Selasa, 20 Desember 2016

Belanja Pembangunan Bidang Pendidikan






Belanja untuk bidang pendidikan di Provinsi Jawa Barat sejauh yang dapat diamati di lapangan berasal dari dua sumber : pemerintah dan non pemerintah. Sumber pemerintah terdiri dari dari APBN dan APBD. Sumber non pemerintah terdiri dari bantuan luar negri (hibah), swasta (private sector)  dan sektor domestik (keluarga). Studi alokasi ini hanya membahas sumber pemerintah baik itu APBN maupun APBD Provinsi.

1). Belanja yang Bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat

Belanja yang dikeluarkan untuk  bidang pendidikan  terdiri dari  Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang dirinci dalam tiga kelompok yaitu belanja pegawai, barang dan jasa serta belanja modal. Belanja Tidak Langsung  adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari delapan kelompok yaitu : (1) belanja pegawai; (2) belanja bunga; (3) belanja subsidi; (4) belanja hibah; (5) belanja bantuan sosial; (6) belanja bagi hasil kepada kabupaten/kota dan Pemerintahan Desa; (7) belanja bantuan keuangan kepada kabupaten/kota dan Pemerintah Desa; dan (8) belanja tidak terduga.
Dari delapan kelompok belanja tidak langsung, beberapa perlu dijelaskan khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan : Belanja pegawai merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada PNS yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Belanja sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan atau jasa kepada pemerintah daerah dan kelompok masyarakat perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja bagi hasil kepada Kabupatan/Kota digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentunan perundang-undangan. Belanja bagi hasil dilaksanakan secara proporsional guna memperkuat kapasitas fiskal Kabupaten/Kota dalam melaksanakan otonomi daerah. Belanja bantuan keuangan kepada Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa yang digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus. Alokasi terbagi ke dalam tiga bagian :  dana pemerataan, dana proporsional dan dana penyeimbang.
Dana pemerataan dialokasikan sama untuk setiap Kabupaten/Kota. Dana proporsional dihitung berdasarkan indeks Kabupaten/Kota. Dana penyeimbang ditentukan berdasarkan variabel kuantitatif seperti ibu kota Provinsi, Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan Provinsi lain serta Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan even khusus yang berskala regional atau nasional. Kriterianya adalah kegiatan tersebut mendukung secara signifikan upaya peningkatan IPM Jawa Barat salah satunya adalah peningkatan nilai indeks pendidikan (RLS dan AMH).
Alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2009 adalah sebesar 20% dari belanja daerah pada APBD 2009. Belanja daerah besarnya Rp 8.262.578.445.826,00 atau Rp 8,262 triliun lebih. Dengan demikian anggaran pendidikan pada tahun 2009 dialokasikan sebesar Rp 1.628.678.428.263,00 atau Rp 1,628 triliun lebih. Anggaran sebesar itu secara garis besar dibagi dengan komposisi sebagai berikut.

Tabel 4.3 Alokasi Anggaran Pendidikan Tahun 2009

Anggaran
Alokasi
Jumlah Alokasi
Total Jumlah Alokasi
Anggaran Pendidikan
(20% Belanja Daerah)


1.628.678.428.263,00
(100%)
(1)Belanja Langsung & Bantuan pada Disdik
a.Belanja Langsung
b.Bantuan




472.937.177.500,00

977.257.112.500,00
1.450.194.290.000,00
(89,04 %)

(2)Belanja Tidak Langsung
a.Gaji PNS Dinas Pendidikan dan Gaji /Tunjangan Guru PLB
b.Insentif Guru Madrasah (Pendidikan Keagamaan)



168.759.675.263,00





12.108.053.000,00
178.484.138.263,00
(10,96%)

Sumber : Hasil Penelitian (2010).

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa 89,04% anggaran pendidikan dialokasikan untuk Belanja Langsung dan Bantuan sedangkan 10,96% dialokasikan untuk Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung dan Bantuan seluruhnya berjumlah Rp 1,450 triliun lebih, dibagi ke dalam Belanja Langsung  sebesar Rp 472,937 miliar lebih dan Bantuan sebesar Rp 977,257 miliar lebih. Sedangkan Belanja Tidak Langsung seluruhnya berjumlah Rp 178,484 miliar lebih digunakan untuk Gaji PNS Dinas Pendidikan dan Gaji /Tunjangan Guru Pendidilan Luar Biasa sebesar Rp 168,759 miliar lebih dan Insentif Guru Madrasah Diniyah (Pendidikan Keagamaan) sebesar Rp 12,108 miliar lebih.
Belanja Langsung adalah untuk membiayai program dan kegiatan termasuk sumbangan buku pelajaran, sedangkan Bantuan adalah  berupa uang yang diberikan untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) mendampingi BOS yang berasal dari APBN, bantuan untuk seragam serta beasiswa. Belanja Langsung tidak hanya untuk membiayai program dan kegiatan pendidikan yang ditangani oleh Disdik tetapi juga ada juga di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang lain seperti Disbudpar, Dinas Pertanian, Dinas KUKM, Dinas Naker serta Badiklatda yaitu untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat di luar persekolahan.
Dari anggaran Rp 1,6 triliun tersebut belanja yang dikelola Dinas Pendidikan hanya sekitar Rp 507 miliar saja yang realisasinya adalah sebagai berikut

Tabel 4.4 Realisasi Anggaran Tahun 2009 Dinas Pendidikan
Nomor
Belanja
Realisasi
1
Belanja Tidak Langsung
   Belanja Pegawai              149.097.121.567,00
149.097.121.567,00
2
Belanja Langsung
   Belanja Pegawai                36.241.202.330,00
  Belanja Barang dan Jasa  306.303.638.639,00
   Belanja Modal                   15.726.920.132,00
     
358.271.761.101,00

Jumlah Belanja
507.368.882.668,00
Sumber : Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Tahun 2009

Bila dicermati belanja Bantuan (Rp 977,257 miliar lebih) lebih besar dari Belanja Langsung  (Rp 472,937 miliar lebih). Hal ini terjadi karena otonomi daerah lebih banyak diberikan ke pemerintah kota dan kabupaten, sehingga alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah provinsi lebih banyak untuk membantu pemerintah kota dan kabupaten tersebut. Peran terpenting pemerintah provinsi sebenarnya adalah melakukan koordinasi agar terjadi sinergi di bidang pendidikan sehingga program wajib belajar Sembilan tahun dapat terlaksana dan berjalan sesuai dengan kerangka waktu yang telah ditetapkan, yaitu harus tuntas pada tahun 2010 sebagaimana yang dijanjikan Gubernur.
Belanja Program dan Non Program
Anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat diimplementasikan melalui program dan non program. Dalam program maka program dielaborasi ke dalam program bantuan maupun kegiatan baik yang berada di Dinas Pendidikan maupun di OPD lainnya. Sedangkan yang non program berada dalam wilayah diskresi Gubernur untuk mengeluarkan anggaran yang belum ditentukan programnya.
Program pada bidang pendidikan dasar terdiri dari satu  program dengan sepuluh kegiatan.
Menurut Gubernur, dalam pelaksanaan program ini terdapat beberapa masalah yaitu masih tingginya angka rawan drop out (DO) siswa SD dan SMP yang lokasi rumahnya jauh dari sekolah terutama di pedesaan; persebaran Guru yang belum merata dan kurangnya jumlah Guru. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah memperluas kesempatan pada masyarakat untuk memperoleh kesempatan belajar melalui pelaksanaan double shift, revitalisasi rehabilitasi dan refungsionalisasi gedung; pemberian beasiswa; pemerataan dan pengangkatan Guru baru; peningkatan kesejahteraan Guru; serta kampanye pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya wajib belajar pendidikan dasar.
Dengan kenyataan seperti yang dikatakan Gubernur tersebut Saleh , Nawafie (Sekretaris Pansus LKPJ Gubernur Jawa Barat 2009) meragukan  janji Gubernur bahwa wajardikdas 9 tahun secara gratis selambat-lambatnya 2 tahun masa jabatan akan dapat direalisasikan. Lebih jauh Saleh mengatakan bahwa tingginya rawan drop out berkaitan dengan angka penduduk pra sejahtera, sehingga berada di luar program-program bidang pendidikan. Pernyataan tersebut bisa diartikan bahwa masalah pendidikan berkaitan dengan masalah kesejahteraan penduduk, sehingga penanganan masalah pendidikan harus integral dengan sektor-sektor lainnya.
Dalam konteks otonomi daerah (desentralisasi), pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat memberikan muatan lokal bahasa daerah  sebagai pembinaan kebudayaan daerah melalui jalur persekolahan. Hal tersebut mengacu pada Perda-perda  Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah; Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Kesenian, dan Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum.
Program pada  pendidikan kebudayaan daerah terdiri dari satu  program dengan Sembilan  kegiatan dan 54 hasil kegiatan.

Selain mengalokasikan anggaran ke dalam bentuk program , Gubernur Jawa Barat telah memberikan bantuan keuangan ke-15 sanggar seni di Jawa Barat. Salah satunya diberikan pada AWI (Angklung Web Institute) sehingga dapat mementaskan angklung dan musik bambu  di teater terbuka Esplenade Singapura akhir tahun 2009, yang merupakan ajang bagi siswa untuk menunjukkan kreasi dan apresiasinya terhadap kebudayaan daerah.
Kusnandar, seorang pengamat budaya Cirebon yang menjadi informan (gatekeeper) mengatakan bahwa kendala utama pengajaran bahasa adalah guru yang kurang atau tidak kompeten, di samping Kepala Sekolah yang tidak bisa menjadi manajer yang mengetahui kebutuhan siswa serta tidak memiliki strategi pengajaran. Kebijakan bahasa daerah sebagai muatan lokal masih dilaksanakan seadanya sehingga terkesan “tidak mempunyai targetan apa-apa”. Dikatakannya pula bahwa kurikulumnya cukup baik tetapi kendalanya adalah pada implementasi anggaran yang tidak jelas, misalnya dalam pencetakan buku bahasa daerah yang dibagikan ke para guru. Diharapkan pengajaran bahasa “tidak hanya menjadi industri untuk meraup rupiah”
Setia, Beni, (Pikiran Rakyat, November 2009), menyatakan bahwa  “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”. Pernyataan itu menunjukkan perlunya pendidikan dasar memberikan muatan lokal bahasa daerah sebagai media mengaktualisasikan jati diri.
Persoalan kegamangan yang berkaitan dengan jatidiri diungkap pula oleh Paskarina, Carolina seorang akademisi yang mengatakan bahwa Ki Sunda “termajinalisasi di rumahnya sendiri”.
Beberapa permasalahan yang muncul dari hasil pengamatan  adalah kecenderungan makin melemahnya penggunaan bahasa daerah; semakin menurunnya tingkat apresiasi budaya daerah; menurunnya riset-riset nilai-nilai budaya daerah oleh akademisi dan praktisi kebudayaan; kurang terpeliharanya beberapa dokumen sejarah, artefak-artefak dan petilasan masa lampau; kurangnya pemahaman dan penghayatan sebagian besar masyarakat khususnya para pelajar terhadap makna filosofi dan nilai yang terkandung dalam budaya lokal serta kurangnya respon dan apresiasi masyarakat terhadap kegiatan yang bernuansa budaya lokal.
Untuk mengatasi persoalan tersebut Gubernur berpandangan diperlukan upaya peningkatan frekuensi kegiatan apresiasi bahasa dan sastra daerah pada generasi muda;  peningkatan pembinaan terhadap budaya daerah dalam rangka menetralisir nilai-nilai yang kurang relevan dengan kepribadian masyarakat Jawa Barat melalui pembinaan budaya yang berkelanjutan; peningkatan upaya inventarisasi dan dokumentasi terhadap naskah kuna, dokumen sejarah dan benda-benda tinggalan sejarah dan budaya; peningkatan apresiasi terhadap koleksi dan benda-benda museum kepada generasi muda melalui pameran permuseuman; peningkatan kegiatan /event kesenian dan kebudayaan di sekolah-sekolah, kurikulum yang berbasis budaya lokal harus diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan sekolah; perlu adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menyinergikan pemerintah dengan stakeholder kebudayaan dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah.

2). Belanja yang Berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pemerintah Provinsi memperoleh alokasi anggaran pembangunan yang berasal dari APBN yang dikelola pemanfaatannya oleh Dinas Pendidikan.  Komponen anggaran yang terbesar diberikan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) yaitu sebesar Rp 2,843 triliun  dan Peningkatan Mutu dan Profesionalisme Guru Rp 1,173 triliun. Besarnya anggaran tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menutaskan wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu para Guru. Besarnya anggaran yang berasal dari APBN dapat dilihat pada tabel berikut.










Tabel 4.5 Alokasi Anggaran Pendidikan yang Berasal dari APBN

Nama Kegiatan
Alokasi (Rp)
Realisasi (%)
1

2

3

4

5

6

7

8

9


10

11


12
Penyelenggaraan Effisiensi Perencaaan Pendidikan
Perencanaan dan Pengendalian Mandikdasmen
Perluasan dan Peningkatan Mutu TK dan SD
Perluasan dan Peningkatan Mutu SMP
Perluasan dan Peningkatan Mutu SMA
Perencanaan dan Peningkatan Mutu dan Evaluasi SMK
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Peningkatan Mutu dan Profesionalisme Guru
Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Penyelenggaraan PAUD dan PAUD Rintisan
Penyelenggaraan Paket A Setara SD dan Paket B Setara SMP
Penyelenggaran Pendidikan Non Formal
190.000.000

1.553.708.000

63.739.058.000

99.164.177.000

108.248.508.000

112.260.950.000

2.843.031.639.000

1.173.530.245.000

10.320.135.000


13.538.115.000

37.171.278.000


80.776.163.000
94,07

88,34

99,92

94,71

99,71

99,07

99,46

99,10

98.90


95,75

95,56


98.46






Jumlah
4.534.523.976.000
99,20
Sumber : Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2009

Dana untuk BOS merupakan dana yang terbesar yang berasal dari APBN, karena mencapai lebih dari Rp 2,8 triliun. Menurut Suparman, Asisten III Pemerintah Provinsi Jawa Barat, proses pencairan BOS Pusat “bisa langsung di transfer ke sekolah” (Galamedia, 16 April 2010). Seorang pengurus sebuah yayasan pendidikan mengatakan bahwa penggunaan BOS di sekolah ini rawan dengan pelbagai permasalahan. Meskipun tidak secara eksplisit dikatakan tapi dapat disimpulkan bahwa ada penggunaan dana yang tidak pada tempatnya yang jumlahnya bisa mencapai 10 hingga 30%.


Tidak ada komentar: