atas Program Kelompok Paket A dan Paket B (Kejar Paket A untuk Tingkat SD dan Kejar Paket B untuk setingkat SMP serta Kursus Persamaan SD dan SMP.
4)      Rumpun Sekolah Keagamaan
 Terdiri dari atas Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Pondok Pesantren.

Bentuk satuan pendidikan dasar formal yang menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)      SD/SMP Biasa, yaitu SD/SMP yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat dalam situasi yang normal;
2)      SD/SMP Kecil, yaitu SD/SMP negeri yang diselenggarakan di daerah yang berpenduduk sedikit dan memenuhi persyaratan yang berlaku;
3)      SD/SMP Pamong, yaitu SD negeri yang didirikan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak putus SD/SMP dan/atau anak lain yang tidak dapat datang secara teratur untuk belajar di sekolah;
4)      SD/SMP Terpadu, yaitu SD/SMP negeri yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental bersama anak normal dengan mempergunakan kurikulum yang berlaku di sekolah;
5)      Madrasah Ibtidaiyah/Madrasah Tsanawiyah, yaitu SD/SMP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat di bawah bimbingan Departemen Agama.

Jumat, 26 Oktober 2012

Wajib Belajar


Compulsory Education dan Universal Education
Sa’ud dan Sumantri dalam Ali dkk. (2007:1117) membedakan antara compulsory education dan universal education sebagai berikut :
Wajib belajar (compulsory education) yang dilaksanakan di negara-negara maju memiliki ciri-ciri : (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar; (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tidak ada orang tua yang terkena sanksi karena mereka telah mendorong anak mereka tidak bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Universal education berusaha membuka kesempatan belajar dengan menumbuhkan aspirasi pendidikan dari orang tua agar anak yang telah cukup umur mengikuti pendidikan. Universal education mengutamakan : (1) pendekatan persuasif; (2) tanggungjawab moral orangtua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan karena pelbagai kemudahan yang disediakan; (3) pengaturan tidak dengan undang-undang khusus; dan (4) penggunaan ukuran keberhasilan yang bersifat makro, yaitu peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar.
Indonesia meskipun menggunakan istilah wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) Sembilan tahun nampaknya tidak mengacu pada compulsory education karena dalam praktiknya lebih banyak mengadopsi konsep pendidikan universal (universal education).
konsep pendidikan universal lebih tepat digunakan di Indonesia karena penggunaan ukuran keberhasilan makro yang berupa peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar menjadi salah satu kriteria yang digunakan oleh Pemerintah  untuk mengukur Indeks Pendidikan di samping rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.

Kamis, 25 Oktober 2012

Esensi Pendidikan Dasar


Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa 

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga  menetapkan pendidikan dasar sebagai jenjang terbawah dari sistem pendidikan nasonal dan diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan tingkat menengah. Pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya Sembilan tahun diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Esensi pendidikan dasar adalah “paspor” bagi setiap peserta didik untuk pengembangan dirinya di masa depan dan “bekal dasar” untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat di mana pun di dunia ini. Program belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu dan dan sinergis. Pola pembelajarannya harus dilakukan secara terpadu karena secara psikologis perkembangan kemampuan pengembangan kognisi, sosio-emosional moral perkembangan fisik peserta didik usia pendidikan dasar terjadi secara terpadu dan saling ketergantungan. Pendidikan dasar masa depan menurut Komisi Pendidikan untuk Abad ke-21 yang dibentuk UNESCO dikonsepsikan sebagai pendidikan awal untuk setiap anak (formal maupun non formal) yang berlangsung dari usia sekitar tiga tahun sampai dengan sekurang-kurangnya berusia 12 sampai 15 tahun.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Konsep Pendidikan


Pendidikan memiliki spektrum filosofis, teoretis dan konsep dan gagasan yang sangat luas dan kaya.  Beberapa dari konsep mengenai pendidikan penulis kutip untuk mempertajam pemahaman mengenai pendidikan.
Engkoswara dalam Ali dkk. (2007: 1228) berpandangan bahwa dalam khasanah filsafat pendidikan, sekurang-kurangnya terdapat lima pandangan dominan : (1) Perenialisme, yaitu filsafat pendidikan yang memiliki keyakinan bahwa pengetahuan merupakan dasar pokok bagi pendidikan;  (2) Esensialisme, yaitu filsafat pendidikan yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya dan sejarah kepada generasi penerus; (3) Progresivisme, yaitu filsafat pendidikan yang menekankan pentingnya pemberian ketrampilan dan alat kepada individu yang diperlukannya untuk berintegrasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri dan bukan suatu masa persiapan untuk hidup; (4) Rekonstruksionisme, yaitu filsafat pendidikan yang berpandangan bahwa dalam suasana perkembangan teknologi yang amat cepat, pendidikan harus mampu melakukan rekonstruksi masyarakat dan membangun tatanan dunia baru selaras denggan perubahan teknologi itu. Pendidikan harus memandang ke depan; (5) Eksistensialisme, yaitu filsafat pendidikan yang sangat menghormati martabat manusia sebagai individu yang unik dan memperlakukan individu sebagai pribadi.
Teori-teori tentang pendidikan yang datang dari luar dan banyak digunakan, baik secara langsung atau tidak langsung antara lain adalah sebagai berikut:  (1) Teori pendidikan naturalistik yang dikembangkan J.J. Rousseau. (2) Teori-teori pendidikan yang dikembangkan oleh Pestalozzi, Montessori, Decroly dan Froberl. (3) Gagasan-gagasan Rabindranath Tagore. (4) Teori pendidikan fenomenologis yang dikembangkan M.J. Langeveld. (5) Teori pendidikan yang bersifat pragmatis-instrumentalistik yang dipelopori oleh John Dewey. (6) Teori pendidikan behavioristik. (7) Teori pendidikan holistik humanistik.
Selama ini menurut Engkoswara (2007: 1238) penggunaan dan penerapan teori-teori dan gagasan pendidikan dilaksanakan sendiri-sendiri, yaitu dalam memecahkan persoalan-persoalan khusus. Hal ini mengakibatkan praktek pendidikan yang terpilah-pilah. Misalnya dalam mengembangkan program kurikulum sekolah dilaksanakan dengan menggunakan prinsip perilaku, di pihak lain strategi belajar-mengajar dikembangkan dengan dasar teori holistik-humanistik. Hal ini mengandung bibit kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan.
Apabila hendak menggunakan teori-teori dan gagasan-gagasan itu secara sistemik, tidak ada jalan lain, selain terlebih dulu menata teori-teori dan gagasan itu secara sistemik, selain terlebih dahulu menata teori-teori dan gagasan-gagasan itu dalam bentuk teori pendidikan atau ilmu pendidikan Indonesia sendiri.
Engkoswara berpandangan bahwa struktur kurikulum harus berbasis kompetensi hidup, yang minimum meliputi : (1) Pendidikan umum bagi semua. (2) Pendidikan keilmuan dan kecakapan hidup. (3) Pendidikan penyerta.
Pada pendidikan umum, kurikulum berisi budaya utama yang wajib diikuti oleh semua orang tanpa kecuali. Moral dan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari,minimal hidup bersih, sehat, jujur, toleran, disiplin, menghargai pemimpin yang baik, berikhtiar dengan ikhlas dan berpandangan ke depan (civic responsibilities). Misal : pendidikan agama, budaya dasar, olah raga dan kesehatan serta pendidikan bahasa.
Pada pendidikan keilmuan dan kecakapan hidup kurikulum berisi budaya profesi bagi kelompok-kelompok sebagai makhluk sosial. Budaya berusaha, belajar dan bekerja yang dilandasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk mengembangkan diri (social responsibilities). Mata pelajaran yang bisa disampaikan misalnya: MIPA, IPS, Bahasa atau ilmu komunikasi.
Pada pendidikan penyerta kurikulum berisi pendididikan budaya kreatif terpuji secara individual untuk membekali karakteristik atau kekhasan masing-masing. Kekhasan itu diharapkan mampu menampilkan pribadi-pribadi terpuji yang terbaik dan bernilai estetik dalam kebersamaan yang menjadi tanggungjawab pribadi masing-masing (personal responsibilities). Misalnya : berenang, musik klasik, memelihara kelinci, bertanam bunga, komputer atau bahasa asing.