Senin, 27 Maret 2017

Faktor Internal dan Eksternal Pendidikan



A.  Faktor Internal dan Eksternal Pendidikan di Provinsi Jawa Barat


Model Manajemen Strategis (Hunger & Wheelen, 2003: 109) mengandaikan adanya  environmental scanning (analisis lingkungan) yang terdiri dari analisis lingkungan eksternal (ALE) dan analisis lingkungan internal (ALI). Dalam menentukan faktor internal dan eksternal pendidikan ini temuan di lapangan dipadukan dengan Rencana  Pembangunan Pendidikan Regional Makro  Pendidikan Jawa Barat Bab 3 yang menyangkut Kekuatan, Kendala, Tantangan dan Peluang Pembangunan Pendidikan. Beberapa pandangan yang relevan dipertahankan dan beberapa yang tidak relevan dihilangkan, sebagian lainnya diubah karena sudah terjadi perubahan  seperti sentralisasi pendidikan yang semakin berkurang dan Undang-undang  Sistem Pendidikan Nasional Nomor  2 Tahun 1989 yang telah diganti dengan Undang-undang  Sistem Pendidikan Nasional  Nomor  20 Tahun 2003, meskipun telah ada wacana untuk melakukan revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tersebut.

1.      Faktor Internal : Potensi (Kekuatan) dan Peluang

a.      Kekuatan

1)      Masyarakat Jawa Barat memiliki falsafah yang melandasi masyarakat Jawa Barat yaitu falsafah silih asuh, silih asih, dan silih asah. Suatu filosofi yang mengajarkan manusia untuk saling mengasuh yang dilandasai sikap saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan (pengalaman), suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi.
2)      Potensi religiusitas masyarakat berkontribusi pada usaha keras dalam mencerdaskan dirinya dan berkompetensi untuk mencapatkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan nilai-nilai agama Islam masyarakat memiliki etos dan semangat tinggi untuk memberantas kebodohan dan setinggi mungkin memasuki jenjang pendidikan.
3)      Adanya arahan pembangunan pendidikan yang jelas baik tingkat nasional maupun tingkat provinsi (RPJPD).
4)      Adanya  pijakan hukum dalam bentuk peraturan daerah yang menaungi pelaksanaan pendidikan di Jawa Barat.

b.       Peluang

1)      Industrialisasi yang terus berlangsung di Indonesia pada era  perdagangan bebas, menuntut peningkatan kualitas pendidikan pada setiap jenjang dan jenis, baik sekolah negeri maupun swasta. Peningkatan kualitas ini meliputi pengetahuan keahlian dan kepribadian peserta didik serta tenaga kepentidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat juga menuntut efektivitas dan efisiensi pelaksanaan sistem serta aktivitas pendidikan, penelitian dan penerapan pengetahuan dan teknologi.
2)      Adanya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan peluang untuk menyusun strategi baru yang lebih akurat (berwawasan masa depan).
3)      Diberlakukannya otonomi daerah merupakan peluang untuk menata sistem pendidikan yang lebih akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan pembangunan di daerah yang berwawasan lingkungan dan budaya setempat.
4)      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi menjadi peluang munculnya model pembelajaran jarak jauh yang berwawasan global.
5)      Tingginya minat dan partisipasi  masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
6)      Banyaknya lembaga pendidikan yang bermutu serta memiliki standar yang baik.
7)      Tersedianya dunia industri dan dunia usaha yang bisa mendukung kegiatan pembangunan pendidikan di Jawa Barat.
8)      Tersedianya sumber daya  (man, money, material) yang mencukupi.

2.            Faktor Eksternal : Kendala dan Tantangan

a.      Kendala

1)   Keterbatasan sarana, ketenagaan dalam penyelenggaraan pendidikan. Di samping itu rendahnya pendapatan perkapita masyarakat, terutama masyarakat miskin yang berada di desa-desa tertinggal. Akibatnya kelompok tersebut secara umum berpendidikan rendah.
2)   Anggapan ketidakpastian perolehan pekerjaan bagi lulusan SLTP dan SLTA dan relatif tingginya tingkat pengangguran terdidik di masyarakat dapat mengurangi semangat dan partisipasi masyarakat dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
3)   Relevansi pendidikan dengan kebutuhan ketenagakerjaan masih rendah sehingga lulusan pendidikan belum siap kerja (baru siap latih) dan menimbulkan masalah pengangguran.
4)   Keadaan geografis dan penyebaran penduduk yang tidak merata, kekurangan jumlah guru pada setiap daerah, khususnya daerah-daerah terpencil, di samping mutu yang rendah serta sarana pendidikan yang terbatas.
5)   Dampak negatif teknologi komunikasi merupakan masalah pendidikan keluarga sehingga perlu keseriusan untuk diantisipasi bagi penyelamatan generasi mendatang.
6)   Masuknya dunia usaha swasta dalam penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada mencari keuntungan semata dapat menjadi kendala bagi peningkatan kualitas lulusan.
7)   Krisis moneter berkepanjangan yang dialami Indonesia menyebabkan meningkatnya angka putus sekolah dan angka pengangguran.

b.      Tantangan

1)      Posisi Jawa Barat yang berdampingan dengan Ibu Kota dan strategis dalam upaya pengembangan kawasan industri menuntut pengembangan berbagai keahlian dan kejuruan yang mampu bersaing secara global disertai minat yang tinggi untuk melanjutkan pendidikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
2)      Kecenderungan umum masyarakat menunjukkan adanya perubahan cara berpikir yang memandang pendidikan sebagai langkah menyiapkan peserta didik secara utuh baik dari aspek pengetahuan, sikap, minat dan ketrampilan secara fungsional bagi kehidupan pribadi, warga Negara dan warga masyarakat. Pendidikan juga harus mampu mengembangkan kebudayaan masyarakat Jawa Barat sebagai perwujudan sasaran manusia Indonesia seutuhnya.
3)      Bahwa sistem pendidikan yang diatur oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 belum mampu memenuhi tuntutan amanah UUD 1945 dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
4)      Kecenderungan umum pemanfaatan media teknologi modern masih rendah, terbatas pada fungsi hiburan atau belum mengarah pada fungsi pendidikan.
5)      Sikap profesional kependidikan yang belum membudaya secara mapan dan merata, baik di kalangan guru maupun para tenaga kependidikan lainnya.

B.     Rasionalitas dan Urgensi Pengembangan Alternatif Model Strategi 

Setelah melihat gambaran kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan atau ancaman yang mungkin ditemui  maka nampaklah rasionalitas dan urgensi pengembangan alternatif model implementasi alokasi anggaran pendidikan, yaitu  bagaimana alternatif model di satu sisi memelihara kekuatan yang dimiliki dan bahkan mengembangkannya dan  menghilangkan atau minimal mengurangi kelemahan; di sisi lain mampu memanfaatkan peluang dan menjawab tantangan dan menghilangkan ancaman.

Jumat, 24 Maret 2017

Pengertian Model




Model merupakan kerangka kerja formal yang mewakili ciri-ciri pokok dari suatu sistem yang kompleks dengan mengambil beberapa hubungan sentral. Model merupakan suatu konstruksi dari suatu konsep yang digunakan sebagai pendekatan untuk memahami suatu realitas. Model merupakan penyederhanaan dari elemen-elemen dasar realitas yang begitu kompleks  atau abstraksi terhadap elemen tersebut terhadap apa yang akan diterapkan (Syafioeddin, 2010:549).
Menurut Sanusi dalam Damin (1998:251), model bukanlah suatu realitas kehidupan karena realitas kehidupan ini tidaklah linear, sementara model merupakan suatu pendekatan untuk memahami atau mendekati realitas. Model dengan demikian merupakan abstrasi RLS (real life system) dan bukanlah RLS yang sebenarnya.
Winardi (2005:147) berpandangan bahwa model atau teori sesungguhnya tidak lain dari suatu kerangka, atau kerangka kerja yang membantu menyederhanakan kompleksitas yang sangat berbelit-belit yang diupayakan untuk dipahami dan diprediksi oleh pihak yang mengontruksinya (2005:147). Tujuan mengonstruksi model adalah untuk memahami kenyataan atau realita dengan jalan mengorganisasi dan menyederhanakan. Model mewakili realita tetapi bukanlah realita itu sendiri. Adanya suatu model akan memudahkan bagi suatu individu atau organisasi untuk melakukan berbagai terobosan-terobosan dalam penyelenggaraan kegiatan pribadi atau organisasi.
Burger (1966) berpendapat bahwa model merupakan hasil dari suatu upaya untuk membuat tiruan kenyataan. Saeed  (1984) berpandangan model haruslah mempunyai titik kontak  (points of contact)  dengan kenyataan (reality) dan perbandingan yang berulangkali dengan dunia nyata (real world).
Lebih lanjut, suatu model harus menggambarkan adanya persepsi atau ide-ide dalam suatu keputusan , adanya gambaran fungsi-fungsi, tujuan-tujuan  proses, adanya proses tingkah laku dan adanya tindakan nyata yang berorientasi pada pangawasan terhadap fungsi-fungsi dalam pelaksanaan model yang efektif. Hal tersebut sesuai dengan kategori model menurut Johnson (Syafioedin, 2009:550) : cognitive models (human concepts); normative models (purposive oriented); descriptive models (behavior oriented); functional models (function  and control oriented). Dengan demikian model harus mengandung aspek kognitif manusia seperti gagasan atau konsep , memiliki norma-norma dan tujuan, dapat menggambarkan orientasi perilaku manusia dan fungsional dalam melakukan pengawasan.
Model adalah studi yang dilakukan dengan menghimpun keunggulan-keunggulan yang diperoleh dan menghindari kelemahan-kelemahan dari model yang diterapkan yaitu implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan berbasis kearifan lokal. Proses model harus dapat mengungkap kemampuan untuk melakukan pemberdayaan satuan pendidikan dan sumber daya lingkungan, serta  mengikutsertakan masyarakat melalui penyusunan, pelaksanaan, pengawasan dalam berbagai kegiatan.
Empat kategori model menurut Johnson (Syafioedin, 2009:550) : cognitive models (human concepts); normative models (purposive oriented); descriptive models (behavior oriented); functional models (function  and control oriented). Dengan demikian model harus mengandung aspek kognitif manusia seperti gagasan atau konsep , memiliki norma-norma dan tujuan, dapat menggambarkan orientasi perilaku manusia dan fungsional dalam melakukan pengawasan.
Rumusan model implementasi anggaran pendidikan memerlukan data tentang posisi pendidikan yang menjadi kewajiban pemerintah provinsi. Data posisi pendidikan tersebut  dianalisis berdasarkan suatu teknik analisis posisi (baik secara internal maupun eksternal) yang memuat gambaran kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan atau ancaman yang mungkin ditemui.

Kamis, 23 Maret 2017

Akuntabilitas Anggaran Pendidikan



Akuntabilitas Anggaran Pendidikan di Jawa Barat


Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 27 ayat (2) mengamanatkan bahwa salah satu satu kewajiban Kepala Daerah adalah memberikan Laporan Pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang dilaksanakan setelah berakhirnya tahun anggaran.
Penyusunan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat.
Prinsipnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden dalam bentuk Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah (LPPD) , meskipun demikian Gubernur wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada DPRD dalam bentuk Laporan Keterangan Pertanggungjawaban  (LKPJ), serta menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui media massa dalam bentuk  Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat (IPPD). IPPD dibuat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik seiring dengan perubahan pemilihan Kepala Daerah yang semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu Kepala Daerah (Pemilu Kada).
Dari pengamatan lapangan  alokasi anggaran pendidikan terlihat mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga prinsip compliance with regulation terpenuhi.  Dilihat dari kesesuaian dengan norma profesionalisme maka alokasi anggaran pendidikan dapat dikatakan telah memenuhi prinsip adherence with norm professionalism karena sejak perencanaan hingga pelaksanaannya menggunakan standar profesionalisme. Selain itu alokasi anggaran pendidikan juga berorientasi pada hasil yang berkualitas sebagaimana nampak sejak visi misi dirumuskan hingga arah kebijakan anggaran semua mengacu pada quality result driven. Dalam menjalankan pengendalian digunakan instrument yang dinamakan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintahan). LAKIP yang dibuat Dinas Pendidikan menggambarkan input, proses, ouput, dan outcomes dari setiap kegiatan di bidang pendidikan. Dengan demikian telah memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas, prinsip fasilitasi dan prinsip pengendalian.
Prinsip akuntabilitas mengandung tiga aspek  yaitu : taat dan sesuai aturan (compliance with regulation); sesuai dengan norma profesionalisme (adherence with norm professionalism); dan berorientasi pada hasil yang berkualitas (quality result driven). Prinsip fasilitasi untuk memastikan dukungan kebijakan keuangan mengikuti kebutuhan program terpilih (money follow program selected policy). Prinsip pengendalian untuk memastikan suksesnya  kegiatan yaitu kualitas implementasi kegiatan dan ketaatan waktu serta output serta ketaatan terhadap aturan dan disiplin anggaran.
Untuk melihat efektivitas implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dalam meningkatkan mutu, analisis berikut diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hal tersebut.

Analisis Keefektifan Biaya

Analisis biaya dan analisis keefektifan biaya merupakan alat bagi pendidik dan administrator, untuk itu diperlukan pemahaman mengenai istilah cost (biaya) dan benefit (manfaat). cost tidak sinonim dengan expenditure (belanja).  Cost berhubungan erat dengan benefit. Benefit adalah  “anything you gain by undertaking a particular course of action” (Coplin& O’Leahy, 1981:129). Cost adalah “anything you must give up in order to obtain those benefits” (1981:129). 
Pemimpin perlu melakukan analisis biaya dan manfaat tangible dan intangible . Arti dari analisis ini harus diinterpretasikan dalam konteksnya. Analisis harus berhubungan dengan konteks spesifik dalam rangka menjawab pertanyaan kunci:  apakah manfaat potensial mengadopsi kebijakan lebih besar dari biaya potensial? Jika jawabannya affirmative maka kebijakan bisa diadopsi. Coplin dan O’Leary  (1981) mengingatkan : ” suatu proyek hanya bisa dilakukan hanya jika manfaat paling sedikit sama dengan biaya”.
Tidak ada kebijakan, bahkan yang low-cost, dapat diadop jika tidak mungkin efektif dan kebijakan eksisting bisa menjadi  terbukti ineffective. Suatu kebijakan efektif adalah yang mengarah pada outcomes yang diniatkan. Analisis keefektifan biaya adalah cara sistematik untuk metode membandingkan alternatif untuk mencapai tujuan yang sama  dengan kerangka keefektifan biaya dan kemanfaatan. Kebijakan yang diinginkan adalah yang biaya lebih rendah untuk mencapai tujuan kebijakan. Ketiadaan analisis keefektifan biaya, membuat para pengambil kebijakan sering membuat kesalahan dalam memilih kebijakan atau program yang lebih tidak mahal. Jika suatu kebijakan tidak efektif, ia akan sangat costly meskipun biayanya rendah.

Efisiensi dan Efektifitas 

Efisiensi

Tabel 1.    Realisasi Input dan Output
Nomor
Komponen
Target
Realisasi
Penilaian
Indikator
1.       
Penyerapan anggaran
Pendidikan
(Inputs)

a.APBN
b. APBD





100%
100%





99,20%
78.40
Efisien
Sebagian besar realisasi output /keluaran sama dengan target output sedangkan realisasi input/masukan sebagai besar lebih kecil daripada target inputnya
2.       

Pelaksanaan Program. Produk barang/jasa
(Outputs)


100%

100%
Sumber : Hasil Penelitian (2010).

Anggaran pendidikan yang berasal dari APBN terserap 92,53%  dan yang berasal dari APBD terserap 78,40% sementara program terlaksana dengan menghasilkan outputs 100% berarti alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan efisien. Tetapi jika ukurannya adalah outcomes yaitu berupa kepuasan masyarakat maka anggaran pendidikan belum efisien. Hal ini diakui Fauzi dan Wahyudi, dua orang anggota Panitia Anggaran yang dimintai pendapatnya mengenai efisinsi anggaran pendidikan.
Pujawirawan, seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten Bandung mengatakan bahwa imbauan “efisiensi sebesar 10%” berdampak buruk bagi pembangunan karena efisiensi diartikan sebagai penghematan atau pemangkasan alokasi anggaran sebesar 10% dan berdampak pada penurunan kualitas program maupun produk. Selain itu tidak jelas digunakan untuk apa hasil dari efisiensi 10% tersebut.
Sementara ketua Pansus LKPJ mengatakan bahwa penyerapan APBD 78,40% menunjukkan kurang baiknya perencanaan dan  kinerja Pemerintah Provinsi di bidang pendidikan. Selain itu juga menjadi sebuah ironi karena di sisi lain Pemerintah seringkali mengeluhkan kurangnya anggaran pembangunan. 

Efektifitas

Untuk keperluan analisis digunakan indikator kinerja kegiatan. Indikator kinerja kegiatan adalah sesuatu yang menunjukkan pencapaian kinerja kegiatan. Indikator kinerja dikelompokkan ke dalam tiga kelompok.
1) Kelompok Indikator Masukan (Inputs), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, teknologi dan sebagainya
2) Kelompok Indikator Keluaran (Outputs), adalah segala sesuatu berupa produk/jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dan program berdasarkan masukan yang digunakan.
3) Kelompok indikator hasil (Outcomes), adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk/jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
Untuk menginterpretasikan pencapaian kinerja diperlakukan penggunaan makna dari nilai yang diperoleh sebagai berikut :

Tabel 2.   Skala Penilaian
Skala Nilai
Kategori Penilaian
≥100
Sangat Baik
80 - 100
Baik
60 - 80
Cukup
40 -  60
Kurang

Sangat kurang

Pada indikator inputs,  realisasi mencapai 92,53 % dari rencana.  Angka ini berasal dari realisasi belanja APBN yang mencapai 99,20%, realisasi belanja Dinas Pendidikan 78,40% dan belanja bantuan yang mencapai 100%. 
 Pada indikator outputs, realisasi mencapai 100% dari rencana karena semua program terlaksana dan menghasilkan produk/jasa (fisik dan non fisik).
Pada indikator outcomes, realisasi diperkirakan mencapai 70% karena  stakeholders –baik para anggota DPRD maupun masyarakat—merasa belum puas dengan pencapaian eksekutif di bidang pendidikan. Hal itu dapat dilihat dari pandangan-pandangan yang telah diuraikan sebelumnya.
Jika ketiga indikator tadi disatukan maka nilai rata-rata yang diperoleh adalah (92,53% + 100% + 70%):3 = 86,84%.  Karena target dari semua indikator adalah 100%, maka pencapaian tersebut berada pada skala nilai 80-100  (baik).
Jika input diasumsikan sebagai cost dan outputs/outcomes adalah benefit kesimpulannya adalah bahwa cost efektif jika dikaitkan dengan ouputs tetapi cost tidak efektif jika dikaitkan dengan outcomes.
Dengan ukuran tersebut maka dapat dibuat penilaian terhadap kinerja makro Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai berikut.

Tabel 3. Kinerja Makro Bidang Pendidikan Dasar
Komponen
Target
2009
%
Capaian
2009
%
Skala Nilai
Penilaian

40 -  60
60 - 80
80 - 100
≥100

APK
SD/MI

SMP/MTs



116,20%

96,15%







Baik


Sangat Baik
Rata-rata pencapaian adalah 98,88 (Baik)
RLS
9  tahun
7,58 tahun



Baik

AMH
95-96%
95,6%



Baik

IP
82,02

80,58




Baik

Sumber : Hasil Penelitian (2011).

Depdiknas (2001:32) berpandangan bahwa efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Apabila target yang direncanakan dapat dicapai dengan maksimal maka suatu proses dapat dikatakan efektif. Mulyasa (2002: 82) berpendapat efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan,ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari anggota. Rinjin dalam Sunu (2009:14) mengemukakan bahwa efektivitas mengindikasikan tingkat kesesuaian antara hasil yang direncanakan dengan hasil yang dicapai dari seluruh kegiatan mulai dari variabel masukan, variabel proses transformasi dan interaksi sampai pada variable hasil yang perlu dikaji akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Dengan indikator yang dikemukan Depdiknas dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat meskipun setiap tahunnya menunjukkan peningkatan capaian target namun capaian tersebut belum sesuai dengan target yang ditentukan sehingga belum menunjukkan seluruh efektivitasnya. Demikian pula jika menggunakan kategori yang dikemukakan Rinjin (Sunu, 2009:14) yang mengemukakan bahwa efektivitas mengindikasikan tingkat kesesuaian antara hasil yang direncanakan dengan hasil yang dicapai dari seluruh kegiatan mulai dari variable masukan, variable proses transformasi dan interaksi sampai pada variable hasil yang perlu dikaji akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan perbaikan. Sebagai contoh, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) baru  mencapai 7,58 tahun atau rata-rata kelas satu SLTP. Pencapaian tersebut tidak berjalan seiring dengan yang ditargetkan Gubernur bahwa wajar dikdas Sembilan tahun akan tercapai selambat-lambatnya pada tahun 2010, sementara target wajib belajar 12 tahun akan dicapai tahun 2013. Sedangkan jika efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional sebagaimana dimaksudkan Mulyasa (2002: 82) maka implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan sudah efektif,  karena terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari anggota. 
Di sisi lain, alokasi  anggaran pendidikan yang besarannya 20% dari APBD Provinsi Jawa Barat hanya terserap sebesar 88,40% yang berarti ada 11,60 yang tidak terserap. Dana yang tidak terserap tersebut dikembalikan ke kas daerah dan menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) dan masuk ke dalam pendapatan murni APBD Tahun 2010. Itu berarti bahwa bahwa persoalan pengelolaan urusan pendidikan bukan semata-mata soal alokasi anggaran melainkan bagaimana membuat perencanaan yang baik agar anggaran yang sudah dialokasikan dapat digunakan untuk mencapai target yang telah ditentukan. Menurut seoarang anggota DPRD dari Komisi E yang membidangi masalah pendidikan, sampai akhir tahun anggaran 2009 berakhir, baru 75% program yang terlaksana.
Pada akhirnya, tidak tercapainya target RPJMD tahun 2009 mengundang munculnya pengajuan hak interpelasi oleh DPRD. Dalam sidang paripurna Senin 31 Mei 2010 penggunaan hak tersebut kandas melalui voting dengan 39 suara mendukung dan 52 suara menolak. 


Gubernur Jawa Barat mengakui bahwa saat ini capaian untuk mendongkrak mutu dan pemerataan pendidikan masih belum memuaskan. Dia memaparkan sejumlah data tentang betapa jumlah ruangan kelas di Jabar saat ini belum memadai sehingga akan menghambat upaya pemerataan pendidikan. Capaian yang kurang maksimal itu tercermin dari belum idealnya angka capaian dari sejumlah indikator yang berkontribusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Jabar. Dalam hal ini, raihan Angka Partisipasi Murid (APM) SD/MI di Jabar baru mencapai angka 95,56 (peringkat 15 se-Indonesia), Angka Partisipasi Kelas (APK) SMP/MTs. mencapai angka 92,40 (peringkat 21), APK SMA/MA/SMK mencapai angka 54,12 (peringkat 31) serta RLS (rata-rata lama sekolah) hanya 7,58 tahun.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dibutuhkan dukungan dari semua pihak. "Harus ada kerja simultan yang didorong dan didukung semua pihak agar masalah pendidikan di Jabar dapat dituntaskan." Gubernur pun menilai target RPJMD terlalu tinggi dan tidak mungkin tercapai walau kerja 24 jam terus menerus “ bahkan kalau malaikat menjadi gubernur pun”.
Pernyataan pesimisme Gubernur ini menimbulkan protes masyarakat dan tidak lama kemudian dicabut melalui media massa. Masyarakat kecewa dengan pernyataan bernada putus asa dari Gubernur mengingat pada awal masa jabatan, Gubernur dan Wakil Gubernur membuat program yang dinamakan dengan “Program Janji Gubernur” di bidang pendidikan yang isinya adalah : (1) pendidikan yang murah dengan anggaran pendidikan 20%; (2) jaminan cagub-cawagub untuk merealisasikan wajardikdas secara gratis selambat-lambatnya 2 tahun masa jabatan; (3) transparansi penyaluran dana bantuan pendidikan; (4) pembebasan SPP dan bantuan buku, perbaikan gedung sekolah, tambahan gaji guru negeri dan swasta, dengan anggaran Rp 200 milyar/tahun; (5) peningkatan kesejahteraan guru dan tenaga sukarela. Semua janji itu akan dilaksanakan melalui : (1) alokasi anggaran pendidikan 20%; (2) pendidikan gratis terutama bagi masyarakat kurang mampu (yang diimplementasikan antara lain melalui : Bantuan Gubernur untuk Siswa dan Sekolah (BAGUSS) , Pengadaan Buku Murah, Beasiswa bagi Siswa dan Mahasiswa Berprestasi dan Tidak Mampu, Bantuan Seragam, SD-SMP Satu Atap.
Untuk   merealisasikan janji-janji tersebut tentu membutuhkan dukungan dari semua pihak, dan yang terpenting adalah dukungan birokrasi pemerintahan dalam bentuk peningkatan kinerja. Untuk  itu diperlukan sumber daya manusia aparatur yang berkualitas.
Ada  persepsi yang berkembang di kalangan pemerintah provinsi maupun masyarakat, bahwa sumber daya manusia aparatur pada pemerintah Provinsi Jawa Barat ditandai dengan masih rendahnya kinerja aparatur karena KKN, rendahnya kualitas SDM aparatur dan rendahnya kesejahteraan PNS, struktur organisasi yang belum dapat memenuhi kebutuhan daerah, kesisteman yang belum mampu menjadi acuan dalam proses administrasi pemerintahan yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dimanfaatkan secara optimal, dan budaya kerja yang belum mendorong peningkatan kinerja aparatur.
Eksekutif berpandangan bahwa penyebab itu semua  adalah : peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron atau belum memiliki kaidah pelaksanaan. Pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) belum dapat dilakukan. Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam setiap alur kegiatan administrasi pemerintahan belum dapat diimplemantasikan. 
Opini-opini yang berkembang dari para pakar adalah bahwa  reformasi birokrasi menginginkan perubahan kultur birokrasi yang mengarah pada profesionalisme, beretika, impersonal, dan taat aturan. Transisi dalam reformasi birokrasi masih mengalami kendala dalam mewujudkan birokrasi yang ideal. Kultur tradisional dan primordial masih mewarnai birokrasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat walaupun dari sisi sarana dan prasarana telah cukup modern, namun dukungan teknologi komunikasi belum dimanfaatkan secara optimal.
Dengan demikian tantangan ke depan adalah menciptakan birokrasi yang modern dan mampu menjalankan fungsinya dalam sistem pemerintahan demokrtatis, yaitu birokrasi yang mampu memformulasikan kebijakan sesuai dengan keinginan politik dan aspirasi masyarakat dan dapat mengimplementasikannya secara bertanggungjawab.
Pengamatan lapangan menunjukkan sepanjang lima tahun terakhir jumlah PNS di lingkungan Pemerintah provinsi Jawa Barat terus mengalami perubahan. Hingga bulan April 2008 jumlah pegawai Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencapai 14.890 orang, dengan komposisi : golongan I sebanyak 536 orang atau 3,60%, golongan II sebanyak 4.202 orang atau 28,22%, golongan III sebanyak 8.429 orang atau 56,61% dan golongan IV sebanyak 1723 orang atau 11,57%. Jumlah PNS tersebut pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 14.691 orang, meskipun pada klasifikasi golongan, eselon dan pendidikan tidak banyak berubah. PNS yang berlatarbelakang pendidikan dasar   masih cukup banyak yaitu SD sebesar 801 orang dan SLTP sebanyak 692 orang. SLTA sebanyak 5.800 orang D2 sebanyak 790 orang, D3 sebanyak 1.127 orang, sarjana S1 sebanyak 4.449 orang, sarjana S2 sebanyak 998 orang dan sarjana S3 sebanyak 19 orang. Adapun PNS yang menduduki jabatan struktural sebanyal 1404 orang terbagi ke dalam Eselon I sebanyak  1 orang, Eselon II sebanyak 61 orang, Eselon III sebanyak 351 orang dan Eselon IV sebanyak 991 orang. Itu berarti bahwa kuantitas PNS belum seimbang dengan kualitasnya.
Upaya Gubernur untuk meningkatkan kualitas  sumber daya aparatur dilakukan dengan dua buah program, yaitu program peningkatan kapasitas aparatur dengan lima kegiatan dan program pembinaan dan pengembangan aparatur dengan 52 kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan kualitas, meningkatkan kemampuan dan kompetensi aparatur.
Dari hasil observasi nampak bahwa dalam pelaksanaannya upaya eksekutif tersebut masih mengalami hambatan seperti kurangnya sosialisasi, kurangnya pemahaman aparatur terhadap peraturan dan kebijakan pemerintah provinsi, kurangnya koordinasi dengan Pemerintah, kurangnya disiplin pegawai, kurang berkembangnya jabatan fungsional, terjadinya gap antara perencanaan dan pelaksanaan, kurangnya sumber daya manusia yang berkualifikasi sesuai kebutuhan organisasi dan kurangnya profesionalisme.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut diperlukan sosialisasi yang komprehensif, koordinasi yang intensif, penegakan disiplin PNS, sosialisasi jabatan fungsional, perencanaan yang didasarkan pada trend, pengembangan sumber daya aparatur sesuai kebutuhan organisasi baik melalui pendidikan gelar dan non gelar serta menerapkan Tambahan Penghasilan PNS (TPP) yang didasarkan pada kinerja/bukti kerja.
Dengan semua catatan itu kinerja pemerintah Provinsi Jawa Barat di bidang pendidikan masih mendapatkan apresiasi pemerintah terutama dari segi akuntabilitas kinerjanya.  Evaluasi Kemenpan tahun  2010 menunjukkan hanya 9 pemerintah provinsi dan lima kabupaten/kota yang akuntabilitas kinerjanya dinilai baik.Sembilan provinsi tersebut yakni Kalimantan Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat (Mangindaan, Antara). Sedangkan lima kabupaten/kota itu adalah Kota Sukabumi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Sleman, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kota Dumai.