Ada dua klasifikasi umum dalam instrument kebijakan yaitu
klasifikasi mekanisme pasar dan klasifikasi akuntabilitas administratif.
Pendekatan tersebut akan mengarahkan pada masalah-masalah “kegagalan
pemerintah” atau “kegagalan pasar” sebagaimana disinyalir Hannaway (2003:3) :
Two major classes of policy instruments…the first are those that
attempt to harness the advantages of market mechanisms particularly the
incentives stemming from competitive pressure, to direct school behavior. The
second are those that attempt to build incentives into the system through
administrative accountability schemes that incorporate performance-based
rewards and sanctions. In general, these instruments represent attemps to
offset problems associated with “government failure” or “market failure”.
Kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat jika
ditinjau dari instrumen kebijakannya dapat digolongkan ke dalam klasifikasi
akuntabilitas administratif karena tidak
menyerahkan pendidikan pada mekanisme pasar yang mendorong tekanan
kompetisi.
Masalahnya adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut,
karena seperti yang dinyatakan Lane
(1993:225) persoalan utama kebijakan
publik adalah pertentangan antara kebijakan dengan pelaksanaannya dalam
kenyataan, sehingga analisis kebijakan publik diarahkan untuk mendapatkan
gambaran tentang kesesuaian antara tujuan kebijakan dan penerapannya.
Pengelolaan pendidikan dasar hampir sepenuhnya merupakan kewenangan
pemerintah kota dan kabupaten, sehingga walikota dan bupati mempunyai kontrol
kuat terhadap sekolah. Faktor-faktor ini kemudian mempengaruhi implementasi
kebijakan alokasi anggaran pendidikan.
Implementasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat dilakukan
melalui program dan non program. Program dielaborasi ke dalam program bantuan
maupun kegiatan yang berupa proyek-proyek baik yang berada di Dinas Pendidikan,
maupun di OPD lainnya. Sedangkan yang non program berada dalam wilayah diskresi
Gubernur untuk mengeluarkan anggaran yang belum ditentukan programnya.
Pengukuran
kinerja menggunakan empat prinsip : proporsionalitas, efisiensi, efektivitas
dan akuntabilitas. Dilihat dari prinsip proporsionalitas maka alokasi anggaran
pendidikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp 1,6 trilyun rupiah yang berarti 20%
dari APBD adalah proporsional dilihat dari ketentuan undang-undang yang
berlaku. Meskipun demikian nampaknya belum proporsional jika dilihat dari
pengalokasiannya, karena program wajar dikdas 9 tahun memperoleh alokasi kurang
dari 10% dari total anggaran pendidikan. Prinsip Efisiensi dilakukan antara
lain dengan melakukan program
peningkatan produktivitas, perencanaan dan penganggaran, mengembangkan metode
pembangunan berbiaya rendah, menyeleksi program pembangunan, mempertimbangkan
keekonomisan skala dalam penyediaan pelayanan serta mempromosikan metode cost-saving
dengan cara bekerja sama dengan kontraktor swasta. Prinsip efektivitas alokasi
anggaran pendidikan dilakukan dengan mengukur kinerja dikaitkan dengan indikator yang harus
dicapai yang ditentukan dalam RPJMD dan
RKPD.
Target
Indeks Pembangunan Manusia di Bidang Pendidikan untuk tahun 2009 yang tertuang
dalam RKPD adalah sebesar 82,02 poin sedangkan realisasinya 80,58 (BPS 2009),
itu berarti target yang telah ditetapkan tidak tercapai. Salah satu indikator
yang menentukan IPM bidang pendidikan adalah Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang
mencapai 7,58 tahun atau rata-rata kelas satu SLTP. Pencapaian tersebut tidak
berjalan seiring dengan yang ditargetkan Gubernur bahwa wajar dikdas Sembilan
tahun akan tercapai selambat-lambatnya pada tahun 2010, sementara target wajib
belajar 12 tahun akan dicapai tahun 2013. Meskipun demikian Provinsi Jawa Barat
dapat mencapai tingkat kelulusan UN cukup baik yang berujung pada meningkatnya
Indeks Pendidikan dari 80,35 pada tahun 2008 menjadi 80,58 pada tahun 2009 atau
meningkat 0,23 poin. Indeks Pendidikan meningkat setiap tahunnya, tahun 2004 :
79,02; tahun 2005 : 79,51 ; tahun 2006 : 79,93; tahun 2007 : 80,21 ; dan tahun
2009 : 81,64.
Data pada tahun 2009 menunjukkan peningkatan
Angka Partisipasi Sekolah. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/SDLB sebesar
116,20%; Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs/SMPLB sebesar 88,90%; APK
SMP/MTs/SMPLB sebesar 96,15% ; APM SMA/SMK/SMALB/MA sebesar 36,37%, APK
SMA/SMK/SMALB/MA sebesar 53,24%. Angka ini belum memuaskan Gubernur karena
target nasional APK tingkat SLTA adalah 68%. Angka melek huruf pun meningkat
sehingga Angka Buta Huruf turun dari 5,33% menjadi 4,4%.
Sementara
itu, Tim Monitoring melaporkan Rata-rata Lama Sekolah di Kecamatan Harjamukti
Kota Cirebon mencapai 9,76 tahun yang berarti anak usia sekolah (7-18 tahun) di
kecamatan tersebut berpendidikan kelas
10. Namun angka melanjutkan SMP/MTs hanya 44,22%, artinya untuk pelaksanaan
wajar dikdas 12 tahun masih sulit dilakukan.
Sementara itu di Kecamatan Bogor Selatan seluruh anak usia 1- 15 tahun
telah mengikuti kegiatan Wajib Belajar 9 tahun (APK 100%), angka melanjutkan
SMP/MTs mencapai 88%. Dari hasil tersebut masih nampak disparitas pendidikan di
Cirebon dan Bogor dilihat di tingkat kecamatan, artinya pendidikan di Kota
Bogor lebih baik dari pendidikan di Kota Cirebon. Disparitas ini menunjukkan
kesenjangan pendidikan antar wilayah, yang jika tidak segera diatasi bisa
memunculkan gejolak, antara lain aspirasi kearah pembentukan provinsi baru yang
kebetulan direspon positif oleh Gubernur.
Edwards (1980 : 9-10) beranggapan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber
daya, sikap (disposisi) dan struktur birokrasi—standard operating procedures
(SOP), sedangkan Grindle (1980: 7-11) berpandangan bahwa kegagalan
implementasi kebijakan dipengaruhi dua hal, isi kebijakan (content of policy)
dan konteks penerapan kebijakan (contexs of implementation).
Dalam konteks penerapan kebijakan maka tidak dapat dinafikan
kenyataan bahwa alokasi anggaran pendidikan dipengaruhi oleh faktor siapa yang
menentukan kebijakan dalam hal ini kenyataannya adalah eksekutif dan
legislatif, meskipun kebanyakan anggota legislatif berpandangan eksekutiflah
yang lebih dominan. Dominasi eksekutif dan lebislatif yang bahkan melebihi
lembaga yudikatif (peradilan) dikarenakan mereka adalah lembaga demokratik yang
makin menguat sejak demokratisasi dan reformasi politik. Dalam hal ini Superfine
(2009) berpendapat bahwa
Studies of democratic institutions do indicate that these
institutions are generally influenced by democratic politics to a greater
extent than courts, and the scientific community has also had much to say …about
the provisions for scientifically based research (2009: )
Di sisi lain Ruben (1999) berpandangan siapa yang mengontrol
sekolah maka dia menentukan.
Whoever
controlled the schools determined who taught in them, who administered them,
what sorts of social and academic environments were created, and which students
were prepared to pursue post secondary education…the extent to which people who
control the schoold can determine who succeds in them (1999:143-144).
Hasil
temuan lapangan memang menunjukkan bahwa
alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat merupakan kombinasi antara
aspek teknokratik, politik dan partisipatif. Aspek teknokratik ditandai dengan dengan adanya
kajian akademis dari perguruan tinggi yang merupakan prasyarat bagi penyusunan
rancangan peraturan daerah. Aspek politik ditunjukkan dengan proses
alokasi anggaran yang dibuat bersama
dengan DPRD baik dalam Musrenbang, penyusunan KUA/PPAS dan RAPBD. Aspek partisipatif ditunjukkan oleh adanya
musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang merupakan musyawarah
antara pilar-pilar dalam good governance
yaitu pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Adanya
disparitas dalam hasil implementasi kebijakan mungkin menunjukkan bahwa aspek
partisipatif masih perlu diperkuat di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar