Besaran
anggaran pendidikan yang dapat dimanfaatkan setidaknya harus melalui dua
tahapan terlebih dahulu, yaitu
penganggaran dan penetapan dalam peraturan daerah (legislasi). Pertama alokasi makro di mana dari besaran
APBD ditentukan terlebih dahulu alokasi
untuk bidang pendidikan secara umum kemudian
anggaran untuk bidang pendidikan itu dialokasikan ke dalam program dan
kegiatan berdasarkan arah kebijakan dan prioritas anggaran pendidikan yang
telah disepakati antara eksekutif dan legislatif. Setelah anggaran dialokasikan
dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah barulah dapat dimanfaatkan sebagai
belanja daerah (government expenditure)
disertai pengawasan yang terus menerus dari DPRD maupun lembaga lainnya. Proses
tersebut adalah sebuah kesatuan dalam fungsi budgeting-legislation-controlling
(pengganggaran-legislasi-pengawasan) yang dimiliki lembaga legislatif vis a vis (berhadapan dengan) Pemerintah
Daerah.
Proses Alokasi Anggaran Pendidikan
Proses
alokasi anggaran pendidikan meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan dan
penetapan.
Perencanaan dan Penyusunan
Perencanaan
anggaran pendidikan setiap tahunnya dimulai dari adanya RKP (Rencana Kerja
Pembangunan) yang menjadi acuan dalam penyusunan RAPBD (Rencana Anggaran dan
Pendapatan Belanja Daerah). RAPBD disusun oleh eksekutif melalui Tim Penyusun
Anggaran Daerah (TAPD) yang meng-hire
lembaga konsultan dari Perguruan Tinggi. Input dari RAPBD berasal dari
pemerintah daerah, masyarakat—termasuk di dalamnya dunia usaha dan lembaga
legislatif yang secara formal dilembagakan dalam Musrenbang (Musyawarah
Perencaan Pembangunan) yang dikoordinasikan oleh Bappeda (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah). Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengajukan usulan
anggaran pendidikan adalah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Usulan
juga datang dari Biro yang ada di
Sekretariat Daerah dan OPD lainnya.
Pembahasan
dan Penetapan
Alokasi
anggaran pendidikan merupakan bagian dari rencana anggaran belanja pendidikan
yang tertuang dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
Jawa Barat. Penelitian ini menelusuri proses pengalokasian anggaran yang
panjang dan bersifat politis karena meniscayakan proses politik antara
lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif.
Rancangan
RAPBD diajukan Gubernur pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang akan
memberikan penilaian apakah rancangan RAPBD sudah dapat dibahas lebih lanjut.
Penilaian ini menjadi titik awal proses alokasi anggaran pendidikan di Provinsi
Jawa Barat yang merupakan suatu proses politik yang menjadi tempat untuk
mencari konsensus antara eksekutif dan legislatif. Alokasi anggaran pendidikan
kemudian melalui tahap-tahap sebagai
berikut :
Pertama,
Gubernur menyampaikan KUA dan PPAS untuk memperoleh persetujuan DPRD. Setelah
kesepakatan telah dicapai maka proses menuju tahap berikutnya.
Kedua, Gubernur
menyampaikan Nota Pengantar RAPBD beserta RAPBD dalam Rapat Paripurna DPRD.
Ketiga,
Komisi-komisi yang ada di DPRD melakukan pembahasan internal dalam rapat komisi
maupun rapat kerja dengan OPD mitra kerjanya untuk kemudian membuat nota
komisi. Komisi yang berkaitan dengan pendidikan adalah Komisi E sehingga komisi
inilah yang melakukan pembahasan intensif dengan Dinas Pendidikan (Disdik) dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Nota komisi melengkapi dan
menyempurnakan RAPBD dengan melakukan upaya agar OPD fokus pada bidang tugasnya
meningkatkan kinerja di bidang pendidikan dan kebudayaan. Program, proyek
maupun anggaran dalam RAPBD ada yang dihapus, diperbaiki, dikurangi, ditambah
atau diusulkan. Nota ini kemudian dikirim ke Pimpinan DPRD dan Badan Anggaran
(Bangar) DPRD.
Pada
saat yang sama Fraksi-fraksi yang merupakan verslengte
(kepanjangan tangan) Partai Politik juga melakukan pembahasan di fraksi
masing-masing. Jika komisi membahas dari sudut politis-administratif, maka
fraksi membahas dari sudut politis-ideologis. Pembahasan di fraksi diwarnai
kepentingan politik yang secara garis besar terbagi dalam dua sikap : koalisi
atau oposisi. Partai yang berkoalisi dengan Gubernur cenderung mendukung dan
memperkuat RAPBD yang diajukan eksekutif, sebaliknya partai yang beroposisi
mengkritisi dan merumuskan alternatif program, proyek dan besaran anggaran
pendidikan. Fraksi pun membuat pandangan umum fraksi yang menjadi acuan dalam
pengalokasian anggaran di Bangar khusus bagi angota yang berasal dari fraksi
tersebut.
Pada
rapat komisi dan fraksi, diundang satu dua orang ahli atau pakar untuk
memberikan pandangan mengenai topik yang dibahas, mengingat para anggota DPRD
berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi yang pada umumnya
memiliki pemahaman yang terbatas terhadap
substansi pendidikan .
Keempat,
fraksi-fraksi di DPRD yaitu Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG), Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDI Perjuangan), Fraksi Partai Demokrat
(F-PD), Fraksi Partai Keadian Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (F-PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Partai
Amanat Nasional (F-PAN) menyampaikan pemandangan umum fraksi dalam bentuk
pidato tertulis yang dibacakan pada rapat paripurna DPRD di mana Gubernur,
Wakil Gubernur, Instansi Vertikal, media massa dan masyarakat hadir
mendengarkan.
Kelima,
Gubernur menyampaikan Nota Jawaban terhadap Pemandangan Umum Fraks-Fraksi, pun
dalam suatu Rapat Paripurna. Nota Jawaban Gubernur dibacakan bergantian dengan
Wakil Gubernur dan memakan waktu berjam-jam karena harus memberikan tanggapan,
jawaban maupun sanggahan terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. Setelah
jawaban diberikan, DPRD memutuskan bisa menerima jawaban tersebut sehingga
kemudian mereka membentuk Panitia Khusus untuk membahas materi RAPBD tersebut.
Keenam,
panitia khusus yang telah dibentuk DPRD membahas RAPBD dengan prosedur sebagai
berikut : (1) Pansus menetapkan struktur pimpinan pansus yang terdiri dari
ketua, wakil ketua dan sekretaris. (2) Pansus
membuat jadwal pembahasan internal dan eksternal. Internal berupa pendalaman
materi dan mendengar pandangan pakar; dan eksternal berupa rapat kerja dengan
OPD maupun rapat dengar pendapat dengan masyarakat. (3) Dalam rapat pansus dengan OPD, terjadi
pembicaraan dan perdebatan mengenai program, proyek dan pagu anggaran
pendidikan dan kebudayaan. Para angota pansus bertindak ganda sebagai anggota
fraksi yang memperjuangkan platform
partainya serta daerah pemilihannya dan sebagai anggota komisi yang cenderung
membela mitra kerjanya. Kepala Disdik memberikan argumentasi untuk meyakinkan
dengan rasionalitas teknis dan politis agar anggaran yang diajukan bisa
dialokasikan. Distribusi sumber daya akan sangat ditentukan dari kepiawaian
eksekutif dan legislatif dalam meyakinkan para anggota pansus yang kadangkala
harus disertai lobby baik di dalam
maupun luar gedung DPRD. Pandangan pakar dan aspirasi masyarakat yang masuk
menjadi variable yang juga diperhitungkan dalam pengalokasian anggaran
pendidikan. (4) Rapat pansus
ditindaklanjuti dengan kunjungan kerja ke daerah untuk melihat realitas
lapangan dan mendengar apakah anggaran yang diajukan eksekutif benar-benar
merupakan kebutuhan masyarakat atau hanya sekedar proyek pembangunan belaka.
Sayangnya masyarakat jarang sekali memanfaatkan peluang ini. (5) Rapat pansus
membuat kesimpulan dan rekomendasi dalam bentuk laporan pansus.
Dari
pengamatan lapangan pada tahap ini nampak bahwa pengalokasian anggaran
pendidikan mengacu pada tiga pendekatan
yaitu pendekatan normatif pendekatan
politik dan pendekatan teknis. Dalam pendekatan
normatif alokasi anggaran harus
mengacu pada peraturan perundang-undangan dan dokumen perencanaan mulai dari
perencanan pembangunan nasional dan daerah jangka panjang, menengah, rencana
makro pendidikan serta rencana strategis OPD
(Organisasi Perangkat Daerah) dan Rencana Kerja Pembangunan tahunan.
Selain itu alokasi anggaran dititikberatkan pada kesesuaian antara Kebijakan
Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS )dengan
program kerja yang diusulkan.Dalam pendekatan
politik maka pengalokasian anggaran harus mampu mengakomodasi kepentingan
politik dari pelbagai kelompok baik partai maupun masyarakat luas. Pada pendekatan teknis pengalokasian anggaran
mempertimbangkan mengenai realitas yang dihadapi baik dari ketersediaan sumber
daya manusia untuk pelaksanaannya maupun sumber daya keuangan yang tersedia,
sehingga menuntut administrasi pemerintahan yang baik.
Ketujuh,
Laporan Pansus dibacakan dalam rapat paripurna dan kemudian ditanggapi oleh
fraksi dengan Pendapat Akhir Fraksi-fraksi yang intinya menyetujui RAPBD yang
diajukan eksekutif dengan pelbagai catatan. Gubernur kemudian memberikan
sambutan dan apresiasi. Pimpinan DPRD menandatangani dokumen RAPBD bersama
Gubernur. Persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah (Gubernur) dilakukan paling
lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Tapi tenggat waktu ini
seringkali tidak dapat dipenuhi karena keterlambatan dari eksekutif
menyampaikan RAPBD dan juga berlarut-larutnya pembahasan di DPRD.
Kedelapan, RAPBD yang
ditetapkan DPRD dan Gubernur dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri untuk
memperoleh pengesahan. “Apabila Mendagri menyatakan Raperda APBD Provinsi dan
penjabarannya sudah sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan maka
RAPBD menjadi Perda APBD dan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD yang
selambat-lambatnya ditetapkan tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya”
demikian menurut Pimpinan Harian Panitia Anggaran Tahun 2005-2009.
Proses penyusunan dan
pengalokasian anggaran untuk pendidikan masih bersifat “executive heavy”
padahal fungsi anggaran adalah fungsi paling pokok dan substansial yang
dimiliki oleh lembaga legislative sebagai pembuat peraturan perundang-undangan
di daerah sesuai dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda) termasuk di
dalamnya anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kemampuan DPRD nampaknya baru
sebatas mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, selebihnya merupakan
wilayah yang dikerjakan oleh eksekutif. Kelemahan mendasar yang menyebabkan hal
itu bisa terjadi adalah karena heterogenitas anggota DPRD baik dari asal-usul
kepartaian maupun kapasitas pengetahuannya mengenai pendidikan khususnya
pendidikan dasar. Dari 100 orang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat periode
2004-2009 hanya ada tiga orang berlatarbelakang sarjana pendidikan dan satu
orang berlatar belakang magister
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar