Akuntabilitas Anggaran Pendidikan di Jawa Barat
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
27 ayat (2) mengamanatkan bahwa salah satu satu kewajiban Kepala Daerah adalah
memberikan Laporan Pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), yang dilaksanakan setelah berakhirnya tahun anggaran.
Penyusunan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur
Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah,
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat.
Prinsipnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Gubernur
bertanggungjawab kepada Presiden dalam bentuk Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah kepada Pemerintah (LPPD) , meskipun demikian Gubernur wajib
melaporkan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada DPRD dalam bentuk Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ),
serta menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui media massa dalam bentuk Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kepada Masyarakat (IPPD). IPPD dibuat sebagai bentuk transparansi dan
akuntabilitas kepada publik seiring dengan perubahan pemilihan Kepala Daerah
yang semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih langsung oleh rakyat melalui
mekanisme Pemilu Kepala Daerah (Pemilu Kada).
Dari
pengamatan lapangan alokasi anggaran
pendidikan terlihat mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku
sehingga prinsip compliance with
regulation terpenuhi. Dilihat dari
kesesuaian dengan norma profesionalisme maka alokasi anggaran pendidikan dapat
dikatakan telah memenuhi prinsip adherence
with norm professionalism karena sejak perencanaan hingga pelaksanaannya
menggunakan standar profesionalisme. Selain itu alokasi anggaran pendidikan
juga berorientasi pada hasil yang berkualitas sebagaimana nampak sejak visi
misi dirumuskan hingga arah kebijakan anggaran semua mengacu pada quality result driven. Dalam menjalankan
pengendalian digunakan instrument yang dinamakan LAKIP (Laporan Akuntabilitas
Kinerja Pemerintahan). LAKIP yang dibuat Dinas Pendidikan menggambarkan input, proses, ouput, dan outcomes dari setiap kegiatan di bidang
pendidikan. Dengan demikian telah memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas,
prinsip fasilitasi dan prinsip pengendalian.
Prinsip
akuntabilitas mengandung tiga aspek yaitu : taat dan sesuai aturan (compliance with regulation); sesuai
dengan norma profesionalisme (adherence
with norm professionalism); dan berorientasi pada hasil yang berkualitas (quality result driven). Prinsip
fasilitasi untuk memastikan dukungan kebijakan keuangan mengikuti kebutuhan
program terpilih (money follow program
selected policy). Prinsip pengendalian untuk memastikan
suksesnya kegiatan yaitu kualitas
implementasi kegiatan dan ketaatan waktu serta output serta ketaatan terhadap aturan dan disiplin anggaran.
Untuk
melihat efektivitas implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dalam
meningkatkan mutu, analisis berikut diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai hal tersebut.
Analisis
Keefektifan Biaya
Analisis biaya
dan analisis keefektifan biaya merupakan alat bagi pendidik dan administrator,
untuk itu diperlukan pemahaman mengenai istilah cost (biaya) dan benefit (manfaat).
cost tidak sinonim dengan expenditure (belanja). Cost berhubungan
erat dengan benefit. Benefit adalah “anything
you gain by undertaking a particular course of action” (Coplin&
O’Leahy, 1981:129). Cost adalah “anything you must give up in order to
obtain those benefits” (1981:129).
Pemimpin
perlu melakukan analisis biaya dan manfaat tangible
dan intangible . Arti dari analisis
ini harus diinterpretasikan dalam konteksnya. Analisis harus berhubungan dengan
konteks spesifik dalam rangka menjawab pertanyaan kunci: apakah manfaat potensial mengadopsi kebijakan
lebih besar dari biaya potensial? Jika jawabannya affirmative maka kebijakan bisa diadopsi. Coplin dan O’Leary (1981) mengingatkan : ” suatu proyek hanya
bisa dilakukan hanya jika manfaat paling sedikit sama dengan biaya”.
Tidak
ada kebijakan, bahkan yang low-cost,
dapat diadop jika tidak mungkin efektif dan kebijakan eksisting bisa
menjadi terbukti ineffective. Suatu kebijakan efektif adalah yang mengarah pada outcomes yang diniatkan. Analisis
keefektifan biaya adalah cara sistematik untuk metode membandingkan alternatif untuk mencapai tujuan yang
sama dengan kerangka keefektifan biaya
dan kemanfaatan. Kebijakan yang diinginkan adalah yang biaya lebih rendah untuk
mencapai tujuan kebijakan. Ketiadaan analisis keefektifan biaya, membuat para
pengambil kebijakan sering membuat kesalahan dalam memilih kebijakan atau
program yang lebih tidak mahal. Jika suatu kebijakan tidak efektif, ia akan
sangat costly meskipun biayanya rendah.
Efisiensi
dan Efektifitas
Efisiensi
Tabel 1. Realisasi Input dan Output
Nomor
|
Komponen
|
Target
|
Realisasi
|
Penilaian
|
Indikator
|
1.
|
Penyerapan anggaran
Pendidikan
(Inputs)
a.APBN
b. APBD
|
100%
100%
|
99,20%
78.40
|
Efisien
|
Sebagian besar
realisasi output /keluaran sama dengan target output sedangkan realisasi
input/masukan sebagai besar lebih kecil daripada target inputnya
|
2.
|
Pelaksanaan Program. Produk barang/jasa
(Outputs)
|
100%
|
100%
|
Sumber :
Hasil Penelitian (2010).
Anggaran
pendidikan yang berasal dari APBN terserap 92,53% dan yang berasal dari APBD terserap 78,40%
sementara program terlaksana dengan menghasilkan outputs 100% berarti alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa
Barat dapat dikatakan efisien. Tetapi jika ukurannya adalah outcomes yaitu berupa kepuasan
masyarakat maka anggaran pendidikan belum efisien. Hal ini diakui Fauzi dan
Wahyudi, dua orang anggota Panitia Anggaran yang dimintai pendapatnya mengenai
efisinsi anggaran pendidikan.
Pujawirawan,
seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten Bandung mengatakan bahwa imbauan
“efisiensi sebesar 10%” berdampak buruk bagi pembangunan karena efisiensi
diartikan sebagai penghematan atau pemangkasan alokasi anggaran sebesar 10% dan
berdampak pada penurunan kualitas program maupun produk. Selain itu tidak jelas
digunakan untuk apa hasil dari efisiensi 10% tersebut.
Sementara
ketua Pansus LKPJ mengatakan bahwa penyerapan APBD 78,40% menunjukkan kurang
baiknya perencanaan dan kinerja Pemerintah
Provinsi di bidang pendidikan. Selain itu juga menjadi sebuah ironi karena di
sisi lain Pemerintah seringkali mengeluhkan kurangnya anggaran pembangunan.
Efektifitas
Untuk
keperluan analisis digunakan indikator kinerja kegiatan. Indikator kinerja
kegiatan adalah sesuatu yang menunjukkan pencapaian kinerja kegiatan. Indikator
kinerja dikelompokkan ke dalam tiga kelompok.
1) Kelompok
Indikator Masukan (Inputs), adalah
segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat
berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia,
dana, material, waktu, teknologi dan sebagainya
2) Kelompok Indikator Keluaran (Outputs), adalah segala sesuatu berupa produk/jasa (fisik dan atau
non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dan program
berdasarkan masukan yang digunakan.
3) Kelompok indikator hasil (Outcomes), adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes merupakan ukuran seberapa jauh
setiap produk/jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
Untuk
menginterpretasikan pencapaian kinerja diperlakukan penggunaan makna dari nilai
yang diperoleh sebagai berikut :
Tabel 2. Skala Penilaian
Skala Nilai
|
Kategori
Penilaian
|
≥100
|
Sangat Baik
|
80 - 100
|
Baik
|
60 - 80
|
Cukup
|
40 - 60
|
Kurang
|
Sangat kurang
|
Pada
indikator inputs, realisasi mencapai 92,53 % dari rencana. Angka ini berasal dari realisasi belanja APBN
yang mencapai 99,20%, realisasi belanja Dinas Pendidikan 78,40% dan belanja
bantuan yang mencapai 100%.
Pada indikator outputs, realisasi mencapai 100% dari rencana karena semua program
terlaksana dan menghasilkan produk/jasa (fisik dan non fisik).
Pada
indikator outcomes, realisasi
diperkirakan mencapai 70% karena stakeholders –baik para anggota DPRD
maupun masyarakat—merasa belum puas dengan pencapaian eksekutif di bidang
pendidikan. Hal itu dapat dilihat dari pandangan-pandangan yang telah diuraikan
sebelumnya.
Jika
ketiga indikator tadi disatukan maka nilai rata-rata yang diperoleh adalah
(92,53% + 100% + 70%):3 = 86,84%. Karena
target dari semua indikator adalah 100%, maka pencapaian tersebut berada pada
skala nilai 80-100 (baik).
Jika
input diasumsikan sebagai cost dan outputs/outcomes adalah benefit kesimpulannya adalah bahwa cost efektif jika dikaitkan dengan ouputs tetapi cost tidak efektif jika dikaitkan dengan outcomes.
Dengan ukuran
tersebut maka dapat dibuat penilaian terhadap kinerja makro Pemerintah Provinsi
Jawa Barat sebagai berikut.
Tabel 3. Kinerja Makro
Bidang Pendidikan Dasar
Komponen
|
Target
2009
%
|
Capaian
2009
%
|
Skala
Nilai
|
Penilaian
|
||||
40 - 60
|
60 - 80
|
80 - 100
|
≥100
|
|||||
APK
SD/MI
SMP/MTs
|
116,20%
96,15%
|
Baik
|
Sangat Baik
|
Rata-rata pencapaian adalah 98,88
(Baik)
|
||||
RLS
|
9
tahun
|
7,58 tahun
|
Baik
|
|||||
AMH
|
95-96%
|
95,6%
|
Baik
|
|||||
IP
|
82,02
|
80,58
|
Baik
|
Sumber :
Hasil Penelitian (2011).
Depdiknas (2001:32)
berpandangan bahwa efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan
(kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Apabila target yang direncanakan
dapat dicapai dengan maksimal maka suatu proses dapat dikatakan efektif.
Mulyasa (2002: 82) berpendapat efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi
berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan
operasional. Lebih lanjut dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan
terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan,ketepatan waktu dan adanya
partisipasi aktif dari anggota. Rinjin dalam Sunu (2009:14) mengemukakan bahwa
efektivitas mengindikasikan tingkat kesesuaian antara hasil yang direncanakan
dengan hasil yang dicapai dari seluruh kegiatan mulai dari variabel masukan,
variabel proses transformasi dan interaksi sampai pada variable hasil yang
perlu dikaji akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Dengan
indikator yang dikemukan Depdiknas dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan
alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat meskipun setiap tahunnya
menunjukkan peningkatan capaian target namun capaian tersebut belum sesuai
dengan target yang ditentukan sehingga belum menunjukkan seluruh efektivitasnya.
Demikian pula jika menggunakan kategori yang dikemukakan Rinjin (Sunu, 2009:14)
yang mengemukakan bahwa efektivitas mengindikasikan tingkat kesesuaian antara
hasil yang direncanakan dengan hasil yang dicapai dari seluruh kegiatan mulai
dari variable masukan, variable proses transformasi dan interaksi sampai pada
variable hasil yang perlu dikaji akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan
perbaikan. Sebagai contoh, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) baru mencapai 7,58 tahun atau rata-rata kelas satu
SLTP. Pencapaian tersebut tidak berjalan seiring dengan yang ditargetkan
Gubernur bahwa wajar dikdas Sembilan tahun akan tercapai selambat-lambatnya
pada tahun 2010, sementara target wajib belajar 12 tahun akan dicapai tahun
2013. Sedangkan
jika efektivitas
adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber
daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional sebagaimana dimaksudkan Mulyasa
(2002: 82) maka implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi
Jawa Barat dapat dikatakan sudah efektif,
karena terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan
waktu dan adanya partisipasi aktif dari anggota.
Di sisi
lain, alokasi anggaran pendidikan yang
besarannya 20% dari APBD Provinsi Jawa Barat hanya terserap sebesar 88,40% yang
berarti ada 11,60 yang tidak terserap. Dana yang tidak terserap tersebut
dikembalikan ke kas daerah dan menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA)
dan masuk ke dalam pendapatan murni APBD Tahun 2010. Itu berarti bahwa bahwa
persoalan pengelolaan urusan pendidikan bukan semata-mata soal alokasi anggaran
melainkan bagaimana membuat perencanaan yang baik agar anggaran yang sudah
dialokasikan dapat digunakan untuk mencapai target yang telah ditentukan.
Menurut seoarang anggota DPRD dari Komisi E yang membidangi masalah pendidikan,
sampai akhir tahun anggaran 2009 berakhir, baru 75% program yang terlaksana.
Pada
akhirnya, tidak tercapainya target RPJMD tahun 2009 mengundang munculnya pengajuan hak interpelasi oleh
DPRD. Dalam sidang paripurna Senin 31 Mei 2010 penggunaan hak tersebut kandas
melalui voting dengan 39 suara
mendukung dan 52 suara menolak.
Gubernur
Jawa Barat mengakui bahwa saat ini capaian untuk mendongkrak mutu dan
pemerataan pendidikan masih belum memuaskan. Dia memaparkan sejumlah data
tentang betapa jumlah ruangan kelas di Jabar saat ini belum memadai sehingga
akan menghambat upaya pemerataan pendidikan. Capaian yang kurang maksimal itu
tercermin dari belum idealnya angka capaian dari sejumlah indikator yang
berkontribusi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Jabar. Dalam hal ini,
raihan Angka Partisipasi Murid (APM) SD/MI di Jabar baru mencapai angka 95,56
(peringkat 15 se-Indonesia), Angka Partisipasi Kelas (APK) SMP/MTs. mencapai
angka 92,40 (peringkat 21), APK SMA/MA/SMK mencapai angka 54,12 (peringkat 31)
serta RLS (rata-rata lama sekolah) hanya 7,58 tahun.
Oleh
karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dibutuhkan dukungan dari
semua pihak. "Harus ada kerja simultan yang didorong dan didukung semua
pihak agar masalah pendidikan di Jabar dapat dituntaskan." Gubernur pun menilai
target RPJMD terlalu tinggi dan tidak mungkin tercapai walau kerja 24 jam terus
menerus “ bahkan kalau malaikat menjadi gubernur pun”.
Pernyataan
pesimisme Gubernur ini menimbulkan protes masyarakat dan tidak lama kemudian
dicabut melalui media massa. Masyarakat kecewa dengan pernyataan bernada putus
asa dari Gubernur mengingat pada awal masa jabatan, Gubernur dan Wakil Gubernur
membuat program yang dinamakan dengan “Program Janji Gubernur” di bidang
pendidikan yang isinya adalah : (1) pendidikan yang murah dengan anggaran
pendidikan 20%; (2) jaminan cagub-cawagub untuk merealisasikan wajardikdas
secara gratis selambat-lambatnya 2 tahun masa jabatan; (3) transparansi
penyaluran dana bantuan pendidikan; (4) pembebasan SPP dan bantuan buku,
perbaikan gedung sekolah, tambahan gaji guru negeri dan swasta, dengan anggaran
Rp 200 milyar/tahun; (5) peningkatan kesejahteraan guru dan tenaga sukarela.
Semua janji itu akan dilaksanakan melalui : (1) alokasi anggaran pendidikan
20%; (2) pendidikan gratis terutama bagi masyarakat kurang mampu (yang
diimplementasikan antara lain melalui : Bantuan Gubernur untuk Siswa dan Sekolah
(BAGUSS) , Pengadaan Buku Murah, Beasiswa bagi Siswa dan Mahasiswa Berprestasi
dan Tidak Mampu, Bantuan Seragam, SD-SMP Satu Atap.
Untuk merealisasikan janji-janji tersebut tentu
membutuhkan dukungan dari semua pihak, dan yang terpenting adalah dukungan
birokrasi pemerintahan dalam bentuk peningkatan kinerja. Untuk itu diperlukan sumber daya manusia aparatur
yang berkualitas.
Ada
persepsi yang berkembang di kalangan pemerintah
provinsi maupun masyarakat, bahwa sumber daya manusia aparatur pada pemerintah
Provinsi Jawa Barat ditandai dengan masih rendahnya kinerja aparatur karena
KKN, rendahnya kualitas SDM aparatur dan rendahnya kesejahteraan PNS, struktur
organisasi yang belum dapat memenuhi kebutuhan daerah, kesisteman yang belum
mampu menjadi acuan dalam proses administrasi pemerintahan yang didukung oleh
teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dimanfaatkan secara optimal, dan
budaya kerja yang belum mendorong peningkatan kinerja aparatur.
Eksekutif
berpandangan bahwa penyebab itu semua adalah : peraturan perundang-undangan yang
tidak sinkron atau belum memiliki kaidah pelaksanaan. Pengawasan terhadap
pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) belum dapat dilakukan. Standar
Operasional Prosedur (SOP) dalam setiap alur kegiatan administrasi pemerintahan
belum dapat diimplemantasikan.
Opini-opini
yang berkembang dari para pakar adalah bahwa
reformasi birokrasi menginginkan perubahan kultur birokrasi yang
mengarah pada profesionalisme, beretika, impersonal, dan taat aturan. Transisi
dalam reformasi birokrasi masih mengalami kendala dalam mewujudkan birokrasi
yang ideal. Kultur tradisional dan primordial masih mewarnai birokrasi
Pemerintah Provinsi Jawa Barat walaupun dari sisi sarana dan prasarana telah
cukup modern, namun dukungan teknologi komunikasi belum dimanfaatkan secara
optimal.
Dengan
demikian tantangan ke depan adalah menciptakan birokrasi yang modern dan mampu
menjalankan fungsinya dalam sistem pemerintahan demokrtatis, yaitu birokrasi
yang mampu memformulasikan kebijakan sesuai dengan keinginan politik dan
aspirasi masyarakat dan dapat mengimplementasikannya secara bertanggungjawab.
Pengamatan
lapangan menunjukkan sepanjang lima tahun terakhir jumlah PNS di lingkungan
Pemerintah provinsi Jawa Barat terus mengalami perubahan. Hingga bulan April
2008 jumlah pegawai Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencapai 14.890 orang,
dengan komposisi : golongan I sebanyak 536 orang atau 3,60%, golongan II
sebanyak 4.202 orang atau 28,22%, golongan III sebanyak 8.429 orang atau 56,61%
dan golongan IV sebanyak 1723 orang atau 11,57%. Jumlah PNS tersebut pada tahun
2009 mengalami penurunan menjadi 14.691 orang, meskipun pada klasifikasi
golongan, eselon dan pendidikan tidak banyak berubah. PNS yang berlatarbelakang
pendidikan dasar masih cukup banyak
yaitu SD sebesar 801 orang dan SLTP sebanyak 692 orang. SLTA sebanyak 5.800
orang D2 sebanyak 790 orang, D3 sebanyak 1.127 orang, sarjana S1 sebanyak 4.449
orang, sarjana S2 sebanyak 998 orang dan sarjana S3 sebanyak 19 orang. Adapun
PNS yang menduduki jabatan struktural sebanyal 1404 orang terbagi ke dalam
Eselon I sebanyak 1 orang, Eselon II
sebanyak 61 orang, Eselon III sebanyak 351 orang dan Eselon IV sebanyak 991
orang. Itu berarti bahwa kuantitas PNS belum seimbang dengan kualitasnya.
Upaya
Gubernur untuk meningkatkan kualitas
sumber daya aparatur dilakukan dengan dua buah program, yaitu program
peningkatan kapasitas aparatur dengan lima kegiatan dan program pembinaan dan
pengembangan aparatur dengan 52 kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan,
meningkatkan kualitas, meningkatkan kemampuan dan kompetensi aparatur.
Dari
hasil observasi nampak bahwa dalam pelaksanaannya upaya eksekutif tersebut
masih mengalami hambatan seperti kurangnya sosialisasi, kurangnya pemahaman
aparatur terhadap peraturan dan kebijakan pemerintah provinsi, kurangnya
koordinasi dengan Pemerintah, kurangnya disiplin pegawai, kurang berkembangnya
jabatan fungsional, terjadinya gap antara perencanaan dan pelaksanaan,
kurangnya sumber daya manusia yang berkualifikasi sesuai kebutuhan organisasi
dan kurangnya profesionalisme.
Untuk mengatasi
hambatan-hambatan tersebut diperlukan sosialisasi yang komprehensif, koordinasi
yang intensif, penegakan disiplin PNS, sosialisasi jabatan fungsional,
perencanaan yang didasarkan pada trend, pengembangan sumber daya aparatur
sesuai kebutuhan organisasi baik melalui pendidikan gelar dan non gelar serta
menerapkan Tambahan Penghasilan PNS (TPP) yang didasarkan pada kinerja/bukti
kerja.
Dengan
semua catatan itu kinerja pemerintah Provinsi Jawa Barat di bidang pendidikan
masih mendapatkan apresiasi pemerintah terutama dari segi akuntabilitas
kinerjanya. Evaluasi Kemenpan tahun 2010 menunjukkan hanya 9 pemerintah provinsi
dan lima kabupaten/kota yang akuntabilitas kinerjanya dinilai baik.Sembilan
provinsi tersebut yakni Kalimantan Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara
Barat, dan Jawa Barat (Mangindaan, Antara). Sedangkan lima kabupaten/kota itu
adalah Kota Sukabumi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Sleman, Kabupaten Musi
Banyuasin, dan Kota Dumai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar