Selasa, 27 Desember 2016

Meningkatnya Akses terhadap Pelayanan Pendidikan yang Berkualitas



Meningkatnya  Akses terhadap Pelayanan Pendidikan yang Berkualitas di Jawa Barat

Seorang sarjana lulusan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung.


Angka Parstisipasi Sekolah

Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/SDLB sebesar 116,20%; Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs/SMPLB sebesar 88,90%; APK SMP/MTs/SMPLB sebesar 96,15% ; APM SMA/SMK/SMALB/MA sebesar 36,37%, APK SMA/SMK/SMALB/MA sebesar 53,24%. Meskipun demikian angka ini belum memuaskan Gubernur karena target nasional APK tingkat SLTA adalah 68%.
 Gubernur mengatakan anak-anak usia SD yang sudah mengikuti pendidikan sebesar 96,5% dan sisanya 3,5% belum bersekolah. Lulusan SD yang melanjutkan ke jenjang SMP sekitar 92,5%. Sementara lulusan SMP yang melanjutkan sekolah dari SMP ke tingkat SMA dan SMK mencapai 53% dan sisanya putus sekolah.
Wamendiknas, Jalal, mengatakan bahwa untuk mempermudah akses terhadap pendidikan pemerintah akan membangun sekolah baru TK/SD satu atap, menambah lokal di SD dan membangun SD/SMP satu atap (Bandung Ekspres, 2011).

Rata-rata Lama Sekolah (RLS)

Rata-rata Lama Sekolah (RLS) merupakan indikator lamanya penduduk usia 15 tahun ke atas yang bersekolah,  pada tahun 2009 mencapai 7,58 tahun di atas rata-rata nasional yaitu 5,7 tahun.
Raihan Angka Partisipasi Murid (APM) SD/MI di Jabar baru mencapai angka 95,56 (peringkat 15 se-Indonesia), Angka Partisipasi Kelas (APK) SMP/MTs mencapai angka 92,40 (peringkat 21), APK SMA/MA/SMK mencapai angka 54,12 (peringkat 31) serta RLS (rata-rata lama sekolah) hanya 7,58 tahun. Gubernur berkomitmen agar kondisi tersebut segera diselesaikan.
Berdasarkan data Disdik Jawa Barat pada 2009, jumlah lulusan SD sebanyak 778.810 siswa, sedangkan daya tampung SMP hanya 651.045 siswa, yang jika diasumsikan ke dalam ruang kelas masih kekurangan sekitar 3.200 ruang kelas. Sementara daya tampung di SMA saat ini hanya 348.806 siswa, padahal siswa yang lulus SMP mencapai 651.045 siswa atau masih kekurangan ruang kelas sebanyak 5.560 unit ruang kelas.

Angka Melek Huruf 

AMH menggambarkan proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis yang pada tahun 2009 mencapai 95,60% sehingga Angka Buta Huruf turun dari 5,33% menjadi 4,4%.  Meskipun demikian angka 4,4% dari seluruh populasi penduduk sebesar kurang lebih 42 juta orang tentu bukanlah angka yang sedikit, sehingga Pemerintah Provinsi harus terus melakukan terobosan-terobosan untuk menghilangkan angka buta huruf di kalangan penduduk. Di masa lalu upaya semacam ini dilakukan melalui suatu gerakan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara total dan hasilnya cukup signifikan. Di Kota Cirebon misalnya masyarakat telah bebas buta huruf sejak tahun 1960-an. Pola seperti ini mungkin perlu diterapkan pada tingkat yang lebih besar pada level provinsi.

Minggu, 25 Desember 2016

Dampak dari Kebijakan Alokasi Anggaran Terhadap Mutu Pendidikan di Provinsi Jawa Barat




Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupaya meningkatkan kualitas dari proses dan output pendidikan dengan menggunakan strategi: menetapkan tolok ukur peningkatan mutu pendidikan; dan pembagian peran OPD.
  
 Kebijakan --> Strategi --> Prioritas --> Sumber Daya --> Target


 
RPJPD mengarahkan agar proses pendidikan yang bermutu dalam jangka panjang dapat  menghasilkan : peningkatan akses terhadap pelayanan pendidikan yang berkualitas;  peningkatan mutu dan relevansi pendidikan formal, non formal dan infornal;  peningkatan kualitas tata kelola pendidikan yang efektif dan berbasis kompetensi serta berorientasi pada kualitas lulusan; peningkatan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta terwujudnya jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat (RPJPD Provinsi Jawa Barat 2005-2025: IV-1). Dengan demikian peningkatan mutu dilihat dari hal-hal sebagai berikut : (1) meningkatnya  akses terhadap pelayanan pendidikan yang berkualitas; (2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan formal, non formal dan infornal; (3) meningkatnya kualitas tata kelola pendidikan yang efektif dan berbasis kompetensi serta berorientasi pada kualitas lulusan; (4) meningkatnya penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi; (5) terwujudnya jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk mencapai mutu yang telah ditetapkan maka dibuatlah pembagian peran Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pembagian peran OPD dibuat berdasarkan sasaran pada misi yang ingin dicapai. Pendidikan dasar  berada pada Misi 1 yaitu “mewujudkan sumber daya manusia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing” dengan sasaran penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun dan rintisan wajar 12 tahun, penuntasan bebas buta aksara, peningkatan kualitas hidup beragama dan revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Untuk mencapai sasaran itu ada OPD Utama, OPD Mitra Utama, OPD Pendukung Penjaminan Mutu dan Akuntabilitas dan OPD Pendukung Umum.
Pembagian peran OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam penjaminan mutu pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel  4.11 Pembagian Peran OPD dalam Penjaminan Mutu Pendidikan                           
Misi 1
Sasaran
OPD Utama
OPD Mitra Utama

OPD Pendukung Penjaminan Mutu dan Akuntabili-
tas
OPD Pendukung Umum
Mewujud-kan Sumber
daya
Manusia Jawa Barat yang Produktif dan Berdaya Saing
1.Penuntasan Bebas Buta Aksara
Disdik
Biro-Yansos
Dissos
Inspektorat

Bappeda

Biro-Admbang

Ass-Kesra

Ass-Adm

Biro-Org

BKPPW I-IV
BKD

Badiklatda

Biro Keu

Biro-Pbd

Biro-Hukham

Biro-Humaspro-tum
2.Penuntasan Wajar Dikdas Sembilan Tahun dan Rintisan Wajar Dikdas 12 Tahun
Disdik
Biro-Yansos
Bapusip-da
Dissos
3.Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama
Biro-Yansos
Kesbang
pol
Biro-Pemum
4.Revitalisasi Nilai-nilai  Budaya dan Kearifan Lokal
Disdik
Disparbud
Biro-Yansos
Biro-Bangsos
Sumber : Bappeda Provinsi Jawa Barat 2010
Dinas Pendidikan kemudian berkoordinasi dengan Pemerintah Kota dan Kabupaten karena sekolah-sekolah berada dalam kewenangan pemerintah kota dan kabupaten. Koordinasi dengan pemerintah Kota dan Kabupaten merupakan hal yang tidak mudah di era otonomi daerah, karena ada pandangan bahwa dengan otonomi daerah tersebut Kota dan Kabupaten tidak lagi memiliki keterikatan hirarkhis dengan Provinsi. Karena itu dibuatlah kesepakatan antara Gubernur dengan Walikota dan Bupati se-Jawa Barat untuk menyinergikan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk di bidang pendidikan. Kesepakatan dibuat tahun 2008 yang isinya antara lain bahwa  Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten memberikan prioritas untuk membiayai pembangunan bidang pendidikan dengan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota atau sumber dana lainnya. Besarnya kontribusi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan dan pencapaian target disesuaikan secara proporsional berdasarkan karakteristik dan masalah yang dihadapi.
Untuk menjamin akuntabilitas dan peningkatan mutu maka ada OPD seperti Inspektorat, Bappeda, Asissten dan Biro-biro yang melakukan pengarahan, pembinaan, dan pengawasan.  Untuk memastikan semua dapat berjalan ada OPD pendukung dalam penyediaan pegawai yang kompeten, pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum serta humas.
Dalam rangka peningkatan mutu Kementrian Pendidikan Nasional pun melakukan evaluasi terhadap alokasi anggaran pendidikan yang diberikan ke Provinsi untuk mengetahui sejauh mana anggaran yang diberikan dapat memberikan dampak bagi peningkatan mutu di Jawa Barat.
Uraian berikut menggambarkan pencapaian Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan mutu pendidikan. 

(Bersambung).

Sabtu, 24 Desember 2016

Hasil dari Kebijakan Alokasi Anggaran Terhadap Mutu Pendidikan Dasar di Provinsi Jawa Barat



Hasil yang dicapai dari implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan  di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat  dalam tiga  klasifikasi yaitu terlaksananya program, pencapaian fisik dan non fisik,  serta pencapaian target.


a.      Terlaksananya  Program Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar
Untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dasar, peningkatan tata kelola pendidikan yang efektif dan penguasaaan /pemanfaatan ilmu pengetahuan dana teknologi, Dinas Pendidikan pada tahun 2009 telah melakukan kegiatan-kegiatan yang dikategorikan ke dalam verifikasi, monitoring, evaluasi; koordinasi; workshop/semiloka; rapat; peningkatan mutu layanan pendidikan dan bantuan, sebagai berikut :
Verifikasi, monitoring dan evaluasi; Rapat Koordinasi;  Workshop pemberdayaan gugus TK; Workshop pengelolaan TK-SD dan SD-SMP satu atap; Workshop pemberdayaan gugus SD; Workshop pembinaan penerimaan bantuan SD-SMP satu atap dan rehabilitasi TK; Workshop penerimaan bantuaan alat bermain TK; Workshop TK Pembina; Rapat pemberian alat peraga IPA; Rapat tentang pemberian alat pembelajaran IPS Terpadu; Peningkatan mutu layanan pendidikan di TK-SD dan SD-SMP satu atap; Semiloka pengembangan SSN/SBI; Workshop Pengembangan Kurikulum SBI; Workshop Pembinaan Rintisan SBI; Workshop Pembinaan SSN; Workshop Pengembangan Pembelajaran Bilingual/Berbasis ICT; Bantuan kepada Tim Pengembangan Kurikulum Berbasis Teknologi dan Peningkatan Mutu di RSBI dan SSN.

b.      Capaian Fisik dan Non Fisik

Peningkatan Sarana Prasarana
Role sharing pendanaan peningkatan sarana prasarana pendidikan dasar pada tahun 2006, 2007, 2008 telah dialokasikan anggaran sebesar Rp 851,5 miliar. Hasilnya adalah perbaikan 11.864 ruang kelas. Sedangkan untuk tahun 2010 diproyeksikan perlu dibangun 11.943 ruang kelas baru dan direhabilitasi (Memori DPRD Provinsi  Jawa Barat 2004-2009, 2009:68).
Role sharing adalah pembagian peran dalam membiayai perbaikan sekolah dasar dengan porsi 50% Depdiknas, 30% Pemerintah Provinsi dan 20% Pemerintah Kota dan Kabupaten. Pemerintah pusat melalui Depdiknas menyediakan 50% dana atau Rp 1,419 triliun, Pemerintah Provinsi Jabar menyediakan 30% dana atau Rp 851,631 miliar dan Pemerintah Kota/Kabupaten menyediakan 20% atau Rp 567,754 miliar.
Meskipun demikian sampai tahun 2010 masih banyak lagi sekolah yang belum layak untuk digunakan sehingga puluhan siswa kelas 6 SD Negeri Sukalilah I melaksanakan UASBN dengan perasaan was-was karena atapnya hampir roboh dan disangga dengan bambu sudah satu tahun rusak parah, sehingga dipindahkan ke ruang lain. Jehan mengaku sangat tegang saat mengerjakan soal-soal ujian takut kalau atap tiba-tiba jatuh menimpa (Tribun Jabar  5 Mei 2010).
Di samping itu nampaknya pembangunan SD Negeri di Jawa Barat terkesan  tidak memperhatikan aspek tata ruang sama sekali. Itu terjadi hampir di seluruh kota dan kabupaten termasuk di Kota Bekasi. Sepuluh SD berada di daerah rawan banjir karena berada di sekitar cekungan dan bantaran sungai Kali Bekasi dan Kali Malang serta Bendung Bekasi. Tahun lalu sekolah-sekolah itu diliburkan karena KBM benar-benar tidak bisa dilaksanakan lantaran bangunan sekolah terendam air hingga dua meter. SD Kadupandak I di Cianjur berada hanya 200 meter dari tanggul yang jebol akibat hujan deras. Genangan air setinggi dua meter merendam seluruh bangunan berikut semua isinya termasuk seribu buku di perpustakaan tidak mungkin digunakan lagi, sementara 67 murid diliburkan sementara Contoh lainnya adalah SDN Rancaekek III yang lokasinya terpencil dan berdampingan dengan kuburan desa dengan kondisi rusak.
Untuk itu DPRD pada tahun 2010 memproyeksikan pembangunan 11.943 ruang kelas baru dan direhabilitasi ( Memori DPRD Provinsi  Jawa Barat 2004-2009, 2009:68).  Sayangnya pada tahun 2010 pemerintah provinsi tidak menjalankan lagi program role sharing tersebut dengan pelbagai alasan. Karena itu Gubernur meminta perusahaan-perusahaan besar di Jawa Barat seperti Chevron untuk memberdayakan masyarakat melalui Community Development. Sementara itu Pertamina Areal Kamojang menyediakan dana CSR Rp 3 miliar antara lain untuk penyediaan prasarana pendidikan.
Belakangan ada indikasi bahwa untuk tahun 2010 Gubernur menggulirkan dana Rp 480 milyar untuk perbaikan dan membangun gedung sekolah di Jawa Barat yaitu untuk merehabilitasi 2.328 sekolah, memperbaiki 3000 ruang kelas yang rusak akibat gempa bumi 2009 dan membantu 120 unit sekolah baru. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dalam alokasi anggaran pendidikan sangat situasional,  elastis, relatif dan longgar serta menunjukkan kuatnya diskresi Gubernur dalam implementasinya .

Tabel 4.6 Jumlah SD dan SMP se-Jawa Barat
SD
Jumlah
SMP
Jumlah
Jumlah SD
17.767
Jumlah SMP
2.943
Siswa Perempuan
2.285.209
Siswa Perempuan
668.403
Siswa Laki-laki
2.318.457
Siswa Laki-laki
682.638
Jumlah Siswa
4.603.713

Jumlah Siswa
1.351.041
Rombongan Belajar
149.816
Rombongan
Belajar
98.912
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

Di luar role sharing, pemerintah kota dan kabupaten melakukan perbaikan sarana/prasarana dengan APBD masing-masing. Kota Cimahi membangun gedung SD baru, menambah 15 ruang kelas SMP/MTs, pembangunan 70 ruang kelas, 106 unit kamar mandi/WC/sanitasi air, 108 ruang perpustakaan mengadakan alat praktek untuk 50 SD, dan mengadakan meubeler untuk 6 SD (ILPPD Tahun 2009).
Meski program role sharing perbaikan sekolah telah berjalan tetapi masih saja kekurangan dan kerusakan ruang kelas. Di Kabupaten Bandung Barat saja masih kekurangan 326 ruang kelas untuk SMP yang merata di 15 kecamatan, sedangkan yang perlu direhabilitasi mencapai 600 unit yang memerlukan Rp 95 juta untuk setiap ruang kelas baru.
Di Ciamis 142 SD rusak berat karena gempa. Perbaikan masih diperlukan bagi 94 ruang kelas baru. Anggaran untuk ruang kelas yang mampu menahan getaran gempa berkekuatan 9,0 SR adalah Rp 100 juta per ruang kelas.
Berdasarkan data Disdik Jawa Barat pada 2009, jumlah lulusan SD sebanyak 778.810 siswa, sedangkan daya tampung SMP hanya 651.045 siswa, yang jika diasumsikan ke dalam ruang kelas masih kekurangan sekitar 3.200 ruang kelas. Sementara daya tampung di SMA saat ini hanya 348.806 siswa, padahal siswa yang lulus SMP mencapai 651.045 siswa atau masih kekurangan ruang kelas sebanyak 5.560 unit ruang kelas.
Jalal selaku Wamendiknas mengatakan bahwa total anggaran yang dibutuhkan merehab 178.000 kelas  SD/MI yang dibangun pada masa SD Inpres termasuk yang ada di Jawa Barat adalah Rp 14 triliun dan tahun 2011 baru dipenuhi Rp 9,3 triliun untuk 138 ribu kelas.
Pemberian Bantuan Keuangan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasi anggaran untuk biaya langsung pendidikan (direct cost) dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD Rp 25.000,00; SMP Rp  127.500,00 dan SMA Rp 180.000,00. Total alokasi anggaran BOS adalah Rp 599,99 milyar  untuk 8.570.252 siswa. Tentu saja pengalokasian ini perlu dihargai mengingat APBN hanya memberikan BOS sampai SMP, sedangkan Provinsi Jawa Barat telah mampu memberikan BOS hingga SMA.


Tabel 4.7 Alokasi Dana BOS Provinsi Jawa Barat
Sekolah Penerima BOS
Jumlah Siswa
Besaran Dana
(dalam Rupiah)
SD/SDLB/MI/SalafiahUla
5.360.000
134.000.000.000
SMP/SmPLB/SMPT/MTs/ Salafiah Wustho
2.130.392
271.624.980.000
SMA/SMALB
481.952
86.751.360.000
SMK/MA
597.908
107.623.440.000
Jumlah
8.570.262
599.999.780.000
Sumber : Gubernur Jawa Barat (2010) 

Di samping itu ada pula bantuan keuangan dalam rangka pendidikan gratis terutama bagi masyarakat kurang mampu (yang diimplementasikan antara lain melalui : Bantuan Gubernur untuk Siswa dan Sekolah (BAGUSS), Pengadaan Buku Murah, Beasiswa bagi Siswa dan Mahasiswa Berprestasi dan Tidak Mampu, bantuan buku serta Bantuan Seragam.
Pada tahun 2011 BOS Provinsi untuk SMA yang jumlahnya Rp 180.000/siswa/tahun tidak dianggarkan lagi. Gubernur mengatakan bahwa anggaran dialihkan untuk siswa yang tidak mampu yang akan memperoleh Rp 500.000/siswa/tahun. Alasan Gubernur adalah bahwa ada satu kabupaten yang 73% siswanya putus sekolah di tingkat SMU. Di Jawa Barat, siswa SMP yang melanjutkan ke SMA baru 57% dan 43% putus sekolah. Target Jawa Barat adalah 63% siswa bisa melanjutkan ke SMA.
Bukan hanya di tingkat Pemerintah Provinsi, Pemerintah kota dan kabupaten juga melakukan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan melalui  peningkatan alokasi anggaran pendidikannya. Sebuah langkah maju dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung yang menyediakan anggaran pendidikan gratis.

Tabel 4.8 Anggaran Pendidikan Kota Bandung
Jenis Belanja
%
Anggaran
Belanja Langsung
Belanja Tidak Langsung

Sekolah Gratis SD
SMPS
SMAS
SMPN
SMAN
98,87%
1,83%

663 m
194 m

83
83
88,7
71,7
27,14
                                                                                             1,1 Triliun
Sumber : Radar Bandung, 15 April 2010

Pemerintah Kota Bandung melalui Peraturan Walikota Bandung Nomor 336 Tahun 2010  memberikan  BOS  yang besarnya mencapai Rp 93,405 miliar untuk membiayai Penyelenggaraan Program Sekolah Gratis bagi 857 SD/MI, 52 SMP Negeri, 178 SMP  Swasta, MTs Negeri/Swasta dan SMP Negeri Induk SMP Terbuka, serta 1 SMA Negeri dan 50 SMA/MA/SMK Swasta.
Di sisi lain meski tidak memiliki kemampuan APBD sebesar Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Garut mencanangkan wajar dikdas 12 tahun mulai tahun  2010 dengan memperbanyak RKB baru dan SMA/SMK gratis. Diperkirakan  untuk SMA/SMK gratis diperlukan biaya Rp 75 miliar setahun  (Tribun Jabar, 3 Mei 2010).
Selain bantuan berupa uang ada pula bantuan berupa buku-buku mata pelajaran yang di-UAN-kan dan ada pula  bantuan baju seragam melalui Kegiatan Bantuan Baju Seragam Sekolah SD/MI dan SMP/MTs dari Keluarga Tidak Mampu.

Tunjangan dan Bantuan Keuangan bagi Guru
Pemerintah  mencairkan Rp 700 miliar untuk tunjangan guru bagi 21.000 guru , tunjangan fungsional non-PNS bagi 60.000 guru se-Jawa Barat dan tunjangan bagi guru daerah khusus bagi 1.200 guru di Garut dan Sukabumi. Besaran uang tunjangan guru untuk golongan IV A berkisar Rp 2,3 – 2,5 juta.
Sementara itu Pemerintah Provinsi dalam bentuk Bantuan keuangan Pemprov untuk Guru di daerah terpencil untuk 48 guru non PNS SD/MI SMP/MTs terpencil sebesar Rp 900,00 per orang; 1279 guru PNS terpencil sebesar Rp 1.050 000,00 per orang; 300 guru SMP di perbatasan sebesar Rp 1.000.000,00 per orang; 150 guru SMA di perbatasan Rp 1.000.000,00 per orang; 115 penjaga SD terpencil Rp 1.000.000,00 per orang.
Ada pula tunjangan daerah di setiap kota dan kabupaten bagi yang belum bersertifikasi. Di Indramayu setiap guru PNS dan Swasta memperoleh Rp 150.000 per bulan sejak tahun 2003. Di kota Bandung APBD menganggarkan Rp 136 miliar untuk tunjangan penghasilan guru.
Upaya menyejahterakan Guru juga  dilakukan Pemerintah Provinsi dalam bentuk Bantuan keuangan Pemprov untuk Guru di daerah terpencil untuk 35.661 orang guru Non PNS dan Guru Bantu.
Masalahnya terletak pada berbelit-belitnya birokrasi karena untuk mencairkannya perlu rekomendasi, proposal dan Surat Keputusan Bupati. 145  guru SMA di desa terpencil Kabupaten Bandung Barat  belum menerima tunjangan dari Pemprov tersebut yang besarnya  Rp 1.000.000 per tahun.  Untuk guru di Kabupaten Bandung Barat saja jumlahnya mencapai  total Rp 2 milyar. 

Standarisasi Pendidikan
Salah satu cara meningkatkan kualitas pendidikan versi UNESCO adalah meningkatkan pemanfaatan information and communication technology (ICT) dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah. Di provinsi Jawa Barat, resep ini setidaknya telah dicoba dilaksanakan pada sekolah-sekolah yang masuk kategori Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
Pemerintah Kota Cimahi telah menerapkan pengembangan materi belajar mengajar metode pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi bagi 10 SMP Negri. Sebagaimana diketahui Cimahi telah membangun apa yang dinamakan BITC (Baros Information Technology Creative). Di samping itu 17 SD dan 10 SMP telah diakreditasi (ILPPD 2010).
Sekolah yang memiliki status standar nasional di Kabupaten Bandung Barat meningkat menjadi 12 sekolah dari 140 SMP yang ada, tiga di antaranya RSBI. Solihin, Iin Kepala Bidang SMP Disdikpora KBB menargetkan untuk mengajukan 14 sekolah menjadi SSN.
Di Jawa Barat ada 21 SMP Negeri yang merupakan RSBI yang dirumuskan sebagai SNP plus. Meskipun demikian manajemen sekolah berbasis mutu belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik. Hal tersebut diperkuat oleh Sumantri, Agus yang mengatakan bahwa “the implementation of school quality management in SMPN RSBI was not be maximum implemented, it was showed by only three component of school which have positive contribution, sush as : society supports, teachers and teaching learning process and curriculum  (Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI 2010).
Untuk melakukan standarisasi pendidikan di Provinsi Jawa Barat ada lembaga yang memiliki fungsi melakukan penjaminan mutu yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Sampai tahun 2010 LPMP baru melakukan evaluasi mutu di dua kabupaten dari 26 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Di samping itu Dinas Pendidikan memiliki empat UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) yang terkait, yaitu UPTD Balai Pengembangan Guru, UPTD Balai Pengembangan Bahasa Daerah dan UPTD Balai Pengembangan Teknologi Pendidikan dan UPTD Balai Pelatihan Guru Sekolah Luar Biasa yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2002.
Provinsi Jawa Barat juga memiliki sebuah yayasan yang mengelola pendidikan yaitu Yayasan Darmaloka yang membuat sekolah unggulan untuk anak-anak dari keluarga yang tidak mampu sehingga mereka dapat bersekolah. 

Tingkat Kelulusan Siswa
Dengan standar nilai kelulusan yang meningkat, tingkat kelulusan SMP mengalami penurunan dari 98,94% (2009) menjadi 97,59 (2010), sehingga sebanyak 15.557 siswa harus mengikuti UN ulangan. Di luar dugaan nilai untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia banyak yang buruk meski lebih baik dari Matematika.
Hasil UN SMP dengan kelulusan tertinggi adalah kota Tasikmalaya sebesar 99,54%, dan yang terendah adalah di Kabupaten Karawang yaitu  92,23 %. Sedangkan tingkat kelulusan pada SMP/MTs Terbuka mencapai 98,07%. Untuk seluruh SMP di Jawa Barat, maka SMP Negeri 5 Bandung mencapai nilai kelulusan  tertinggi se-Jawa Barat  yakni 36,34.
Provinsi Jawa Barat termasuk ke dalam empat Provinsi yang hasil Ujian Nasionalnya terbaik secara nasional. Sebagai perbandingan, provinsi yang ketidaklulusannya tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan Bali secara nasional terendah ketidaklulusannya hanya 1,4%. Siswa dinyatakan lulus bila memperoleh nilai rata-rata lebih 5,5 untuk 4 mata ujian yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA. Secara nasional siswa yang tidak lulus UN SMP berjumlah 350.798 orang, sedangkan yang tingkat kelulusannya  0% ada 561 sekolah, bahkan di Jakarta sebagai Ibukota Negara masih ada 6 sekolah yang tingkat kelulusan UN nya 0%. Dengan demikian Provinsi Jawa Barat termasuk dalam kategori provinsi yang memiliki tingkat kelulusan UN sangat baik meskipun yang terbaik adalah Provinsi Bali. 

Tabel 4.9 Jumlah Lulusan SD dan SMP se-Jawa Barat
SD
SMP
Jumlah SD
17.767
Jumlah SMP
2.943
Jumlah siswa
4.603.713
Jumlah siswa
1.351.041
Lulusan
680.313
Lulusan
375.571
Mengulang
75.362
Mengulang
1.962
Putus Sekolah
10.029

Putus Sekolah
9.290
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi  Jawa Barat 

Dengan melaksanakan semua program yang telah dibuat dalam APBD tahun 2009, meningkatkan sarana dan prasarana, meningkatkan kesejahteraan guru, memberikan bantuan keuangan bagi sekolah dan siswa, menjalankan standar pendidikan nasional, melibatkan partisipasi masyarakat maka Provinsi Jawa Barat dapat mencapai tingkat kelulusan UN cukup baik yang berujung pada meningkatnya Indeks Pendidikan dari 80,35 pada tahun 2008 menjadi 80,58 pada tahun 2009 atau meningkat 0,23 poin. 



c.      Pencapaian Target
Pengukuran kinerja pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran pendidikan tentunya dikaitkan dengan kebijakan umum keuangan daerah. Kebijakan belanja daerah sesuai dengan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2009 berpedoman pada prinsip-prinsip penganggaran, belanja daerah disusun dengan pendekatan belanja kinerja (performance budget) yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan dengan memperhatikan prestasi kerja setiap OPD dalam pelaksanaan tugas, pokok dana fungsinya. Tujuan penggunaan anggaran berbasis kinerja adalah untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran serta menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran ke dalam program /kegiatan.
Kebijakan belanja daerah dilakukan dengan pengaturan pola pembelanjaan yang proporsional, efisien dan efektif. Anggaran pendidikan tersebut diarahkan terutama untuk meningkatkan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan merealisasikan “Jabar Putus Jenjang Sekolah”.
Berdasarkan kebijakan tersebut maka untuk mengukur kinerja digunakan tiga prinsip : proporsionalitas, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas. Dilihat dari prinsip proporsionalitas maka  anggaran pendidikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp 1,6 triliun rupiah yang berarti 20% dari APBD adalah proporsional dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku, namun demikian dapat dikatakan tidak proporsional jika dikaitkan dengan prioritas anggaran untuk meningkatkan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan merealisasikan “Jabar Putus Jenjang Sekolah”.
Prinsip efisiensi menurut anggota Komite Perencana Jawa Barat, Patta (Warta Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2008:28) , dilakukan antara lain  dengan melakukan program peningkatan produktivitas, perencanaan dan penganggaran, mengembangkan metode pembangunan berbiaya rendah, mengurangi besaran bunga pinjaman lokal, menyeleksi program pembangunan, mempertimbangkan keekonomisan skala dalam penyediaan pelayanan serta mempromosikan metode cost-saving dengan cara bekerja sama dengan kontraktor swasta.
Untuk melihat prinsip  efektivitas alokasi anggaran pendidikan, maka terlebih dulu ditentukan indikator yang harus dicapai  yang ditentukan dalam RPJMD kemudian membandingkannya dengan pencapaian kinerja. 

Tabel 4.10 Indikator Kinerja Pembangunan Daerah di Bidang Pendidikan
No.
Indikator Kinerja
Target Midterm
Pencapaian Target
2009
1.       
Angka Rata-rata Lama Sekolah
9-9,5 tahun
7,58 tahun
2.       
Angka Melek Huruf

95-96%
95,60%
Sumber : RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013 dan hasil penelitian

Dengan pencapaian tersebut, indikator-indikator nampaknya tidak dapat dicapai oleh eksekutif. Target Indeks Pembangunan Manusia di Bidang Pendidikan untuk tahun 2009 yang tertuang dalam RKPD adalah sebesar 82,02 poin sedangkan realisasinya 80,58 (BPS 2009), itu berarti target yang telah ditetapkan tidak tercapai. Salah satu indikator yang menentukan IPM bidang pendidikan adalah Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang mencapai 7,58 tahun atau rata-rata kelas satu SLTP. Pencapaian tersebut tidak berjalan seiring dengan yang ditargetkan Gubernur bahwa wajar dikdas Sembilan tahun akan tercapai selambat-lambatnya pada tahun 2010, sementara target wajib belajar 12 tahun akan dicapai tahun 2013. Melihat kenyataan seperti itu DPRD memberikan kritiknya secara tajam dan mengatakan bahwa “jauh panggang dari api” (Ketua DPRD dalam Catatan Strategis DPRD tanggal 22 April 2010).
Pencapaian IPM bidang pendidikan tersebut mempengaruhi pencapaian IPM secara keseluruhan. Target IPM tahun 2009 adalah 75,91 hanya dapat direalisasi 71,50 poin. Kalangan DPRD menyatakan bahwa dengan tidak tercapainya target tersebut menunjukkan kinerja aparatur pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan lamban dalam menjalankan urusan pemerintah daerah. Gubernur dianggap “tidak mampu mengerahkan serta mengarahkan segenap aparatur pemerintah supaya fokus dalam pencapaian target tersebut, termasuk di dalamnya tidak mampu mengkoordinasikannya dengan Kabupaten/Kota”.
Kritik DPRD tersebut didasarkan pada argumentasi berikut ini : rawan drop out siswa SD dan SMP yang tinggi; jumlah guru yang layak masih belum memadai dan belum merata penyebarannya; sertifikasi guru ternyata belum memberikan hasil yang optimal; alokasi anggaran pendidikan 20% belum mampu memacu kenaikan indeks pendidikan. “Berbagai program pendidikan yang dilaksanakan ternyata belum mencapai hasil maksimal seperti pelaksanaan BOS” karena sistem yang dilaksanakan menyebabkan penerimaan dana jadi terlambat; program kegiatan sekolah gratis belum dilaksanakan secara meluas oleh masyarakat; kegiatan revitalisasi sistem informasi kemajuan berbasis GIS yang diharapkan mampu meningkatkan manajemen pelayanan pendidikan ternyata gagal karena perencanaan yang tidak matang; anggaran untuk pengadaan buku yang dialokasikan sebesar Rp 275 miliar tidak berjalan sebagaimana harusnya terbukti jumlah buku tidak sesuai kebutuhan sekolah atau bahkan belum menerima sama sekali, di sisi lain buku yang didistribusikan sama dengan buku yang disediakan Kemendiknas sehingga terkesan pengelolaannya tidak baik.
Sementara Kepala Dinas Pendidikan  memberikan tanggapan yang sejalan dengan kritik DPRD karena diakuinya bahwa  fasilitas belajar-mengajar seperti alat peraga dan buku-buku teks yang sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) masih belum memadai..
Untuk melihat efektivitas implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dalam meningkatkan mutu, maka dampak kebijakan tersebut dalam perlu diketahui.