Jumat, 05 Februari 2010

Kebudayaan Lokal

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sebagai suatu jenis aktifitas manusia tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapainya. Teori-teori pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh konsep pemikiran mengenai eksistensi manusia dari Plato dan Aristoteles menunjukkan pentingnya proses ‘memanusiakan manusia’. Mulyana (2002: 5) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya kemudian menjadi teori-teori baru yang menekankan tujuan kedewasaan dan kemandirian (Langeveld), totalitas kepribadian (Tolman), pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Encyclopedia Americana), hati nurani (Kohnstamm & Gunning).
Pendidikan meskipun mengalami krisis seperti digambarkan Coombs (1986: 3) diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya (Quthb,1998:325 ). Tidaklah mengherankan jika Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II di bidang pendidikan adalah “mengembangkan kebudayaan dan pendidikan karakter”.

B. Masalah

Sifat krisis kependidikan dapat dinyatakan dalam kata-kata change (perubahan), adaptation (adaptasi) dan disparity (kesenjangan). Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan disekitarnya. Konsekuensi kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya merupakan esensi dari kependidikan dunia. Meskipun kondisi lokal menyebabkan variasi krisis yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, namun demikian nampak benang merah pada semua bangsa apakah mereka lama atau baru, stabil atau labil, kaya atau miskin.
Beberapa penyebab munculnya krisis adalah: pertama, aspirasi masyarakat terhadap pendidikan yang meningkat tajam, kedua, kelangkaan sumber daya yang akut, yang menjadi kendala bagi sistem pendidikan dalam merespon kebutuhan-kebutuhan baru. Ketiga, inertia (kelembaman) yang melekat pada sistem pendidikan, yang menyebabkan sulitnya adaptasi internal dalam merespon kebutuhan-kebutuhan eksternal, meskipun tidak terkait langsung dengan sumber daya. Keempat, adalah kelembaman dari masyarakat sendiri seperti sikap tradisional, tradisi keagamaan, gengsi dan struktur kelembagaan yang membatasi optimalisasi pendidikan dan tenaga kependidikan dalam mengimbangi pembangunan nasional (Coombs, 1968:4).
Berkaitan dengan frasa “sistem pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan bahwa sistem pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe pendidikan formal seperti primer, sekunder, post secondary, umum dan spesialisasi tetapi juga seluruh program dan proses sistematik pendidikan di luar pendidikan formal yaitu yang dikenal dengan pendidikan non formal. Sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun non formal memiliki sejumlah input, yang diproses untuk memperoleh output untuk memenuhi tujuan tertentu.


II. PEMBAHASAN

A. Globalisasi
Globalisasi yang disebut sebagai borderless world oleh Ohmae (1995:1) ditandai dengan ciri empat “i”. Pertama, investasi, yakni maraknya pasar modal yang melewati batas wilayah negara. Kedua, informasi, yakni merebaknya industri dan jasa informasi yang telah meninggalkan industri manufaktur dan membawa kita ke dalam dunia dengan tatanan global. Ketiga, industri, yakni bangkitnya banyak perusahaan multinasional yang menggantikan peran-peran pemerintah. Dengan modal dan tenaga kerja yang besar, mereka ibarat gurita yang merambah berbagai daerah di penjuru dunia. Keempat, individu, yakni munculnya individu sebagai konsumen global yang sangat membutuhkan produk yang trendy, berkualitas, tapi murah. Untuk memasuki era seperti itu maka kesiapan SDM merupakan suatu keharusan, dan itu berarti bahwa pendidikan merupakan faktor yang determinan, karena pendidikan menyiapkan manusia agar memiliki good citizenship.

Globalization as a Construct

Globalisasi harus dipahami sebagai sebuah konstruk, meskipun demikian nampaknya tidaklah mudah membuat definisi tentangnya. Begitu banyak definisi yang saling bersaing satu sama lain. Masalahnya tidak pada persoalan definisi tersebut tetapi pada konsekuensinya pada Negara-bangsa dan individu di seluruh dunia. Ada 3000 definisi yang ditawarkan sejak 1998 sebagaimana dikutip dalam
Globalisation Guide (2002):

One can be sure that virtually every one of the 2822 academic papers on globalisation written in 1998 included its own definition, as would each of the 589 new books on the subject published in that year. (http://www.globalisationguide.org/sb02.html).


Bentuk Perlawanan Terhadap Globalisasi

Dunia tidaklah diam menghadapi globalisasi. Di sana-sini terjadi respon ataupun perlawanan terhadap globalisasi sehingga dikenal isitilah glokalisasi dan grobalisasi. Glokalisasi adalah hybrid yang terbentuk antara yang global dan lokal.

Ritzer (2005) examines how manifestations of something and nothing move and thereby alter one another, processes he refers to alternatively and oppositionally as glocalization and grobalization. Glocalization is the intermingling of the global and the local such that a hybrid is formed. Eating in a Vietnamese restaurant in Brazil while talking on a Japanese cell phone through a US satellite network to someone in Indonesia about the purchase of land in Russia is an illustration of what has become commonplace and has led to the hybridization of cultural artifacts. Hybridization has brought kosher pizzas, matrioshka dolls (originally a Russian folklore artifact) manufactured in Mexico, and Starbucks coffee, masquerading as a local café in Romania. While such glocalization stirs excitement in the possibilities of a small planet for some, others are dismayed at what they see as the bastardization, commodification, and exploitation of the local. Put another way, is the ubiquity of commodification familiarity an illustration of rationalization, Americanization, and restriction or freedom, diversity, and cultural synthesis (Ritzer, 2004, p. 80).

Sementara grobalisasi meminimalisasi perbedaan antara orang dan tempat membuat orang kehilangan kemapuan adaptasi dan inovasi, proses social langsung begitu deterministik dan dominan dan membuat manusia dikomodifikasi. Singkatnya, menggrobalisasi orang lain di dunia sehingga mereka bukan agen bagi diri mereka sendiri tetapi bertindak secara rasional dalam tatanan global.

Advocates of glocalization see these new syntheses as progress, an effect being people identifying as one. Opponents like Ritzer, however, characterize these same changes as illustrations of grobalization. Grobalization minimizes and trivializes the differences among people and places, affords them less ability to adapt and innovate, directs social processes that are deterministic and dominant, and represents people in commodified ways (p. 77). Heuristically, grobalization others people in the world such that they are no longer agents of and for themselves, but are acted on by the ominously large and rationalized order of a global world (Jazda, 2008 : xx)

Dampak dari globalisasi pada kebijakan dan reformasi pendidikan sangat strategis dan menjadi isu penting. Ada kebutuhan untuk memahami dan menganalisas dampak langsung dan tidak langsung globalisasi pada daya saing ekonomi, system pendidikan, Negara dan perubahan kebijakan yang relevan. Semua itu berpengaruh pada individu, lembaga kependidikan seperti universitas, pembuat keputusan, organisasi perusahaan raksasa antar Negara. Perubahan identitas nasional yang terus menerus, termasuk di bidang bahasa, politik perbatasan dan warganegara yang relevan bagi kebijakan pendidikan untuk dikritisi dari factor spesifik yang kontekstual secara local-regional-nasional yang sudah tidak memuaskan dikaitkan dengan pengaruh globalisasi. Riset kebijakan pendidikan dewasa ini berubah cepat di mana warga Negara dan konsumen mengalami ketidakpastian dan kehilangan fleksibilitas. Meskipun sesungguhnya globalisasi memberi peluang yang dihasilkan oleh ekonomi dunia yang berubah cepat.

B. Local Wisdom
Pendidikan harus memahami keragaman budaya dalam masyarakat, dalam bahasa Geertz hal tersebut dinamakan relativitas anthropologis. Untuk itulah kita harus mempertemukan apa yang menjadi pemikiran kita dengan “local knowledge”. Dengan demikian pendidikan non formal harus mampu menjembatani antara “self-knowledge, self-perception dan self-understanding” dengan “other-knowledge, other perception dan other understanding”.
Contoh yang disampaikan Geertz adalah mengenai tiga pengertian hukum yang berbeda dengan hukum Barat, yang berasal dari tiga entitas budaya yaitu : Islam, India dan Melayu (bagian dari Malayo-Polynesia). Ada tiga konsep sentral : haqq (kebenaran) dalam Islam, dharma dalam Hindu, dan adat dalam Melayu.
Haqq selain dimaknai sebagai kenyataan, kebenaran juga berarti validitas; dharma dimaknai sebagai tugas, pengabadian dan kebaikan ; sedangkan adat dimaknai konsensus sosial atau corak moral . meskipun demikian yang diperlukan bukanlah pemahaman mengenai konsep tetapi mengenai struktur gagasannya yang multi arti yang dapat dimulti-aplikasikan pada multilevel.
Di samping melihat local knowledge dari sudut norma hukum yang berbeda dengan hukum positif Barat, Geertz juga memandang local knowledge dari sudut perubahan social yang terjadi, dari masyarakat paguyuban (gemeinschaft) ke masyarakat patembayan (gesellschaft) yang melahirkan “normative concensus”.
Pendidikan Non Formal memandang local knowledge dalam dua perspektif : pada satu sisi sebagai factor eksternal yang harus direspon ; pada sisi lain sebagai factor internal yang merupakan social capital dari pendidikan non formal dalam masyarakat
Hegemony, Equity dan Cultural Capital
Ada tiga dimensi penting yang yang mempengaruhi masalah equality/inequality dalam pendidikan dan masyarakat : hegemony, equity dan cultural capital.
Hegemoni menurut Antonio Gramsci adalah dominasi ideology dan kepercayaan dari kelompok social yang powerful melalui consensus implicit. Dalam hal ini, kelas pekerja miskin yang tidak memiliki akses pada komoditas yang bernilai social seperti kemakmuran, kekuasaan dan pendididikan, berpartisipasi pada relasi hegemonik yang dipaksakan padanya.
Equity di samping penegakan hukum, merupakan kepentingan utama individu dan komunitas. Konsepsi equity Aristoteles yang merupakan koreksi terhadap hukum, sehingga fenomena hukum harus ditafsirkan untuk mencapai kebaikan yang tinggi. Orang yang adil adalah orang menjalankan suatu pilihan dan tindakan yang adil, yang bertahan pada kebenaran, tetapi dapat menerima kurang dari apa yang diberikan. Gagasan moralitas sipil menyarankan agar itu diwajibkan pada setiap warganegara, dengan cara mengambil lebih sedikit agar orang lain memperoleh jumlah yang cukup.
Modal budaya (cultural capital) menurut P. Bourdie, adalah konsepsi dominan yang membentuk pengetahuan, mengetahui, dan nilai social. System pendidikan – sekolah, college, dan universitas dengan memegang suatu “standar emas” mengenai apa yang dapat diketahui, memperkuat perbedaan pencapaian status kelompok kelas yang berbeda, tetapi juga penghargaan bagi mereka yang mengenal aturan implisit dari ideology dominan. Modal budaya mengacu pada kesuksesan di persekolahan, secara umum ditentukan oleh individu yang dapat menyerap budaya dominan.

As the editors explain, schools, in a sense, are markets wherein children enter with various stores of cultural capital that can be exchanged for enhancement of one’s capital, and, thereby, their life-chances. Cultural capital, as a significant dimension of educational inequality, continues to shape and influence children’s lives and destinies globally—as discussed in scholarly fashion in this book.


Dalam mengembangkan pendidikan dasar dan menengah dikaitkan dengan globalisasi perlu pemahaman mengenai focus tentang isu dan dilemma yang diharapkan membantu dalam cara praktek dan kebermaknaan mengenai kaitan antara pendidikan, stratifikasi social dan globalisasi. Termasuk di dalamnya adalah :
• Signifikansi politik globalisasi dan pembangunan pada kebijakan pendidikan—pengaruhnya pada persepsi lintas budaya dari dimensi-dimensi yang mempengaruhi perdebatan equality/inequality pada pendidikan dan masyarakat : hegemony, equity dan cultural capital
• Signifikansi wacana, yang mendefinisikan dan membentuk hubungan antara pendidikan, stratifikasi sosial dan globalisasi
• Pelanggaran homogenity kebudayaan global yang berpotensi mengurangi adaptabilitas dan fleksibilitas, dan memperkokok status quo
• Sifat mulitidimensional dimensi globalisasi dari inequality dalam pendidikan

C. Kebudayaan Daerah Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama dibentuk (Staatsblad 1925 No. 378) di Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia), baru kemudian menyusul Provinsi Jawa Tengah (1928) dan Provinsi Jawa Timur (1929). Pembentukan provinsi-provinsi dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam rangka otonomi yang dicetuskan oleh Ratu Belanda pada tahun 1901. Sedangkan istilah Jawa Barat (West Java) sudah dikenal sejak tahun 1880, sejak Pulau Jawa dibagi atas tiga daerah militer, yaitu Daerah Militer I atau Jawa Barat, Daerah Militer II atau Jawa Tengah dan Daerah Militer III atau Jawa Timur (West Java Miracle Sight a mass of verb and scene information, 2005: 18).
Peradaban masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis dan berbahasa Sunda sangat dipengaruhi oleh alam yang subur. Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafat yang melandasi masyarakat Jawa Barat yaitu falsafat silih asuh, silih asah dan silih asah. Filosofi tersebut mengajarkan manusia untuk saling mengasuh yang dilandasi sikap saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan serta pengalaman, suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi (2005:22).
Dengan latar belakang budaya demikian maka menjadi relevan jika kondisi sumber daya manusia di Provinsi Jawa Barat diukur dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks pendidikan menggambarkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia ditinjau dari aspek pendidikannya.
Perkembangan pendidikan di Jawa Barat ditandai dengan disparitas ketersediaan sarana pendidikan dan kualitas pendidikan . Kota-kota pada umumnya memiliki sekolah-sekolah yang berkualitas dan dikelola secara mandiri. Konsekuensi umum dari adanya sekolah-sekolah bagus di kota adalah biaya pendidikan pada sekolah-sekolah itu menjadi lebih mahal. Sebaliknya di beberapa tempat bahkan pelaksanaan pendidikan masih berkutat pada peningkatan cakupan, atau belum beranjak pada peningkatan kualitas.
Secara umum derajat pendidikan dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang ditamatkan. Artinya semakin banyak penduduk yang menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka hal tersebut sudah mengarah pada indikasi adanya peninggkatan kualitas SDM. Selain itu derajat pendidikan dilihat secara luas, yaitu meliputi pendidikan formal maupun non-formal.
Berdasarkan data tahun 2007, penduduk Jawa Barat kebanyakan baru menyelesaikan pendidikannya pada jenjang SD, yaitu 38,07%, bahkan 23,27% tidak tamat SD. Persentase penduduk yang tamat SLTP atau SLTA hampir sama yaitu 17%, sedangkan yang menamatkan jenjang akademi atau universitas sekitar 5%.

Indikasi dari cakupan anak usia sekolah yang bersekolah dapat dilihat dari Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu kelompok anak usia tertentu yang bersekolah dibandingkan dengan seluruh anak usia yang sama. Semakin tinggi APM semakin baik.
APM jenjang SD pada tahun 2006 sebesar 94,21% artinya dari seluruh anak usia 7-12 tahun di Jawa Barat sekitar 94,21% bersekolah dan yang tidak bersekolah 5,79%. APM SLTP lebih rendah lagi yaitu 62,13%, sedangkan jenjang SLTA hanya 37,84%. Artinya hanya 2/3 anak lulus SD yang melanjutkan ke SLTP dan hanya 1/3 anak lulusan SLTP yang melanjutkan ke SLTA dan hanya 1/3 anak lulusan SLTA yang melanjutkan ke PT.
Pemerintahan Daerah Jawa Barat dalam dalam implementasi otonomi daerah di bidang pendidikan membuat suatu kebijakan melakukan penyelenggaraan pendidikan nilai-nilai lokal atau nilai-nilai kedaerahan yaitu nilai-nilai ke-jawa-baratan yang merupakan keseluruhan nilai-nilai kedaerahan di Jawa Barat yang berasal dari pelbagai subkultur budaya yang ada.

Kebutuhan akan pendidikan nilai kedaerahan
Kebijakan pendidikan nilai kedaerahan merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya krisis (Setia, Beni, Pikiran Rakyat, November 2009),yakni “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”. Lebih jauh Setia mengatakan :
Sebuah kelas menengah kota mutakhir di tengah konteks Indonesia baru yang sama sekali tidak punya kesadaran budaya – baik itu yang lokal Sunda, nasional Indonesia, atau internasional Barat. Generasi yang hanya tahu bersenang-senang di tengah budaya pop yang melulu menjanjikan keterhiburan dan pergantian trend (pen.) yang cepat, sambil saling sikut atau berkomplot untuk memperoleh legalitas untuk (pen.) memuaskan insting mereguk nikmat kuasa dan power secara instan. Generasi dekaden yang tidak sadar mengabaikan bahasa Sunda – karena tren di televisi merujuk ke bahasa non-Sunda—yang menyebabkan bahasa Sunda terlantar”.

Pendidikan Nilai-nilai kedaerahan (budaya daerah) di Jawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah; Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Kesenian; dan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum, yang dikenal sebagai Paket Perda Kebudayaan Daerah.
Paket Perda Kebudayaan Daerah jika ditinjau dari pendidikan merupakan kebijakan untuk memelihara dan mewariskan nilai-nilai kepada anak didik sebagaimana pandangan filsafat pendidikan Esensialisme . Esensialisme, merupakan filsafat pendidikan yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya dan sejarah kepada generasi penerus (Engkoswara, 2009). Senada dengan itu Hufad (2009) berpandangan bahwa pendidikan merupakan produk budaya manusia untuk memenuhi kepentingan manusia yang berkaitan dengan pewarisan nilai-nilai dan pengembangan kecerdasan dalam kaitan dengan peningkatan kualitas hidup manusia. Dalam kajian ilmu sosial (khususnya sosiologi-anthropologi) pendidikan itu mencerminkan gejala peristiwa kebudayaaan, sehingga pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi kosong dari nilai-nilai luhur. Karena itu pendidikan diarahkan pada seluruh aspek kebudayaan dan kepribadian, dan harus mengacu pada pembinaan cita-cita hidup yang luhur yang harus mendorong self-education. Pendidikan juga merupakan transformasi sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi .

D. Strategi Pendidikan Nilai-nilai Budaya Daerah
Agar kebijakan dapat dijalankan untuk mencapai tarjet yang ditentukan, diperlukan strategi yang untuk menetapkan prioritas dan pengalokasian sumber daya (RenstraJawa Barat 2001-2005). Strategi mendasar pendidikan diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui berbagai kebijakan :

(1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan
(2) Memenuhi kekurangan guru pada pada berbagai jenjang pendidikan serta meningkatkan kinerja profesional guru disertai peningkatan kesejahteraannya
(3) Meninjau ulang muatan local pada kurikulum SD, SLTP dan SLTA serta PT.
(4) Mengkaji bidang pendidikan menengah dalam rangka persiapan memasuki pasar kerja
(5) Memberikan bantuan dan kemudahan fasilitas bagi siswa dan mahasiswa tidak mampu yang berprestasi.
(6) Mengembangkan sistem informasi pendidikan.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pendidikan meskipun mengalami krisis diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya.
2. Sifat krisis kependidikan dapat dinyatakan dalam kata-kata change (perubahan), adaptation (adaptasi) dan disparity (kesenjangan). Perubahan lingkungan yang fantastik terjadi akibat sejumlah revolusi dunia dalam bidang iptek, politik, ekonomi, demografi dan tatanan sosial. Sistem pendidikan juga tumbuh dan berubah dengan cepat, namun tidak mampu beradaptasi dengan perubahan disekitarnya. Konsekuensi kesenjangan antara sistem pendidikan dan lingkungannya merupakan esensi dari kependidikan dunia. Meskipun kondisi lokal menyebabkan variasi krisis yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, namun demikian nampak benang merah pada semua bangsa apakah mereka lama atau baru, stabil atau labil, kaya atau miskin.
3. Kebijakan pendidikan nilai kedaerahan merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya krisis yakni “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”.
4. Agar kebijakan dapat dijalankan untuk mencapai tarjet yang ditentukan, diperlukan strategi yang untuk menetapkan prioritas dan pengalokasian sumber daya (RenstraJawa Barat 2001-2005). Strategi mendasar pendidikan diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan.

B. Saran
1. Local wisdom hendaknya dijadikan acuan nilai dalam menumbuhkan karakter manusia Jawa Barat melalui pendidikan formal, non-formal maupun informal.
2. Perlu digali nilai-nilai budaya daerah yang memberdayakan sehingga dapat memberikan kemampuan dinamis untuk berubah (change), menyesuaikan diri (adaptation), dan mengatasi kesenjangan social (disparity).
3. Pendidikan nilai-nilai budaya daerah harus mampu menjadi medium ekspresi intelektual dan aktulisasi diri manusia.
4. Strategi mendasar pendidikan diarahkan pada upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui berbagai kebijakan : (1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan; (2) Memenuhi kekurangan guru pada pada berbagai jenjang pendidikan serta meningkatkan kinerja profesional guru disertai peningkatan kesejahteraannya; (3) Meninjau ulang muatan local pada kurikulum SD, SLTP dan SLTA serta PT; (4) Mengkaji bidang pendidikan menengah dalam rangka persiapan memasuki pasar kerja; (5) Memberikan bantuan dan kemudahan fasilitas bagi siswa dan mahasiswa tidak mampu yang berprestasi; dan (6) Mengembangkan sistem informasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Coombs, Philip H. (1986). The World Educational Crisis, A Systems Analysys. New York: Oxford University Press.
Buchori, Mochtar. (1994). Pendidikan Dalam Pembangunan. Jakarta : Tiara Wacana dan IKIP Muhammadiyah.
Ohmae, Kinichi. (1995). The End of The Nation State : The Rise of Regional Economies. New York: McKinsey & Company Inc.

Clifford Geertz. (1983). Local Knowledges Further Essays In Interpretive Anthropology . USA: Basic Books.

Joseph Jazda et. Al. (ed.). (2008). Education and Social Inequality In Global Culture. Australia

Tidak ada komentar: