Kamis, 16 Maret 2017

Hasil Alokasi Anggaran Pendidikan di Jawa Barat




Ada dua klasifikasi umum dalam instrument kebijakan yaitu klasifikasi mekanisme pasar dan klasifikasi akuntabilitas administratif. Pendekatan tersebut akan mengarahkan pada masalah-masalah “kegagalan pemerintah” atau “kegagalan pasar” sebagaimana disinyalir Hannaway (2003:3) :
Two major classes of policy instruments…the first are those that attempt to harness the advantages of market mechanisms particularly the incentives stemming from competitive pressure, to direct school behavior. The second are those that attempt to build incentives into the system through administrative accountability schemes that incorporate performance-based rewards and sanctions. In general, these instruments represent attemps to offset problems associated with “government failure” or “market failure”.
Kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat jika ditinjau dari instrumen kebijakannya dapat digolongkan ke dalam klasifikasi akuntabilitas administratif karena tidak  menyerahkan pendidikan pada mekanisme pasar yang mendorong tekanan kompetisi.
Masalahnya adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut, karena  seperti yang dinyatakan Lane (1993:225)  persoalan utama kebijakan publik adalah pertentangan antara kebijakan dengan pelaksanaannya dalam kenyataan, sehingga analisis kebijakan publik diarahkan untuk mendapatkan gambaran tentang kesesuaian antara tujuan kebijakan dan penerapannya.
Pengelolaan pendidikan dasar hampir sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah kota dan kabupaten, sehingga walikota dan bupati mempunyai kontrol kuat terhadap sekolah. Faktor-faktor ini kemudian mempengaruhi implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan.
Implementasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat dilakukan melalui program dan non program. Program dielaborasi ke dalam program bantuan maupun kegiatan yang berupa proyek-proyek baik yang berada di Dinas Pendidikan, maupun di OPD lainnya. Sedangkan yang non program berada dalam wilayah diskresi Gubernur untuk mengeluarkan anggaran yang belum ditentukan programnya.
Pengukuran kinerja menggunakan empat prinsip : proporsionalitas, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas. Dilihat dari prinsip proporsionalitas maka alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp 1,6 trilyun rupiah yang berarti 20% dari APBD adalah proporsional dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku. Meskipun demikian nampaknya belum proporsional jika dilihat dari pengalokasiannya, karena program wajar dikdas 9 tahun memperoleh alokasi kurang dari 10% dari total anggaran pendidikan. Prinsip Efisiensi dilakukan antara lain  dengan melakukan program peningkatan produktivitas, perencanaan dan penganggaran, mengembangkan metode pembangunan berbiaya rendah, menyeleksi program pembangunan, mempertimbangkan keekonomisan skala dalam penyediaan pelayanan serta mempromosikan metode cost-saving dengan cara bekerja sama dengan kontraktor swasta. Prinsip efektivitas alokasi anggaran pendidikan dilakukan dengan mengukur kinerja  dikaitkan dengan indikator yang harus dicapai  yang ditentukan dalam RPJMD dan RKPD.
Target Indeks Pembangunan Manusia di Bidang Pendidikan untuk tahun 2009 yang tertuang dalam RKPD adalah sebesar 82,02 poin sedangkan realisasinya 80,58 (BPS 2009), itu berarti target yang telah ditetapkan tidak tercapai. Salah satu indikator yang menentukan IPM bidang pendidikan adalah Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang mencapai 7,58 tahun atau rata-rata kelas satu SLTP. Pencapaian tersebut tidak berjalan seiring dengan yang ditargetkan Gubernur bahwa wajar dikdas Sembilan tahun akan tercapai selambat-lambatnya pada tahun 2010, sementara target wajib belajar 12 tahun akan dicapai tahun 2013. Meskipun demikian Provinsi Jawa Barat dapat mencapai tingkat kelulusan UN cukup baik yang berujung pada meningkatnya Indeks Pendidikan dari 80,35 pada tahun 2008 menjadi 80,58 pada tahun 2009 atau meningkat 0,23 poin. Indeks Pendidikan meningkat setiap tahunnya, tahun 2004 : 79,02; tahun 2005 : 79,51 ; tahun 2006 : 79,93; tahun 2007 : 80,21 ; dan tahun 2009 : 81,64.
 Data pada tahun 2009 menunjukkan peningkatan Angka Partisipasi Sekolah. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/SDLB sebesar 116,20%; Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs/SMPLB sebesar 88,90%; APK SMP/MTs/SMPLB sebesar 96,15% ; APM SMA/SMK/SMALB/MA sebesar 36,37%, APK SMA/SMK/SMALB/MA sebesar 53,24%. Angka ini belum memuaskan Gubernur karena target nasional APK tingkat SLTA adalah 68%. Angka melek huruf pun meningkat sehingga Angka Buta Huruf turun dari 5,33% menjadi 4,4%.
Sementara itu, Tim Monitoring melaporkan Rata-rata Lama Sekolah di Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon mencapai 9,76 tahun yang berarti anak usia sekolah (7-18 tahun) di kecamatan tersebut berpendidikan  kelas 10. Namun angka melanjutkan SMP/MTs hanya 44,22%, artinya untuk pelaksanaan wajar dikdas 12 tahun masih sulit dilakukan.  Sementara itu di Kecamatan Bogor Selatan seluruh anak usia 1- 15 tahun telah mengikuti kegiatan Wajib Belajar 9 tahun (APK 100%), angka melanjutkan SMP/MTs mencapai 88%. Dari hasil tersebut masih nampak disparitas pendidikan di Cirebon dan Bogor dilihat di tingkat kecamatan, artinya pendidikan di Kota Bogor lebih baik dari pendidikan di Kota Cirebon. Disparitas ini menunjukkan kesenjangan pendidikan antar wilayah, yang jika tidak segera diatasi bisa memunculkan gejolak, antara lain aspirasi kearah pembentukan provinsi baru yang kebetulan direspon positif oleh Gubernur.
Edwards (1980 : 9-10) beranggapan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masalah implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, sikap (disposisi) dan struktur birokrasi—standard operating procedures (SOP), sedangkan Grindle (1980: 7-11) berpandangan bahwa kegagalan implementasi kebijakan dipengaruhi dua hal, isi kebijakan (content of policy) dan konteks penerapan kebijakan (contexs of implementation).
Dalam konteks penerapan kebijakan maka tidak dapat dinafikan kenyataan bahwa alokasi anggaran pendidikan dipengaruhi oleh faktor siapa yang menentukan kebijakan dalam hal ini kenyataannya adalah eksekutif dan legislatif, meskipun kebanyakan anggota legislatif berpandangan eksekutiflah yang lebih dominan. Dominasi eksekutif dan lebislatif yang bahkan melebihi lembaga yudikatif (peradilan) dikarenakan mereka adalah lembaga demokratik yang makin menguat sejak demokratisasi dan reformasi politik. Dalam hal ini Superfine (2009) berpendapat bahwa
Studies of democratic institutions do indicate that these institutions are generally influenced by democratic politics to a greater extent than courts, and the scientific community has also had much to say …about the provisions for scientifically based research (2009:  )
Di sisi lain Ruben (1999) berpandangan siapa yang mengontrol sekolah maka dia menentukan.

Whoever controlled the schools determined who taught in them, who administered them, what sorts of social and academic environments were created, and which students were prepared to pursue post secondary education…the extent to which people who control the schoold can determine who succeds in them (1999:143-144).

Hasil temuan lapangan memang  menunjukkan bahwa alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat merupakan kombinasi antara aspek teknokratik, politik dan partisipatif. Aspek  teknokratik ditandai dengan dengan adanya kajian akademis dari perguruan tinggi yang merupakan prasyarat bagi penyusunan rancangan peraturan daerah. Aspek politik ditunjukkan dengan proses alokasi   anggaran yang dibuat bersama dengan DPRD baik dalam Musrenbang, penyusunan KUA/PPAS dan RAPBD.  Aspek partisipatif ditunjukkan oleh adanya musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang merupakan musyawarah antara pilar-pilar dalam good governance yaitu pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Adanya disparitas dalam hasil implementasi kebijakan mungkin menunjukkan bahwa aspek partisipatif masih perlu diperkuat di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar: