Senin, 19 Desember 2016

Proses Alokasi Anggaran Pendidikan


  
Besaran anggaran pendidikan yang dapat dimanfaatkan setidaknya harus melalui dua tahapan  terlebih dahulu, yaitu penganggaran dan penetapan dalam peraturan daerah (legislasi).  Pertama alokasi makro di mana dari besaran APBD ditentukan terlebih dahulu  alokasi untuk bidang pendidikan secara umum kemudian  anggaran untuk bidang pendidikan itu dialokasikan ke dalam program dan kegiatan berdasarkan arah kebijakan dan prioritas anggaran pendidikan yang telah disepakati antara eksekutif dan legislatif. Setelah anggaran dialokasikan dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah barulah dapat dimanfaatkan sebagai belanja daerah (government expenditure) disertai pengawasan yang terus menerus dari DPRD maupun lembaga lainnya. Proses tersebut adalah sebuah kesatuan dalam fungsi budgeting-legislation-controlling (pengganggaran-legislasi-pengawasan) yang dimiliki lembaga legislatif vis a vis (berhadapan dengan) Pemerintah Daerah.

  Proses Alokasi Anggaran Pendidikan
Proses alokasi anggaran pendidikan meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan dan penetapan.
Perencanaan dan Penyusunan
Perencanaan anggaran pendidikan setiap tahunnya dimulai dari adanya RKP (Rencana Kerja Pembangunan) yang menjadi acuan dalam penyusunan RAPBD (Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah). RAPBD disusun oleh eksekutif melalui Tim Penyusun Anggaran Daerah (TAPD) yang meng-hire lembaga konsultan dari Perguruan Tinggi. Input dari RAPBD berasal dari pemerintah daerah, masyarakat—termasuk di dalamnya dunia usaha dan lembaga legislatif yang secara formal dilembagakan dalam Musrenbang (Musyawarah Perencaan Pembangunan) yang dikoordinasikan oleh Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah). Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengajukan usulan anggaran pendidikan adalah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Usulan juga  datang dari Biro yang ada di Sekretariat Daerah dan OPD lainnya.
Pembahasan dan Penetapan
Alokasi anggaran pendidikan merupakan bagian dari rencana anggaran belanja pendidikan yang tertuang dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menelusuri proses pengalokasian anggaran yang panjang dan bersifat politis karena meniscayakan proses politik antara lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif.
Rancangan RAPBD diajukan Gubernur pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang akan memberikan penilaian apakah rancangan RAPBD sudah dapat dibahas lebih lanjut. Penilaian ini menjadi titik awal proses alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat yang merupakan suatu proses politik yang menjadi tempat untuk mencari konsensus antara eksekutif dan legislatif. Alokasi anggaran pendidikan kemudian  melalui tahap-tahap sebagai berikut :
Pertama, Gubernur menyampaikan KUA dan PPAS untuk memperoleh persetujuan DPRD. Setelah kesepakatan telah dicapai maka proses menuju tahap berikutnya.
Kedua, Gubernur menyampaikan Nota Pengantar RAPBD beserta RAPBD dalam Rapat Paripurna DPRD.
Ketiga, Komisi-komisi yang ada di DPRD melakukan pembahasan internal dalam rapat komisi maupun rapat kerja dengan OPD mitra kerjanya untuk kemudian membuat nota komisi. Komisi yang berkaitan dengan pendidikan adalah Komisi E sehingga komisi inilah yang melakukan pembahasan intensif dengan Dinas Pendidikan (Disdik) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Nota komisi melengkapi dan menyempurnakan RAPBD dengan melakukan upaya agar OPD fokus pada bidang tugasnya meningkatkan kinerja di bidang pendidikan dan kebudayaan. Program, proyek maupun anggaran dalam RAPBD ada yang dihapus, diperbaiki, dikurangi, ditambah atau diusulkan. Nota ini kemudian dikirim ke Pimpinan DPRD dan Badan Anggaran (Bangar) DPRD.
Pada saat yang sama Fraksi-fraksi yang merupakan verslengte (kepanjangan tangan) Partai Politik juga melakukan pembahasan di fraksi masing-masing. Jika komisi membahas dari sudut politis-administratif, maka fraksi membahas dari sudut politis-ideologis. Pembahasan di fraksi diwarnai kepentingan politik yang secara garis besar terbagi dalam dua sikap : koalisi atau oposisi. Partai yang berkoalisi dengan Gubernur cenderung mendukung dan memperkuat RAPBD yang diajukan eksekutif, sebaliknya partai yang beroposisi mengkritisi dan merumuskan alternatif program, proyek dan besaran anggaran pendidikan. Fraksi pun membuat pandangan umum fraksi yang menjadi acuan dalam pengalokasian anggaran di Bangar khusus bagi angota yang berasal dari fraksi tersebut.
Pada rapat komisi dan fraksi, diundang satu dua orang ahli atau pakar untuk memberikan pandangan mengenai topik yang dibahas, mengingat para anggota DPRD berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi yang pada umumnya memiliki pemahaman yang terbatas terhadap  substansi pendidikan .
Keempat, fraksi-fraksi di DPRD yaitu Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDI Perjuangan), Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Fraksi Partai Keadian Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) menyampaikan pemandangan umum fraksi dalam bentuk pidato tertulis yang dibacakan pada rapat paripurna DPRD di mana Gubernur, Wakil Gubernur, Instansi Vertikal, media massa dan masyarakat hadir mendengarkan.
Kelima, Gubernur menyampaikan Nota Jawaban terhadap Pemandangan Umum Fraks-Fraksi, pun dalam suatu Rapat Paripurna. Nota Jawaban Gubernur dibacakan bergantian dengan Wakil Gubernur dan memakan waktu berjam-jam karena harus memberikan tanggapan, jawaban maupun sanggahan terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi. Setelah jawaban diberikan, DPRD memutuskan bisa menerima jawaban tersebut sehingga kemudian mereka membentuk Panitia Khusus untuk membahas materi RAPBD tersebut.
Keenam, panitia khusus yang telah dibentuk DPRD membahas RAPBD dengan prosedur sebagai berikut : (1) Pansus menetapkan struktur pimpinan pansus yang terdiri dari ketua, wakil ketua dan sekretaris.  (2) Pansus membuat jadwal pembahasan internal dan eksternal. Internal berupa pendalaman materi dan mendengar pandangan pakar; dan eksternal berupa rapat kerja dengan OPD maupun rapat dengar pendapat dengan masyarakat.  (3) Dalam rapat pansus dengan OPD, terjadi pembicaraan dan perdebatan mengenai program, proyek dan pagu anggaran pendidikan dan kebudayaan. Para angota pansus bertindak ganda sebagai anggota fraksi yang memperjuangkan platform partainya serta daerah pemilihannya dan sebagai anggota komisi yang cenderung membela mitra kerjanya. Kepala Disdik memberikan argumentasi untuk meyakinkan dengan rasionalitas teknis dan politis agar anggaran yang diajukan bisa dialokasikan. Distribusi sumber daya akan sangat ditentukan dari kepiawaian eksekutif dan legislatif dalam meyakinkan para anggota pansus yang kadangkala harus disertai lobby baik di dalam maupun luar gedung DPRD. Pandangan pakar dan aspirasi masyarakat yang masuk menjadi variable yang juga diperhitungkan dalam pengalokasian anggaran pendidikan.  (4) Rapat pansus ditindaklanjuti dengan kunjungan kerja ke daerah untuk melihat realitas lapangan dan mendengar apakah anggaran yang diajukan eksekutif benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat atau hanya sekedar proyek pembangunan belaka. Sayangnya masyarakat jarang sekali memanfaatkan peluang ini. (5) Rapat pansus membuat kesimpulan dan rekomendasi dalam bentuk laporan pansus.
Dari pengamatan lapangan pada tahap ini nampak bahwa pengalokasian anggaran pendidikan mengacu pada tiga  pendekatan yaitu pendekatan normatif  pendekatan politik dan pendekatan teknis. Dalam pendekatan normatif  alokasi anggaran harus mengacu pada peraturan perundang-undangan dan dokumen perencanaan mulai dari perencanan pembangunan nasional dan daerah jangka panjang, menengah, rencana makro pendidikan serta rencana strategis OPD  (Organisasi Perangkat Daerah) dan Rencana Kerja Pembangunan tahunan. Selain itu alokasi anggaran dititikberatkan pada kesesuaian antara Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS )dengan program kerja yang diusulkan.Dalam pendekatan politik maka pengalokasian anggaran harus mampu mengakomodasi kepentingan politik dari pelbagai kelompok baik partai maupun masyarakat luas. Pada pendekatan teknis pengalokasian anggaran mempertimbangkan mengenai realitas yang dihadapi baik dari ketersediaan sumber daya manusia untuk pelaksanaannya maupun sumber daya keuangan yang tersedia, sehingga menuntut administrasi pemerintahan yang baik.
Ketujuh, Laporan Pansus dibacakan dalam rapat paripurna dan kemudian ditanggapi oleh fraksi dengan Pendapat Akhir Fraksi-fraksi yang intinya menyetujui RAPBD yang diajukan eksekutif dengan pelbagai catatan. Gubernur kemudian memberikan sambutan dan apresiasi. Pimpinan DPRD menandatangani dokumen RAPBD bersama Gubernur. Persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah (Gubernur) dilakukan paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Tapi tenggat waktu ini seringkali tidak dapat dipenuhi karena keterlambatan dari eksekutif menyampaikan RAPBD dan juga berlarut-larutnya pembahasan di DPRD.
Kedelapan, RAPBD yang ditetapkan DPRD dan Gubernur dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan. “Apabila Mendagri menyatakan Raperda APBD Provinsi dan penjabarannya sudah sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan maka RAPBD menjadi Perda APBD dan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD yang selambat-lambatnya ditetapkan tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya” demikian menurut Pimpinan Harian Panitia Anggaran Tahun 2005-2009.



 
Proses penyusunan dan pengalokasian anggaran untuk pendidikan masih bersifat “executive heavy” padahal fungsi anggaran adalah fungsi paling pokok dan substansial yang dimiliki oleh lembaga legislative sebagai pembuat peraturan perundang-undangan di daerah sesuai dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda) termasuk di dalamnya anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kemampuan DPRD nampaknya baru sebatas mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, selebihnya merupakan wilayah yang dikerjakan oleh eksekutif. Kelemahan mendasar yang menyebabkan hal itu bisa terjadi adalah karena heterogenitas anggota DPRD baik dari asal-usul kepartaian maupun kapasitas pengetahuannya mengenai pendidikan khususnya pendidikan dasar. Dari 100 orang anggota DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2004-2009 hanya ada tiga orang berlatarbelakang sarjana pendidikan dan satu orang  berlatar belakang magister pendidikan.

Tidak ada komentar: