Sabtu, 30 Oktober 2010

MENEGASKAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI POLITIK ALUMNI GMNI

RANCANGAN I
POKOK-POKOK PIKIRAN PENGURUS DAERAH PERSATUAN ALUMNI GMNI PROVINSI JAWA BARAT UNTUK DISAMPAIKAN DALAM KONGRES PA GMNI DI SURABAYA

MENEGASKAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI POLITIK ALUMNI GMNI

1. Paradox Globalisasi
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan , fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti.
Bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, disebut sebagai paradox (Naisbitt), yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya _ublic Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers _ublic kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan bangsa (nation-state) yang berubah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara maju dan negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam -negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.

2. Perlunya Pemberdayaan
Untuk membangun kepribadian kader dalam menghadapi problematika yang muncul akibat globalisasi sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) bertujuan untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global ; (b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; (c) menghasilkan insane yang berfikir komprehensif, analitis, kritis dan bertindak demokratis, yang akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tapi sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e) mampu membentuk menjadi good and responsible citizen ( warga yang baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills) sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom).

3. Membangun Dunia Kembali (To Build the World Anew)
Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan “ Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Soekarno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai alternative dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.

4. Liberalisme
Declaration of Independence yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang kemudian diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di Philadelphia pada 4 Juli 1776, merupakan pernyataan kemerdekaan AS dari penjajahan Inggris. Deklarasi tersebut merupakan filosofi sosial politik yang isinya mengandung pemikiran bahwa ada hukum alam (laws of nature) yang menjadi standar tolok ukur dalam penyusunan hukum; semua manusia memiliki hak-hak alamiah yang melekat (unalienable rights); di antara hak-hak asasi manusia yang terpenting adalah kehidupan, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan (Life, Liberty and pursuit of Happiness) dan fungsi pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut. Pemerintah mendapatkan kekuasaannya berdasarkan persetujuan yang diperintah yaitu rakyat dan tergantung pada kontrak sosial yang dibuat, dengan perjanjian bahwa pemerintah fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat dan apabila pemerintah mengingkari fungsi utamanya dan tidak melindungi hak-hak rakyat dan tidak memberikan keamanan dan kebahagiaan (Safety and Happiness) serta melindungi dari kekuasaan despotis yang , maka rakyat mempunyai hak atau kewajiban untuk melakukan revolusi menyingkirkan pemerintah tersebut dan menggantikannya dengan pengawal keamanan masa depan mereka yang baru
Deklarasi yang merupakan ekspresi pemikiran AS tersebut menjunjung hak-hak tingkat individu dalam kerangka Liberalisme. Liberalisme muncul akibat dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu, Rouseau dan John Locke. Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa undang-undang, hukum dan politik harus mendukung kebebasan individu berdasarkan keinginan rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional, sehingga mempunyai hak untuk menggapai keinginan-keinginannya dengan menolak peran _ublic. Dalam ekonomi mereka dikacaukan dengan laissez-faire, suatu doktrin yang menentang aturan pemerintah di bidang bisnis. Kebebasan berbisnis yang tiada batas di dalam keterbatasan sumber daya dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar secara kompetitif, dan pengesahan kepemilikan hak pribadi serta penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free private enterprise dan individual enterprise. Secara teroretik, faham ini menghindari peran _ublic, namun perlindungan kepemilikan pribadi, penguatan kontrak dan pencegahan monopoli memerlukan peranan pemerintah. Ini semua bertentangan dengan gagasan Adam Smith dan para pengikutnya yang bereaksi terhadap campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi yang merupakan ciri abad ke-17 dan 18.
Pandangan bahwa individu selalu bertindak rasional tidak selamanya benar, faktanya banyak tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan peranan untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak memberikan jaminan pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan masalah ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin

5. Marxisme
Pada kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya. Manifesto tersebut ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada tahun 1847 dan dipublikasikan di London tahun berikutnya sebagai Manifest der Kommunistischen Partei atau The Manifesto of Communist Party.
Komunisme pada dasarnya adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau sistem organisasi sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua kepemilikan adalah milik umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan dengan doktrin yang mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah menghapuskan kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di mana barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan dan dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan masimalnya (from each according to his capacity, to each according to his needs). Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang melalui metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara gradual hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur distribusi secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).
Manifesto yang dituangkan ke dalam platform partai hanya menarik sebagai kajian sejarah dan beberapa program politik yang disampaikan dalam manifesto tersebut ketinggalan zaman. Dua puluh lima tahun kemudian Marx melihat perkembangan sistem demokrasi parlementer bahwa tujuan-tujuan buruh dapat dicapai melalui parlemen, bahkan untuk perubahan radikal sekalipun.

6. Perlunya Gagasan Baru
Menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels tersebut, serta pertentangan di antara keduanya yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili miliaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar ontologis, epistemolgis, dan axiologis.

7. Kekacauan Besar
Memasuki millennium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
Fukuyama menandai periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industry di pertengahan abad ke-20.

8. Pancasila
Dalam forum Sidang Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap liberalism dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.
Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.

9. Nilai-nilai Dasar Manusiawi
Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia . Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai–nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nilai partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
Moral Pancasila dalam arti kata normative adalah faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.

10. Ideologi
Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideology (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideology yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideology yang bersifat terbuka. Sebagai ideology Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya.
Untuk memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak: masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideology sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.

11. Platform Bersama
Ideologi-ideologi cenderung untuk memberikan jawaban terhadap masalah-masalah mendasar seperti misalnya arah sejarah dan kebudayaan. Pada sisi lain ideologi mengemukakan dalil-dalil normatif untuk membangun dan menata dunia, masyarakat, sejarah dan kebudayaan. Perkembangan ideologi yang mengacu pada esensi bahwa ideologi adalah kekuatan menumbuhkan pemikiran-pemikiran ideologikal seperti nampak pada facisme dan nasional-sosialisme (Nazi). Suasana seperti itulah yang menciptakan iklim yang menegangkan sehingga memicu terjadinya Perang Dunia I dan II .

Perkembangan ideologi seperti itulah yang membuat nasionalisme atau faham kebangsaan dicurigai di Indonesia. Soekarno, Hatta dan the founding fathers lainnya harus bersusah payah menjelaskan dan mengembangkan nasionalisme. Faham nasionalisme menghadapi kritik dari faham keagamaan dan determinasi ekonomi. Kendatipun pergulatan wacana filosofis antara ideologi nasionalisme, keagamaan dan determinasi ekonomi (sosialisme) telah bertemu dalam common platform Pancasila, akan tetapi tidak berarti bahwa pergulatan pada tataran pemikiran ideologik sudah berhenti.

12. Revolusi Indonesia
Penanaman jiwa kebangsaan pada kader perlu dimulai dengan memahami arti kemerdekaan Indonesia sebagai suatu revolusi nasional. Revolusi adalah “ eine Umwertung aller Werte” (penjungkirbalikan dari tata nilai yang lapuk untuk diganti dengan yang baru dan “Umgestatltung von grundaus” (suatu perombakan dari akar-akarnya”). Musuh revolusi adalah imperialisme dan kolonialisme. Banyak revolusi di dunia ini, contohnya adalah revolusi kemerdekaan Amerika (1776), revolusi kaum menengah di Perancis (1789), Revolusi proletar di Rusia (1905-1917), Revolusi Turki Kemal Attaturk (1908-1923), Revolusi Tiongkok (1911) dan Revolusi Islam di Iran.

Revolusi Indonesia memiliki tiga segi kerangka tujuan : di bidang politik, suatu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Di bidang sosial, suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adil dan makmur badaniyah dan rohaniyah, atau dengan lain perkataan, masyarakat sosialis Indonesia. Di bidang internasional, persahabatan dan perdamaian dunia, terutama sekali dengan Asia Afrika, untuk membentuk dunia baru bersih dari imperialisme dan kolonialisme.

“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.” Soekarno (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960)

13. Pemahaman, Cita-cita dan Tindakan
Soekarno menyebut kepribadian nasional ketika mengemukakan manifesto politiknya yang disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional).

Nilai-nilai filosofis untuk membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional tentu sangatlah diperlukan dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai tersebut harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi. Salah satu sarana untuk melakukan pembiasaan adalah dalam interaksi antar kader.

Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif tersebut diperlukan agar penanaman rasa kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energy untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.

14. Faham Kebangsaan
Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik.

Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status Negara bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga Negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.

Patriotisme (berasal dari la patrie = fatherland) lahir seiring dengan munculnya _ublic-kota (city-states) awal. Untuk alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri dalam beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai pribumi, dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.
Ketika kota-kota saling berkonflik satu sama lain, salah satu dari mereka menguasai yang lain. Contoh suksesnya adalah Roma yang kemudian mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya di medan perang memperluas perdagangan _ublic itu. Meskipun hanya sedikit dari wilayah yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.
Di abad pertengahan national-building boleh dikata tidak ada. Kekuasaan politik di tangan kaum feudal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di kalangan penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka mulai mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal. Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru kemudian Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad ke-18, Negara nasional muncul di hampir seluruh Eropa.
Pada abad ke-18 para filsuf menekankan nilai dari persatuan massa yang menyatakan diri untuk mencapai tujuan bersama menjadi kebijakan seluruh orang. Hukum harus dibuat oleh rakyat, bukan oleh kerajaan. Doktrin Rousseau tentang kedaulatan rakyat, kemerdekaan individu, persamaan sosial dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) diikuti oleh para pemimpin Revolusi Perancis.
Trauma terhadap Revolusi Industri, negara-negara Eropa melakukan penjajahan untuk menjamin pasokan bahan baku. Untuk kebutuhan memperoleh tenaga kerja mereka melakukan politik etis terhadap Negara jajahan yang pada gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan memunculkan kesadaran untuk merdeka. Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama setelah Perang Dunia II. Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945 menjadi 190 pada tahun 1990-an.

15. Kepribadian Bangsa
Munculnya Negara bangsa yang baru merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak pada pada pandangan Sukarno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan. Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang realistis karena meskipun sudah banyak negara yang merdeka sejak tahun 1945, namun negara tersebut masih berkutat dengan masalah kehidupan yang paling elementer seperti penyediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa kemerdekaan politik saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan kemandiriaan ekonomi dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata nilainya sendiri.
Penanaman jiwa nasionalisme diharapkan untuk mencapai dua aspek, yakni aspek moral dengan terwujudnya komitmen, dan aspek intelektual dengan terwujudnya pengetahuan yang memadai mengenai nasionalisme dengan segala tantangannya di era globalisasi. Di samping itu pembinaan tersebut mampu memperkuat daya kognitif, afektif dan konatif. Dengan demikian diharapkan didapat pengetahuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yang tampak dalam pola pikir, sikap maupun tindakan.

Pembinaan nasionalisme dapat menggunakan lembaga peribadatan, organisasi sosial kemasyarakatan, pers dan media masa lainnya, kursus, lembaga diskusi, serta jalan yang tidak melembaga seperti pergaulan sehari-hari, tempat rekreasi, pariwisata dan pelayanan umum Pada organisasi sosial politik, kursus yang dilakukan biasanya berbentuk kaderisasi.

16. Kaderisasi
Kaderisasi mengandung pengertian suatu usaha orang dewasa dalam mewariskan nilai-nilai kepada generasi muda agar mereka mampu menjadi pengganti atau penerus di masa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan pun mengandung unsur kaderisasi, sebab di dalamnya ada kegiatan transfer of knowledge and values.
Di dalam partai, kaderisasi memerlukan pendekatan andragogi, mengingat peserta didik sudah dapat dikatagorikan sebagai manusia dewasa (17 tahun ke atas). Andragogi berasal dari perpaduan dua akar kata bahasa Yunani, yakni “andra” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin. Andragogi berarti “ilmu dan cara membantu orang dewasa untuk belajar”. Istilah ini digunakan Alexander Klapp pada akhir abad 19, dalam upaya untuk menjelaskan konsep dasar teori pendidikan dari Plato).
Andragogi dapat dilihat sebagai pendekatan atau metoda, dapat pula dilihat sebagai sistem. Sebagai pendekatan atau metode, andragogi berkaitan dengan proses belajar/mengajar yang seharusnya terjadi di lingkungan pelajar dewasa. Sedangkan sebagai sistem, andragogi sebagaimana paedagogi, memiliki komponen sistem yang lengkap seperti tujuan, kurikulum, guru, murid dan sebagainya. Institusionalisasi paedagogi pada umumnya berwujud dalam sistem persekolahan, sedangkan institusionalisasi andragogi pada umumnya terealisasi dalam latihan, kursus, santiaji, refereshing, up grading dan sebagainya.
Kader berasal dari kata ”le cadre” (bingkai) adalah orang-orang yang ditempatkan pada struktural partai dan juga orang orang yang ditempatkan pada struktural pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti parlemen (cadre are persons appointed to paid positions in either the government or party apparatus) . Kader merupakan tenaga inti penggerak partai/organisasi. Partai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: partai proto (protoparties) , partai kader, partai massa, partai diktatorial dan partai kombinasi kader-massa ( catch-all parties). Kader partai diperlukan pada semua partai terutama partai kader, partai massa, dan partai kombinasi kader-massa. Adanya kader juga merupakan prasyarat bagi sebuah partai modern. Empat syarat partai modern adalah terbuka, memiliki ideologi demokratis, regenerasi yang teratur dan sistem pengkaderan yang baik .

17. Fungsi Partai Politik
Suatu partai politik memiliki tujuan utama “to place their avowed leaders into the offices of government” . Dalam upaya mencapai tujuan untuk menempatkan para pimpinannya ke dalam lembaga pemerintahan, partai politik melakukan kegiatan yang dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi primer, sekunder dan indirect (tidak langsung).
Fungsi primer partai politik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu “the nominations of candidates for public office” dan “the mobilization of voters to elect these nominees “. Fungsi sekunder nya adalah “ influencing the content and conduct of public policy …pursuing a set of ideological principles… prepair platforms that prescribe program of public policy” yang tujuannya untuk menarik dukungan dari para konstituen. Ketika suatu partai politik menguasai pemerintahan, para pimpinannya biasanya menjadi pengambil keputusan dalam membuat kebijakan _ublic. Mereka diharapkan mengalokasikan sumber-sumber publik bagi konstituen sesuai dengan kebijakan yang mereka inginkan. Sedangkan fungsi tidak langsungnya terlihat pada upaya memperkuat nilai-nilai politik masyarakat ke dalam rasionalitas tindakan dan program mereka. Partai politik juga berupaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan memberi kesadaran pada masyarakat akan peranan politiknya. Di dalamnya termasuk bagaimana pemerintahan dijalankan, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi hidup mereka serta cara untuk ikut mengarahkan para pejabat publik.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dalam sistem politik lazimnya disebut dengan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan tersebut, maka pendidikan politik di kalangan internal dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Terlebih jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa selama berpuluh-puluh tahun di era floating mass (massa mengambang), partai politik tidak memiliki kesempatan untuk itu, terutama pada partai-partai yang tidak sempat memerintah.

Minggu, 05 September 2010

Pendidikan Umum dan Pendidikan Kepribadian



















1. Hakekat Pendidikan Umum

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Erapa Barat dan Amerika Serikat, Pendidikan Umum (general education) muncul kemudian setelah Pendidikan Liberal (liberal education). Pendidikan Umum pada awalnya diperuntukkan sebagai ‘counter’ terhadap spesialisasi ilmu pengetahuan yang berlebihan. Pendidikan Liberal lebih terkait pada pemenuhan mata pelajaran (content centered) sebagai warisan budaya aristokratis sedangkan Pendidikan Umum lebih terkait dengan pribadi siswa (student centered).
Perbedaan sudut pandang penggagas teori Pendidikan Umum telah mengakibatkan perbedaan tekanan dalam mendefinisikan Pendidikan Umum tersebut. Dimensi-dimensi yang membedakannya adalah : dimensi program, dimensi proses, dimensi produk dan dimensi fase (Mulyana, 2002:3).

(1). Definisi berdasarkan dimensi program diajukan oleh Alberty & Alberty yang menyatakan : ‘general education is that part of the program which is required of all students at a given level’. (2). Definisi berdasarkan proses dikemukakan oleh Brameld : ‘general education means an integrated and organized understanding of great areas of life and reality’; Cohen :’ general education is the process of developng a framework on which to place knowledge stemming from various sources’; Phenix: ‘general education is the process of engineering essential meanings’ dan Team : ‘a process whereby lifelong learners grow and fulfill that potential’.(3). Definisi berdasarkan produk diajukan McConnell : ‘general education prepares the student for a full and satisfying life as a member of family, as a worker, as a citizen and integrated and purposefull human being’; IDE : ‘general education prepares a student to take a responsible place in society and to appreciate his/her own work in the context of society needs’; Draper : ‘general education is that education that everyone must have for satisfactory and efficient living, regardless of what one plans to make his life work’ . (4) Definisi berdasarkan fase ditemukan dalam Dictionary of Education yang merumuskannya sebagai : ‘the phases of learning which should be the common experience of all men and women’.

2. Tujuan Pendidikan Umum

Pendidikan sebagai suatu jenis aktifitas manusia tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapainya. Teori-teori pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh konsep pemikiran mengenai eksistensi manusia dari Plato dan Aristoteles menunjukkan pentingnya proses ‘memanusiakan manusia’. Mulyana (2002: 5) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya kemudian menjadi teori-teori baru yang menekankan tujuan kedewasaan dan kemandirian (Langeveld), totalitas kepribadian (Tolman), pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Encyclopedia Americana), hati nurani (Kohnstamm & Gunning). Demikian juga halnya dengan pendidikan umum, memiliki tujuan yang hendak dicapainya.
Beberapa tujuan pendidikan umum yang dikumpulkan Mulyana (2002:7) : (1) pembelajaran makna-makna yang esensial (Phenix); (2) mempersiapkan warga negara yang utuh (Connell dan Daper); (3) pengembangan keseluruhan kepribadian dalam kaitan dengan masyarakatnya (Mansoer); (4) mengembangkan intelegensi kritis yang dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, mengembangkan dan meningkatkan karakter moral, mengembangkan dan meningkatkan kewarganegaraan, menciptakan kesatuan intelektual dan keharmonisan pemikiran (Henry); (5) memberi kemampuan untuk memiliki dan mengetahui informasi yang diperlukan untuk membangun pendapat-pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan dan hubungan mereka dengan dunia sekitar; membantu dalam pengembangan intelektual, ketrampilan praktis, dan sensitivitas emosional dan estetik yang dapat mempersiapkan mereka untuk berpikir, bertindak dan merasa dalam dunia yang senantiasa berubah; membantu siswa memahami nilai-nilai yang terdapat dalam budaya dan membantu mereka agar peduli terhadap nilai dan keyakinan dari tradisi dan budaya setempat (UCA).

3. Etika Kepribadian

Manusia modern mengalami “kekacauan besar” (great disruption) terutama dalam masalah moral sebagaimana digambarkan Fukuyama (2002). Globalisasi menunjukkan intensitas yang luar biasa semenjak dunia tersegmentasi ke dalam gelombang-gelombang peradaban. Era informasi menyatukan dan menyeragamkan dunia sekaligus memecahnya ke dalam sub budaya. Manusia nampaknya tidak sepenuhnya siap menerima perubahan dilematis itu. Capra (1998: ) menunjukkan kegamangan tersebut, ketika kemampuan adaptasi manusia nampaknya mengalami stagnasi berhadapan dengan permasalahan di segala aspek kehidupan. Pendidikan meskipun mengalami krisis seperti digambarkan Coombs (1986: 3) diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya (Quthb,1998:325 )
Dewasa ini pranata sosial yang dibuat manusia bukan saja mengalami penurunan tingkat kepercayaan oleh publik, tetapi juga semakin menjauhkan manusia dari dari cita-citanya untuk hidup “mengejar kebahagiaan” bagi kemanusiaan seluruhnya. Relasi ekonomi antar negara maju dan negara berkembang nampak tidak adil. Ahli fisika dan aktifis terkemuka India, Shiva (Kompas, 25 September 2005) memaparkan kesenjangan pendapatan antara penduduk dunia yang hidup di negara terkaya dan penduduk yang hidup di negara termiskin berlipat-lipat, dari 30:1 pada tahun 1960-an, menjadi 78:1 pada tahun 1978. Kung (2002:159) memandang bahwa dunia memerlukan etika ekonomi-politik global, yaitu “sebuah konsensus fundamental yang memadukan nilai-nilai standar dan sikap-sikap mutlak”. Dalam politik Kung mempertanyakan apakah politisi boleh berbohong? Dia juga mempertanyakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi konflik regional, nasional dan internasional. Berkaitan dengan neokapitalisme, apakah hanya bermotifkan keuntungan? Baginya ekonomi pasar global membutuhkan etika global. Demikian juga kebijakan tatanan dunia harus bermotifkan etika. Cara bisnis harus pula dipertanggungjawabkan secara etika. Selanjutnya Kung (2002:455) mengatakan :
“Dilihat dari banyaknya krisis dan skandal, orang tidak dapat menghindari kesan bahwa Tuhan yang pantas mendapatkan penghormatan di sebagian besar bentuk dan kondisi adalah Tuhan besar dari modernitas par excellence, Tuhan kemajuan, Tuhan keberhasilan! Itu berarti efisisensi menggantikan transendensi; keuntungan, karir, prestise, dan sukses dengan segala biaya, sebagai ganti dari keterbukaan pada dimensi lain….dari semua skandal, di Jerman, Italia, hingga Amerika dan Jepang, ada kesamaan dalam modus operandi mereka, yakni menghalalkan segala cara. Untuk sukses orang perlu berbohong, menyogok, melanggar janji. dll. “

Persoalan etika yang disampaikan di atas merupakan satu persoalan kemanusiaan, karena etika merupakan suatu cara untuk menilai dan memutuskan pilihan atas berbagai tindakan moral dan kepatutan, yang harus dimiliki setiap manusia dalam kehidupannya. “Ethis is a branch of philosopy in which men attemp to evaluate and decide upon particular courses of moral action or general theoris of conduct” (The Encyclopedia Americana International Edition, 2004 ) Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethikos yang berarti nilai atau aturan mengenai tingkah laku yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Dengan demikian, etika berkaitan dengan kepribadian, karena mengatur dan membentuk karakter di dalam interaksinya dengan orang lain maupun kelompok.

4. Karakteristik Kepribadian

Kepribadian (personality) memiliki banyak pengertian. Allport (Phares, 1984:9) mengidentifikasikan 50 konotasi yang di dapat dari lapangan etimologi, theologi, filsafat, jurisprudensi, sosiologi, dan psikologi. Personality berasal dari akar kata persona (topeng) yang dikenakan seorang aktor. Phares (1984:9) mengumpulkan beberapa definisi kepribadian sebagai berikut:
1. Deceptivce masquarade or mimicry;
2. Superficial attractiveness;
3. Social-stimulus value;
4. The entire organization of a human being at any stage of development;
5. Levels or layers of dispositions, ussualy with a unifying or intergrative principle at the top;
6. The integration of those systems or habits that represent an individual’s characteristic adjustment to the environment;
7. The way in which the person does such things as talking, remembering, thingking, or loving;
8. The dynamic organization within the individual of those psychological systems that determines his orher unique adjustment to the environment (item 1-8 were adapted from those collected by Allport, 1937, pp. 25-50);
9. A persons unique patrtern of traits (from Guilford, 1959, p.5);
10. Those characteristic of the person or of those people generally that account for consistent pattern of response (from Pervin, 1980, p.6);
11. A stable set of characteristic and tendencies that determines those commonalities and differences in the psychological behavior (thoughts, feeling and actions) of people that have continuity in time and that may not be easily understood as the sole result of the social and biological pressures the moment (from Maddi, 1980, p.10).

Menurut Phares (1984:17) kepribadian dapat ditengarai dengan terminologi stabilitas dan kontunitas (stability and continuity). Namun tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa individu tidaklah selalu berada dalam keadaan konstans, mereka menunjukkan unsur-unsur perubahan. Tapi bagi beberapa ahli psikologi, kepribadian cenderung stabil, dan menjadi karakter seseorang. Lainnya lagi menggarisbawahi unsur perbedaan dan keunikan dari individu. Dahlan dalam matrikulasi PPS UPI mengutip Al- Ghazali yang menyatakan kepribadian adalah kalbu. Bahkan hakekat manusia adalah kalbu itu sendiri juga mengutip sabda Rasulullah : “secepat nuranimu goyah itu jelek. Kalau nuranimu tenang itu baik”.Kepribadian dengan demikian merupakan totalitas dari berbagai potensi yang terdapat dalam diri manusia. Hal itu sejalan dengan yang dikatakan Prince (Kartono, 1979:11) :
“Personality is the entire mental organization of a human being at any stage of his development. It embraces every phase of human character, intellect, temperament, skill, morality, and every attitude that has been built up in the course of one’s life”.

5. Pendidikan Kepribadian

Pendidikan Umum berkaitan dengan pembentukan integritas kepribadian. Manusia dengan kepribadian yang integral, yang menempatkan dirinya sebagai individu, tapi juga sebagai makhluk sosial, makhluk budaya, dan bagian dari alam. Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki tanggungjawab terhadap Tuhan, diri sendiri, masyarakat, tatanan budaya dan terhadap alam.
Sebagai makhluk ciptaan Allah manusia memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi biologis. Dalam dimensi biologi (basyar), manusia merupakan unsur tanah, hal ini sesuai dengan Al Quran (S.38:71) : “sesungguhnya aku mencipta basyar dari tanah”. Dalam dimensi biologis tersebut terkandung tritunggal hayat (hidup), hawa (keinginan) dan jasad. Tetapi manusia tidak semata-mata bio-fisik, karena “ketika sudah Ku sempurnakan kejadiannya lalu kutiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 38:72). Dengan demikian ada dimensi ruhiah/ ilahiah dalam diri manusia dan itulah yang membuatnya memiliki spiritualitas.
Pendidikan umum (general education) menurut Draper (Gwynn, 1960:413) merupakan “educationn that everyone have for satisfactory and efficient living, regardless af what one plans make life work” diarahkan pada pendidikan kepribadian, adalah pendidikan memanusiakan manusia, karenanya pendidikan umum menguatkan pembentukan jati diri manusia sebagai individu, makhluk sosial, bagian dari alam, dan makhluk ciptaan Al-Khalik yang senantiasa harus beriman dan bertakwa kepada-Nya (Sumaatmadja, 2002:108).
Konsep dasar pendidikan umum dalam pengertian general education banyak berkaitan dengan pendidikan kepribadian karena seperti dikatakan Hand & Bidna (Sumaatmadja, 2002:115), bahwa tujuan Pendidikan Umum ingin membina manusia menjadi manusia yang utuh (the making of complete man). Sehat mental dan jiwanya (mental and physical health), memahami orang lain (social adjustment), dan memahami diri sendiri (personal adjustment). Selanjutnya Sumaatmadja mengutip Klafki yang berpendapat bahwa pendidikan umum bertujuan untuk mengembangkan daya kemampuan manusia (the development of human power), dan memadukan kemampuan intelektual-rasional (kognitif), emosional/ efektif dan keterampilan psikomotorik (the comprehensive education of man, the education of head, heart and hand).

6. Kepribadian yang Utuh

Phenix (1964:5-8), berpandangan bahwa pendidikan umum sebagai suatu proses pendidikan yang membina makna esensial yang ada pada diri manusia “General education is the process of enggineering essential meaning…To lead to fulfillment of human life throught the enlargement and deeping of meaning”. Manusia yang utuh menurutnya adalah yang memenuhi syarat trampil berbicara, mampu mengkomunikasikan lambang dengan baik, kreatif dan estetis, memiliki kekayaan hubungan antar manusia, cerdas dalam membuat keputusan serta memiliki wawasan yang integral. Selanjutnya Phenix (1964: 8) mengungkapkan :
“ A complete person should be skill in use of speech, symbol and gesture,factually well informed, capable of creating and apretiating objects of aesthetic significance, endowed with rich and diciplined life in relation to self and others, able to make wise decisions and to judge between right and wrong, and possesed of an integral outlook.”

Wawasan integral diperlukan mengingat pendidikan umum ingin memahami manusia secara menyeluruh dan utuh. Sayangnya orang memandang manusia secara parsial dengan latar belakang cara berfikirnya. Untuk keperluan tersebut diperlukan kemampuan memahami manusia sebagai a rational animal yang utuh, dengan cara memahami makna.
Makna (meaning) bagi Phenix, maksudnya adalah ungkapan pengertian akal atau pikiran secara luas. Sehingga terdapat bermacam-macam makna atau arti, pada persepsi, pada pemikiran logis, pada kreasi seni, pada kesadaran diri, pada keputusan yang berguna, pada pertimbangan moral, pada kesadaran terhadap waktu dan pada aktifitas ibadah. Semua fungsi yang penting ini merupakan dunia makna, yang menjadi hakikat kehidupan manusia. Jawaban filosofis terhadap hakikat manusia dengan demikian adalah bahwa manusia adalah makhluk yang menemukan, menciptakan dan memperhatikan makna.

7. Kurikulum yang Berbasis Nilai

Jika esensi manusia ada dalam dunia makna, maka tujuan yang tepat dari pendidikan adalah mempromosikan pertumbuhan nilai. Untuk mencapai tujuan ini, pendidik perlu memahami bermacam-macam nilai yang efektif dalam perkembangan peradaban dan menyusun kurikulum penjelasan yang berbasis nilai.
Nilai yang dimaksud Phenix (1964:28) dikategorikan dalam 6 bidang makna, yaitu: Simbolik, terkandung dalam bahasa, matematika dan tentu simbolik non diskursif; Empirik, terkandung dalam ilmu alam, ilmu hayat, psikologi dan ilmu sosial; Estetik, terkandung dalam musik, seni lukis, seni gerak dan sastra; Synoetik, terkandung dalam filsafat, psikologi, sastra, agama dalam eksistensial; Etik, dalam pelbagai wilayah khusus moral dan etika; dan Synoptik, dalam sejarah, religi dan filsafat .Makna-makna tersebut menunjukkan hubungan yang erat antara (1) pendidikan (2) sifat manusia dan (3) disiplin ilmu. Pendidikan hanya efektif jika berdasar pada ketiga hal itu. Itu berarti adanya modifikasi pandangan tentang manusia a rational animal menjadi animal that can have meaning (mempunyai makna). Makna-makna itulah yang harus termuat dalam kaderisasi yang hendak membina kepribadian melalui penanaman jiwa kebangsaan.

Senin, 14 Juni 2010

Kaderisasi pada Partai Politik

Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 hingga saat ini merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu proses demokratisasi di Indonesia. Proses itu melibatkan pelbagai unsur yang melembaga dalam masyarakat, antara lain kampus, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan dan sudah barang tentu partai politik. Suatu partai politik memiliki tujuan utama "to place their avowed leaders into the offices of government" (Encyclopedia Americana, 2001: 337). Dalam upaya mencapai tujuan untuk menempatkan para pimpinannya ke dalam lembaga pemerintahan, partai politik melakukan kegiatan yang dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi primer, sekunder dan indirect (tidak langsung).
Fungsi primer partai politik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu "the nominations of candidates for public office" dan "the mobilization of voters to elect these nominees ". Fungsi sekunder nya adalah " influencing the content and conduct of public policy ...pursuing a set of ideological principles... prepair platforms that prescribe program of public policy" (ibid. 2001) yang tujuannya untuk menarik dukungan dari para konstituen. Ketika suatu partai politik menguasai pemerintahan, para pimpinannya biasanya menjadi pengambil keputusan dalam membuat kebijakan publik. Mereka diharapkan mengalokasikan sumber-sumber publik bagi konstituen sesuai dengan kebijakan yang mereka inginkan. Sedangkan fungsi tidak langsungnya terlihat pada upaya memperkuat nilai-nilai politik masyarakat ke dalam rasionalitas tindakan dan program mereka. Partai politik juga berupaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan memberi kesadaran pada masyarakat akan peranan politiknya. Di dalamnya termasuk bagaimana pemerintahan dijalankan, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi hidup mereka serta cara untuk ikut mengarahkan para pejabat publik.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dalam sistem politik lazimnya disebut dengan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan tersebut, maka pendidikan politik di kalangan internal dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Terlebih jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa selama berpuluh-puluh tahun di era floating mass (massa mengambang), partai politik tidak memiliki kesempatan untuk itu, terutama pada partai-partai yang tidak sempat memerintah seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PDI yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Fusi tersebut tidak terlepas dari rancang bangun politik Orde Baru yang menyederhanakan sistem kepartaian dari 10 partai menjadi 3 kelompok. Kelompok spiritual diwujudkan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kelompok nasional diwujudkan dalam PDI dan kelompok tengah (kekaryaan) diwakili oleh Golkar. Dalam perkembangannya PDI menegaskan bahwa fusi telah paripurna dan eksistensi masing-masing telah diakhiri pada Kongres ke-2 di Jakarta tanggal 17 Januari 1981. Didorong oleh tuntuntan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional serta hasil keputusan Kongres ke-5 di Denpasar Bali, maka pada tanggal 1 Februari 1999 PDI berubah nama menjadi PDI Perjuangan dengan asas Pancasila dan bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Perubahan ini juga menandai berubahnya era kepemimpinan Suryadi yang merupakan representasi Orde Baru ke era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang menjadi simbol dari Era Reformasi. Megawati bersama-sama Amin Rais, Abdurrahman Wahid dan Sri Sultan Hamengkubuwono X didaulat oleh gerakan mahasiswa menjadi pemimpin reformasi. Hal tersebut menuntut Habibie yang menjadi Presiden terakhir Orde Baru setelah Soeharto lengser keprabon, secara elegan turut mengawal kelahiran era baru dengan para pemimpinnya yang baru.
Setelah memenangi Pemilihan Umum 7 Juni 1999 yang demokratis , PDI Perjuangan menempatkan para kadernya pada lembaga eksekutif dan legislatif. Terasa sekali kesenjangan antara kapabilitas para kader dengan kapasitas tugas yang harus dijalankan yang secara umum banyak memunculkan kritik dari pelbagai kalangan. Bahkan kritik terkeras mengatakan PDI Perjuangan telah gagal mengelola kemenangan. Winters (2004:115) menyebutnya "the mistakes of the PDIP and Mega" dan mengatakan bahwa "the biggest failure is that the PDIP ”failed completely to politically `mobilize' the people… But this criticism cannot be made only for PDIP. It must be made against `all’ the parties".
Kegagalan seperti yang dimaksudkan Winters disebabkan oleh kondisi nyata sumber daya manusia yang ada dalam tubuh Partai, berkaitan dengan kepribadian mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kader Partai yang menduduki jabatan-jabatan publik berperilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, misalnya berjudi, bermabuk-mabukan, berfoya-foya, berselingkuh hingga berperilaku koruptif. Perilaku seperti itu menurut Kartono (1983:10) termasuk dalam kategori perilaku yang menyimpang (deviasi atau diferensiasi). Hal-hal seperti itu menjauhkan mereka dari tanggungjawabnya terhadap Partai dan masyarakat dan mempengaruhi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam percaturan antara bangsa Indonesia menempati peringkat pendidikan di bawah Vietnam (Matrikulasi PPS UPI 2001), dengan produktivitas yang rendah karena rendahnya daya saing (Pikiran Rakyat, Desember 2003). Laporan UNDP tahun 2004 (United Nations Depelovment Program) menempatkan posisi HDI (Human Develovment Index) manusia Indonesia pada urutan ke-111 dari 177 negara. Di Jawa Barat khususnya, yang dikenal sebagai centre of knowledge (kiblat ilmu pengetahuan karena dihuni 300 perguruan tinggi swasta maupun negeri yang prestisius), ternyata tidak manunjukan kualitas SDM yang tinggi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai parameter untuk menentukan kualitas SDM ternyata memprihatinkan. Menurut catatan, IPM Jawa Barat baru mencapai angka 68. Padahal standar internasional UNDP dan UNESCO menyaratkan angka minimal 80 (“PR” 8/1/2003). Komponen dalam IPM adalah indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks kesehatan (angka harapan hidup) dan indeks daya beli (konsumsi per kapita) (Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat). Angka melek huruf sebesar 91,87% sedangkan rata-rata lama sekolah adalah 6,68 tahun, dengan Indramayu terendah sebesar 3,9 tahun dan Kota Bandung tertinggi sebesar 9,6 tahun (Rencana Pembangunan Makro Pendidikan, 2002).
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, Angka Harapan Hidup (AHP) penduduk Jawa Barat meningkat dari 62,92 tahun pada 1998 menjadi 64,40 tahun pada tahun 2000 (Setiawan, 2002:7). Namun demikian peringkat kesehatan penduduk Jawa Barat masih berada diurutan 16 dari 30 provinsi di Indonesia (Galamedia, 12/1/2004). Penyebab rendahnya derajat kesehatan warga Jawa Barat antara lain karena 10 juta dari 35 juta jiwa Jawa Barat masih hidup di bawah garis kemiskinan dan belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini menyebabkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia berada di bawah negara ASEAN lainnya. Dirjen Pelayanan Medik, dr. Sri Astuti S. Suparmanto, MSc. mengatakan bahwa rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan pula oleh rendahnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat. (Galamedia, 12/1/2003). Indikator IPM lainnya adalah daya beli masyarakat (purchasing power) yang merupakan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang kebutuhan baik primer, sekunder, maupun tersier dari pendapatan atau gaji yang mereka peroleh. Daya beli masyarakat Jawa Barat ditandai dengan indeks sebesar 38,5 pada tahun 1999, dan 55,1 pada tahun 2001 (Setiawan, 2002:34).
Menyadari akan hal tersebut Megawati ( Buku Panduan Badiklatpus PDI Perjuangan, 2002) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, dan berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang tidak terbantahkan. Tidak akan pernah ada Partai yang besar tanpa disiplin. Disiplin memang telah secara keliru diasosiasikan dengan militer. Karenanya, ketika coba ditegakkan ada saja yang mengira sebagai proses militerisasi padahal disiplin bukan soal militer apalagi militerisasi. Juga bukan monopoli militer karena disiplin pada intinya merupakan kepatuhan pada sistem dan aturan bermain, disiplin diperlukan oleh semua institusi, disiplin bahkan menjadi prinsip bagi bekerjanya sebuah sistem sosial yang baik.
Untuk memperbaiki kinerja orang-orang partai dalam lembaga-lembaga pemerintahan maupun pada struktur internal partai; didirikanlah Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) yang merupakan realisasi dari keputusan Kongres I PDI Perjuangan di Semarang. Lembaga ini merupakan sayap partai dan bertanggungjawab pada Dewan Pimpinan Partai (DPP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Pada tingkat propinsi dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Daerah Daerah (Badiklatda) dan di tingkat kota dan kabupaten dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Cabang (Badiklatcab). Pembentukan Badiklat adalah untuk menyiapkan anggota partai menjadi kader melalui suatu proses pendidikan dan latihan.
Di samping membentuk Badiklat, Partai pun membentuk sayap Partai yang bernama Baitul Muslimin Indonesia (BMI), yang dimasudkan untuk mewadahi kelompok keagamaan Islam yang juga merupakan sumber kader bagi Partai. Lahirnya BMI mendapat apresiasi publik ditandai dengan kehadiran pimpinan tertinggi Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Muzadi dan Prof. Dr. Dien Syamsudin.
Kader berasal dari kata "le cadre" (bingkai) adalah orang-orang yang ditempatkan pada struktural partai dan juga orang orang yang ditempatkan pada struktural pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti parlemen (cadre are persons appointed to paid positions in either the government or party apparatus) . Kader merupakan tenaga inti penggerak partai. Partai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: partai proto (protoparties) , partai kader, partai massa, partai diktatorial dan partai kombinasi kader-massa ( catchall parties) (Encyclopedia Americana, 2001:337, 491). Kader partai diperlukan pada semua partai terutama partai kader, partai massa, dan partai kombinasi kader-massa. Adanya kader juga merupakan prasyarat bagi sebuah partai modern. Muradi mengutip Satori (PR, 28 Februari 2005) menyatakan bahwa 4 syarat partai modern adalah terbuka, memiliki ideologi demokratis, regenerasi yang teratur dan sistem pengkaderan yang baik .
Tantangan yang nampak di depan mata bagi kader partai adalah masuknya Indonesia ke dalam era kesejagadan (globalisasi). Era kesejagadan itu umumnya dipersepsi secara negatif baik karena pandangan ideologis (karena dianggap sebagai westernisasi) maupun pragmatis (karena dampaknya).
Noer (2003:249) berpandangan bahwa globalisasi yang berkembang sekarang memperlihatkan mengecilnya dunia bagaikan menjadi satu sehingga batas-batas negara dan budaya serta peradaban lebih menipis dan kecenderungan yang ada ialah menjurus ke satu arah, praktis dalam semua bidang hidup dari Barat.
Menanggapi globalisasi , Madjid (1998:198) mengajak kita "mulai sungguh-¬sungguh memperhatikan segenap potensi nasional kita, baik dalam artian sumber daya manusia maupun dalam sumber daya alam"
Memperhatikan secara sungguh-sungguh potensi nasional dengan ketangguhan ekonomi nasional adalah dengan menyiapkan mutu sumber daya manusia. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna pemberdayaan potensi¬ potensi nasional. Frasa pemberdayaan nasional membawa kita pada sentimen nasional dan akan membantu jika kita memahami pula nasionalisme (faham kebangsaan). Nasionalisme termasuk dalam ideologi poltik kontemporer (Eatwell dan Wright, ed., 2004:20), yang merupakan:
"Ideologi yang daya dorong afektifnya adalah rasa memiliki dan melayani suatu komunitas nasional. Para pengikut ideologi ini memberikan identitas budaya yang khas kepada bangsa mereka yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain dan memberinya tempat istimewa dalam proses sejarah. Komunitas ini dikenali (biasanya secara tidak sadar) dengan sekumpulan karakteristik khas yang diperoleh dari realitas konstitusional, historis, geografis, religius, linguistik, etnis, dan atau genetis”.

Agar nasionalisme berjalan secara positif menjadi penguat potensi nasional vis a vis gejala globalisasi yang mengancam , dan tidak sebaliknya menjadi chauvinisme, etnosentrisme, kebencian terhadap bangsa asing (xenofobia) dan diskriminasi atas dasar etnisitas (rasisme), diperlukan pendidikan nilai yang benar. PDI Perjuangan sebagai partai yang bercirikan nasionalisme, kerakyatan dan demokrasi dengan caranya sendiri melakukan proses pendidikan tersebut.
Pendidikan nilai-nilai kebangsaan dalam kerangka membangun persatuan dan karakter bangsa oleh Soekarno (Yudhoyono dalam Ishak, 2001: 162) disebut sebagai ‘state, nation and character building' yang pada intinya bertumpu pada kedaulatan di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan atau Trisakti. Domain dan dimensi budaya amat luas, terkandung di dalamnya nilai dan perilaku; etika, moral, budi pekerti; gagasan, pengetahuan, dan teknologi; kepribadian dan jati diri.
Kuatnya nilai-nilai kebangsaan diharapkan dapat menguatkan keinginan untuk berbuat dan mengabdi pada bangsa. Untuk menimbulkan pengabdian yang tulus diperlukan rasa cinta. Gandhi (1980: 164) mengatakan jika pengabdian dilakukan karena pamer atau takut pada pendapat umum, akan menjadi beban dan menekan jiwa. Pengabdian harus dilakukan dengan rasa gembira, agar menguntungkan bagi pelaku maupun yang dilayaninya. Semua kesenangan dan harta benda akan sirna di hadapan pengabdian yang dijalankan dengan hati gembira.
Proses pendidikan nilai tersebut dilakukan oleh Badiklat yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader yang memiliki tradisi intelektual dan kenegarawanan dengan memahami ideologi Pancasila, trampil berpolitik, mampu memimpin dan berorganisasi, memiliki kepekaan dan keberpihakan sosial.
Untuk menyiapkan kader atau biasa dinamakan kaderisasi Badiklat membentuk rangkaian kegiatan yang terorganisir yang dinamakan Sekolah. Sekolah ini hanya berlangsung beberapa hari , dimulai sejak subuh hingga malam hari . Sebagaimana layaknya sebuah sekolah, maka di dalamnya terdapat seorang Kepala Sekolah , Guru, Siswa, bahan ajar serta material pendukung. Di samping itu ada Panitia yang membantu proses pendidikan dan latihan berlangsung. Guru terdiri dari kader partai yang dinyatakan kompeten dan dosen-dosen tamu dari pelbagai perguruan tinggi yang diundang untuk mengajar. Kepala Sekolah, Guru dan Panitia terhimpun dalam suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh partai dengan suatu surat keputusan untuk suatu masa tertentu. Ada pun yang disebut siswa merupakan para pengurus dan anggota partai dari pelbagai daerah dan tingkatan yang ditugaskan untuk mengikuti diklat tersebut. Kurikulum yang digunakan dalam sekolah merupakan serangkaian bahan ajar yang dipilih dan ditentukan secara selektif oleh partai sedang aktifitas belajar mengajarnya dilakukan di dalam dan luar kelas, sebisa mungkin disampaikan dengan cara interaktif.
Penelitian ini menggambarkan mengenai pola kaderisasi dalam pembinaan kepribadian nasional, bertumpu pada empat hal, yakni : disiplin kader, interaksi edukasi Guru-Siswa, interaksi sosial Siswa dan sistem pembelajaran. Subyek dalam penelitian ini adalah para peserta kursus kader yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) PDI Perjuangan. Penelitian ini menyoroti lemahnya kepribadian calon kader berkaitan dengan disiplin diri yang pada gilirannya melemahkan potensi Partai pada khususnya dan bangsa secara keseluruhan. Bangsa yang memiliki kepribadian dengan disiplin diri yang kuat terbukti mampu mengembangkan seluruh potensinya secara produktif dan memiliki peran yang penting dalam pergaulan umat manusia. Kuatnya kepribadian bangsa dengan disiplin diri yang kuat memiliki hubungan dengan kuatnya rasa kebangsaan. Darwin (Kompas edisi Yogyakarta, 12 April 2007) mensinyalir bahwa Negara gagal menjalankan peran-peran dasarnya, sehingga watak bangsa yang penuh paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga kini mengalami krisis kebangsaan. Berdasarkan sinyalemen tersebut dapat disimpulkan bahwa jika diharapkan memiliki kepribadian yang kuat maka penbinaan kebangsaan dalam kerngka pengembangan kepribadian perlu dilakukan secara sistematis, antara lain melalui Partai. Dengan demikian diharapkan kader Partai memiliki kepribadian yang matang .
Manusia dengan kepribadian yang matang menurut Tillich ( 1953: 57 ) adalah orang yang memiliki kepribadian untuk hidup, bersifat serius, tekun dan punya rasa tanggungjawab, serta bisa menerima kenyataan hidup. Sedangkan menurut Allport (1937) kepribadian yang matang ditandai dengan kesadaran atau wawasan yang luas tentang diri dan orang lain; memiliki rasa kasih sayang; sadar akan kekuatan diri; mempunyai kesediaan untuk tunduk pada kekuasaan orang lain; mempunyai ambisi dan minat estetis; punya sentimen keluarga dan emosi-emosi religius. Kesejahteraan orang lain dianggap sama pentingnya dengan kesejahteraan sendiri; jadi orang lain itu dianggap identik dan sama nilainya dengan diri sendiri. Dia memiliki partisipasi yang bersungguh-sungguh terhadap kehidupan ini.
Hamka (1982: 18) mengkaitkan kepribadian dengan negara dan bangsa yang merdeka. Negara dan bangsa yang merdeka, menumbuhkan kermerdekaan pribadi. Orang menerima akan pembagian tugas dengan rela. Segala kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Dia adalah anggota dari satu bangsa besar, dan kumpulan segenap pribadi, itulah yang menjelmakan pribadi bangsa.

Selasa, 16 Februari 2010

Etika Kepribadian


Manusia modern mengalami “kekacauan besar” (great disruption) terutama dalam masalah moral sebagaimana digambarkan Fukuyama (2002). Globalisasi menunjukkan intensitas yang luar biasa semenjak dunia tersegmentasi ke dalam gelombang-gelombang peradaban. Era informasi menyatukan dan menyeragamkan dunia sekaligus memecahnya ke dalam sub budaya. Manusia nampaknya tidak sepenuhnya siap menerima perubahan dilematis itu. Capra (1998: ) menunjukkan kegamangan tersebut, ketika kemampuan adaptasi manusia nampaknya mengalami stagnasi berhadapan dengan permasalahan di segala aspek kehidupan. Pendidikan meskipun mengalami krisis seperti digambarkan Coombs (1986: 3) diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya (Quthb,1998:325 )
Dewasa ini pranata sosial yang dibuat manusia bukan saja mengalami penurunan tingkat kepercayaan oleh publik, tetapi juga semakin menjauhkan manusia dari dari cita-citanya untuk hidup “mengejar kebahagiaan” bagi kemanusiaan seluruhnya. Relasi ekonomi antar negara maju dan negara berkembang nampak tidak adil. Ahli fisika dan aktifis terkemuka India, Shiva (Kompas, 25 September 2005) memaparkan kesenjangan pendapatan antara penduduk dunia yang hidup di negara terkaya dan penduduk yang hidup di negara termiskin berlipat-lipat, dari 30:1 pada tahun 1960-an, menjadi 78:1 pada tahun 1978. Kung (2002:159) memandang bahwa dunia memerlukan etika ekonomi-politik global, yaitu “sebuah konsensus fundamental yang memadukan nilai-nilai standar dan sikap-sikap mutlak”. Dalam politik Kung mempertanyakan apakah politisi boleh berbohong? Dia juga mempertanyakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi konflik regional, nasional dan internasional. Berkaitan dengan neokapitalisme, apakah hanya bermotifkan keuntungan? Baginya ekonomi pasar global membutuhkan etika global. Demikian juga kebijakan tatanan dunia harus bermotifkan etika. Cara bisnis harus pula dipertanggungjawabkan secara etika. Selanjutnya Kung (2002:455) mengatakan :
“Dilihat dari banyaknya krisis dan skandal, orang tidak dapat menghindari kesan bahwa Tuhan yang pantas mendapatkan penghormatan di sebagian besar bentuk dan kondisi adalah Tuhan besar dari modernitas par excellence, Tuhan kemajuan, Tuhan keberhasilan! Itu berarti efisisensi menggantikan transendensi; keuntungan, karir, prestise, dan sukses dengan segala biaya, sebagai ganti dari keterbukaan pada dimensi lain….dari semua skandal, di Jerman, Italia, hingga Amerika dan Jepang, ada kesamaan dalam modus operandi mereka, yakni menghalalkan segala cara. Untuk sukses orang perlu berbohong, menyogok, melanggar janji. dll. “

Persoalan etika yang disampaikan di atas merupakan satu persoalan kemanusiaan, karena etika merupakan suatu cara untuk menilai dan memutuskan pilihan atas berbagai tindakan moral dan kepatutan, yang harus dimiliki setiap manusia dalam kehidupannya. “Ethis is a branch of philosopy in which men attemp to evaluate and decide upon particular courses of moral action or general theoris of conduct” (The Encyclopedia Americana International Edition, 2004 ) Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethikos yang berarti nilai atau aturan mengenai tingkah laku yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Dengan demikian, etika berkaitan dengan kepribadian, karena mengatur dan membentuk karakter di dalam interaksinya dengan orang lain maupun kelompok.

Minggu, 07 Februari 2010

Manajemen SDM Strategis

Judul Asli : Strategic Human Resource Management
Karya : Michael Amstrong
Penerbit : Kogan Page Limited, 120 Pentonville Road, London N1 9JN

Manajemen sumber daya manusia stratejik (MSDMS) sudah menjadi wacana yang sangat akrab baik di kalangan akademisi maupun para konsultan serta para praktisi. Harus diakui, integrasi strategi sumber daya manusia dengan keseluruhan strategi bisnis lebih mudah dimengerti daripada diterapkan. Lebih gampang bicara soal teori daripada mempraktikannya. Buku ini menjembatani kedua gap tersebut. Selain memformulasikan strategi sumber daya manusia juga menjelaskan bagaimana strategi itu diterapkan.
Filosofi MSDMS menekankan sifat stratejik MSDMS dan kebutuhan untuk mengintegrasikan strategi sumber saya manusia dengan strategi bisnis. Karena itu, MSDMS melihat factor manusia sebagai asset utama dan berharga milik organisasi yakni orang-orang yang bekerja dalam organisasi baik secara individual maupun kolektif. Merekalah yang memberikan kontribusi serta menentukan maju atau mundurnya sebuah organisasi.
Bagaimanapun, teori MSDMS memberikan latar belakang yang berguna pada tindakan yang dapat diambil, dan oleh karena itu Bagian 1 buku ini menjelaskan konsep manajemen sumber daya manusia, strategi dan manajemen sumber daya manusia stratejik. Selanjutnya adalah panduan untuk bertindak.
Bagian 2 mengupas manfaat pembuatan dan penerapan strategi SDM, bagaimana strategi SDM bekerja dan apa sumbangan fungsi SDM. Bagian 3 dan 4 mengupas strategi organisasi dan fungsional dari sudut pandang praktis.
Michael Armstrong adalah Fellow of and Chief Examineer (Employee Reward) pada Institute of Personnel and Development. Ia konsultan manajemen independen dan penulis berbagai buku manajemen yang laris dan amat terkenal. Karyanya antara lain A Handbook of Human Resource Management Practice, Reward Management dan HRM : Strategy and Action.


1. Konsep manajemen sumber daya manusia

Konsep MSDM stratejik berdasarkan pada bagian penting filosofi MSDM yang menekankan sifat stratejik MSDM dan kebutuhan untuk mengintegrasikan strategi SDM dengan strategi bisnis.
Isi pokok MSDM dan masalah –masalahnya dibicarakan dalam sub judul : definisi MSDM, MSDM versi keras dan lunak, tujuan MSDM, pengembangan konsep MSDM, karakteristik MSDM, penolakan terhadap MSDM, MSDM dan manajer personalia, reaksi terhadap MSDM, aktivitas utama MSDM, tanggungjawab utama MSMD.
MSDM didefinisikan sebagai pendekatan stratejik dan koheren untuk mengelola asset paling berharga milik organisasi yaitu orang-orang yang bekerja di dalam organisasi baik secara individu ataupun kolektif, memberikan sumbangan untuk mencapai sasaran organsisasi.
Pendekatan MSDM versi keras menekankan kuantitatif, kalkulatif dan stratejik bisnis. Pendekatan versi lunak menekankan komunikasi, motivasi dan kepemimpinan.
Tujuan MSDM adalah untuk memastikan bahwa organisasi mampu mencapai keberhasilan melalui orang.
Dua konsep awal MSDM adalah model parallel dan kerangka kerja Harvard. Model parallel menganggap bahwa system SDM dan struktur organisasi harus dikelola dalam cara yang kongruen dengan strategi organisasi dengan mengandung unsure seleksi, penilaian, imbalan dan pengembangan. Kerangka kerja Harvard didasarkan keyakinan bahwa masalah historis manajemen personalia hanya dapat dipecahkan dengan melibatkan karyawan dalam kebijakan dan praktek MSDM.
Karakteristik antara lain : berorientasi pada komitmen, integrasi strategi bisnis dengan SDM, imbalan terdiferensiasi tergantung pada kinerja, kecakapan, kontribusi dan ketrampilan.
Penolakan terhadap MSDM karena MSDM dituduh manipulative dan memperlakukan karyawan sebagai alat. Reaksi terhadap MSDM diekspresikan oleh sejumlah pusat akademik, berdasarkan keyakinan bahwa MSDM tidak bersahabat dengan kepentingan pekerja, manajerialistis.


2. Strategi organisasi

1. Strategi untuk pengembangan organisasi
2. Strategi untuk manajemen budaya
3. Strategi manajemen perubahan
4. Strategi mengembangkan hubungan dalam pekerjaan
5. Strategi penyumberdayaan karyawan
6. Strategi mengelola kinerja
7. Pengembangan sumber daya manusia stratejik
8. Strategi hubungan karyawan

Jumat, 05 Februari 2010

Kebudayaan Lokal

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sebagai suatu jenis aktifitas manusia tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapainya. Teori-teori pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh konsep pemikiran mengenai eksistensi manusia dari Plato dan Aristoteles menunjukkan pentingnya proses ‘memanusiakan manusia’. Mulyana (2002: 5) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya kemudian menjadi teori-teori baru yang menekankan tujuan kedewasaan dan kemandirian (Langeveld), totalitas kepribadian (Tolman), pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Encyclopedia Americana), hati nurani (Kohnstamm & Gunning).
Pendidikan meskipun mengalami krisis seperti digambarkan Coombs (1986: 3) diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya (Quthb,1998:325 ). Tidaklah mengherankan jika Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II di bidang pendidikan adalah “mengembangkan kebudayaan dan pendidikan karakter”.

B. Masalah

Sifat krisis kependidikan dapat dinyatakan dalam kata-kata change (perubahan), adaptation (adaptasi) dan disparity (kesenjangan). Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan disekitarnya. Konsekuensi kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya merupakan esensi dari kependidikan dunia. Meskipun kondisi lokal menyebabkan variasi krisis yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, namun demikian nampak benang merah pada semua bangsa apakah mereka lama atau baru, stabil atau labil, kaya atau miskin.
Beberapa penyebab munculnya krisis adalah: pertama, aspirasi masyarakat terhadap pendidikan yang meningkat tajam, kedua, kelangkaan sumber daya yang akut, yang menjadi kendala bagi sistem pendidikan dalam merespon kebutuhan-kebutuhan baru. Ketiga, inertia (kelembaman) yang melekat pada sistem pendidikan, yang menyebabkan sulitnya adaptasi internal dalam merespon kebutuhan-kebutuhan eksternal, meskipun tidak terkait langsung dengan sumber daya. Keempat, adalah kelembaman dari masyarakat sendiri seperti sikap tradisional, tradisi keagamaan, gengsi dan struktur kelembagaan yang membatasi optimalisasi pendidikan dan tenaga kependidikan dalam mengimbangi pembangunan nasional (Coombs, 1968:4).
Berkaitan dengan frasa “sistem pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan bahwa sistem pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe pendidikan formal seperti primer, sekunder, post secondary, umum dan spesialisasi tetapi juga seluruh program dan proses sistematik pendidikan di luar pendidikan formal yaitu yang dikenal dengan pendidikan non formal. Sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun non formal memiliki sejumlah input, yang diproses untuk memperoleh output untuk memenuhi tujuan tertentu.


II. PEMBAHASAN

A. Globalisasi
Globalisasi yang disebut sebagai borderless world oleh Ohmae (1995:1) ditandai dengan ciri empat “i”. Pertama, investasi, yakni maraknya pasar modal yang melewati batas wilayah negara. Kedua, informasi, yakni merebaknya industri dan jasa informasi yang telah meninggalkan industri manufaktur dan membawa kita ke dalam dunia dengan tatanan global. Ketiga, industri, yakni bangkitnya banyak perusahaan multinasional yang menggantikan peran-peran pemerintah. Dengan modal dan tenaga kerja yang besar, mereka ibarat gurita yang merambah berbagai daerah di penjuru dunia. Keempat, individu, yakni munculnya individu sebagai konsumen global yang sangat membutuhkan produk yang trendy, berkualitas, tapi murah. Untuk memasuki era seperti itu maka kesiapan SDM merupakan suatu keharusan, dan itu berarti bahwa pendidikan merupakan faktor yang determinan, karena pendidikan menyiapkan manusia agar memiliki good citizenship.

Globalization as a Construct

Globalisasi harus dipahami sebagai sebuah konstruk, meskipun demikian nampaknya tidaklah mudah membuat definisi tentangnya. Begitu banyak definisi yang saling bersaing satu sama lain. Masalahnya tidak pada persoalan definisi tersebut tetapi pada konsekuensinya pada Negara-bangsa dan individu di seluruh dunia. Ada 3000 definisi yang ditawarkan sejak 1998 sebagaimana dikutip dalam
Globalisation Guide (2002):

One can be sure that virtually every one of the 2822 academic papers on globalisation written in 1998 included its own definition, as would each of the 589 new books on the subject published in that year. (http://www.globalisationguide.org/sb02.html).


Bentuk Perlawanan Terhadap Globalisasi

Dunia tidaklah diam menghadapi globalisasi. Di sana-sini terjadi respon ataupun perlawanan terhadap globalisasi sehingga dikenal isitilah glokalisasi dan grobalisasi. Glokalisasi adalah hybrid yang terbentuk antara yang global dan lokal.

Ritzer (2005) examines how manifestations of something and nothing move and thereby alter one another, processes he refers to alternatively and oppositionally as glocalization and grobalization. Glocalization is the intermingling of the global and the local such that a hybrid is formed. Eating in a Vietnamese restaurant in Brazil while talking on a Japanese cell phone through a US satellite network to someone in Indonesia about the purchase of land in Russia is an illustration of what has become commonplace and has led to the hybridization of cultural artifacts. Hybridization has brought kosher pizzas, matrioshka dolls (originally a Russian folklore artifact) manufactured in Mexico, and Starbucks coffee, masquerading as a local café in Romania. While such glocalization stirs excitement in the possibilities of a small planet for some, others are dismayed at what they see as the bastardization, commodification, and exploitation of the local. Put another way, is the ubiquity of commodification familiarity an illustration of rationalization, Americanization, and restriction or freedom, diversity, and cultural synthesis (Ritzer, 2004, p. 80).

Sementara grobalisasi meminimalisasi perbedaan antara orang dan tempat membuat orang kehilangan kemapuan adaptasi dan inovasi, proses social langsung begitu deterministik dan dominan dan membuat manusia dikomodifikasi. Singkatnya, menggrobalisasi orang lain di dunia sehingga mereka bukan agen bagi diri mereka sendiri tetapi bertindak secara rasional dalam tatanan global.

Advocates of glocalization see these new syntheses as progress, an effect being people identifying as one. Opponents like Ritzer, however, characterize these same changes as illustrations of grobalization. Grobalization minimizes and trivializes the differences among people and places, affords them less ability to adapt and innovate, directs social processes that are deterministic and dominant, and represents people in commodified ways (p. 77). Heuristically, grobalization others people in the world such that they are no longer agents of and for themselves, but are acted on by the ominously large and rationalized order of a global world (Jazda, 2008 : xx)

Dampak dari globalisasi pada kebijakan dan reformasi pendidikan sangat strategis dan menjadi isu penting. Ada kebutuhan untuk memahami dan menganalisas dampak langsung dan tidak langsung globalisasi pada daya saing ekonomi, system pendidikan, Negara dan perubahan kebijakan yang relevan. Semua itu berpengaruh pada individu, lembaga kependidikan seperti universitas, pembuat keputusan, organisasi perusahaan raksasa antar Negara. Perubahan identitas nasional yang terus menerus, termasuk di bidang bahasa, politik perbatasan dan warganegara yang relevan bagi kebijakan pendidikan untuk dikritisi dari factor spesifik yang kontekstual secara local-regional-nasional yang sudah tidak memuaskan dikaitkan dengan pengaruh globalisasi. Riset kebijakan pendidikan dewasa ini berubah cepat di mana warga Negara dan konsumen mengalami ketidakpastian dan kehilangan fleksibilitas. Meskipun sesungguhnya globalisasi memberi peluang yang dihasilkan oleh ekonomi dunia yang berubah cepat.

B. Local Wisdom
Pendidikan harus memahami keragaman budaya dalam masyarakat, dalam bahasa Geertz hal tersebut dinamakan relativitas anthropologis. Untuk itulah kita harus mempertemukan apa yang menjadi pemikiran kita dengan “local knowledge”. Dengan demikian pendidikan non formal harus mampu menjembatani antara “self-knowledge, self-perception dan self-understanding” dengan “other-knowledge, other perception dan other understanding”.
Contoh yang disampaikan Geertz adalah mengenai tiga pengertian hukum yang berbeda dengan hukum Barat, yang berasal dari tiga entitas budaya yaitu : Islam, India dan Melayu (bagian dari Malayo-Polynesia). Ada tiga konsep sentral : haqq (kebenaran) dalam Islam, dharma dalam Hindu, dan adat dalam Melayu.
Haqq selain dimaknai sebagai kenyataan, kebenaran juga berarti validitas; dharma dimaknai sebagai tugas, pengabadian dan kebaikan ; sedangkan adat dimaknai konsensus sosial atau corak moral . meskipun demikian yang diperlukan bukanlah pemahaman mengenai konsep tetapi mengenai struktur gagasannya yang multi arti yang dapat dimulti-aplikasikan pada multilevel.
Di samping melihat local knowledge dari sudut norma hukum yang berbeda dengan hukum positif Barat, Geertz juga memandang local knowledge dari sudut perubahan social yang terjadi, dari masyarakat paguyuban (gemeinschaft) ke masyarakat patembayan (gesellschaft) yang melahirkan “normative concensus”.
Pendidikan Non Formal memandang local knowledge dalam dua perspektif : pada satu sisi sebagai factor eksternal yang harus direspon ; pada sisi lain sebagai factor internal yang merupakan social capital dari pendidikan non formal dalam masyarakat
Hegemony, Equity dan Cultural Capital
Ada tiga dimensi penting yang yang mempengaruhi masalah equality/inequality dalam pendidikan dan masyarakat : hegemony, equity dan cultural capital.
Hegemoni menurut Antonio Gramsci adalah dominasi ideology dan kepercayaan dari kelompok social yang powerful melalui consensus implicit. Dalam hal ini, kelas pekerja miskin yang tidak memiliki akses pada komoditas yang bernilai social seperti kemakmuran, kekuasaan dan pendididikan, berpartisipasi pada relasi hegemonik yang dipaksakan padanya.
Equity di samping penegakan hukum, merupakan kepentingan utama individu dan komunitas. Konsepsi equity Aristoteles yang merupakan koreksi terhadap hukum, sehingga fenomena hukum harus ditafsirkan untuk mencapai kebaikan yang tinggi. Orang yang adil adalah orang menjalankan suatu pilihan dan tindakan yang adil, yang bertahan pada kebenaran, tetapi dapat menerima kurang dari apa yang diberikan. Gagasan moralitas sipil menyarankan agar itu diwajibkan pada setiap warganegara, dengan cara mengambil lebih sedikit agar orang lain memperoleh jumlah yang cukup.
Modal budaya (cultural capital) menurut P. Bourdie, adalah konsepsi dominan yang membentuk pengetahuan, mengetahui, dan nilai social. System pendidikan – sekolah, college, dan universitas dengan memegang suatu “standar emas” mengenai apa yang dapat diketahui, memperkuat perbedaan pencapaian status kelompok kelas yang berbeda, tetapi juga penghargaan bagi mereka yang mengenal aturan implisit dari ideology dominan. Modal budaya mengacu pada kesuksesan di persekolahan, secara umum ditentukan oleh individu yang dapat menyerap budaya dominan.

As the editors explain, schools, in a sense, are markets wherein children enter with various stores of cultural capital that can be exchanged for enhancement of one’s capital, and, thereby, their life-chances. Cultural capital, as a significant dimension of educational inequality, continues to shape and influence children’s lives and destinies globally—as discussed in scholarly fashion in this book.


Dalam mengembangkan pendidikan dasar dan menengah dikaitkan dengan globalisasi perlu pemahaman mengenai focus tentang isu dan dilemma yang diharapkan membantu dalam cara praktek dan kebermaknaan mengenai kaitan antara pendidikan, stratifikasi social dan globalisasi. Termasuk di dalamnya adalah :
• Signifikansi politik globalisasi dan pembangunan pada kebijakan pendidikan—pengaruhnya pada persepsi lintas budaya dari dimensi-dimensi yang mempengaruhi perdebatan equality/inequality pada pendidikan dan masyarakat : hegemony, equity dan cultural capital
• Signifikansi wacana, yang mendefinisikan dan membentuk hubungan antara pendidikan, stratifikasi sosial dan globalisasi
• Pelanggaran homogenity kebudayaan global yang berpotensi mengurangi adaptabilitas dan fleksibilitas, dan memperkokok status quo
• Sifat mulitidimensional dimensi globalisasi dari inequality dalam pendidikan

C. Kebudayaan Daerah Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama dibentuk (Staatsblad 1925 No. 378) di Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia), baru kemudian menyusul Provinsi Jawa Tengah (1928) dan Provinsi Jawa Timur (1929). Pembentukan provinsi-provinsi dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam rangka otonomi yang dicetuskan oleh Ratu Belanda pada tahun 1901. Sedangkan istilah Jawa Barat (West Java) sudah dikenal sejak tahun 1880, sejak Pulau Jawa dibagi atas tiga daerah militer, yaitu Daerah Militer I atau Jawa Barat, Daerah Militer II atau Jawa Tengah dan Daerah Militer III atau Jawa Timur (West Java Miracle Sight a mass of verb and scene information, 2005: 18).
Peradaban masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis dan berbahasa Sunda sangat dipengaruhi oleh alam yang subur. Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafat yang melandasi masyarakat Jawa Barat yaitu falsafat silih asuh, silih asah dan silih asah. Filosofi tersebut mengajarkan manusia untuk saling mengasuh yang dilandasi sikap saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan serta pengalaman, suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi (2005:22).
Dengan latar belakang budaya demikian maka menjadi relevan jika kondisi sumber daya manusia di Provinsi Jawa Barat diukur dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks pendidikan menggambarkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia ditinjau dari aspek pendidikannya.
Perkembangan pendidikan di Jawa Barat ditandai dengan disparitas ketersediaan sarana pendidikan dan kualitas pendidikan . Kota-kota pada umumnya memiliki sekolah-sekolah yang berkualitas dan dikelola secara mandiri. Konsekuensi umum dari adanya sekolah-sekolah bagus di kota adalah biaya pendidikan pada sekolah-sekolah itu menjadi lebih mahal. Sebaliknya di beberapa tempat bahkan pelaksanaan pendidikan masih berkutat pada peningkatan cakupan, atau belum beranjak pada peningkatan kualitas.
Secara umum derajat pendidikan dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang ditamatkan. Artinya semakin banyak penduduk yang menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka hal tersebut sudah mengarah pada indikasi adanya peninggkatan kualitas SDM. Selain itu derajat pendidikan dilihat secara luas, yaitu meliputi pendidikan formal maupun non-formal.
Berdasarkan data tahun 2007, penduduk Jawa Barat kebanyakan baru menyelesaikan pendidikannya pada jenjang SD, yaitu 38,07%, bahkan 23,27% tidak tamat SD. Persentase penduduk yang tamat SLTP atau SLTA hampir sama yaitu 17%, sedangkan yang menamatkan jenjang akademi atau universitas sekitar 5%.

Indikasi dari cakupan anak usia sekolah yang bersekolah dapat dilihat dari Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu kelompok anak usia tertentu yang bersekolah dibandingkan dengan seluruh anak usia yang sama. Semakin tinggi APM semakin baik.
APM jenjang SD pada tahun 2006 sebesar 94,21% artinya dari seluruh anak usia 7-12 tahun di Jawa Barat sekitar 94,21% bersekolah dan yang tidak bersekolah 5,79%. APM SLTP lebih rendah lagi yaitu 62,13%, sedangkan jenjang SLTA hanya 37,84%. Artinya hanya 2/3 anak lulus SD yang melanjutkan ke SLTP dan hanya 1/3 anak lulusan SLTP yang melanjutkan ke SLTA dan hanya 1/3 anak lulusan SLTA yang melanjutkan ke PT.
Pemerintahan Daerah Jawa Barat dalam dalam implementasi otonomi daerah di bidang pendidikan membuat suatu kebijakan melakukan penyelenggaraan pendidikan nilai-nilai lokal atau nilai-nilai kedaerahan yaitu nilai-nilai ke-jawa-baratan yang merupakan keseluruhan nilai-nilai kedaerahan di Jawa Barat yang berasal dari pelbagai subkultur budaya yang ada.

Kebutuhan akan pendidikan nilai kedaerahan
Kebijakan pendidikan nilai kedaerahan merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya krisis (Setia, Beni, Pikiran Rakyat, November 2009),yakni “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”. Lebih jauh Setia mengatakan :
Sebuah kelas menengah kota mutakhir di tengah konteks Indonesia baru yang sama sekali tidak punya kesadaran budaya – baik itu yang lokal Sunda, nasional Indonesia, atau internasional Barat. Generasi yang hanya tahu bersenang-senang di tengah budaya pop yang melulu menjanjikan keterhiburan dan pergantian trend (pen.) yang cepat, sambil saling sikut atau berkomplot untuk memperoleh legalitas untuk (pen.) memuaskan insting mereguk nikmat kuasa dan power secara instan. Generasi dekaden yang tidak sadar mengabaikan bahasa Sunda – karena tren di televisi merujuk ke bahasa non-Sunda—yang menyebabkan bahasa Sunda terlantar”.

Pendidikan Nilai-nilai kedaerahan (budaya daerah) di Jawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah; Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Kesenian; dan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum, yang dikenal sebagai Paket Perda Kebudayaan Daerah.
Paket Perda Kebudayaan Daerah jika ditinjau dari pendidikan merupakan kebijakan untuk memelihara dan mewariskan nilai-nilai kepada anak didik sebagaimana pandangan filsafat pendidikan Esensialisme . Esensialisme, merupakan filsafat pendidikan yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya dan sejarah kepada generasi penerus (Engkoswara, 2009). Senada dengan itu Hufad (2009) berpandangan bahwa pendidikan merupakan produk budaya manusia untuk memenuhi kepentingan manusia yang berkaitan dengan pewarisan nilai-nilai dan pengembangan kecerdasan dalam kaitan dengan peningkatan kualitas hidup manusia. Dalam kajian ilmu sosial (khususnya sosiologi-anthropologi) pendidikan itu mencerminkan gejala peristiwa kebudayaaan, sehingga pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi kosong dari nilai-nilai luhur. Karena itu pendidikan diarahkan pada seluruh aspek kebudayaan dan kepribadian, dan harus mengacu pada pembinaan cita-cita hidup yang luhur yang harus mendorong self-education. Pendidikan juga merupakan transformasi sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi .

D. Strategi Pendidikan Nilai-nilai Budaya Daerah
Agar kebijakan dapat dijalankan untuk mencapai tarjet yang ditentukan, diperlukan strategi yang untuk menetapkan prioritas dan pengalokasian sumber daya (RenstraJawa Barat 2001-2005). Strategi mendasar pendidikan diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui berbagai kebijakan :

(1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan
(2) Memenuhi kekurangan guru pada pada berbagai jenjang pendidikan serta meningkatkan kinerja profesional guru disertai peningkatan kesejahteraannya
(3) Meninjau ulang muatan local pada kurikulum SD, SLTP dan SLTA serta PT.
(4) Mengkaji bidang pendidikan menengah dalam rangka persiapan memasuki pasar kerja
(5) Memberikan bantuan dan kemudahan fasilitas bagi siswa dan mahasiswa tidak mampu yang berprestasi.
(6) Mengembangkan sistem informasi pendidikan.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pendidikan meskipun mengalami krisis diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya.
2. Sifat krisis kependidikan dapat dinyatakan dalam kata-kata change (perubahan), adaptation (adaptasi) dan disparity (kesenjangan). Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan disekitarnya. Konsekuensi kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya merupakan esensi dari kependidikan dunia. Meskipun kondisi lokal menyebabkan variasi krisis yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, namun demikian nampak benang merah pada semua bangsa apakah mereka lama atau baru, stabil atau labil, kaya atau miskin.
3. Kebijakan pendidikan nilai kedaerahan merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya krisis yakni “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”.
4. Agar kebijakan dapat dijalankan untuk mencapai tarjet yang ditentukan, diperlukan strategi yang untuk menetapkan prioritas dan pengalokasian sumber daya (RenstraJawa Barat 2001-2005). Strategi mendasar pendidikan diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan.

B. Saran
1. Local wisdom hendaknya dijadikan acuan nilai dalam menumbuhkan karakter manusia Jawa Barat melalui pendidikan formal, non-formal maupun informal.
2. Perlu digali nilai-nilai budaya daerah yang memberdayakan sehingga dapat memberikan kemampuan dinamis untuk berubah (change), menyesuaikan diri (adaptation), dan mengatasi kesenjangan social (disparity).
3. Pendidikan nilai-nilai budaya daerah harus mampu menjadi medium ekspresi intelektual dan aktulisasi diri manusia.
4. Strategi mendasar pendidikan diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui berbagai kebijakan : (1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan; (2) Memenuhi kekurangan guru pada pada berbagai jenjang pendidikan serta meningkatkan kinerja profesional guru disertai peningkatan kesejahteraannya; (3) Meninjau ulang muatan local pada kurikulum SD, SLTP dan SLTA serta PT; (4) Mengkaji bidang pendidikan menengah dalam rangka persiapan memasuki pasar kerja; (5) Memberikan bantuan dan kemudahan fasilitas bagi siswa dan mahasiswa tidak mampu yang berprestasi; dan (6) Mengembangkan sistem informasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Coombs, Philip H. (1986). The World Educational Crisis, A Systems Analysys. New York: Oxford University Press.
Buchori, Mochtar. (1994). Pendidikan Dalam Pembangunan. Jakarta : Tiara Wacana dan IKIP Muhammadiyah.
Ohmae, Kinichi. (1995). The End of The Nation State : The Rise of Regional Economies. New York: McKinsey & Company Inc.

Clifford Geertz. (1983). Local Knowledges Further Essays In Interpretive Anthropology . USA: Basic Books.

Joseph Jazda et. Al. (ed.). (2008). Education and Social Inequality In Global Culture. Australia