Pemanfaatan Anggaran di Provinsi Jawa Barat
Implementasi
alokasi anggaran pendidikan harus mengarah pada standar biaya pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional
Pendidikan mengatur delapan standar minimal pendidikan nasional antara lain
standar biaya pendidikan. Hal itu lebih jauh dirinci dalam Peraturan Menteri Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar
Biaya yang menyebutkan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya
investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana
dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya
personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik
untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Biaya operasi satuan pendidikan meliputi:
(1) Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang
melekat pada gaji; (2) Bahan atau
peralatan pendidikan habis pakai; dan
(3) Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,
asuransi dan lain sebagainya (BNSP, diunduh 25 Januari 2010).
Untuk
melihat alokasi anggaran pendidikan dalam membiayai pendidikan dasar di
Provinsi Jawa Barat belanja (expenditure) dikonversi ke dalam biaya (cost), artinya terminologi anggaran
pembangunan seperti belanja langsung maupun belanja tidak langsung diklasifikasikan menjadi tiga jenis biaya
pendidikan sebagaimana diatur oleh standar biaya pendidikan yaitu biaya
investasi, biaya personal dan biaya operasi.
Hasilnya
terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Konversi
Belanja ke Dalam Biaya Pendidikan
Biaya
|
Komponen
|
Rincian
|
Total
|
Investasi
Satuan Pendidikan
|
(1)
biaya penyediaan sarana dan prasarana,
(2)
pengembangan sumberdaya manusia,
(3)
dan modal kerja tetap
|
17.403.414.000
69.961.267.900
10.608.780.000
|
97.973.461.900
|
Biaya
Personal
|
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk
bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan
|
459.900.000
|
459.900.000
|
Biaya
Operasi Satuan Pendidikan
|
(1)
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta
segala tunjangan yang melekat pada gaji;
(2)
Bahan
atau peralatan pendidikan habis pakai; dan
(3)
Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa
daya , air, jasa telekomunika-si, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang
lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi dan lain sebagainya
|
178.484.138.263
307.217.158.200
600.700.856.463
|
1.086.402.154.926
|
|
|
|
1.184.835.515.926
|
Sumber : Hasil
Penelitian 2011.
Perbandingan
antara Biaya investasi dengan Biaya Personal dan Biaya Operasi Satuan
Pendidikan adalah Rp 97.973.461.900,00 berbanding Rp 459.900.000,00
berbanding Rp 1.086.402.154.926,00 dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengeluaran
terbesar anggaran pendidikan dari APBD Provinsi Jawa Barat adalah untuk biaya
operasi satuan pendidikan (terutama dalam bentuk BOS) yang mencapai Rp 1,086 triliun. Itu berarti bahwa
pengalokasian anggaran pendidikan pada Biaya Operasi Satuan Pendidikan
memberikan kontribusi terbesar pada penyelenggaraan dan mutu pendidikan
dasar Sembilan tahun di Provinsi Jawa
Barat.
Alokasi
anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat nampaknya belum menggunakan secara
penuh standar biaya tersebut sebagai acuan dalam merumuskan belanja pendidikan.
Ketika konsep biaya (cost) tersebut diimplementasikan dalam belanja (expenditure),
maka dalam alokasi penganggaran pendidikan terlihat bahwa biaya investasi dan biaya operasi didanai oleh Belanja Langsung,
sedangkan biaya personal nampaknya belum banyak teranggarkan dalam alokasi
anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian nampaklah bahwa
Belanja Langsung belum banyak memberikan plafond untuk biaya personal
yaitu biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa
mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan, padahal biaya
personal inilah sebenarnya yang menjadi beban berat bagi banyak peserta didik
dan keluarganya. Masalah lainnya adalah –hingga penelitian ini dilakukan— belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur
mengenai unit cost, sehingga menyulitkan pengalokasian anggaran untuk
biaya personal tersebut sehingga menjauhkannya dari slogan pro poor, pro growth, pro job
budgeting. Hal tersebut menyebabkan masih tingginya biaya pendidikan. “Di
kota Bandung dana pendidikan masih mahal padahal dana pendidikan dari APBD
Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung cukup besar” kata Komarudin.
Dengan kelemahan tersebut maka pemanfaatan anggaran
pendidikan sangat ditentukan oleh kinerja Pemerintah Daerah. Penyampaian
LKPJ Gubernur kepada DPRD menginformasikan gambaran kinerja perangkat daerah
secara utuh sepanjang tahun anggaran berdasarkan tolok ukur kinerja yang telah
disepakati Kepala Daerah bersama DPRD sebagaimana tertuang dalam RPJMD. Karena
itu gambaran kinerja tahunan merupakan implementasi kebijakan pemerintah
daerah, yang mengakumulasikan ketepatan sebuah perencanaan pemerintahan,
kecermatan dalam pengendalian pelaksanaan kegiatan oleh seluruh pimpinan OPD
serta ketegasan dalam proses pengawasan seluruh kegiatan beserta peran
masyarakat daerah. Keberhasilan maupun kegagalan kinerja dengan demikian
merupakan tanggungjawab bersama seluruh perangkat daerah dibawah koordinasi Gubernur.
Setelah melihat alokasi anggaran pendidikan untuk biaya
pendidikan, penelitian ini mencoba untuk mengetahui gambaran public unit cost setiap peserta didik pada pendidikan dasar Sembilan
tahun.
Tabel 2. Public
Unit Cost (PUC)
Sumber Anggaran
|
Alokasi Anggaran
Pendidikan
|
Total Anggaran
|
Jumlah
Siswa SMP/SD
|
Unit Cost (per tahun)
|
1.Pusat
2.Provinsi
3.Kota/
Kabupaten
|
1.458.687.097.500
517.614.980.000
1.400.211.631.358
|
3.376.513.708.858
|
5.954.754
|
567.028
|
1.Provinsi
2.Kokab
|
517.614.980.000
1.400.211.631.358
|
1.917.826.611.358
|
5.954.754
|
322.066
|
3.Provinsi
|
517.614.980.000
|
517.614.980.000
|
5.954.754
|
86.924
|
Sumber : Hasil Penelitian 2011
Public
unit cost sebesar Rp 567.028,00 per tahun kemudian dibagi 12 sehingga
diperoleh angka rata-rata per bulan per siswa pada jenjang pendidikan dasar
sebesar Rp 47.252,00. Angka ini memang mendekati kenyataan yang sebenarnya.
Seorang pengurus yayasan yang mengelola SMP swasta gratis bagi anak-anak
pedesaan di Kabupaten Subang mengkonfirmasi bahwa rata-rata dalam sebulan
memperoleh bantuan dari pemerintah sebesar Rp 45.000,00 per siswa. (Wawancara
dengan Asep, penyedia pendidikan bagi anak kurang mampu di Subang, 23 Juni
2011). Bantuan sebesar itu sesungguhnya belum memenuhi kebutuhan bagi
penggratisan sekolah, karena setiap bulan masih diperluan dana sekitar Rp
25.000,00 per siswa. Berdasarkan kenyataan tersebut dapatlah diperkirakan bahwa
unit cost yang sesungguhnya berkisar
pada angka Rp 70.000,00 per siswa per bulan atau Rp 840.000,00 per tahun.
Angka tersebut lebih kecil dari rata-rata biaya faktual di tingkat
nasional. Penelitian Ghozali, Abbas dkk (2003) menunjukkan biaya satuan
pendidikan untuk SD Negri mencapai Rp
1,864 juta dan untuk SMP Negeri Rp 2,771 juta. SD Swasta mencapai Rp 1,563 juta
dan SMP Swasta mencapai Rp 2,398 juta. Sehingga rata-rata mencapai Rp. 2,149
juta.
Angka public unit cost
Provinsi Jawa Barat akan semakin tinggi
jika pencapaian mutu menjadi dasar dari pembiayaan. Sebagai perbandingan unit cost di sekolah swasta yang
dianggap bermutu di kota Bandung dan Bekasi berkisar Rp 400.000,00 sampai
dengan Rp 500.000,00 per siswa per bulan (Wawancara dengan orang tua murid di
Bekasi dan Bandung, dan wawancara dengan koordinator administrasi sekolah
swasta di Bandung, 24 Juni 2011).
Berdasarkan temuan tersebut dapatlah diketahui kontribusi public unit cost terhadap biaya
pendidikan yang dibutuhkan
Tabel 3. Prosentase PUC Terhadap Biaya Faktual
|
Sekolah
|
Public Unit Cost (PUC)
|
Biaya Faktual
(BF) Regional
|
Rata-rata
Biaya Faktual (BF) Nasional
|
1.
|
SD/SMP
Negeri/ Swasta yang tidak memungut SPP
|
567.028,00
|
840.000,00
|
2.149.000,00
|
2.
|
SD/SMP
Swasta yang Memungut SPP
(Sekolah
swasta ini tidak mau menerima BOS)
|
0
|
6.000.000,00
|
|
3.
|
Prosentase
PUC : BF
|
|
67,50%
|
26,38%
|
Sumber
: Hasil Penelitian (2011).
Dari public unit
cost sebesar Rp 567.028,24 tersebut pusat berkontribusi
Rp 244,962,00, Provinsi berkontribusi Rp
86.924,00 dan Kota/Kabupaten
berkontribusi Rp 235.142,00 yang berarti bahwa dalam era otonomi daerah peran
pusat masih lebih besar dari provinsi dan kota /kabupaten.
Otonomi
daerah belum nampak kuat terimplementasi dalam bidang administrasi pendidikan
karena alokasi anggaran masih lebih banyak dari pusat dibanding dari daerah.
Karena itu kebijakan pendidikan khususnya kebijakan alokasi anggaran pendidikan
di tingkat nasional akan lebih signifikan terhadap penyelenggaraan pendidikan
dasar di Provinsi Jawa Barat.
Dengan public unit cost tersebut “pendidikan
gratis” bagi masyarakat melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun,
sudah dilaksanakan di Provinsi Jawa
Barat khususnya pada sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang menerima BOS.
Pelaksanaan tersebut lebih merupakan suatu ketaatan pada aturan daripada
berdasarkan kemampuan yang sebenarnya.
Sebagai
sebuah gagasan pendidikan gratis tentunya sangat ideal mengingat dari data
Susenas pada tahun 2006 terdapat 39,5
juta orang miskin dan 5,4 juta anak terlantar (Al Jufri, Salim Segaf, Mensos
RI). Dalam praktik yang ada adalah penyediaan dana BOS untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan penyediaan buku teks pelajaran KTSP dan bantuan baju
seragam sekolah. Pengadaan buku teksemplar pelajaran mencapai 15,8 juta
eksemplar untuk SD dan 8,6 juta eksemplar untuk SMP dengan alokasi Rp 273,678
miliar, sayangnya hanya untuk 10 pelajaran yang diujinasionalkan, sedangkan
untuk bahasa daerah tidak dianggarkan. Di sisi lain dana BOS seringkali
mengalami penyimpangan dalam operasionalisasi karena lemahnya pengawasan.
Sebagai
contoh dana BOS di Garut diduga disunat Rp 15.000,00 oleh UPTD tingkat
kecamatan untuk membiayai kegiatan pembukaan Seleksi Prestasi dan Kreativitas
Guru dan Siswa (SPKGS) serta Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) SD
se-Kabupaten Garut (Mumu, Kasi Kesiswaan Bidang
TK dan SD Disdik Garut
sebagaimana dikutip Tribun Jabar 21 April 2010). Seorang Guru SD di Kota Bandung
mengatakan bahwa kini sekolah seolah “kebanjiran” uang yang berasal baik dari
Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota tetapi penggunaannya belum
efektif. Dikatakannya pula bahwa dana tersebut banyak digunakan untuk memberi
bekal bagi para pejabat yang datang ke sekolah.
Di sisi
lain BOS juga menyebabkan menurunnya motivasi mengajar guru. Hal tersebut
dikarenakan dengan adanya BOS guru tidak memperoleh tambahan penghasilan yang
dulunya berasal dari iuran sekolah. (Wawancara dengan Edi, anggota masyarakat,
31 Mei 2011).
Dalam
rangka memenuhi prinsip akuntabilitas maka pertanggungjawaban akhir tahun yang
tertuang dalam LKPJ merupakan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk perhitungan APBD berikut
penilaian kinerja berdasarkan tolok ukur RPJMD. Untuk itu LKPJ terdiri dari
beberapa dokumen yaitu : Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD,
Laporan Aliran Kas dan Neraca Daerah.
Pemanfaatan
alokasi anggaran pendidikan tidak dapat dilepaskan dari proses pengalokasian
anggaran. Dilihat secara sistem, alokasi
anggaran pendidikan merupakan bagian dari Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat. Proses pengalokasian anggaran sangat panjang dan bersifat politis karena
meniscayakan proses politik antara lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga penetapan. Dilihat dari metodologinya, alokasi anggaran
pendidikan di Provinsi Jawa Barat didasarkan pada penganggaran kinerja (Budgeting
by Program or Performance) meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan
karakteristik penganggaran program atau
kinerja.
Ditinjau dari tipe-tipe
analisis kebijakan yang dikemukakan Fowler (2009) maka pengalokasian anggaran
pendidikan di Provinsi Jawa Barat merupakan gabungan dari pelbagai kebijakan
yang bisa dikategorikan distributive, regulatori (Lowi), rangsangan, membangun
kapasitas (McDoneell & Elmore). Di lihat dari analisis biaya dan keefektifan biaya (Levin)
pengalokasian anggaran pendidikan
sebesar 20% baru merupakan belanja (expenditure) yang belum mencerminkan
biaya (cost) karena belum adanya unit cost pendidikan yang baku.
Dari sisi benefit, sudah memperlihatkan
tangible benefits dalam bentuk angka-angka APK, RLS dan AMH
namun belum mengukur intangible
benefits seperti dukungan partisipasi publik.
Penganggaran
program dan kegiatan di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan pengaturan pola
pembelanjaan yang proporsional, efisien dan efektif. didasarkan pada
Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, Undang-undang RI Nomor 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 dan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 903/2706/SJ tanggal 8 September
2008 tentang Pendanaan Pendidikan dalam APBD tahun anggaran 2009. Atas dasar
itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasikan anggaran untuk pendidikan
sebesar 20% dari total belanja daerah tahun 2009. Anggaran pendidikan tersebut
diarahkan terutama untuk meningkatkan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah
dan merealisasikan “Jabar Putus Jenjang Sekolah”.
Dalam
bidang belanja pemerintah daerah membagi kebijakan pada dua hal yaitu yang
berkaitan dengan belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja Langsung
merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan yang dirinci dalam tiga kelompok yaitu belanja pegawai, barang dan
jasa serta belanja modal. Belanja Tidak Langsung adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari delapan
kelompok yaitu : (1) belanja pegawai; (2) belanja bunga; (3) belanja subsidi;
(4) belanja hibah; (5) belanja bantuan sosial; (6) belanja bagi hasil kepada
kabupaten/kota dan Pemerintahan Desa; (7) belanja bantuan keuangan kepada
kabupaten/kota dan Pemerintah Desa; dan (8) belanja tidak terduga.
Dalam rangka
alokasi anggaran pendidikan maka Pemerintah Provinsi dapat mengalokasikan
anggaran di luar program dan kegiatan dengan memberikan belanja bantuan
keuangan kepada kabupaten/kota dan pemerintah desa, karena salah satu kriteria
bantuan keuangan adalah untuk mendukung peningkatan IPM termasuk di dalamnya
indeks pendidikan (LKPJ Gubernur Akhir Tahun 2009, III-17).
Sayangnya
pada tahun 2011 BOS Provinsi untuk SMA yang jumlahnya Rp 180.000/siswa/tahun
tidak dianggarkan lagi. Gubernur mengatakan bahwa anggaran dialihkan untuk
siswa yang tidak mampu yang akan memperoleh Rp 500.000/siswa/tahun. Alasan
Gubernur adalah bahwa ada satu kabupaten yang 73% siswanya putus sekolah di
tingkat SMU. Di Jawa Barat, siswa SMP yang melanjutkan ke SMA baru 57% dan 43%
putus sekolah. Target Jawa Barat adalah 63% siswa bisa melanjutkan ke SMA.
Di
samping itu, nampaknya dalam pengalokasian anggaran di Provinsi Jawa Barat
harus memperhatikan keseimbangan antar wilayah, apalagi wilayah dengan kondisi
khusus daerah seperti wilayah Cirebon yang merupakan pusat keraton di Jawa
Barat saat ini. Jika tidak maka kasus Sultan Kanoman XII Raja Muhammad
Emiruddin mendemo Wali Kota Cirebon Subardi (Tribun Jabar 4 Juni 2010) menuntut
anggaran terulang lagi di waktu mendatang.
Padahal dukungan keraton terhadap pendidikan merupakan intangible
benefits yang harus diperhitungkan. Belum lagi jika dikaitkan dengan apa
yang disebut sebagai variable konteks sosial (Avory et al.: 2008: ) sebagai
sumber variasi dalam pencapaian pembelajaran.
Paradoks
juga muncul pada saat Kota/Kabupaten kekurangan anggaran, peningkatan anggaran
di tingkat Provinsi nampaknya belum disertai kemampuan untuk menggunakannya,
sebagai contoh 12% APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2009 tidak terserap. Hal itu menunjukkan bahwa
pada aspek perencanaan masih terjadi kelemahan. Dari jumlah APBD Rp 9,2 triliun
hanya terserap 8,06 trilyun (87,66%), Gubernur beralasan hal itu karena efisiensi
dan akan digunakan membiayai pos-pos yang menyentuh langsung kebutuhan
masyarakat. “Efisiensi dan efektifitas sebagai indikator penggunaan APBD”,
sehingga Gubernur menginstruksikan untuk
mengefisienkan belanja yang tidak langsung menyentuh kepentingan
masyarakat banyak seperti anggaran rapat-rapat di hotel-hotel harus dibatasi.
Pada sisi lain Bansos (bantuan sosial) harus berdasarkan prinsip kehati-hatian,
harus memenuhi syarat administratif, bermanfaat bagi masyarakat dan akuntabel
(Galamedia, 31 Mei 2010). Supriadin (Anggota DPRD) mengeluhkan kurangnya
pemerataan alokasi anggaran pendidikan, di Kota Bandung banyak sekolah
kekurangan murid sementara di Tasikmalaya kekurangan sekolah. Di samping itu
iapun mengeluhkan kurangnya transparansi eksekutif karena hanya melaporkan
total anggaran tanpa memberikan rinciannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar