Sabtu, 17 Oktober 2009

human invesment

Pendidikan adalah sarana bagi manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya maupun orang lain, bahkan Prof. Driyarkara mengatakan sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Margono Slamet (1998:1) mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap (feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior). Lebih lanjut Dahama dan Bhatnagar ( 1980:3), mengemukakan tujuan pendidikan itu ..............as the process of bringing desirable change into behavioral change of human being. Menurutnya komponen-komponen perilaku yang harus berubah meliputi: Knowledge and ideas, values and attitudes, norms and skills, understanding and translation, ditambah dengan goals and confidence.
Kata kunci dari tujuan pendidikan ialah perubahan perilaku. Unsur-unsur perilaku ini selalu merujuk kepada apa yang telah diketahui atau dipahami oleh peserta didik (Knowledge), apa yang dapat mereka lakukan (Skills), apa yang mereka rasakan/pikirkan (Attitudes) dan apa yang mereka kerjakan (Action).
Apabila pengertian perilaku ini lebih disederhanakan maka, perilaku dapat dibagi menjadi 2 unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan Intelektual (KI) contohnya masyarakat Barat yang rasional dan individualistis, di mana mereka cenderung mendengarkan apa "kata kepala", sedangkan Kecerdasan Emosional (KE) contohnya masyarakat Timur yang masih terikat kepada tradisi yang cenderung mendengarkan apa "Kata Hati". Hasil penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan seseorang dalam berprestasi ditentukan oleh hanya 20 persen dari KI-nya sedangkan 80 persen oleh faktor lain, terutama KE-nya.
Apabila lembaga pendidikan tidak dikelola oleh para profesional maka, kualitas SDM Indonesia di masa mendatang - terutama dalam era globalisasi - akan menghadapi tantangan yang sangat berat. Akan tetapi jika dikelola secara profesional, maka masalah kualitas SDM, akan dapat teratasi secara bertahap.
Masyarakat akan memberikan public recognition kepada sektor ini, jika hasil kinerja para profesional itu dapat diterima dan diakui semua pihak sesuai dengan motto Education for all.
Itulah sebabnya penguatan posisi tawar dari Departemen Pendidikan Nasional dengan pihak eksekutif dan legislatif perlu dijadikan agenda penting terutama untuk menaikkan anggaran sektor Pendidikan. Seperti diketahui anggaran sektor pendidikan dalam APBN 2001 relatif sangat kecil yakni berkisar 6,5 persen.
Artinya, para pembuat kebijakan baik eksekutif maupun legislatif belum mampu memahami kepentingan dunia pendidikan sebagai human investment bagi bangsa dan negara dimasa mendatang. Untuk ini, perlu reformasi sistem pendidikan agar lembaga pendidikan mampu melahirkan SDM yang berkualitas, profesional, dan memiliki daya saing yang tinggi baik pada level nasional maupun global.
Ketetapan-ketetapan MPR 1999 yang berhubungan dengan pendidikan merupakan permulaan reformasi pendidikan di Indonesia, dimana antara lain ditetapkan:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga kependidikan mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional ( Ketetapan-ketetapan MPR 1999, hal. 80-81 ).
Pada ketiga butir ketetapan tersebut tersirat: pertama, peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia; kedua, pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan dengan meningkatkan anggaran pendidikan, termasuk kesejahteraan guru dan; ketiga, penyesuaian program-program pendidikan sesuai dengan kebutuhan lokal dan nasional. Alhamdulillah Pemerintah dalam hal ini telah menyatakan komitmennya untuk menaikan anggaran pendidikan 20% sesuai amanat UUD, namun demikian realisasinya masih harus kita tunggu.
Era reformasi sebenarnya memberi kita harapan yang banyak bagi adanya perubahan fundamental, khususnya bagi perbaikan social, ekonomi dan politik masyarakat. Tetapi fakta sebaliknya. Ekonomi, social, dan politik kita malah semakin terpuruk, bertambahnya jumlah rakyat miskin, adanya konflik-konflik horizontal maupun vertical, serta masih banyaknya para elit politik yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum (politisi busuk, korupsi, prilaku menyimpang) lebih menunjukan kegagalan reformasi dibanding keberhasilan.
Tentu saja masalah ini tidak akan terjadi, jika agenda reformasi dikembalikan arahnya sesuai dengan tujuan semula. Pemerintah dalam hal ini berperan penting untuk mengawal agar reformasi yang menjadi symbol bagi perbaikan bangsa kedepan tidak salah arah.
Pemerintah harus memiliki prioritas. Prioritas pokok tentunya adalah perbaikan kualitas masyarakat (human investmant). Dan ini dapat diupayakan melalui pendidikan. Ada sebuah wacana yang menegaskan: Development stands or falls with the improvement of human and institutional competence (Hill, 1962:4). Secara lebih arif dapat disimpulkan bahwa pendidikan bermutu menghasilkan SDM bermutu dan merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan. Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah yang sifatnya multidimensi yang menuntut pemecahan segera. Masyarakat yang mutu SDM-nya rendah, cenderung tidak akan mampu memecahkan masalahnya. Berbeda dengan masyarakat yang mutu SDM-nya tinggi, mereka memiliki potensi untuk memecahkan masalahnya, serta mampu merumuskan pola pemberdayaan (empowerment) masyarakat untuk berpartisipasi aktif di dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup.
Human investment melalui pendidikan bermutu, akan melahirkan SDM bermutu yang pada akhirnya membawa Indonesia dapat melakukan persaingan dalam konteks kerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Bukti menunjukkan bahwa era krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997, ternyata Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh lebih cepat keluar dari krisis tersebut, sedangkan Indonesia hingga saat ini masih menghadapi krisis yang makin terpuruk, dan malah ditambah dengan krisis-krisis sosial, politik, disintegrasi, konflik sosial horisontal, yang sifatnya multidimensi.
Hal ini terjadi karena SDM di negara-negara tersebut jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan Indonesia. Kita masih ingat bahwa pada tahun 1960 yaitu permulaan kemerdekaan Malaysia, guru-guru MIPA dari Indonesia banyak mengajar di Malaysia, tetapi saat ini telah banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Perguruan Tinggi Malaysia pada tingkat sarjana, bahkan Pascasarjana. Ini suatu bukti bahwa pemerintah Malaysia memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan sebagai Human investment serta menyediakan anggaran yang cukup untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu termasuk perhatian terhadap gaji dan kesejahtaraan tenaga kependidikannya. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembangunan sektor pendidikkan ini?
Dan sejauh mana pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya untuk menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat berkonsentrasi untuk memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didiknya?
Secara jujur harus diakui bahwa pada permulaan pemerintahan orde baru, pemerintah telah banyak membangun gedung-gedung sekolah mulai dari Sekolah Dasar, SLTP, SLTA, sampai Perguruan Tinggi. Akan tetapi sasarannya lebih menekankan pembangunan material, belum mengacu kepada pembangunan sektor pendidikan yang berorientasi kepada mutu lulusan, apalagi peningkatan kesejahteraanm tenaga kependidikan sebagai unsur pendidikan yang perlu memperoleh perhatian. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu pemerintah memperoleh dana yang cukup besar dari hasil kenaikan harga minyak.
Semua departemen berlomba membangun gedung-gedung yang mewah baik di pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, sampai Kecamatan. Dan malah ada yang mubazir, seperti gudang Dolog pada tingkat kecamatan yang tidak pernah digunakan karena di samping lokasinya tidak tepat juga karena tidak merespon kebutuhan masyarakat. Banyak gedung SD Inpres tidak mempunyai murid karena dibangun di lokasi yang sudah ada bangunan SD-nya. Orang-orang daerah sangat bangga melihat Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit serta pesatnya pembangunan jembatan layang. Akan tetapi mereka bertanya mengapa di daerah yang banyak sungainya, jembatan tidak dibangun, sementara di Jakarta yang tidak ada sungainya malah ada jembatan layangnya. Inilah beberapa kasus-kasus pembangunan, yang menjadikan pembangunan material sebagai prioritas sementara pembangunan SDM-nya terlupakan.
Bagaimana pentingnya pembangunan SDM ini, Edwin Markam (dalam Lunardi 1984:II) mengucapkan secara tepat di dalam sajaknya:
" MAN MAKING "
WE ARE ALL BLIND UNLESS WE SEE
THAT IN THE HUMAN PLAN
NOTHING IS WORTH THE MAKING
IF IT DOES NOT MAKE THE MAN
WHY BUILD THESE CITIES GLORIUS
IF MAN UNBUILDED GOES?
IN VAIN WE BUILD THE WORK UNLESS
THE BUILDER ALSO GROWS
Sajak di atas menekankan bahwa kita semua buta kecuali kita dapat melihat, bahwa dalam rencana manusia, tiada yang berharga dibangun, apabila manusia tidak dibangun. Segala harga pembangunan akan sia-sia, kecuali SDM pembangun dapat tumbuh dan berkembang. Generasi muda harus diberdayakan melalui pendidikan bermutu. Pinjaman luar negeri lebih tepat dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi generasi muda daripada membangun gedung-gedung dan proyek-proyek raksasa yang cenderung gagal sehingga rakyat tidak merasakan manfaatnya.

Kamis, 08 Oktober 2009

Pendidikan Non Formal dan Pendidikan Unggulan Lokal

I. PENDIDIKAN NON FORMAL (Djudju Sudjana, hal.355-380)

A. Esensi dan uraian

1. Pengertian
Pendidikan non formal merupakan salah satu dari sekian banyak istilah yang muncul dalam studi kependidikan pada akhir tahun tujuh puluhan. Istilah-istilah pendidikan yang berkembang di tingkat internasional mulai saat itu adalah : pendidika sepanjang hayat (life long education), pendidikan pembaharuan (recurrent education), pendidikan abadi (permananent education), pendidikan informal (informal education), pendidikan masyarakat (community education), pendidikan massa (mass education), pendidikan perluasan (extension education), pendidikan social (social education), pendidikan orang dewasa (adult education), dan pendidikan berkelanjutan (continuing education).
2. Konsep
Pendidikan nonformal merupakan konsep yang muncul dalam studi kependidikan tahun enampuluhan. Kaplan (1964) mengemukakan bahwa “ a concept is a construct” (konsep merupakan sebuah bentuk). Pengertian lebih luas ialah : “concept are mental images we use as summary devices for bringing together observations and experiences that seem to have something in common” (konsep adalah citra mental yang kita gunakan sebagai alat untuk memadukan pengamatan dan pengalaman yang memiliki kesamaan) (Babbie, 1986:114).
Konsep pendidikan nonformal muncul atas dasar hasil observasi dan pengalaman langsung atau tidak langsung. Hasil observasi dan pengalaman ini kemudian dibentuk sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaan cirri-ciri antara pendidikan non formal dengan pendidikan formal. Di samping itu pendidikan formal memiliki pengertian , system, prinsip-prinsip, dan paradigm tersendiri yang relative berbeda dengan yang digunakan pendidikan formal memiliki pengertia,system,prinsip-prinsip, dan paradigmatersendiri yang relative berbeda dengan yang digunakan pendidikan formal.
3. Perbedaan
Unesco (1972) menjelaskan bahwa:
a. pendidikan non formal mempunyai derajat keketatan dan keragaman yang lebih longgar; memiliki bentuk yang lebih bervariasi; memiliki teknik-teknik yang bervariasi yang digunakan dalam mendiagnosis, merencanakan, mengevaluasi proses, hasil dan dampak program pendidikan dibanding dengan tingkat keketatan dan keseragaman pendidikan formal.
b. Tujuan program pendidikan non formal tidak seragam, sedangkan tujuan pendiddikan formal seragam untuk setiap satuan dan jenjang pendidikan.
c. Peserta didik (warga belajar) dalam program pendidikan nonformal tidak memiliki persyaratan ketat sebagaimana persyaratan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan formal.
d. Tanggungjawab pengelolaan dan pembiayaan pendidikan non formal dipikul oleh pihak-pihak yang berbeda-beda, baik pihak pemeringah, lembaga kemasyarakatan maupun perorangan yang berminat untuk menyelenggarakan program pendidikan. Sedangkan pendidikan formal tanggungjawabnya pada umumnya berada pada pihak pemerintah dan lembaga yang khusus menyelenggarakan pendidikan persekolahan.

4. Pendekatan taksonomik
Taksonomi merupakan alat bagi para pengembil keputusan, penentu kebijakan, dan pengelolapendidikan untuk membuat penggolongan program-program pendidikan non formal. Taksonomi adalah klasifikasi atas dasar hierarki.
a. Harbinson (1973) menggolongkan program pendidikan non formal berkaitan dengan upaya untuk membuka kesempatan kerja, memasuki lapangan kerja atau untuk meningkatkan lapangan kerja.
b. Coombs dan Ahmed (1974) berdasarkan klasifikasi The International Council for Educational Development (ICED) mengelompokkan program-program pendidikan nonformal yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan ke dalam empat kategori :
(1) Pendekatan pendidikan perluasan (extension approach)
(2) Pendekatan pelatihan (training approach)
(3) Pendekatan pengembangan swadaya masyarakat ( the co-operative self- help approach), dan
(4) Pendekatan pembangunan terpadu (integrated development approach)
c. Husen dan Postlethwaite (1985) membuat kategori program pendidikan non formal atas dasar keterkaitannya dengan pembangunanekonomi,politik, dan social budaya.
(1) Kategori pertama berkaitan erat dengan program-progam pembangunan ekonomi seperti pertanian dan industry, gerakan ekonomirakyat, kewirausahaan, pembangunan masyarakat desa, dan koperasi, disamping kaitannya dengann program kesehatan, gizi, dan keluarga berencana.
(2) Kategori kedua, pendidikan non formal yang berkaitan dengan aspek kehidupan berpolitik. Dalam hubungan ini pendidikan non formal sering dijadikan wahana untuk pembinaan kesadaran politik dan kesadaran bernegara bagi masyarakat diberbagai kawasan.
d. Masih banyak lagi taksonomi yang lain : dari Callaway (1972), Moro’oka (1977), Hoxeng (1973), Srinivasan (1977), dan Sudjana (1988).


5. Pengertian tiga jalur pendidikan
a. Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk ke dalamnya ialah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan professional yang dilakukan secara terus menerus.
b. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap,ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media masa.
c. Pendidikan non formal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis di luar system persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.

B. O p i n i
Pendidikan non formal dalam birokrasi pendidikan nasional sekarang ini dikelompokkan ke dalam PNFI (pendidikan non formal informal) sebelumnya disebut dengan PLS (pendidikan luar sekolah) yang menampung mereka yang tidak berkesempatan mengikuti pendidikan di sekolah formal. Kegiatan pendidikan tersebut diselenggarakan oleh masyarakat dalam PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat).
Pernah di masa lalu pendidikan NF disebut penmas (pendidikan masyarakat) dan dianggap lebih tua dari pendidikan formal, contohnya kursus-kursus, kepanduan, latihan perang, dan lain-lain yang kemudian menjadi PLS dan ditangani oleh sub dinas PLS. Pada perkembangannya penmas, PLS dan NF bisa menjadi pendidikan formal. Isi PKBM dulu dinamakan dikursmas (pendidikan kursus masyarakat) atau magang di perusahaan. Persamaannya dengan pendidikan formal adalah NF memiliki kurikulum dan berprinsip belajar sepanjang hayat. Masalahnya adalah jika pada pendidikan formal kurikulum oleh setempat (KTSP) pusat hanya menentukan kompetensi dasar, bagaimana dengan NF siapa yang mengesahkan kurikulumnya ?
Jenis-jenis kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam PKBM adalah sebagai berikut :
a) PAUD (pendidikan anak usia dini) di kober (kelompok bermain)
b) Paket A setara Sekolah Dasar
c) Paket B setara Sekolah Menengah Pertama
d) Paket C setara Sekolah Menengah Atas
e) KF (keaksaraan fungsional) yaitu pemberantasan buta huruf yang fungsional dengan kehidupan (life skill)
f) Kursus-kursus
g) TBM (Taman Bacaan Masyarakat)
h) KBU (kelompok belajar usaha)
Sedangkan SLB (Sekolah Luar Biasa) tidak termasuk pendidikan non formal. SLB bisa dilakukan pada berbagai jenjang pendidikan formal :
• Untuk TK ada TKLB (Raudhatul Anfal : NU, Bustanul Anfal: Muhammadiyah)
• Untuk SD ada SDLB
• Untuk SMP ada SMPLB
• Untuk SMA ada SMALB
Fungsi guru di PKBM dilakukan oleh tutor yang harus dibedakan dengan guru pamong pada SMP terbuka. Kualifikasi tutor ditetapkan dengan jelas oleh pemerintah. Tutor bisa berasal dari guru sekolah atau masyarakat. Kurikulum dan proses belajar di KBM lebih longgar dibanding dengan di sekolah formal . Sayangnya EWMP tutor sangat rendah.
Organisasi pendidikan NF (non formal) di tingkat kecamatan adalah PKBM, di tingkat Kabupaten adalah SKB (sanggar kegiatan belajar) dan di provinsi adalah P2PNFI yang dulunya dinamakan BPKB (balai pengembangan kegiatan belajar) yang berfungsi mengordinir program pendidikan NF di tingkat kabupaten. P2PNFI berada di bawah binaan direktorat jendral PNFI.
Gap dalam praktek (idealita vs realita)
Ada banyak pertanyaan mengenai program paket C karena siswa langsung ujian dan lulus dengan mengeluarkan sejumlah biaya. Memang siswa yang tidak lulus UAN tidak belajar lagi hanya ikut ujian, tetapi mereka yang mengikuti program persamaan tetap harus mengikuti proses belajar mengajar meskipun tidak seketat pada sekolah formal.
Berkaitan dengan mutu maka quality control harus tetap dilakukan. Pada PKBM tetap harus ada manajemen mutu, meskipun orientasi program pendidikan adalah pada persoalan yang berkembang pada masyarakat. Pada tingkat nasional sudah ada badan akreditasi pendidikan non formal.
Meskipun pendidikan NF sangat dibutuhkan masyarakat terutama di Jawa Barat yang RLS (rata-rata lamasekolah) barumencapai 7,4 tahun namun dirasakan kurang mendapat perhatian pemerintah. Pendidikan NF ada yang dibantu APBN/APBD ada yang disubsidi dankebanyak adalah dibiayai sendiri.
Apresiasi dari pemerintah dan masyarakat juga masih kurang.
Sulit bagi lulusan pendidikan NF untuk dapat diterima menjadi PNS atau masuk ke PTN. Ada pula opini keliru bahwa lulusan pendidikan formal lebih sukses dibanding dengan pendidikan NF.
Memang ada yang berpandangan bahwa pendidikan NF sekarang sudah maju, medianya beragam karenanya tidak serta merta menjadi tanggungjawab pemerintah. Mereka pesimis jika dibiayai pemerintah, mungkin bisa dengan mencari sponsor Luar Negri : dari Jepang misalnya
Trend yang terjadi di kota besar seperti Bandung misalnya, pendidikan NF berkembang menjadi pendidikan formal tanpa menghentikan pendidikan NF nya. Mereka bergerak dari sebuah bimbingan belajar masuk PTN kemudian mendirikan PT (perguruan tinggi) baik berupa universitas, sekolah tinggi maupun Politeknik.

C. Rencana implementasi

1. Pendidikan non formal berintegrasi dengan kegiatan lembaga-lembaga lain. Demikian banyak instansi pemerintah, perusahaan dan lembaga swadaya menyelenggarakan program-program pendidikan non formal, khususnya pelatihan. Pelatihan yang diselenggarakan mencakup pre-service, in-service, dan social service training.
a. Pre-service training dilakukan dalam mempersiapkan calon pegawai/karyawan yang akan memasuki suatu institusi.
b. In-service training dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pegawai/karyawan suatu institusi.
c. Social-service training dilakukan oleh institusi untuk memberikan layanan kepada kelompok, lembaga,atau komunitas yang menjadi sasarannya dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
2. Pendidikan nonformal membina dan mengembangkan relevansinya dengan pendidikan formal. Relevansi dengan pendidikan formal dilakukan pendidikan nonformal melalui fungsi suplemen, komplemen, substitusi atau integrasi.
a. Fungsi suplemen adalah untuk melengkapi pendidikan formal dengan mata-mata pelajaran yang berorientasi pada potensi lingkungan dan tidak tercantum pada kurikulum yang telah ditetapkan. Muatan local dan kecakapan hidup dihasilkan dalam rangka fungsi suplemen ini.
b. Fungsi komplemen adalah untuk menambah wawasan dan kemampuan peserta didik pendidikan formal dengan tambahan materi pelajaran yang telah diperoleh, seperti bimbingan belajar/tes dan pembelajaran perorangan.
c. Fungsi substitusi adalah untuk menggantikan peran pendidikan formal bagi mereka yang karena sesuatu alasan, tidak dapat mengikuti pendidikan formal. Paket A, B dan C setara merupakan realisasi fungsi ini.
d. Fungsi integrasi adalah untuk menggabungkan program pendidikan nonformal dengan pendidikan formal dalam satu kesatuan system, seperti pendidikan terpadu, sekolah plus dan sekolah unggul.
3. Pendidikan nonformal meningkatkan perannya dalam mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan structural,natural dan cultural dapat diatasi apabila dimulai dengann penyadarann dan pembelajaran yang berhubungan dengan motivasi, penngetahuan, dan ketrampilan untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari, selanjutnya dikembangkan alternative baru yang lebihh member keuntungan ekonomi di luar mata pencaharian yang mereka lakukan. Selanjutnya, pendidikan nonformal mengembangkan kemampuan mereka untuk hidup berorganisasi dan mengembangkan ekonomi dalam kerangka pembangunan masyarakat.
4. Pendidikan nonformal lebih berorientasi pada pembinaan kewirausahaan. Pendidikan yang mengintegrasikan kegiatan beloajar dengan berusaha dalam bidang industry kecil, perdagangan, dan jasa sesuai dengan kebutuhan belajar dan potensi lingkungan pada dasarnya telah menyentuh pembekalan kewirausahaan. Pendidikan nonformal membelajarkan peserta didik untuk memiliki kemampuan kemandirian dalam berusaha dengan mentalitas dan motivasi yang kuat, menguasai ketrampilan (skills) tertentu, mampu memasarkan produk, mempunyai akses dengan lembaga permodalan dan membinan jejaring (networking).

II. PENDIDIKAN BERBASIS UNGGULAN LOKAL (Engkoswara, hal.1225-1260)

A. Esensi
Pendidikan berbasis unggulan local merupakan ilmu dan aplikasi pendidikan yang implementasinya dipengaruhi oleh tempat di mana ia dipergunakan dan digunakan untuk mengembangkan unggulan local sejalan dengan kebijakannasional yaitu otonomi daerah yang bernuansa nasional dan global ( Koswara, 2007:1256.
Unggulan local atau kandungan local adalah kondisi dan kekuatan yang ada di lokasi dan daerah tertentu yang satu sama lain berbeda tetapi masih dalam keutuhan nasional dan global, ika bhinneka tunggal. Misalnya, Ternate terkenal dengan bambu batik, Manonjaya dengan salak, Jepara dengan ukiran atau Manado dengan kain kerawang.
Karakteristik :
1. Adanya inovasi
Jabatan pengawas untuk sekolahdan penilik untuk pendidikan luar sekolah (PLS) akan lebih produktif dilakukan dalam bentuk penggerak pendidikan berbasis masyarakat desa (PPBMD). Penggerak dalam arti motivator, fasilitator atau pemimpin pendidikan supaya masyarakat pendidikan di desa binaannya mampu mengelola pendidikan di desa dan sekitarnya.
PPBMD mampu memimpin sumber daya pendidikan di antaranya mampu mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya minimal tampat pendidikan dasar, mendorong peserta didik untuk belajar mandiri dan sungguh-sungguh, mendorong orang peduli terhadap pendidikann di desanya dan mendorong tenaga kependidikan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara professional.
2. Identifikasi dan kecenderungan
PPBMD mampu mengidentifikasi dan mengetahui kecenderungan desa binaannya. Jumlah penduduk, agama, keadaan lahan pertanian, mata pencaharian, budaya dan dinamika system nilai yang meliputi hidup bermoral dan berakhlak mulia sebagai penjabaran dari kehidupan yang beriman, semangat kerja dan semangat mengikuti pendidikan.
3. Pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat desa
Di desa minimal ada dua komponen utama : satuan pendidikan persekolahan (TK, SD, MI) dan atau yang setara SMP/MTs (Paket B). Program Paket B adalah satuan pendidikan lanjutan SD, setara
SMP/MTs terpadu antara pendidikan agama, pengetahuan dan teknologi, ketrampilan sebagai muatan local.
Secara garis besar struktur Program Paket B sebagai berikut :
1) Tujuan. Program Paket B diharapkan peserta didik tamat setara SMP/MTs, mampu hidup bermasyarakat dengan baik dan bagi mereka yang mampu dapat melanjutkan ke SMA/K atau yang sederajat.
2) Peserta Didik. Anak-anak yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs (negri atau swasta) dengan berbagai alasan di antaranya memang NEM rendah dan kekurangan biaya. Mereka sekolah dengan system tutorial dan tidak dipungut bayaran.
3) Kurikulum.
(1) Pendidikan umum. Berlaku bagi semua anak dan yang diutamakan ialah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, budaya disertai pendidikan wiraswasta.
(2) Pendidikan keilmuan dan ketrampilan. Terdiri atas pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, disertai kemungkinan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
(3) Pendidikan individual. Berupa muatan local yang menjadi pilihan perorangan, di antaranya kecakapan tanaman hias, cabe paprika, dekorasi, jahit menjahit dan border, peternakan sapi domba dan ayam, makanan khas daerah,mencukur dan perdagangan sayur mayur. Pelaksanaan pendidikan individual dilakukann melalui system titip di tempat mitra kerja.
4) Tenaga Kependidikan. Kepala sekolah menjadi kunci dalam mengadministrasikan sumber daya yaitu merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi sumber daya manusia (tenaga kependidikan, murid, pemakai jasa, orang tua murid dan komite sekolah), sumber informasi terutama kurikulum dan kegiatan ekstra kelas, fasilitas dan dana pendidikan.
5) Fasilitas dan biaya pendidikan. Yayasan Amal Keluarga menyediakan fasilitas dan dana disediakan oleh mitra kerja dan bantuan pemerintah.
6) Mitra kerja. Mitra kerja adalah anggota masyarakat yang mempunyai perkerjaanatau perusahaan yang mau membantu sekolah untuk melaksanakan praktik pendidikan muatan local. Mitra kerja yang ada dewasa ini : petani tanaman hias, cabe paprika, dekorasi,ternak sapi, ternak domba, ternak ayam, makanan khas daerah, menjahit, membordir, perdagangan sayur mayur, dan cukur.

B. Opini
Ilmu pendidikan memiliki subyek penelitian yang khas yaitu fenomena atau situasi pendidikan di mana dalam proses perkembangan peserta didik terjadi interaksi antara pelajar atau peserta didik dengan pendidik, sedangkan pendekatan yang dipergunakann adalah minimal perpaduan antara pendekatan filosofis dan empiris. Hasil kedua pendekatan itu akan berupa suatu teori pendidikan.
Pendekatan filosofis bukan hanya mempertanyakan tentang hakikat dan tujuan hidup manusia (human nature and destiny) tetapi juga tentang kemungkinan pendidikan dalam arti kemampuan manusia berkembang dan menerima pengaruh dari luar terutama secara etik sehingga pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dapat diarahkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, berdasarkan potensi dan sifat-sifat bawaan seorang peserta didik sebagai makhluk social dan sebagai individu.
Pendekatan empiris mempertanyakan persyaratan-persyaratan teknis termasuk penciptaan situasi pendidikan, segala upaya dan alat pendidikan yang sesuai dan efektif dalam membantu mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
Peneropongan filosofis menghasilkkan asumsi-asumsi dasar tentang hakekat dan tujuan hidup manusia, tentang sifat-sifat dan potensi manusia untuk berkembang dan menerima pengaruh dari luar dan nilai serta norma yang dipergunakan dalam mengarahkan perkembangan itu, dalam arrti untuk mencapai tujuan pendidikan. Peneropongan empiris menghasilkan teori-teori tentang situasi dan kondisi, proses belajar-mengajar serta alat-alat atau sarana prasarana yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam khasanah filsafat pendidikan, sekurang-kurangnya terdapat lima pandangan dominan :
1. Perenialisme, yaitu filsafat pendidikan yang memiliki keyakinan bahwa pengetahuan merupakan dasar pokok bagi pendidikan
2. Esensialisme, yaitu filsafat pendidikan yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya dan sejarah kepada generasi penerus
3. Progresivisme, yaitu filsafat pendidikan yang menekankan pentingnya pemberian ketrampilan dan alat kepada individu yang diperlukannya untuk berintegrasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri dan bukan suatu masa persiapan untuk hidup.
4. Rekonstruksionisme, yaitu filsafat pendidikan yang berpandangan bahwa dalam suasana perkembangan teknologi yang amat cepat,pendidikan harus mampu melakukan rekonstruksi masyarakat dan membangun tatanan dunia baru selaras denggan perubahan teknologi itu. Pendidikan harus memandang ke depan.
5. Eksistensialisme, yaitu filsafat pendidikan yang sangat menghormati martabat manusia sebagai individu yang unik dan memperlakukan individu sebagai pribadi.
Teori-teori tentang pendidikan yang datang dari luar dan banyak digunakan, baik secara langsung atau tidak langsung antara lain adalah sebagai berikut:
1. Teori pendidikan naturalistic yang dikembangkan J.J. Rousseau.
2. Terori-teori pendidikan yang dikembangkan oleh Pestalozzi, Montessori, Decroly dan Froberl.
3. Gagasan-gagasan Rabindranath Tagore.
4. Teori pendidikan fenomelologiis yang dikembangkan M.J. Langeveld.
5. Teori pendidikan yang bersifat pragmatis-instrumentalistik yang dipelopori oleh John Dewey.
6. Teori pendidikan behavioristik.
7. Teori pendidikann holistic humanistic.

Penggunaan dan penerapan teori-teori dan gagasan pendidikan dilaksanakan sendiri-sendiri, yaitu dalam memecahkan persoalan-persoalan khusus.hal ini mengakibatkan praktek pendidikan yang terpilah-pilah. Misalnya dalam mengembangkan program kurikulum sekolah dilaksanakan dengan menggunakan prisinsip perilaku, di pihak lain strategi belajar-mengajar dikembangkan dengan dasar teori holiistik-humanistik. Hal ini mengandung bibit kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan.
Apabila hendak menggunakan teori-teori dan gagasan-gagasan itu secara sistemik, tidak ada jalan lain, selain terlebih dulu menata teori-teori dan gagasan itu secara sistemik, tidak ada jalan lain, selain terlebih dahulu menata teori-teori dan gagasan-gagasan itu dalam bentuk teori pendidikan atau ilmu pendidikan Indonesia sendiri.
Engkoswara berpandangan bahwa struktur kurikulum harus berbasis kompetensi hidup, yang minimum meliputi :
1. Pendidikan umum bagi semua. Kurikulum berisi budaya utama yang wajib diikuti oleh semua orang tanpa kecuali. Moral dan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari,minimal hidup bersih, sehat, jujur, toleran, disiplin, menghargai pemimpin yang baik, berikhitiar dengan ikhlas dan berpandanga ke depan (civic responsibilities). Misal : pendidikan agama, budaya dasar, olah raga dan kesehatan serta pendidikan bahasa.
2. Pendidikan keilmuan dan kecakapan hidup. Budaya profesi bagi kelompok-kelompok sebagai makhluk social. Budaya berusaha, belajar dan bekerja yang dilandasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk mengembangkan diri (social responsibilities). Mata pelajaran yang bisa disampaikan misalnya : MIPA, IP
S, Bahasa atau ilmu komunikasi.
3. Pendidikan penyerta. Pendididikan budaya kreatif terpuji secara individual untuk membekali karakteristik atau kekhasan masing-masing. Kekhasan itu diharapkan mampu menampilkan priibadi-pribadi terpuji yanhg terbaik dan bernilai estetik dalam kebersamaan yang menjadi tanggungjawab pribadi masing-masing (personal responsibilities). Misalnya : berenang,music klasik, memelihara kelinci, bertanam bunga, computer atau bahasa asing.

C. Rencana Implementasi
1. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan sedia mengadakan inovasi Kebijakan Pengelolaan Satuan Pendidikan. Pendidikan yang dikemukakan di atas bukan hal yang baru tetapi sedikit inovatif, di antaranya : Bila SMP/MTs belum ada, terapkan SMP terbuka, Program Paket B atau membuka kelas 7 (setara kelas 1 SMP/MTs) untuk menampung anak-anak yang tidak dapat melanjutkan ke SMA/K di luar desanya.
2. Menyiapkan penggerak pendidikan berbasis desa (PPBMD). PPBMD harus dipersiapkan sehingga menjadi administrator pendidikan yang baik. Seorang PPBMD dapat bertugas untuk 2-4 desa yang berdekatan. Ini mempunyai arti bahwa di Jawa Barat yang mempunyai 7290 desa/kelurahan memerlukan minimal 1842 orang PPBMD dan Indonesia yang berjumlah 69255 buah desa/kelurahan (62561 desa dan 6695 kelurahan) memerlukan 17388 orang PPBMD. Mereka direkrut dari pengawas dan penilik pendidikan yang ada atau mereka yang mendapat pendidikian sarjana pendidikan bidang Administrasi Pendidikan. Mereka dibekali dengan dasar-dasar keahlian administrasi/manajemen pendidikan baik pada tingkat makro yaitu pedesaan maupun pada tingkat messo atau kelembagaan dan mikro atau metodologi pendidikan. PPBMD menyiapkan tenaga kependidikan dengan mengintensifkan institusi yang ada selama ini ialah Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S). sudah barang tentu dibekali dinamika kelompok terutama untuk menggerakkan anggota masyarakat menjadi peduli pemerataan, mutu dan relevansi pendidikan.
3. Jaringan informasi dan komunikasi pendidikan.
Ada baiknya pada tingkat desa ada jaringan informasi dan komunikasi yang berkaitan dengan bimbingan studi, keterlantaran pendidikan, beasiswa atau kemungkinan pendidikan lanjutan.
4. Daya dukung.
Kepala desa/kepala kelurahan adalah factor pendukung utama adanya gerakan pengelolaan wajar dikdas berbasis desa. Keterbukaan Kepala Dinas Pendidikan berserta aparatnya terhadap PPBMD. Masyarakat peduli pendidikan dan profesionalisme tenaga kependidikan. Sudah barang tentu dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan UU Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut bayaran.

Melalui inovasi semacam ini, diyakini Wajar Dikdas tuntas menyongsong tahun 2010 di Indonesia.

Rabu, 07 Oktober 2009

Link and Match

BAB IV PENDIDIKAN DAN LAPANGAN KERJA

Pendidikan dan lapangan kerja
J. K. Hinchliffe
Kebanyakan penelitian empiris mengenai hubungan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dari pekerjaan sejak tahun 1960-1n di Negara berpendapatan tinggi dan rendah menghasilkan dua temuan. Pertama, criteria utama yang digunakan oleh para majikan untuk menarik pekerja baru adalah jenis dan tingkat pendidikan. Secara formal diperlukan pendidikan minimum. Kedua, ada hubungan erat pencapaian pendidikan individu dengan pendapatannya seumur hidup.

Pekerjaan dan pendidikan
H. M. Levin
Di kebanyakan masyarakat, pendidikan dan kerja memiliki hubungan erat. Sekolah merupakan lembaga utama yang dialami orang muda, sementara kerja merupakan lembaga utama yang dialami orang dewasa. Pencapaian di sekolah mewakili mekanisme penting untuk menentukan mobilitas pekerjaan dan sosial generasi ke generasi.

Teori-teori pasar kerja dan Pendidikan
R. McNabb
Secara umum, teori pasar kerja menjelaskan upah ditentukan dab buruh dialokasikan untuk berbagai pekerjaan. Teori tersebut menjelaskan mengapa suatu kelompok seperti buruh trampil mendapat upah dari kelompok lain yang tidak trampil. Juga memberikan pemahaman berbagai masalah pasar kerja seperti diskriminasi, kemiskinan, pengangguran dan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan itu.
Ada area yang berkaitan dengan pendidikan dan perilaku lapangan kerja. Hal ini muncul karena peran krusial yang dimainkan pendidikan pada teori klasik lapangan kerja. Sejak 1950-an terjdi penjelasan alternative bagaimana pasar kerja berkerja dan peran pendidikan dalam menentukan outcome pasar kerja.

Pasar Kerja Internal dan Pendidikan
N. Bosanquet
Teori pasar kerja internal menyimpulkan pengaruh pendidikan pada keuntungan ekonomi pada kehidupan kemudian. Berbagai perkembangan pad ekonomi m emperkuat hubungan natural professional untuk meyakini bahwa kepala sekolah menguasai dunia. Teori pasar kerja internal meyakini bahwa pendidikan memiliki pengruh besar pada pada peningkatan pendapatan. Teori pasar kerja internal meyakini bahwa pendidikan memiliki pengaruh terbatas terhadap akses ke pekerjaan. Akses individu tergantung pada pengaruh kekuatan dalam organisasi yang lebih besar. Dalam masyarakat pembagian utama tergantung dari adanya akses atau tidak. Pendidikan dianggap melegitimasi ketidak adilan.

Pengangguran muda dan Pendidikan
J-P Jallade
Berbagai penelitian menjelaskan Penyebab pengangguran orang muda karena mereka tidak trampil (unskilled) karena tidak terlatih dan miskin pendidikan. Sehingga pendidikan diharapkan memainkan peran untuk memecahkan masalah pengangguran orang muda.

Pengangguran terpelajar dan Pendidikan
B. C. Sanyal
Pandangan pertama melihat pendidikan menyediakan ketrampilan bagi manusiaa untuk mengembangkan dan mengelola ekonomi dan pelayanan, sehingga investasi dalam human capital digunakan untuk meningkatkan produktifitas orang. Ini dinamakan teori human capital. Pandangan kedua berpendapat bahwa pendidikan bukan hanya untuk menyediakan ketrampilan atau pekerjaan, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai sosial untuk dapat menjalankan mobilitas dalam memajukan masyarakat. Pandangan ketiga menyatakan bahwa produktifitas merupakan atribut dari pekerjaan dan bukan pada orang. Orang dikaitkan dengan pekerjaan dengan criteria yang diasosiasikan dengan pendidikan, tetapi pendidikan bukan penentu produktifitas. Ini disebut teori segmentasi pasar kerja. Pandangan keempat gagasan hubungan pendidikan dan kerja adalah ilusi .

Informasi kerja dan Pendidikan
S.Rosen
Pendekatan ekonomi terhadap pendidikan membuktikan umpan balik penting informasi kerja dan investasi human capital yang efisiensi. Meski begitu ada bukti tidak langsung dari berbagai sumber bahwa ketidaksempurnaan informasi umum tidak berpengaruh kuat pada alokasi sumberdaya efisien pada area kehidupan ekonomi.

Harapan pasar kerja Pelajar
W.W. McMahon
Pelajar memiliki harapan mengenai kesempatan kerja di berbagai lapangan, berapa lama mencapi pekerjaan, pendapatan, tingkat pertumbuhan pendapatan, yang dapat dibandingkan dengan dapat pasar kerja actual. Sejumlah studi menunjukkan harapan tersebut akurat dan rasional. Pelajar tahu di mana tempat yang membutuhkan tenaga kerja, perbedaan pendapatan, perbedaan tingkat gaji untuk tingkat pendidikan tinggi, dan berbagai biaya yang diperlukan. Pada umumnya para pelajar bergerak ke tempat yang membutuhkan pendidikan tinggi dan harapan untuk berkembang.

Migrasi internal dan pendidikan
R. H. Sabot
Hubungan positif yang kuat antara kemungkinan penduduk desa bermigrasi dan tingkat pendidikannya berbeda-beda di tiap Negara. Seleksi kependidikan terhadap migrasi internal banyak terjadi di wilayah urban yang membutuhkan ketrampilan dari sekolah daripada suplai peluang pendidikan. Seleksi pendidikan konstan tetapi tingkat pendidikan migrant meningkat terus.


Kinerja ekonomi imigran dan Pendidikan
B. R. Chiswick
Hasil dari setiap penelitian menggambarkan imigran mengalami penurunan status pekerjaan tetapi dengan meningkatnya waktu tinggal di tempat kerja baru, pendapatan dan pekerjaan pun meningkat. Ini berasal dari penyesuaian ketrampilan sebelum imigrasi dan dari investasi human capital pada post migrasi pada sekolah, on-the-job training dan informasi lapangan kerja.

Ekonomi kuras otak
H. G. Grubel
Konsep brain drain digunakan untuk migrasi individu berketrampilan tinggi yang dilatih di satu Negara dan kemudian tinggal serta bekerja di Negara lain.
Bagi ilmu ekonomi brain drain adalah komponen yang terdiri dari dua bagian lapangan studi tradisional : migrasi dan human capital.

Senin, 05 Oktober 2009

ANGGARAN PENDIDIKAN DI DAERAH



KEBIJAKAN PENGANGGARAN PENDIDIKAN NASIONAL DITINJAU DARI PERENCANAAN STRATEJIK DI ERA REFORMASI






BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kondisi sumber daya manusia diukur dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks pendidikan menggambarkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia ditinjau dari aspek pendidikannya. Untuk meningkatkan aspek pendidikan tersebut diperlukan pembiayaan yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.
Untuk membiayai pendidikan diperlukan pengaturan sumber daya keuangan menyangkut budgeting, financing, dan costing. Permasalahan yang timbul dalam pembiayaan pendidikan adalah berkenaan dengan sumber pembiayaan yang terbatas dan strategi distribusi serta alokasi yang tidak focus.
Sumber pembiayaan pendidikan dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kota, Kabupaten), dunia usaha (private sector) maupun masyarakat.
Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Itu berarti pembiayaan pendidikan harus melalui proses politik yang dinamakan budgeting (penganggaran) yang merupakan salah satu fungsi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam proses budgeting maka pembiayaan pendidikan harus dimasukkan pada belanja pemerintah (government expenditure), untuk itu harus ada pendapatan terlebih dahulu (general revenue) yang ditetapkan beserta sumber-sumbernya.
Pendapatan pemerintah dan pemerintah daerah berasal dari beberapa sumber seperti : pajak, retribusi, hasil penjualan kekayaan Negara/daerah, hibah, bantuan maupun pinjaman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyusunan anggaran pendidikan nasional ?
2. Bagaimana perencanaan stratejik dalam penganggaran pendidikan nasional?
3. Bagaimana pembagian peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam penganggaran pendidikan nasional ?


C. Manfaat Penelitian
Gambaran tentang penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan praksis pendidikan terutama bagi pengambilan keputusan stratejik yang berkenaan dengan pembiayaan pendidikan nasional.
BAB II
“KEBIJAKAN PENGANGGARAN PENDIDIKAN NASIONAL DITINJAU DARI PERENCANAAN STRATEJIK DI ERA REFORMASI”.

A. Kebijakan Penganggaran Pendidikan Nasional
Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan Mendiknas, program-program pembangunan pendidikan dan sasarannya, serta implementasi program dalam dimensi ruang dan waktu.
Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk pendidikan, strategi pembiayaan pendidikan nasional disusun dalam skala prioritas. Penetapan skala prioritas pembangunan pendidikan didasarkan pada :
a. keberpihakan pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung karena factor-faktor ekonomi, geografi, social budaya;
b. tuntutan prioritas karena adanya perubahan kebijakan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga Negara pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan baik pada jalur formal maupun non formal, serta untuk menjawab komitmen internasional dan kepentingan nasional; dan
c. prediksi perkembangan kemampuan keuangan Negara dan potensi kontribusi masyarakat terhadap pendidikan (Depdiknas Tahun 2005-2009 Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025)
Pembiayaan dalam menjalankan misi pendidikan memerlukan suatu kebijakan penganggaran yang sistematik dalam kerangka manajemen stratejik agar dapat berdampak pada pencapaian visi masa depan.
Pada prinsipnya menurut Gaffar penganggaran terdiri dari empat model :
1. Line item budget (berpikir dari kegiatan) : setiap dana penyelenggaraan pendidikan hanya bermakna praktis jika disertai program (kegiatan dengan mata anggaran, resources, sasaran, pengendalian, pengawasan, dan evaluasi hasil)
2. PPBS (Planning Programming Budgeting System) : berpikir dari output baru dibuat program, input, resources.
3. Balanced budget: klop antara pendapatan dan belanja. Penetapan prioritas (sistem: primary, secondary).
4. Zero based budget: pendapatan dan belanja
Menurut Hartley (1968) istilah perencanaan pendidikan digunakan untuk menjelaskan aktivitas pada sistem persekolahan local yang mengarah pada tujuan berikut :
establishment of end-means relations; ranking of alternative strategies; allocation of personeel, materials, space, and other resources; design of a supportive information system; construction of time and cost schedules; development of scenarios to portray future environmental conditions; analysis of performance; and continual revision of objectives, programming, and allocation on the basis of evaluative criteria.

B. Manajemen Stratejik
Pendidikan nasional mempunyai visi “terwujudnya system pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warganegara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. (Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut :
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikann sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Penetapan visi dan misi tersebut merupakan bagian dari perencanaan stratejik. Hill, Jones dan Galvin (2004:6) menjabarkan proses perencanaan strategic ke dalam enam langkah yaitu :
(1)selection of the corporate mission and major corporate goals; (2) analysis of the organisation’s external competitive environment to identify the organisation’s opportunities and threats; (3) analysis of the organisation’s internal operating environment to identify the organisation’s strengths and weakness; (4) selection of strategies that build on the organisation’s strengths and correct its weakness, to take advantage of external threats; (5) strategy implementation; and (6) strategy evaluation (as a part of the feedback process



C. Pendekatan
Studi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis maupun teori tertentu, melainkan berupaya untuk menelusuri pemahaman baru mengenai fenomena yang dikaji. Cara kerja dari studi ini bersifat : subyektifitas ke obyektifitas, induksi ke deduksi dan konstruksi ke enumerasi. Untuk itu peneliti memperlakukan diri sebagai instrument utama(human instrument), yang bergerak dari hal-hal spesifik, dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya dan memadukan data sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kesimpulan-kesimpulan dapat ditemukan. Dengan sifatnya yang demikian maka studi ini tergolongdalam penelitian yang menggunakan Metode Naturalistik dengan Pendekatan Kualitatif.
D. Lokasi
Lokasi penelitian meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan Provinsi Jawa Barat. Subyek yang diteliti adalah para pejabat eksekutif dan legislative dan praktisi pendidikan yang dipilih secara non sampling.
Pertimbangan pemilihan lokasi adalah mengingat strategisnya posisi Jawa Barat sebagai Provinsi yang menggulirkan visi “ Jawa Barat dengan iman dan takwa sebagai Provinsi termaju di Indonesia dan mitra terdepan Ibukota Negara tahun 2010”. Pencapaian visi tersebut menggunakan indikator human development index (HDI) yang di dalamnya termuat komponen tingkat pendidikan masyarakat dalam rangka peningkatankualitas dan produktivitas sumber daya insani.
Upaya untuk meningkatkan kontribusi dari komponen pendidikan dilakukan antara lain dengan meningkatkan anggaran pendidikan menuju besaran 20% sebagai amanat konstitusi.
E. Jenis Data Penelitian
Jenis data yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah bersifat skematik,narasi, dan uraian juga penjelasan data dari informan baik lisan maupun data dokumen yang tertulis , perilaku subyek yang diamati di lapangan juga menjadi data dalam pengumpulan hasil penelitian ini, dan berikutnya didieskripsikan sebagai berikut :
1. Rekaman Audio dan Video
Dalam melakukan penelitian ini, maka peneliti merekam wawancara dengan beberapa pihak terkait yang dianggap perlu untuk dikumpulkan datanya. Data tersebut dideskripsikan dalam bentuk transkrip wawancara.
2. Catatan Lapangan
Dalam membuat catatan di lapangan, maka peneliti melakukan prosedur dengan mencatat seluruh peristiwa yang benar-benar terjadi di lapangan penelitian. Catatan berkisar pada isi catatan lapangan, model dan bentuk catatan lapangan, proses penulisan catatan lapangan.
3. Dokumentasi
Data ini dikumpulkan dengan melalui berbagai sumber data yang tertulis, baik yang berhubungan dengan masalah kondisi objektif, juga silsilah dan pendukung data lainnya.


F. Sumber Data
1. Unsur manusia sebagai instrument kunci yaitu Peneliti yang terlibat langsung dalam observasi partisipasi, unsur informan terdiri dari pejabat pemerintahan, praktisi pendidikan, orang tua, siswa dan NGO.
2. Unsur non manusia sebagai data pendukung penelitian

G. Hasil Temuan
1. Kondisi pendidikan Jawa Barat
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, pencapaian Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Jawa Barat adalah 7,4 tahun, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk berusia 15 tahun ke atas hanya lulus SD. Angka RLS tertinggi di Kota Depok (10,5 tahun), Kota Cimahi(10,3 tahun), Kota Bekasi (10,2 tahun) dan Kota Bandung (10,1 tahun). Angka RLS terendah terdapat di Kabupaten Indramayu(5,5 tahun), Kabupaten Sukabumi (6,4 tahun) dan Kabupaten Cianjur (6,4 tahun). Itu berarti daerah rural (perdesaan) tertinggal dari daerah urban (perkotaan).



Masalah lain di samping RLS yang baru mencapai angka 7,4 tahun, adalah angka putus sekolah sebagai mana ditandai dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) yang baru mencapai 92 %. Menurur Gubernur Jawa Barat, Secara nasional peringkat APK SD di Jawa Barat berada pada posisi ke-5, di jenjang SMP berada pada posisi ke-18 sedangkan di jenjang SMA berada pada posisi ke-28 (Kompas, 27
April 2009).
Komponen indeks pendidikan selain RLS adalah Angka Melek Huruf (AMH). Penyandang buta huruf tertinggi berada di Kabupaten Indramayu di mana 22,7 % penduduknya belum bisa membaca dan menulis dan terendah di Kota Bandung (kurang dari 1%).

Gambar 2 menunjukkan AMH tahun 2007 adalah 95%, maka penyandang buta huruf adalah 5%. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat jumlah penyandang buta huruf hingga saat ini masih sebanyak 32000 orang. Penulis menduga jumlah lebih banyak dari itu mengingat penduduk Jawa Barat saat ini lebih dari 40 juta orang.

2. Kebutuhan pembiayaan
Untuk meningkat RLS, APK dan AMH diperlukan biaya. Untuk mengetahui jumlah pembiaayan yang diperlukan pertama-tama penulis mencoba menghitung jumlah sekolah di seluruh Jawa Barat dengan hasil sebagai berikut :


Keterangan : *) jumlah siswa SMK kemungkinan termasuk dalam jumlah SMA/sederajat.
Dari data di atas maka jumlah sekolah di Jawa Barat pada tahun 2007 berjumlah 28233 yang merupakan sumber dari warga Negara yang mengikuti pendidikan di JawaBarat. Jumlah penduduk yang bersekolah pada jenjang dasar dan menengah sebanyak 10.297.169 juta orang dan cenderung meningkat 2,9% per tahun. Jumlah terbanyak berada di kabupaten Bogor yaitu sebanyak 1.185.780 siswa dan tersedikit berada di Kota Banjar yaitu sebanyak 38.546 siswa (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat 2006).
Biaya yang diperlukan untuk setiap siswa dalam setahun berbeda-beda di setiap Negara tergantung pada standard dan prioritas Negara tersebut. Bank Dunia pada tahun 1995-an memperkirakan unit cost untuk Indonesia sebesar Rp 250000/tahun untuk tingkat SD, sedangkan untuk SMP diperlukan Rp 2,5 juta / tahun. Tentu saja unit cost tersebut sudah memadai lagi untuk tahun 2000an, sehingga pemerintah menaikkan total unit cost dengan kenaikan 45%. Itu berarti untuk SD diperlukan biaya Rp 250000 + Rp 112500 = Rp 362500,00. Untuk SMP diperlukan biayar Rp 2500000 + Rp 1125000,00 = Rp 3625000,00. Untuk SMA diperlukan Rp 5000000 + Rp 2250000 = Rp 7250000,00
Dengan cost analysis demikian maka diperlukan biaya tahunan sebagai berikut:
a. Untuk SD : 5.275.466 siswa x Rp 362.500,00 = Rp 1.902.356.425.000,00
b. Untuk SMP : 2.599.434 siswa x Rp 3.625.000,00 = Rp 9.422.948.250.000,00
c. Untuk SLTA : 2.422.269 siswa x Rp 7.250.000,00 = Rp 17.561.450.250.000,00
d. Total biaya yang diperlukan :a +b +c = Rp 29.886.754.925.000,00
Dari cost analysis tesebut maka biaya operasional sekolah untuk sekolah negeri dari jenjang SD SMP dan SMA/SMK mencapai hampir Rp 30 trilyun.





3. Sumber-sumber Pembiayaan Pendidikan

Sumber pembiayaan pendidikan dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kota, Kabupaten), dunia usaha (private sector) maupun masyarakat.
a. Dari Pemerintah
Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Itu berarti pembiayaan pendidikan harus melalui proses politik yang dinamakan budgeting (penganggaran) yang merupakan salah satu fungsi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam proses budgeting maka pembiayaan pendidikan harus dimasukkan pada belanja pemerintah (government expenditure), untuk itu harus ada pendapatan terlebih dahulu (general revenue) yang ditetapkan beserta sumber-sumbernya.
Pendapatan pemerintah dan pemerintah daerah berasal dari beberapa sumber seperti : pajak, retribusi, hasil penjualan kekayaan Negara/daerah, hibah, bantuan maupun pinjaman.
b. Dari dunia usaha
Dunia usaha merupakan salah satu sumber pembiayaan pendididikan melalui pembayaran pajak, modal investasi dan operasional dari pendirian lembaga pendidikan, pemberian bea siswa, sponsorship, kerjasama dalam bidang penelitian, maupun melalui Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan persentase dari laba perusahaan.
c. Dari masyarakat
Masyarakat merupakan sumber pembiayaan pendidikan melalui berbagai bentuk biaya yang dibayarkan untuk membiayai direct cost maupun indirect cost, terutama pada sekolah swasta.

4. Tata kelola pembiayaan pendidikan di Jawa Barat
a. Pembiayaan yang berasal APBN digunakan untuk capital cost dan recurrent cost:
• Capital cost yaitu untuk membiayai sarana dan prasarana sekolah yang nampak pada role sharing perbaikan Sekolah Dasar. Role sharing yang disepakati sejak tahun 2005 diatur sebagai berikut : APBN (50%) : APBD Provinsi (30%) : APBD Kota/Kabupaten (20%). Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 telah mengeluarkan Rp 825 milyar.
• Reccurent cost yaitu untuk membiayai gaji guru dan Biaya Operasional Sekolah (BOS) SD dan SMP
• Gaji Guru untuk +/- 400.000 Guru SD, SMP dan SMA/SMK di Jawa Barat.
• BOS sebesar Rp 397.000,00 /siswa SD/ tahun dan Rp 570.000,00 /siswa SMP/tahun yang dibayarkan melalui Pos dan Giro setiap tiga bulan. sat sdhcair. Prov belum. KBB Rp 12500/bln.
BOS untuk SD telah dinaikkan dari Rp 254.000,00 menjadi Rp 400.000,00 untuk SD di daerah perkotaan dan Rp 397.000,00 untuk SD di Kabupaten.

b. Pembiayaan yang berasal dari APBD provinsi :
Anggaran pendidikan tahun 2008 adalah 11% dari Rp 7 trilyun = Rp 800 milyar, sedangkan pada tahun 2009 menjadi 20% x Rp 8 trilyun = Rp 1,6 trilyun dengan perincian sebagai berikut :



Gambar 4: Alokasi Anggaran Pendidikan di Jawa Barat (miliar rupiah)
Nomor Program Belanja Langsung Belanja Tidak Langsung Jumlah
1. Pendidikan Dasar 50,78 61,21 111,99
2. Pendidikan Menengah 23,46 123,77 147,23
3. Pendidikan Luar Sekolah 9,73 94,13 103,86
4. Pendidikan Luar Biasa 19,19 6,49 25,68
5. Manajemen pelayanan pendidikan 322,07 699,31 1.021,38
6. Peningkatan kapasitas aparatur 3,50 0 3,50
7. Pelayanan administrasi perkantoran 11,50 0 11,50

8. Pemeliharaan fasilitas perkantoran 5,25 0 5,25
9. Pengembangan nilai budaya 7,74 0 7,74
10. Sarana-prasarana aparatur 12,08 0 12,08
Jumlah 465,3
984,91
1.450,21

Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 2009

• Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Jabar mengatakan bahwa 70% dari total anggaran pendidikan digunakan sebagai stimulus penuntasan APK, termasuk program sekolah dasar gratis. Program bantuan operasional sekolah, buku gratis dan seragam sekolah.
• Dari anggaran tersebut, Provinsi Jawa Barat juga memberikan tambahan untuk BOS sebagai berikut : Untuk SD Rp 25.000,00/siswa ; untuk SMP Rp 127.000,00/siswa . APBD juga memberikan anggaran Beasiswa siklus untuk 65 mahasiswa dengan besaran Rp 50.000.000,00 setiap mahasiswa selama penyelesaian studi.
• Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat juga mendapatkan dana dari Negara maupun lembaga donor seperti Unicef, Usaid, Australia.

5. Analisis
Setelah membandingkan kebutuhan pembiayaan pendidikan dan kemampuan APBD Provinsi Jawa Barat dalam menyediakan anggaran pendidikan nampaknya masih jauh panggang dari api. Meskipun demikian kenaikan anggaran pendidikan patut disyukuri meskipun masih jauh dari kebutuhan. Nanang Fatah (UPI) mengatakan bahwa anggaran bukanlah yang terpenting dalam upaya menuntaskan persoalan pendidikan, apalagi terkait dengan mutu. Guru adalah kunci pendidikan. Siswa akan maju jika diajar guru-guru yang kompeten atau semangat. Ia mengkritisi persoalan kebijakan peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru. Sertifikasi guru melalui fortofolio bukanlah kebijakan yang tepat sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Pemprov harus lebih cerdas merancang program yang responsive dan tepat sasaran, misalnya memperbanyak pengayaan untuki guru.

BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Kebutuhan pembiayaan pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Jawa Barat sangatlah besar, padahal baru dihitung dari biaya operasional di sekolah negeri. Sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah baik pemerintah provinsi, pemerintah kota dan kabupaten terlalu kecil untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pendidikan sehingga memerlukan sumber pembiayaan dari dunia usaha dan masyarakat.

B. Rekomendasi
Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya menggali sumber pembiayaan dari dunia usaha dan masyarakat melalui peningkatan pelayanan dan peningkatan kualitas dalam upaya memberikan kepuasan pada peserta didik, orang tua, masyarakat dan dunia usaha. Selain itu diperlukan upaya untuk memfokuskan anggaran pendidikan dengan alokasi dan distribusi yang tepat.


I. DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. (2006). Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 Menujun Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025. Jakarta: Depdiknas
Hartley, Harry J. (1968). Educational Planning-Programming-Budgeting. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc
Hill et. al. (2004). Strategic Management an Integrated Approach. Milton : Wiley & Houghton Mifflin
Satori, Djam’an & Komarian, Aan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta
Rosen, Harvey S. (1999). Public Finance. Singapore: McGraw-Hill International Editions
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Kaldera
---. (2008). Statistik Pembangunan Gubernur Jawa Barat Periode 2003-2008. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat
---. (2009). Nota Pengantar Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2008. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat


Kompas edisi Jawa Barat (27 April 2009;28 April 2009)