Senin, 23 November 2009

Pendidikan Non Formal dan Tantangan Global

Analisis persoalan pendidikan non formal dikaitkan dengan tantangan kehidupan di era global

Pada bulan Oktober 1967, di Williamburg, Virginia (AS), diselenggarakan konfrensi internasional tentang Krisis Kependidikan Dunia. Inisiatif datang dari mantan guru sekolah dasar yang kebetulan menjadi presiden AS, Lyndon B.Johnson. Pelaksanaan konferensi diorganisir oleh James A. Perkin, Rektor Universitas Cornell. Berdasarkan kertas kerja dari konferensi yang diikuti oleh 150 pemimpin Negara maju maupun berkembang, Philip H. Coombs menulis buku yang berjudul “The World Educational Crisis, A System Analysys” yang ber tujuan: Pertama, merangkaikan satu kesatuan fakta mendasar dari krisis kependidikan, membuatnya menjadi eksplisit dan menyarankan strategi untuk menghadapinya. Kedua, memberikan suatu metoda dalam memandang pendidikan secara sistematik, tidak terkeping-keping dan terpisah, di mana setiap bagian berinteraksi menghasilkan “indikator” yang menunjukan apakah interaksi berjalan baik atau buruk. Sifat krisis kependidikan dapat dinyatakan dalam kata-kata change (perubahan), adaptation (adaptasi) dan disparity (kesenjangan). Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan disekitarnya. Konsekuensi kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya merupakan esensi dari kependidikan dunia. Meskipun kondisi lokal menyebabkan variasi krisis yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, namun demikian nampak benang merah pada semua bangsa apakah mereka lama atau baru, stabil atau labil, kaya atau miskin. Coombs (1968:3) memberi warning (peringatan):
“It is true that national educational systen have always seemed tied to a life of crisis. Each has periodically known a shortage of everyting except student. It is also true that these systems have usually managed somehow to overcome case, however, differs profoundly from what has been commonplace in the past. This is a world educational crisis more subtle and less graphic than a ‘food crisis’ or a military crisis but no less weighted with dangerous potentialities”.

Beberapa penyebab munculnya krisis adalah: pertama, aspirasi masyarakat terhadap pendidikan yang meningkat tajam, kedua, kelangkaan sumber daya yang akut, yang menjadi kendala bagi sistem pendidikan dalam merespon kebutuhan-kebutuhan baru. Ketiga, inertia (kelembaman) yang melekat pada sistem pendidikan, yang menyebabkan sulitnya adaptasi internal dalam merespon kebutuhan-kebutuhan eksternal, meskipun tidak terkait langsung dengan sumber daya. Keempat, adalah kelembaman dari masyarakat sendiri seperti sikap tradisional, tradisi keagamaan, gengsi dan struktur kelembagaan yang membatasi optimalisasi pendidikan dan tenaga kependidikan dalam mengimbangi pembangunan nasional (Coombs, 1968:4).
Untuk menghadapi krisis, sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional. Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran pendidikan sulit bertambah. Pendidikan memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya insani nasional yang terbaik untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Pendidikan memerlukan prasarana dan sarana, materi pengajaran yang baik dan lebih baik. Di pelbagai tempat, pendidikan memerlukan pula makanan bagi murid yang lapar agar mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas semua itu pendidikan memerlukan hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, yakni gagasan dan keberanian, keputusan, keinginan baru untuk mengetahui kemampuan diri yang diperkuat oleh suatu keinginan untuk berubah dan bereksperimen (Coombs, 1968 : 15).
Berkaitan dengan frasa “sistem pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan bahwa sistem pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe pendidikan formal seperti primer, sekunder, post secondary, umum dan spesialisasi tetapi juga seluruh program dan proses sistematik pendidikan di luar pendidikan formal yaitu yang dikenal dengan pendidikan non formal. Sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun non formal memiliki sejumlah input, yang diproses untuk memperoleh output untuk memenuhi tujuan tertentu.
Mengacu pada sistem pendidikan selanjutnya diungkapkan bahwa pendidikan dengan demikian merupakan suatu proses yang berinteraksi dengan lingkungannya. Output yang ingin dihasilkan dari suatu sistem pendidikan ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki oleh lingkungan atau masyarakat. Manusia yang terdidik hendaknya diperlengkapi untuk melayani masyarakat dan mengurus dirinya sendiri sebagai individu dan anggota masyarakat, pekerja ekonomi, pemimpin dan inovator, warga negara dan warga dunia dan penyumbang kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus mampu meningkatkan basic knowledge (pengetahuan dasar) intellectual and manual skills (keterampilan manual dan intelektual); power of reason critism (daya nalar/kritik); values, attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan motivasi); power of creativity and innovation (daya kreatif dan inovsi); cultural appreciation (apresiasi kebudayaan); sense of social responsibillity (tanggung jawab sosial); dan understanding of the modern world (memahami dunia modern).
Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik (educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148).
Peranan penting pendididkan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik secara dengan sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama. Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah pendidikan non formal dilakukan. Pendidikan non formal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis.
Pendidikan non formal diharapkan dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) :
“Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan non formal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti, yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika yang kita hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain?”.
Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang . Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup (lifelong education) sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang (leisure time). Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.
Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan non formal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143).
Di Indonesia pendidikan non fornal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi globalisasi.
Globalisasi yang disebut sebagai borderless world oleh Ohmae (1995:1) ditandai dengan ciri empat “i”. Pertama, investasi, yakni maraknya pasar modal yang melewati batas wilayah negara. Kedua, informasi, yakni merebaknya industri dan jasa informasi yang telah meninggalkan industri manufaktur dan membawa kita ke dalam dunia dengan tatanan global. Ketiga, industri, yakni bangkitnya banyak perusahaan multinasional yang menggantikan peran-peran pemerintah. Dengan modal dan tenaga kerja yang besar, mereka ibarat gurita yang merambah berbagai daerah di penjuru dunia. Keempat, individu, yakni munculnya individu sebagai konsumen global yang sangat membutuhkan produk yang trendy, berkualitas, tapi murah. Untuk memasuki era seperti itu maka kesiapan SDM merupakan suatu keharusan, dan itu berarti bahwa pendidikan merupakan faktor yang determinan, karena pendidikan menyiapkan manusia agar memiliki good citizenship.
Untuk mengarungi masa depan dengan tantangan global, manusia harus mengembangkan pola-pola perilaku baru. Untuk itu kita semua tanpa perkecualian harus belajar mengenali dan menguasai pola-pola perilaku baru. Kegiatan untuk mengenali dan menguasai pola-pola baru ini para ahli disebut innovative learning. Secara konsepsual hal ini mereka pertentangkan dengan maintenance learning. (Buchori, 1994 : 64).
Konsep maintenance learning terlalu bersifat adaptip, terlalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada secara pasif. Cara belajar ini ternyata tidak mampu menghadapi situasi baru yang terduga sebelumnya, sehingga menghasilkan krisis dan shock (kejutan). Contohnya ketika Amerika Serikat dikejutkan oleh keberhasilan Uni Sovyet meluncurkan Sputnik pada 4 Oktober 1957. Hal ini menyebabkan perubahan paradigma pendidikan AS dengan melaksanakan innovative learning. Semua kelemahan dalam sistem pendidikan mereka dibongkar dan diganti, sampai akhirnya AS dapat mengirim manusia pertama ke bulan.
Konsep innovative learning mengandaikan perlunya cara berfikir menyeluruh (holistik) dan integratif. Cara berfikir seperti itu disebut juga cara berfikir sistematik atau inter-disipliner. Cara berfikir tradisional yang fragmentatif tidak akan mampu mengatasi persoalan yang kompleks. Cara berfikir holistik akan mengarahkan manusia untuk melakukan kerjasama atau aksi bersama. Masa depan yang penuh dengan tantangan hanya bisa dihadapi dengan kemampuan menyusun resolusi bersama dan tindakan bersama (cooperative action).

SUMBER BACAAN :

a. Coombs, Philip H. (1986). The World Educational Crisis, A Systems Analysys. New York: Oxford University Press.
b. Buchori, Mochtar. (1994). Pendidikan Dalam Pembangunan. Jakarta : Tiara Wacana dan IKIP Muhammadiyah.
c. Ohmae, Kinichi. (1995). The End of The Nation State : The Rise of Regional Economies. New York: McKinsey & Company Inc.