Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau rakyat
Senin, 05 Oktober 2009
ANGGARAN PENDIDIKAN DI DAERAH
KEBIJAKAN PENGANGGARAN PENDIDIKAN NASIONAL DITINJAU DARI PERENCANAAN STRATEJIK DI ERA REFORMASI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi sumber daya manusia diukur dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks pendidikan menggambarkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia ditinjau dari aspek pendidikannya. Untuk meningkatkan aspek pendidikan tersebut diperlukan pembiayaan yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.
Untuk membiayai pendidikan diperlukan pengaturan sumber daya keuangan menyangkut budgeting, financing, dan costing. Permasalahan yang timbul dalam pembiayaan pendidikan adalah berkenaan dengan sumber pembiayaan yang terbatas dan strategi distribusi serta alokasi yang tidak focus.
Sumber pembiayaan pendidikan dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kota, Kabupaten), dunia usaha (private sector) maupun masyarakat.
Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Itu berarti pembiayaan pendidikan harus melalui proses politik yang dinamakan budgeting (penganggaran) yang merupakan salah satu fungsi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam proses budgeting maka pembiayaan pendidikan harus dimasukkan pada belanja pemerintah (government expenditure), untuk itu harus ada pendapatan terlebih dahulu (general revenue) yang ditetapkan beserta sumber-sumbernya.
Pendapatan pemerintah dan pemerintah daerah berasal dari beberapa sumber seperti : pajak, retribusi, hasil penjualan kekayaan Negara/daerah, hibah, bantuan maupun pinjaman.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyusunan anggaran pendidikan nasional ?
2. Bagaimana perencanaan stratejik dalam penganggaran pendidikan nasional?
3. Bagaimana pembagian peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam penganggaran pendidikan nasional ?
C. Manfaat Penelitian
Gambaran tentang penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan praksis pendidikan terutama bagi pengambilan keputusan stratejik yang berkenaan dengan pembiayaan pendidikan nasional.
BAB II
“KEBIJAKAN PENGANGGARAN PENDIDIKAN NASIONAL DITINJAU DARI PERENCANAAN STRATEJIK DI ERA REFORMASI”.
A. Kebijakan Penganggaran Pendidikan Nasional
Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan Mendiknas, program-program pembangunan pendidikan dan sasarannya, serta implementasi program dalam dimensi ruang dan waktu.
Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk pendidikan, strategi pembiayaan pendidikan nasional disusun dalam skala prioritas. Penetapan skala prioritas pembangunan pendidikan didasarkan pada :
a. keberpihakan pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung karena factor-faktor ekonomi, geografi, social budaya;
b. tuntutan prioritas karena adanya perubahan kebijakan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga Negara pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan baik pada jalur formal maupun non formal, serta untuk menjawab komitmen internasional dan kepentingan nasional; dan
c. prediksi perkembangan kemampuan keuangan Negara dan potensi kontribusi masyarakat terhadap pendidikan (Depdiknas Tahun 2005-2009 Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025)
Pembiayaan dalam menjalankan misi pendidikan memerlukan suatu kebijakan penganggaran yang sistematik dalam kerangka manajemen stratejik agar dapat berdampak pada pencapaian visi masa depan.
Pada prinsipnya menurut Gaffar penganggaran terdiri dari empat model :
1. Line item budget (berpikir dari kegiatan) : setiap dana penyelenggaraan pendidikan hanya bermakna praktis jika disertai program (kegiatan dengan mata anggaran, resources, sasaran, pengendalian, pengawasan, dan evaluasi hasil)
2. PPBS (Planning Programming Budgeting System) : berpikir dari output baru dibuat program, input, resources.
3. Balanced budget: klop antara pendapatan dan belanja. Penetapan prioritas (sistem: primary, secondary).
4. Zero based budget: pendapatan dan belanja
Menurut Hartley (1968) istilah perencanaan pendidikan digunakan untuk menjelaskan aktivitas pada sistem persekolahan local yang mengarah pada tujuan berikut :
establishment of end-means relations; ranking of alternative strategies; allocation of personeel, materials, space, and other resources; design of a supportive information system; construction of time and cost schedules; development of scenarios to portray future environmental conditions; analysis of performance; and continual revision of objectives, programming, and allocation on the basis of evaluative criteria.
B. Manajemen Stratejik
Pendidikan nasional mempunyai visi “terwujudnya system pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warganegara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. (Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut :
1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikann sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Penetapan visi dan misi tersebut merupakan bagian dari perencanaan stratejik. Hill, Jones dan Galvin (2004:6) menjabarkan proses perencanaan strategic ke dalam enam langkah yaitu :
(1)selection of the corporate mission and major corporate goals; (2) analysis of the organisation’s external competitive environment to identify the organisation’s opportunities and threats; (3) analysis of the organisation’s internal operating environment to identify the organisation’s strengths and weakness; (4) selection of strategies that build on the organisation’s strengths and correct its weakness, to take advantage of external threats; (5) strategy implementation; and (6) strategy evaluation (as a part of the feedback process
C. Pendekatan
Studi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis maupun teori tertentu, melainkan berupaya untuk menelusuri pemahaman baru mengenai fenomena yang dikaji. Cara kerja dari studi ini bersifat : subyektifitas ke obyektifitas, induksi ke deduksi dan konstruksi ke enumerasi. Untuk itu peneliti memperlakukan diri sebagai instrument utama(human instrument), yang bergerak dari hal-hal spesifik, dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya dan memadukan data sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kesimpulan-kesimpulan dapat ditemukan. Dengan sifatnya yang demikian maka studi ini tergolongdalam penelitian yang menggunakan Metode Naturalistik dengan Pendekatan Kualitatif.
D. Lokasi
Lokasi penelitian meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan Provinsi Jawa Barat. Subyek yang diteliti adalah para pejabat eksekutif dan legislative dan praktisi pendidikan yang dipilih secara non sampling.
Pertimbangan pemilihan lokasi adalah mengingat strategisnya posisi Jawa Barat sebagai Provinsi yang menggulirkan visi “ Jawa Barat dengan iman dan takwa sebagai Provinsi termaju di Indonesia dan mitra terdepan Ibukota Negara tahun 2010”. Pencapaian visi tersebut menggunakan indikator human development index (HDI) yang di dalamnya termuat komponen tingkat pendidikan masyarakat dalam rangka peningkatankualitas dan produktivitas sumber daya insani.
Upaya untuk meningkatkan kontribusi dari komponen pendidikan dilakukan antara lain dengan meningkatkan anggaran pendidikan menuju besaran 20% sebagai amanat konstitusi.
E. Jenis Data Penelitian
Jenis data yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah bersifat skematik,narasi, dan uraian juga penjelasan data dari informan baik lisan maupun data dokumen yang tertulis , perilaku subyek yang diamati di lapangan juga menjadi data dalam pengumpulan hasil penelitian ini, dan berikutnya didieskripsikan sebagai berikut :
1. Rekaman Audio dan Video
Dalam melakukan penelitian ini, maka peneliti merekam wawancara dengan beberapa pihak terkait yang dianggap perlu untuk dikumpulkan datanya. Data tersebut dideskripsikan dalam bentuk transkrip wawancara.
2. Catatan Lapangan
Dalam membuat catatan di lapangan, maka peneliti melakukan prosedur dengan mencatat seluruh peristiwa yang benar-benar terjadi di lapangan penelitian. Catatan berkisar pada isi catatan lapangan, model dan bentuk catatan lapangan, proses penulisan catatan lapangan.
3. Dokumentasi
Data ini dikumpulkan dengan melalui berbagai sumber data yang tertulis, baik yang berhubungan dengan masalah kondisi objektif, juga silsilah dan pendukung data lainnya.
F. Sumber Data
1. Unsur manusia sebagai instrument kunci yaitu Peneliti yang terlibat langsung dalam observasi partisipasi, unsur informan terdiri dari pejabat pemerintahan, praktisi pendidikan, orang tua, siswa dan NGO.
2. Unsur non manusia sebagai data pendukung penelitian
G. Hasil Temuan
1. Kondisi pendidikan Jawa Barat
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, pencapaian Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Jawa Barat adalah 7,4 tahun, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk berusia 15 tahun ke atas hanya lulus SD. Angka RLS tertinggi di Kota Depok (10,5 tahun), Kota Cimahi(10,3 tahun), Kota Bekasi (10,2 tahun) dan Kota Bandung (10,1 tahun). Angka RLS terendah terdapat di Kabupaten Indramayu(5,5 tahun), Kabupaten Sukabumi (6,4 tahun) dan Kabupaten Cianjur (6,4 tahun). Itu berarti daerah rural (perdesaan) tertinggal dari daerah urban (perkotaan).
Masalah lain di samping RLS yang baru mencapai angka 7,4 tahun, adalah angka putus sekolah sebagai mana ditandai dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) yang baru mencapai 92 %. Menurur Gubernur Jawa Barat, Secara nasional peringkat APK SD di Jawa Barat berada pada posisi ke-5, di jenjang SMP berada pada posisi ke-18 sedangkan di jenjang SMA berada pada posisi ke-28 (Kompas, 27
April 2009).
Komponen indeks pendidikan selain RLS adalah Angka Melek Huruf (AMH). Penyandang buta huruf tertinggi berada di Kabupaten Indramayu di mana 22,7 % penduduknya belum bisa membaca dan menulis dan terendah di Kota Bandung (kurang dari 1%).
Gambar 2 menunjukkan AMH tahun 2007 adalah 95%, maka penyandang buta huruf adalah 5%. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat jumlah penyandang buta huruf hingga saat ini masih sebanyak 32000 orang. Penulis menduga jumlah lebih banyak dari itu mengingat penduduk Jawa Barat saat ini lebih dari 40 juta orang.
2. Kebutuhan pembiayaan
Untuk meningkat RLS, APK dan AMH diperlukan biaya. Untuk mengetahui jumlah pembiaayan yang diperlukan pertama-tama penulis mencoba menghitung jumlah sekolah di seluruh Jawa Barat dengan hasil sebagai berikut :
Keterangan : *) jumlah siswa SMK kemungkinan termasuk dalam jumlah SMA/sederajat.
Dari data di atas maka jumlah sekolah di Jawa Barat pada tahun 2007 berjumlah 28233 yang merupakan sumber dari warga Negara yang mengikuti pendidikan di JawaBarat. Jumlah penduduk yang bersekolah pada jenjang dasar dan menengah sebanyak 10.297.169 juta orang dan cenderung meningkat 2,9% per tahun. Jumlah terbanyak berada di kabupaten Bogor yaitu sebanyak 1.185.780 siswa dan tersedikit berada di Kota Banjar yaitu sebanyak 38.546 siswa (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat 2006).
Biaya yang diperlukan untuk setiap siswa dalam setahun berbeda-beda di setiap Negara tergantung pada standard dan prioritas Negara tersebut. Bank Dunia pada tahun 1995-an memperkirakan unit cost untuk Indonesia sebesar Rp 250000/tahun untuk tingkat SD, sedangkan untuk SMP diperlukan Rp 2,5 juta / tahun. Tentu saja unit cost tersebut sudah memadai lagi untuk tahun 2000an, sehingga pemerintah menaikkan total unit cost dengan kenaikan 45%. Itu berarti untuk SD diperlukan biaya Rp 250000 + Rp 112500 = Rp 362500,00. Untuk SMP diperlukan biayar Rp 2500000 + Rp 1125000,00 = Rp 3625000,00. Untuk SMA diperlukan Rp 5000000 + Rp 2250000 = Rp 7250000,00
Dengan cost analysis demikian maka diperlukan biaya tahunan sebagai berikut:
a. Untuk SD : 5.275.466 siswa x Rp 362.500,00 = Rp 1.902.356.425.000,00
b. Untuk SMP : 2.599.434 siswa x Rp 3.625.000,00 = Rp 9.422.948.250.000,00
c. Untuk SLTA : 2.422.269 siswa x Rp 7.250.000,00 = Rp 17.561.450.250.000,00
d. Total biaya yang diperlukan :a +b +c = Rp 29.886.754.925.000,00
Dari cost analysis tesebut maka biaya operasional sekolah untuk sekolah negeri dari jenjang SD SMP dan SMA/SMK mencapai hampir Rp 30 trilyun.
3. Sumber-sumber Pembiayaan Pendidikan
Sumber pembiayaan pendidikan dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kota, Kabupaten), dunia usaha (private sector) maupun masyarakat.
a. Dari Pemerintah
Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi maupun Kota/Kabupaten. Itu berarti pembiayaan pendidikan harus melalui proses politik yang dinamakan budgeting (penganggaran) yang merupakan salah satu fungsi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam proses budgeting maka pembiayaan pendidikan harus dimasukkan pada belanja pemerintah (government expenditure), untuk itu harus ada pendapatan terlebih dahulu (general revenue) yang ditetapkan beserta sumber-sumbernya.
Pendapatan pemerintah dan pemerintah daerah berasal dari beberapa sumber seperti : pajak, retribusi, hasil penjualan kekayaan Negara/daerah, hibah, bantuan maupun pinjaman.
b. Dari dunia usaha
Dunia usaha merupakan salah satu sumber pembiayaan pendididikan melalui pembayaran pajak, modal investasi dan operasional dari pendirian lembaga pendidikan, pemberian bea siswa, sponsorship, kerjasama dalam bidang penelitian, maupun melalui Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan persentase dari laba perusahaan.
c. Dari masyarakat
Masyarakat merupakan sumber pembiayaan pendidikan melalui berbagai bentuk biaya yang dibayarkan untuk membiayai direct cost maupun indirect cost, terutama pada sekolah swasta.
4. Tata kelola pembiayaan pendidikan di Jawa Barat
a. Pembiayaan yang berasal APBN digunakan untuk capital cost dan recurrent cost:
• Capital cost yaitu untuk membiayai sarana dan prasarana sekolah yang nampak pada role sharing perbaikan Sekolah Dasar. Role sharing yang disepakati sejak tahun 2005 diatur sebagai berikut : APBN (50%) : APBD Provinsi (30%) : APBD Kota/Kabupaten (20%). Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 telah mengeluarkan Rp 825 milyar.
• Reccurent cost yaitu untuk membiayai gaji guru dan Biaya Operasional Sekolah (BOS) SD dan SMP
• Gaji Guru untuk +/- 400.000 Guru SD, SMP dan SMA/SMK di Jawa Barat.
• BOS sebesar Rp 397.000,00 /siswa SD/ tahun dan Rp 570.000,00 /siswa SMP/tahun yang dibayarkan melalui Pos dan Giro setiap tiga bulan. sat sdhcair. Prov belum. KBB Rp 12500/bln.
BOS untuk SD telah dinaikkan dari Rp 254.000,00 menjadi Rp 400.000,00 untuk SD di daerah perkotaan dan Rp 397.000,00 untuk SD di Kabupaten.
b. Pembiayaan yang berasal dari APBD provinsi :
Anggaran pendidikan tahun 2008 adalah 11% dari Rp 7 trilyun = Rp 800 milyar, sedangkan pada tahun 2009 menjadi 20% x Rp 8 trilyun = Rp 1,6 trilyun dengan perincian sebagai berikut :
Gambar 4: Alokasi Anggaran Pendidikan di Jawa Barat (miliar rupiah)
Nomor Program Belanja Langsung Belanja Tidak Langsung Jumlah
1. Pendidikan Dasar 50,78 61,21 111,99
2. Pendidikan Menengah 23,46 123,77 147,23
3. Pendidikan Luar Sekolah 9,73 94,13 103,86
4. Pendidikan Luar Biasa 19,19 6,49 25,68
5. Manajemen pelayanan pendidikan 322,07 699,31 1.021,38
6. Peningkatan kapasitas aparatur 3,50 0 3,50
7. Pelayanan administrasi perkantoran 11,50 0 11,50
8. Pemeliharaan fasilitas perkantoran 5,25 0 5,25
9. Pengembangan nilai budaya 7,74 0 7,74
10. Sarana-prasarana aparatur 12,08 0 12,08
Jumlah 465,3
984,91
1.450,21
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 2009
• Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Jabar mengatakan bahwa 70% dari total anggaran pendidikan digunakan sebagai stimulus penuntasan APK, termasuk program sekolah dasar gratis. Program bantuan operasional sekolah, buku gratis dan seragam sekolah.
• Dari anggaran tersebut, Provinsi Jawa Barat juga memberikan tambahan untuk BOS sebagai berikut : Untuk SD Rp 25.000,00/siswa ; untuk SMP Rp 127.000,00/siswa . APBD juga memberikan anggaran Beasiswa siklus untuk 65 mahasiswa dengan besaran Rp 50.000.000,00 setiap mahasiswa selama penyelesaian studi.
• Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat juga mendapatkan dana dari Negara maupun lembaga donor seperti Unicef, Usaid, Australia.
5. Analisis
Setelah membandingkan kebutuhan pembiayaan pendidikan dan kemampuan APBD Provinsi Jawa Barat dalam menyediakan anggaran pendidikan nampaknya masih jauh panggang dari api. Meskipun demikian kenaikan anggaran pendidikan patut disyukuri meskipun masih jauh dari kebutuhan. Nanang Fatah (UPI) mengatakan bahwa anggaran bukanlah yang terpenting dalam upaya menuntaskan persoalan pendidikan, apalagi terkait dengan mutu. Guru adalah kunci pendidikan. Siswa akan maju jika diajar guru-guru yang kompeten atau semangat. Ia mengkritisi persoalan kebijakan peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru. Sertifikasi guru melalui fortofolio bukanlah kebijakan yang tepat sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. Pemprov harus lebih cerdas merancang program yang responsive dan tepat sasaran, misalnya memperbanyak pengayaan untuki guru.
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kebutuhan pembiayaan pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Jawa Barat sangatlah besar, padahal baru dihitung dari biaya operasional di sekolah negeri. Sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah baik pemerintah provinsi, pemerintah kota dan kabupaten terlalu kecil untuk menutupi kebutuhan pembiayaan pendidikan sehingga memerlukan sumber pembiayaan dari dunia usaha dan masyarakat.
B. Rekomendasi
Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya menggali sumber pembiayaan dari dunia usaha dan masyarakat melalui peningkatan pelayanan dan peningkatan kualitas dalam upaya memberikan kepuasan pada peserta didik, orang tua, masyarakat dan dunia usaha. Selain itu diperlukan upaya untuk memfokuskan anggaran pendidikan dengan alokasi dan distribusi yang tepat.
I. DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2006). Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 Menujun Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025. Jakarta: Depdiknas
Hartley, Harry J. (1968). Educational Planning-Programming-Budgeting. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc
Hill et. al. (2004). Strategic Management an Integrated Approach. Milton : Wiley & Houghton Mifflin
Satori, Djam’an & Komarian, Aan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta
Rosen, Harvey S. (1999). Public Finance. Singapore: McGraw-Hill International Editions
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Kaldera
---. (2008). Statistik Pembangunan Gubernur Jawa Barat Periode 2003-2008. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat
---. (2009). Nota Pengantar Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2008. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Kompas edisi Jawa Barat (27 April 2009;28 April 2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar