Sabtu, 17 Oktober 2009

human invesment

Pendidikan adalah sarana bagi manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya maupun orang lain, bahkan Prof. Driyarkara mengatakan sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Margono Slamet (1998:1) mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap (feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior). Lebih lanjut Dahama dan Bhatnagar ( 1980:3), mengemukakan tujuan pendidikan itu ..............as the process of bringing desirable change into behavioral change of human being. Menurutnya komponen-komponen perilaku yang harus berubah meliputi: Knowledge and ideas, values and attitudes, norms and skills, understanding and translation, ditambah dengan goals and confidence.
Kata kunci dari tujuan pendidikan ialah perubahan perilaku. Unsur-unsur perilaku ini selalu merujuk kepada apa yang telah diketahui atau dipahami oleh peserta didik (Knowledge), apa yang dapat mereka lakukan (Skills), apa yang mereka rasakan/pikirkan (Attitudes) dan apa yang mereka kerjakan (Action).
Apabila pengertian perilaku ini lebih disederhanakan maka, perilaku dapat dibagi menjadi 2 unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan Intelektual (KI) contohnya masyarakat Barat yang rasional dan individualistis, di mana mereka cenderung mendengarkan apa "kata kepala", sedangkan Kecerdasan Emosional (KE) contohnya masyarakat Timur yang masih terikat kepada tradisi yang cenderung mendengarkan apa "Kata Hati". Hasil penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan seseorang dalam berprestasi ditentukan oleh hanya 20 persen dari KI-nya sedangkan 80 persen oleh faktor lain, terutama KE-nya.
Apabila lembaga pendidikan tidak dikelola oleh para profesional maka, kualitas SDM Indonesia di masa mendatang - terutama dalam era globalisasi - akan menghadapi tantangan yang sangat berat. Akan tetapi jika dikelola secara profesional, maka masalah kualitas SDM, akan dapat teratasi secara bertahap.
Masyarakat akan memberikan public recognition kepada sektor ini, jika hasil kinerja para profesional itu dapat diterima dan diakui semua pihak sesuai dengan motto Education for all.
Itulah sebabnya penguatan posisi tawar dari Departemen Pendidikan Nasional dengan pihak eksekutif dan legislatif perlu dijadikan agenda penting terutama untuk menaikkan anggaran sektor Pendidikan. Seperti diketahui anggaran sektor pendidikan dalam APBN 2001 relatif sangat kecil yakni berkisar 6,5 persen.
Artinya, para pembuat kebijakan baik eksekutif maupun legislatif belum mampu memahami kepentingan dunia pendidikan sebagai human investment bagi bangsa dan negara dimasa mendatang. Untuk ini, perlu reformasi sistem pendidikan agar lembaga pendidikan mampu melahirkan SDM yang berkualitas, profesional, dan memiliki daya saing yang tinggi baik pada level nasional maupun global.
Ketetapan-ketetapan MPR 1999 yang berhubungan dengan pendidikan merupakan permulaan reformasi pendidikan di Indonesia, dimana antara lain ditetapkan:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga kependidikan mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional ( Ketetapan-ketetapan MPR 1999, hal. 80-81 ).
Pada ketiga butir ketetapan tersebut tersirat: pertama, peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia; kedua, pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan dengan meningkatkan anggaran pendidikan, termasuk kesejahteraan guru dan; ketiga, penyesuaian program-program pendidikan sesuai dengan kebutuhan lokal dan nasional. Alhamdulillah Pemerintah dalam hal ini telah menyatakan komitmennya untuk menaikan anggaran pendidikan 20% sesuai amanat UUD, namun demikian realisasinya masih harus kita tunggu.
Era reformasi sebenarnya memberi kita harapan yang banyak bagi adanya perubahan fundamental, khususnya bagi perbaikan social, ekonomi dan politik masyarakat. Tetapi fakta sebaliknya. Ekonomi, social, dan politik kita malah semakin terpuruk, bertambahnya jumlah rakyat miskin, adanya konflik-konflik horizontal maupun vertical, serta masih banyaknya para elit politik yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum (politisi busuk, korupsi, prilaku menyimpang) lebih menunjukan kegagalan reformasi dibanding keberhasilan.
Tentu saja masalah ini tidak akan terjadi, jika agenda reformasi dikembalikan arahnya sesuai dengan tujuan semula. Pemerintah dalam hal ini berperan penting untuk mengawal agar reformasi yang menjadi symbol bagi perbaikan bangsa kedepan tidak salah arah.
Pemerintah harus memiliki prioritas. Prioritas pokok tentunya adalah perbaikan kualitas masyarakat (human investmant). Dan ini dapat diupayakan melalui pendidikan. Ada sebuah wacana yang menegaskan: Development stands or falls with the improvement of human and institutional competence (Hill, 1962:4). Secara lebih arif dapat disimpulkan bahwa pendidikan bermutu menghasilkan SDM bermutu dan merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan. Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah yang sifatnya multidimensi yang menuntut pemecahan segera. Masyarakat yang mutu SDM-nya rendah, cenderung tidak akan mampu memecahkan masalahnya. Berbeda dengan masyarakat yang mutu SDM-nya tinggi, mereka memiliki potensi untuk memecahkan masalahnya, serta mampu merumuskan pola pemberdayaan (empowerment) masyarakat untuk berpartisipasi aktif di dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup.
Human investment melalui pendidikan bermutu, akan melahirkan SDM bermutu yang pada akhirnya membawa Indonesia dapat melakukan persaingan dalam konteks kerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Bukti menunjukkan bahwa era krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997, ternyata Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh lebih cepat keluar dari krisis tersebut, sedangkan Indonesia hingga saat ini masih menghadapi krisis yang makin terpuruk, dan malah ditambah dengan krisis-krisis sosial, politik, disintegrasi, konflik sosial horisontal, yang sifatnya multidimensi.
Hal ini terjadi karena SDM di negara-negara tersebut jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan Indonesia. Kita masih ingat bahwa pada tahun 1960 yaitu permulaan kemerdekaan Malaysia, guru-guru MIPA dari Indonesia banyak mengajar di Malaysia, tetapi saat ini telah banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Perguruan Tinggi Malaysia pada tingkat sarjana, bahkan Pascasarjana. Ini suatu bukti bahwa pemerintah Malaysia memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan sebagai Human investment serta menyediakan anggaran yang cukup untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu termasuk perhatian terhadap gaji dan kesejahtaraan tenaga kependidikannya. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembangunan sektor pendidikkan ini?
Dan sejauh mana pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya untuk menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat berkonsentrasi untuk memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didiknya?
Secara jujur harus diakui bahwa pada permulaan pemerintahan orde baru, pemerintah telah banyak membangun gedung-gedung sekolah mulai dari Sekolah Dasar, SLTP, SLTA, sampai Perguruan Tinggi. Akan tetapi sasarannya lebih menekankan pembangunan material, belum mengacu kepada pembangunan sektor pendidikan yang berorientasi kepada mutu lulusan, apalagi peningkatan kesejahteraanm tenaga kependidikan sebagai unsur pendidikan yang perlu memperoleh perhatian. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu pemerintah memperoleh dana yang cukup besar dari hasil kenaikan harga minyak.
Semua departemen berlomba membangun gedung-gedung yang mewah baik di pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, sampai Kecamatan. Dan malah ada yang mubazir, seperti gudang Dolog pada tingkat kecamatan yang tidak pernah digunakan karena di samping lokasinya tidak tepat juga karena tidak merespon kebutuhan masyarakat. Banyak gedung SD Inpres tidak mempunyai murid karena dibangun di lokasi yang sudah ada bangunan SD-nya. Orang-orang daerah sangat bangga melihat Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit serta pesatnya pembangunan jembatan layang. Akan tetapi mereka bertanya mengapa di daerah yang banyak sungainya, jembatan tidak dibangun, sementara di Jakarta yang tidak ada sungainya malah ada jembatan layangnya. Inilah beberapa kasus-kasus pembangunan, yang menjadikan pembangunan material sebagai prioritas sementara pembangunan SDM-nya terlupakan.
Bagaimana pentingnya pembangunan SDM ini, Edwin Markam (dalam Lunardi 1984:II) mengucapkan secara tepat di dalam sajaknya:
" MAN MAKING "
WE ARE ALL BLIND UNLESS WE SEE
THAT IN THE HUMAN PLAN
NOTHING IS WORTH THE MAKING
IF IT DOES NOT MAKE THE MAN
WHY BUILD THESE CITIES GLORIUS
IF MAN UNBUILDED GOES?
IN VAIN WE BUILD THE WORK UNLESS
THE BUILDER ALSO GROWS
Sajak di atas menekankan bahwa kita semua buta kecuali kita dapat melihat, bahwa dalam rencana manusia, tiada yang berharga dibangun, apabila manusia tidak dibangun. Segala harga pembangunan akan sia-sia, kecuali SDM pembangun dapat tumbuh dan berkembang. Generasi muda harus diberdayakan melalui pendidikan bermutu. Pinjaman luar negeri lebih tepat dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi generasi muda daripada membangun gedung-gedung dan proyek-proyek raksasa yang cenderung gagal sehingga rakyat tidak merasakan manfaatnya.

Tidak ada komentar: