Selasa, 21 Maret 2017

Dampak dari Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan



Dampak dari  Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan
         di Provinsi Jawa Barat



Oklay (2002) dalam Wiseman (2010:3)  mengatakan bahwa kecenderungan di seluruh dunia dewasa ini untuk melihat “evidence based” dalam pembuatan kebijakan kependidikan.

Educational policymaking around the world has been permeated by a tendency to validate and legitimize educational processes and products as “evidence based” (Oklay, 2002). It is increasingly taken for granted that policymakers will make decisions that are evidence based rather  than based on intuition or belief. Evidence based educational decision making and policy implementation often depend on assessments  of “what works”. Word works is a pseudonym  for “best practices” – another evidence based policymaking rationale that is an interesting mix of both individualized and agenda driven educational policy decision and reforms (Slavin, 2008). These policy making efforts are frequently based on exceptional cases that represent  success (often measured as student achievement gains) in unusual contexts as difficult situations ( Herz and Sperling, 2004).

Meskipun pendekatan “evidence based” biasanya dikaitkan dengan metode kuantitatif, analisis ini meminjam pendekatan tersebut untuk  melihat seberapa jauh pencapaian mutu pendidikan di Provinsi Jawa Barat dikaitkan dengan standarisasi pendidikan yang berlaku di tingkat nasional.

Standar Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengatur Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. SNP bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. SNP disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan dan Standar Penilaian Pendidikan. Setiap standar diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersendiri.

Standar Pelayanan Minimal
Pada tanggal 9 Juli 2010 Mendiknas mengeluarkan Permendiknas Nomor 15  Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota yang harus dilaksanakan di tingkat Kota dan Kabupaten di seluruh Indonesia. SPM mengatur  standar minimal dari sarana dan prasarana; rasio guru murid; kualifikasi guru, kepala sekolah dan pengawas; kurikulum; proses belajar mengajar; supervise dan evaluasi.
Untuk menganalisis dampak dari kebijakan pengalokasian anggaran pendidikan dalam peningkatan mutu, diperlukan matriks untuk membandingkan antara SPN, SPM dan pencapaian makro di  Provinsi Jawa Barat.

Tabel 1.  SPN, SPM dan Pencapaian Makro
SPN
(Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005)
SPM
( Permendiknas Nomor 15  Tahun 2010)

Pencapaian Makro di Provinsi Jawa Barat
(LKPJ 2009)
Standar Kompetensi Lulusan
Belum ada
1.      Provinsi Jawa Barat termasuk ke dalam empat Provinsi yang hasil Ujian Nasionalnya terbaik secara nasional.
2.      Jumlah lulusan pada tahun 2010 : SD sebanyak 778.810 siswa, sedangkan siswa yang lulus SMP mencapai 651.045 siswa.

Standar isi
1.      Kurikulum KTSP
2.      Pemerintah Kota dan Kabupaten membantu satuan pendidikan  dalam mengembangkan kurikulum dan dan proses pembelajaran yang efektif

1.      Kurikulum
pengajaran di sekolah telah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah tahun 2006.

2.      Pemerintah Provinsi pun melakukan Kegiatan Revitalisasi dan Pemberdayaan Tim Pengembang Kurikulum, MKKS, dan MGMP.
3.      Pemerintah Provinsi memberikan  pedoman pembinaan dan pengembangan budi pekerti, dengan mengadakan Semiloka Pengembangan Pembelajaran Budi Pekerti menyusun Pedoman Teknis Pembelajaran Budi Pekerti , Sosialisasi Tim Teknis Pengembangan Pembelajaran Budi Pekerti, Penilaian sekolah model Rintisan Pembelajaran Budi Pekerti.  

Standar Proses
1.      Setiap guru bekerja 37,5 jam per minggu
2.      Proses pembelajaran berlangsung 34 minggu per tahun
3.      Rencana Pelaksanaan Pembelajaran berdasarkan silabus untuk setiap mata pelajaran
4.      Kunjungan pengawas sebulan sekali minimal 3 jam.
5.      Kepala Sekolah melakukan supervisi kelas 2 kali dan  umpan balik sekali dalam 1 semester

Tidak ada program yang berkaitan dengan standarisasi proses.

Standar Sarana dan Prasarana
1.      Ada sekolah pada jarak 3 km untuk SD dan  6 km untuk SMP
2.      Ruang guru
3.      Laboratorium IPA di SMP
4.      1 set buku IPA, IPS, Matematika dan Bhas Indonesia per siswa SD
5.      1 set buku per siswa SMP
6.      Peraga IPA di SD
7.      Pustaka : untuk SD 100 judul  buku pengayaan dan  10 referensi. Untuk SMP 200 buku pengayaan  20 buku referensi


1.      Masih kekurangan sekitar 3.200 ruang kelas SMP.
2.      Buku yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi adalah Paket Buku Teksemplar Pelajaran yang di-Uji-Nasionalkan (10 pelajaran) untuk Satuan Pendidikan Dasar Kelas VI dan IX serta Pendidikan Menengah Kelas XII
3.      Perpustakaan sekolah belum dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. pada umumnya di perpustakaan sekolah belum baik. pun hanya dijadikan tugas sampingan.
Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
1.      Rasio guru murid 1:32 (SD) dan 36 (SMP
2.      1 guru di kelas. 6 guru utk setiap satuan pendidikan (SD). 1 guru utk tiap mata pelajaran
3.      2 guru S1 dan 2 guru bersertifikasi (SD). 70% S1 dan 35% bersertifikat
4.      Kepala Sekolah SD/SMP sudah S1 dan bersertifikasi
5.      Pengawas sekolah harus S1

1.      29.000 dari 161.500 guru SD sudah berpendidikan S1
2.      40.000 dari 80.150 guru SMP sudah berpendidikan S1
3.      Sekitar 30.000 dari 240.000 guru sudah bersertifikasi


Standar Pembiayaan Pendidikan
Belum Ada
1.      Belanja hanya diklasifikasikan ke dalam Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langung.
2.      Belanja Langsung Rp 1.450.194.290.000,00 (89,04 %)
3.      dan Belanja Tidak Langsung Rp 178.484.138.263,00 (10,96%)
Standar Pengelolaan
1.      Setiap satuan pendidikan menerapkan MBS.
2.      Kepala Sekolah memberi hasil ulangan, ulangan kenaikan kelas dan ujian akhir pada orang tua siswa dan menyampaikan rekapitulasi ke Kemendiknas.

1.      Pemahaman terhadap penyelenggara pendidikan tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dibina dan dikembangkan melalui sosialisasi kepada stakeholders, bimbingan teknis bagi kepala sekolah dan komite sekolah, pembinaan sekolah model, peningkatan pengetahuan dan kemampuan kepala sekolah dan komite sekolah serta pembuatan petunjuk pelaksanaan. Selain itu juga dilakukan peningkatan kualitas pendidikan melalui Program Kegiatan Fasilitasi Pembangunan Bidang Pendidikan.

Standar Penilaian Pendidikan
1.      Setiap guru mengembangkan program penilaian  untuk meningkatkan kemampuan belajar peserta didik
2.      Laporan hasil evaluasi mata pelajaran dan penilaian siswa setiap akhir semester kepada Kepala Sekolah dalam bentuk Laporan Hasil Prestasi Belajar Siswa

1.      Pengadaan buku raport pada tahun pelajaran 2009/2010 mencapai lebih dari Rp12,2 miliar untuk menyediakan buku raport TK sebanyak 255.000 eksemplar, SD sebanyak 1.025.000 eksemplar, SMP sebanyak 700.000 eksemplar, SMA 280.000 eksemplar dan SMK 200.000 eksemplar.

Sumber : PP Nomor  19 Tahun 2005, Permendiknas Nomor  15 Tahun 2010 dan LKPJ Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 (Diolah kembali).

Dari perbandingan antara SNP, SPM dan LKPJ Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 nampak bahwa Provinsi Jawa Barat  belum menerapkan mutu dalam konsep absolute (Sallis dalam Subardiman et. al.,  2009) yang menerapkan pencapaian standar tertinggi dalam pekerjaan, produk maupun layanan, maupun mutu menurut pelanggan yang merupakan sesuatu yang memuaskan pelanggan (masyarakat, orang tua murid, dunia usaha).  Mutu masih dianggap sebagai konsep relatif yang masih perlu ditingkatkan terus menerus.
Menurut  Sallis ada beberapa konsep tentang mutu ( Subardiman et. al.,  2009). Pertama mutu sebagai konsep absolut. Dalam konsep ini kualitas atau mutu adalah pencapaian standar tertinggi dalam suatu pekerjaan, produk, dan layanan yang tidak mungkin dilampaui. Kedua mutu sebagai konsep relatif. Dalam konsep ini kualitas atau mutu masih ada peluang untuk peningkatan. Kualitas atau mutu adalah sesuatu yang masih dapat ditingkatkan. Akan tetapi jika dalam tahap peningkatan itu pelaksanaan sebuah pekerjaan telah mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya maka pekerjaan tersebut berkualitas. Ketiga adalah kualitas atau mutu menurut pelanggan. Dalam definisi ini mutu sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan  dan kebutuhan pelanggan. Peters berpendapat bahwa definisi yang dikemukakan oleh pelanggan sangat penting, karena Peters menemukan kenyataan bahwa pelanggan akan membayar lebih untuk mutu yang baik, tanpa menghiraukan tipe produknya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya harus memulai menyesuaikan kebijakan dengan  dengan memperhatikan  pelbagai pandangan tersebut, dan  jika ingin meningkatkan kualitas pendidikannya agar dapat berkompetisi dalam kehidupan global maka standarisasi UNESCO  berikut ini dapat dijadikan sebagai acuan.
1)      Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.
2)      Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3)      Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas.
4)      Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5)      Meningkatkan pemanfaatan information and communication technology (ICT) dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah.
6)      Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan profesional guru.
7)      Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8)      Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9)      Melaksanakan Quality Assurance (UNESCO, 2001).

Heryawan, Ahmad Gubernur Jawa Barat mengakui bahwa saat ini capaian untuk mendongkrak mutu dan pemerataan pendidikan masih belum memuaskan. Dia memaparkan sejumlah data tentang betapa jumlah ruangan kelas di Jabar saat ini belum memadai sehingga akan menghambat upaya pemerataan pendidikan.Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dibutuhkan dukungan dari semua pihak. "Harus ada kerja simultan yang didorong dan didukung semua pihak agar masalah pendidikan di Jabar dapat dituntaskan."
Dukungan masyarakat bukannya tidak ada. Hampir semua surat kabar di Jawa Barat menyediakan pelbagai rubrik mengenai pendidikan. Begitu banyak pemikiran disampaikan agar pendidikan di Indonesia dan khususnya Jawa Barat maju seseuai dengan yang dikehendaki masyarakat.
Setiawan, dosen dan sekretaris Puslit Dinamika Pembangunan LPPM Unpad, menyatakan bahwa secara historis-empiris kreativitas dan keinovatifan masyarakat Jawa Barat tidak diragukan. Dalam berkarya dan berkarsa masyarakat Jabar sangat berprinsip (tidak tuturut munding), mengusung keunggulan lokal (comparative advantage), menjunjung tinggi keberagaman (diversification) dan berorientasi nilai daya saing (competitive advantage) sehingga dihasilkan kekayaan yang tidak saja beragam, tetapi juga bernilai artistik, futuristik, dan sosio-ekonomik. Kekayaan Jawa Barat berbasis sumber daya alam, berbentuk sosial ekonomik dan budaya. Kekayaan budaya bisa dilihat pada kampung adat seperti Kampung Naga, kampung Kuta, kampung Dukuh, kampung Baduy, Kampung Cigugur; pada artefak dan situs sejarah Banten, Sumedang Larang, Cirebon, Galuh, Pakuan, Pajajaran;  pada kesenian  angklung, topeng Pantura, tembang sunda Cianjuran, wayang golek, tarling, benjang, pencak silat, dan jaipongan. “Pemerintah kota/kabupaten dan pemprov harus berbuat lebih cepat, konsisten dan tertib (jangan rumit dan mahal) melindungi, menata administrasi, menglengkapi dokumentasi (paten, sertifikasi) dan memberdayakan kekayaan masyarakat” (Tribun Jabar, 22 Mei 2010).
Opini-opini tersebut nampaknya mengarah pada perlunya peninjauan muatan lokal di sekolah-sekolah agar lebih fungsional terhadap kondisi  dan tantangan lokal.

Contextualization of finding is frequently the main element lacking in educational research evidence and resultant policymaking (Carnoy, 1999; Zayda 2005). This means that evidence for educational policymaking often consists of unsubstantiated findings or one-shot fenomena that may take precedence over long-term trends and cultural characteristics (Ball, 1998). Indeed, making educational policy exclusively on the basis of empirical research evidence is neither possible nor preferred in many cases because of the importance of considering the evidence within context (Whitty, 2006).

Dalam kerangka tersebut, Dinas Pendidikan (Disdik) Sumedang tengah menyusun standarisasi kinerja Kepala Sekolah, Guru dan Siswa yang akan diwarnai oleh konsep dan nilai-nilai strategis pembangunan Sumedang sebagai Puseur Budaya Pasundan. Akan disusun sebuah tata tertib sekolah sebagai acuan norma berperilaku di sekolah yang bermuatan nilai-nilai budaya Sunda. Budaya tersebut dibentuk melalui proses pembiasaan di sekolah misalnya dilarang berbicara kasar.
  Selain memperhatikan keluhan dan harapan masyarakat, maka dalam peningkatan mutu tersebut pendidikan dasar juga harus memenuhi keinginan masyarakat. Berikut ini adalah  pandangan masyarakat berkenaan dengan hal tersebut.
 Setia, Beni, (Pikiran Rakyat, November 2009),  menunjukkan perlunya pendidikan dasar memberikan muatan lokal bahasa daerah sebagai media mengaktualisasikan jati diri.
Persoalan kegamangan yang berkaitan dengan jatidiri diungkap pula oleh Paskarina, Carolina (Warta Bapeda, 2009) seorang akademisi yang mengatakan bahwa Ki Sunda “termajinalisasi di rumahnya sendiri”.
Di sisi lain, kolumnis Kusnandar, Dadang (Kompas Edisi Jawa Barat , 17 Juli 2009)  mempertanyakan masalah keadilan dalam alokasi anggaran pembinaan bahasa daerah terkait dengan adanya subkultur budaya Cirebon. Tulisan tersebut kemudian ditanggapi oleh di surat kabar yang sama oleh Setiawan, Hawe dan kemudian ditanggapi pula oleh  penulis Kasim, Supali dari Indramayu (Kompas Edisi Jawa Barat, 4 Agustus 2009). Masih ada tanggapan dari penulis lainnya seperti dari wartawan Bainur, Dadang, penulis S.M., Edeng , dan budayawan Cirebon Alwy, Subhanudin. Polemik tersebut menandai adanya masalah mengenai implementasi dari sebuah kebijakan pendidikan di Jawa Barat.
Dengan demikian nampaklah bahwa  implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dasar dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendasar tetapi di sisi lain masih belum dapat memuaskan  kebutuhan masyarakat khususnya di wilayah subkultur tertentu.  Sejumlah kendala dalam pelaksanaanya antara lain disebabkan karena budaya daerah Jawa Barat terdiri dari pelbagai subkultur budaya : Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi. Masalah implementasi alokasi anggaran pendidikan dasar menampakkan adanya rasa ketidakadilan dari suatu subkultur budaya terhadap subkultur budaya lainnya. Bupati Cirebon, Supardi, menuntut pemerintah provinsi untuk memberikan anggaran untuk pendidikan kebudayaan khususnya kebudayaan pantura (Tribun Jabar, 29 Mei 2011). Bupati menyatakan akan memimpin sendiri masyarakat Cirebon ke Gedung Sate.
Berdasarkan kondisi empiris dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat nampaknya pendidikan memang perlu memiliki basis kearifan lokal, suatu pandangan yang nampaknya menjadi komitmen Pemerintah sebagaimana dapat dilihat pada kebijakan dalam Peraturan Pemerintah  No 19/2005 yang mengatur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya Pasal 17.

Tidak ada komentar: