Dampak dari Kebijakan
Alokasi Anggaran Pendidikan
di Provinsi Jawa Barat
Oklay
(2002) dalam Wiseman (2010:3) mengatakan
bahwa kecenderungan di seluruh dunia dewasa ini untuk melihat “evidence
based” dalam pembuatan kebijakan kependidikan.
Educational
policymaking around the world has been permeated by a tendency to validate and
legitimize educational processes and products as “evidence based” (Oklay,
2002). It is increasingly taken for granted that policymakers will make
decisions that are evidence based rather
than based on intuition or belief. Evidence based educational decision
making and policy implementation often depend on assessments of “what works”. Word works is a
pseudonym for “best practices” – another
evidence based policymaking rationale that is an interesting mix of both
individualized and agenda driven educational policy decision and reforms
(Slavin, 2008). These policy making efforts are frequently based on exceptional
cases that represent success (often
measured as student achievement gains) in unusual contexts as difficult
situations ( Herz and Sperling, 2004).
Meskipun
pendekatan “evidence based” biasanya
dikaitkan dengan metode kuantitatif, analisis ini meminjam pendekatan tersebut
untuk melihat seberapa jauh pencapaian
mutu pendidikan di Provinsi Jawa Barat dikaitkan dengan standarisasi pendidikan
yang berlaku di tingkat nasional.
Standar
Pendidikan Nasional
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengatur Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP
berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. SNP
bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. SNP
disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
SNP
adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar
Proses,
Standar
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar
Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan dan Standar Penilaian Pendidikan.
Setiap standar diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersendiri.
Standar
Pelayanan Minimal
Pada
tanggal 9 Juli 2010 Mendiknas mengeluarkan Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota yang harus dilaksanakan di tingkat Kota dan
Kabupaten di seluruh Indonesia. SPM mengatur
standar minimal dari sarana dan prasarana; rasio guru murid; kualifikasi
guru, kepala sekolah dan pengawas; kurikulum; proses belajar mengajar;
supervise dan evaluasi.
Untuk
menganalisis dampak dari kebijakan pengalokasian anggaran pendidikan dalam
peningkatan mutu, diperlukan matriks untuk membandingkan antara SPN, SPM dan
pencapaian makro di Provinsi Jawa Barat.
Tabel 1. SPN, SPM dan Pencapaian Makro
SPN
(Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005)
|
SPM
( Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010)
|
Pencapaian Makro di Provinsi Jawa
Barat
(LKPJ 2009)
|
Standar Kompetensi Lulusan
|
Belum
ada
|
1.
Provinsi Jawa Barat
termasuk ke dalam empat Provinsi yang hasil Ujian Nasionalnya terbaik secara
nasional.
2.
Jumlah lulusan pada tahun 2010 : SD sebanyak
778.810 siswa, sedangkan siswa yang lulus SMP mencapai 651.045 siswa.
|
Standar isi
|
1.
Kurikulum KTSP
2.
Pemerintah Kota dan Kabupaten membantu
satuan pendidikan dalam mengembangkan
kurikulum dan dan proses pembelajaran yang efektif
|
1.
Kurikulum
pengajaran di
sekolah telah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah
tahun 2006.
2.
Pemerintah Provinsi pun melakukan Kegiatan
Revitalisasi dan Pemberdayaan Tim Pengembang Kurikulum, MKKS, dan MGMP.
3.
Pemerintah Provinsi
memberikan pedoman pembinaan dan
pengembangan budi pekerti, dengan mengadakan Semiloka Pengembangan
Pembelajaran Budi Pekerti menyusun Pedoman Teknis Pembelajaran Budi Pekerti ,
Sosialisasi Tim Teknis Pengembangan Pembelajaran Budi Pekerti, Penilaian
sekolah model Rintisan Pembelajaran Budi Pekerti.
|
Standar Proses
|
1.
Setiap guru bekerja 37,5 jam per
minggu
2.
Proses pembelajaran berlangsung 34
minggu per tahun
3.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
berdasarkan silabus untuk setiap mata pelajaran
4.
Kunjungan pengawas sebulan sekali
minimal 3 jam.
5.
Kepala Sekolah melakukan supervisi
kelas 2 kali dan umpan balik sekali dalam
1 semester
|
Tidak ada program yang
berkaitan dengan standarisasi proses.
|
Standar Sarana
dan Prasarana
|
1.
Ada sekolah pada jarak 3 km untuk SD
dan 6 km untuk SMP
2.
Ruang guru
3.
Laboratorium IPA di SMP
4.
1 set buku IPA, IPS, Matematika dan
Bhas Indonesia per siswa SD
5.
1 set buku per siswa SMP
6.
Peraga IPA di SD
7.
Pustaka : untuk SD 100 judul buku pengayaan dan 10 referensi. Untuk SMP 200 buku
pengayaan 20 buku referensi
|
1. Masih
kekurangan sekitar 3.200 ruang kelas SMP.
2. Buku
yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi adalah Paket Buku Teksemplar Pelajaran
yang di-Uji-Nasionalkan (10 pelajaran) untuk Satuan Pendidikan Dasar Kelas VI
dan IX serta Pendidikan Menengah Kelas XII
3. Perpustakaan
sekolah belum dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. pada
umumnya di perpustakaan sekolah belum baik. pun hanya dijadikan tugas
sampingan.
|
Standar
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
|
1. Rasio
guru murid 1:32 (SD) dan 36 (SMP
2. 1
guru di kelas. 6 guru utk setiap satuan pendidikan (SD). 1 guru utk tiap mata
pelajaran
3. 2
guru S1 dan 2 guru bersertifikasi (SD). 70% S1 dan 35% bersertifikat
4. Kepala
Sekolah SD/SMP sudah S1 dan bersertifikasi
5. Pengawas
sekolah harus S1
|
1.
29.000 dari 161.500 guru SD sudah
berpendidikan S1
2.
40.000 dari 80.150 guru SMP sudah
berpendidikan S1
3.
Sekitar 30.000 dari 240.000 guru sudah
bersertifikasi
|
Standar
Pembiayaan Pendidikan
|
Belum
Ada
|
1.
Belanja hanya diklasifikasikan ke
dalam Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langung.
2.
Belanja Langsung Rp 1.450.194.290.000,00
(89,04 %)
3.
dan Belanja Tidak Langsung Rp 178.484.138.263,00
(10,96%)
|
Standar
Pengelolaan
|
1. Setiap
satuan pendidikan menerapkan MBS.
2. Kepala
Sekolah memberi hasil ulangan, ulangan kenaikan kelas dan ujian akhir pada
orang tua siswa dan menyampaikan rekapitulasi ke Kemendiknas.
|
1.
Pemahaman terhadap penyelenggara pendidikan
tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dibina dan dikembangkan melalui
sosialisasi kepada stakeholders,
bimbingan teknis bagi kepala sekolah dan komite sekolah, pembinaan sekolah
model, peningkatan pengetahuan dan kemampuan kepala sekolah dan komite
sekolah serta pembuatan petunjuk pelaksanaan. Selain itu juga dilakukan
peningkatan kualitas pendidikan melalui Program Kegiatan Fasilitasi
Pembangunan Bidang Pendidikan.
|
Standar
Penilaian Pendidikan
|
1. Setiap
guru mengembangkan program penilaian
untuk meningkatkan kemampuan belajar peserta didik
2. Laporan
hasil evaluasi mata pelajaran dan penilaian siswa setiap akhir semester
kepada Kepala Sekolah dalam bentuk Laporan Hasil Prestasi Belajar Siswa
|
1. Pengadaan
buku raport pada tahun pelajaran 2009/2010 mencapai lebih dari Rp12,2 miliar
untuk menyediakan buku raport TK sebanyak 255.000 eksemplar, SD sebanyak
1.025.000 eksemplar, SMP sebanyak 700.000 eksemplar, SMA 280.000 eksemplar
dan SMK 200.000 eksemplar.
|
Sumber : PP
Nomor 19 Tahun 2005, Permendiknas
Nomor 15 Tahun 2010 dan LKPJ Gubernur
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 (Diolah kembali).
Dari
perbandingan antara SNP, SPM dan LKPJ Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
nampak bahwa Provinsi Jawa Barat belum
menerapkan mutu dalam konsep absolute (Sallis dalam Subardiman et. al., 2009) yang menerapkan pencapaian standar
tertinggi dalam pekerjaan, produk maupun layanan, maupun mutu menurut pelanggan
yang merupakan sesuatu yang memuaskan pelanggan (masyarakat, orang tua murid,
dunia usaha). Mutu masih dianggap
sebagai konsep relatif yang masih perlu ditingkatkan terus menerus.
Menurut Sallis ada beberapa konsep tentang mutu (
Subardiman et. al., 2009). Pertama mutu
sebagai konsep absolut. Dalam konsep ini kualitas atau mutu adalah pencapaian
standar tertinggi dalam suatu pekerjaan, produk, dan layanan yang tidak mungkin
dilampaui. Kedua mutu sebagai konsep relatif. Dalam konsep ini kualitas
atau mutu masih ada peluang untuk peningkatan. Kualitas atau mutu adalah
sesuatu yang masih dapat ditingkatkan. Akan tetapi jika dalam tahap peningkatan
itu pelaksanaan sebuah pekerjaan telah mencapai standar tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya maka pekerjaan tersebut berkualitas. Ketiga adalah
kualitas atau mutu menurut pelanggan. Dalam definisi ini mutu sebagai sesuatu
yang memuaskan dan melampaui keinginan
dan kebutuhan pelanggan. Peters berpendapat bahwa definisi yang
dikemukakan oleh pelanggan sangat penting, karena Peters menemukan kenyataan
bahwa pelanggan akan membayar lebih untuk mutu yang baik, tanpa menghiraukan
tipe produknya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya harus
memulai menyesuaikan kebijakan dengan dengan
memperhatikan pelbagai pandangan
tersebut, dan jika ingin meningkatkan
kualitas pendidikannya agar dapat berkompetisi dalam kehidupan global maka standarisasi
UNESCO berikut ini dapat dijadikan
sebagai acuan.
1) Sekolah
harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a
reactive mindset, menanggalkan “problem
solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi
pada “how can we do things differently”.
2) Pilar
kualitas sekolah adalah Learning how to
learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3)
Menetapkan standard pendidikan dengan indikator
yang jelas.
4)
Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5)
Meningkatkan pemanfaatan information and communication technology (ICT) dalam
pembelajaran dan pengelolaan sekolah.
6)
Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan
kemampuan profesional guru.
7)
Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada
peningkatan mutu.
8)
Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan
kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9)
Melaksanakan Quality Assurance (UNESCO, 2001).
Heryawan,
Ahmad Gubernur Jawa Barat mengakui bahwa saat ini capaian untuk mendongkrak
mutu dan pemerataan pendidikan masih belum memuaskan. Dia memaparkan sejumlah
data tentang betapa jumlah ruangan kelas di Jabar saat ini belum memadai
sehingga akan menghambat upaya pemerataan pendidikan.Oleh karena itu, untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, dibutuhkan dukungan dari semua pihak.
"Harus ada kerja simultan yang didorong dan didukung semua pihak agar
masalah pendidikan di Jabar dapat dituntaskan."
Dukungan
masyarakat bukannya tidak ada. Hampir semua surat kabar di Jawa Barat
menyediakan pelbagai rubrik mengenai pendidikan. Begitu banyak pemikiran
disampaikan agar pendidikan di Indonesia dan khususnya Jawa Barat maju seseuai
dengan yang dikehendaki masyarakat.
Setiawan,
dosen dan sekretaris Puslit Dinamika Pembangunan LPPM Unpad, menyatakan bahwa
secara historis-empiris kreativitas dan keinovatifan masyarakat Jawa Barat
tidak diragukan. Dalam berkarya dan berkarsa masyarakat Jabar sangat berprinsip
(tidak tuturut munding), mengusung
keunggulan lokal (comparative advantage),
menjunjung tinggi keberagaman (diversification)
dan berorientasi nilai daya saing (competitive
advantage) sehingga dihasilkan kekayaan yang tidak saja beragam, tetapi
juga bernilai artistik, futuristik, dan sosio-ekonomik. Kekayaan Jawa Barat
berbasis sumber daya alam, berbentuk sosial ekonomik dan budaya. Kekayaan
budaya bisa dilihat pada kampung adat seperti Kampung Naga, kampung Kuta,
kampung Dukuh, kampung Baduy, Kampung Cigugur; pada artefak dan situs sejarah
Banten, Sumedang Larang, Cirebon, Galuh, Pakuan, Pajajaran; pada kesenian
angklung, topeng Pantura, tembang sunda Cianjuran, wayang golek,
tarling, benjang, pencak silat, dan jaipongan. “Pemerintah kota/kabupaten dan
pemprov harus berbuat lebih cepat, konsisten dan tertib (jangan rumit dan
mahal) melindungi, menata administrasi, menglengkapi dokumentasi (paten,
sertifikasi) dan memberdayakan
kekayaan masyarakat” (Tribun Jabar, 22 Mei 2010).
Opini-opini
tersebut nampaknya mengarah pada perlunya peninjauan muatan lokal di
sekolah-sekolah agar lebih fungsional terhadap kondisi dan tantangan lokal.
Contextualization of
finding is frequently the main element lacking in educational research evidence
and resultant policymaking (Carnoy, 1999; Zayda 2005). This means that evidence
for educational policymaking often consists of unsubstantiated findings or
one-shot fenomena that may take precedence over long-term trends and cultural
characteristics (Ball, 1998). Indeed, making educational policy exclusively on
the basis of empirical research evidence is neither possible nor preferred in
many cases because of the importance of considering the evidence within context
(Whitty, 2006).
Dalam kerangka tersebut, Dinas Pendidikan
(Disdik) Sumedang tengah menyusun standarisasi kinerja Kepala Sekolah, Guru dan
Siswa yang akan diwarnai oleh konsep dan nilai-nilai strategis pembangunan
Sumedang sebagai Puseur Budaya Pasundan. Akan disusun sebuah tata tertib
sekolah sebagai acuan norma berperilaku di sekolah yang bermuatan nilai-nilai
budaya Sunda. Budaya tersebut dibentuk melalui proses pembiasaan di sekolah
misalnya dilarang berbicara kasar.
Selain memperhatikan keluhan dan harapan
masyarakat, maka dalam peningkatan mutu tersebut pendidikan dasar juga harus
memenuhi keinginan masyarakat. Berikut ini adalah pandangan masyarakat berkenaan dengan hal
tersebut.
Setia, Beni, (Pikiran Rakyat, November 2009), menunjukkan perlunya pendidikan dasar
memberikan muatan lokal bahasa daerah sebagai media mengaktualisasikan jati
diri.
Persoalan
kegamangan yang berkaitan dengan jatidiri diungkap pula oleh Paskarina,
Carolina (Warta Bapeda, 2009) seorang akademisi yang mengatakan bahwa Ki Sunda
“termajinalisasi di rumahnya sendiri”.
Di
sisi lain, kolumnis Kusnandar, Dadang (Kompas Edisi Jawa Barat , 17 Juli
2009) mempertanyakan masalah keadilan
dalam alokasi anggaran pembinaan bahasa daerah terkait dengan adanya subkultur
budaya Cirebon. Tulisan tersebut kemudian ditanggapi oleh di surat kabar yang
sama oleh Setiawan, Hawe dan kemudian ditanggapi pula oleh penulis Kasim, Supali dari Indramayu (Kompas
Edisi Jawa Barat, 4 Agustus 2009). Masih ada tanggapan dari penulis lainnya
seperti dari wartawan Bainur, Dadang, penulis S.M., Edeng , dan budayawan
Cirebon Alwy, Subhanudin. Polemik tersebut menandai adanya masalah mengenai
implementasi dari sebuah kebijakan pendidikan di Jawa Barat.
Dengan demikian
nampaklah bahwa implementasi kebijakan
alokasi anggaran pendidikan dasar dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang
mendasar tetapi di sisi lain masih belum dapat memuaskan kebutuhan masyarakat khususnya di wilayah
subkultur tertentu. Sejumlah kendala
dalam pelaksanaanya antara lain disebabkan karena budaya daerah Jawa Barat
terdiri dari pelbagai subkultur budaya : Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi.
Masalah implementasi alokasi anggaran pendidikan dasar menampakkan adanya rasa
ketidakadilan dari suatu subkultur budaya terhadap subkultur budaya lainnya. Bupati
Cirebon, Supardi, menuntut pemerintah provinsi untuk memberikan anggaran untuk
pendidikan kebudayaan khususnya kebudayaan pantura (Tribun Jabar, 29 Mei 2011).
Bupati menyatakan akan memimpin sendiri masyarakat Cirebon ke Gedung Sate.
Berdasarkan
kondisi empiris dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat nampaknya
pendidikan memang perlu memiliki basis kearifan lokal, suatu pandangan yang
nampaknya menjadi komitmen Pemerintah sebagaimana dapat dilihat pada kebijakan
dalam Peraturan Pemerintah No 19/2005
yang mengatur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya Pasal 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar