Senin, 25 Januari 2010

ISU-ISU PENDIDIKAN


A. Konsep Dikdasmen

Pendidikan merupakan suatu proses yang berinteraksi dengan lingkungannya. Output yang ingin dihasilkan dari suatu sistem pendidikan ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki oleh lingkungan atau masyarakat. Manusia yang terdidik hendaknya diperlengkapi untuk melayani masyarakat dan mengurus dirinya sendiri sebagai individu dan anggota masyarakat, pekerja ekonomi, pemimpin dan inovator, warga negara dan warga dunia dan penyumbang kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus mampu meningkatkan basic knowledge (pengetahuan dasar) intellectual and manual skills (keterampilan manual dan intelektual); power of reason critism (daya nalar/kritik); values, attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan motivasi); power of creativity and innovation (daya kreatif dan inovsi); cultural appreciation (apresiasi kebudayaan); sense of social responsibillity (tanggung jawab sosial); dan understanding of the modern world (memahami dunia modern).

B. Isu Dikdasmen

1. Praxis Pendidikan
Praxis berasal dari bahasa Yunani yang bermakna perbuatan, kegiatan, tindakan, aksi, praktek. Praxis atau praksis (Ind.) biasanya mengacu pada perilaku manusia yang praktis, termasuk kegiatan etis dan politis, kontras dengan poiseis/poitikos (Aristoteles); theoria. Marx menggunakan praksis untuk menunjuk pada sintesis teori dan praktek (Bagus, 2002 : 880).
Secara epistemologi pandangan Marx perlu dikemukakan mengingat dari sudut perkembangan pengetahuan, maka Marx mempunyai kekhususan karena pandangan-pandangannya. Pertama, ilmu itu tidak (hanya) mengetahui akan tetapi untuk mengubah pemahaman mengenai ideologi modern dari the science of ideals menjadi uraian tentang sistem dan doktrin kelas penguasa untuk mempertahankan status quonya. (Pranarka, 1987 : 151).
Dalam praksis akan terlibat bahwa pendidikan tidak terlepas dari doktrin, karena menurut Durkheim edukasi mendekati aktivitas indoktrinasi (Chazan, 1985 : 22). Durkheim membuat kategori antara pendidikan, ilmu mendidik dan pedagogi.
1) Pendidikan merupakan “pengaruh yang ditanamkan pada anak oleh orang tua, dan guru.
2) Ilmu pendidikan adalah deskripsi dan ekplanasi dari “pengaruh yang dilatihkan oleh suatu generasi pada generasi selanjutnya”.
3) Pedagogi merupakan teori tentang ‘cara menyusun/mengatur pendidikan, khususnya cara merefleksikan gejala pendidikan”.
Dalam pedagogi, Durkheim memandang ada tiga unsur penting yakni: guru, konteks sosial dan kurikulum. Guru memiliki otoritas untuk menyampaikan nilai ketertiban. Konteks sosial sebagai alat diperoleh dengan cara memanfaatkan kelas sebagai kelompok sosial. Dalam hal ini, dianjurkan pengembangan spirit kelas, loyalitas kelas dan kelas sebagai rumah. Kurikulum formal adalah aspek penting yang tujuannya secara aktual memberi anak suatu rasa kompleksitas yang nyata. Mata pelajaran seperti IPA, Sejarah dan Sosiologi dapat memberikan bahan bagi guru untuk melakukan analisis dan penjelasan tentang proses dan kejadian sejarah dan kehidupan. Teori-teori Durkheim tentang pendidikan menjadi agenda kebanyakan teori dan praktek pendidikan kontemporer.
Teori Durkheim tentang konteks sosial tentu akan berguna dalam pendidikan kebangsaan, tetapi bagaimana dengan penekanannya pada penggunaan kurikulum formal di dalam kelas yang menggunakan teknik indoktrinasi dikaitkan dengan perlunya pendidikan bagi orang dewasa untuk melakukan penyesuaian diri terus menerus menghadapi tantangan kehidupan global.

2. Globalisasi
Globalisasi yang disebut sebagai borderless world oleh Ohmae (1995:1) ditandai dengan ciri empat “i”. Pertama, investasi, yakni maraknya pasar modal yang melewati batas wilayah negara. Kedua, informasi, yakni merebaknya industri dan jasa informasi yang telah meninggalkan industri manufaktur dan membawa kita ke dalam dunia dengan tatanan global. Ketiga, industri, yakni bangkitnya banyak perusahaan multinasional yang menggantikan peran-peran pemerintah. Dengan modal dan tenaga kerja yang besar, mereka ibarat gurita yang merambah berbagai daerah di penjuru dunia. Keempat, individu, yakni munculnya individu sebagai konsumen global yang sangat membutuhkan produk yang trendy, berkualitas, tapi murah. Untuk memasuki era seperti itu maka kesiapan SDM merupakan suatu keharusan, dan itu berarti bahwa pendidikan merupakan faktor yang determinan, karena pendidikan menyiapkan manusia agar memiliki good citizenship. Untuk itu pendidikan mengarahkan tugasnya pada pemberdayaan manusia agar menjadi warga Negara dan dunia (global citizen).
Untuk mengarungi masa depan dengan tantangan global, manusia harus mengembangkan pola-pola perilaku baru. Untuk itu kita semua tanpa perkecualian harus belajar mengenali dan menguasai pola-pola perilaku baru. Kegiatan untuk mengenali dan menguasai pola-pola baru ini para ahli disebut innovative learning. Secara konsepsual hal ini mereka pertentangkan dengan maintenance learning. (Buchori, 1994 : 64).

3. Krisis Multidimensional
Pendidikan yang menyiapkan manusia agar mampu mengambil bagian secara tepat di tengah-tengah krisis multi-dimensi, dengan sendirinya perlu memberikan perhatian terhadap karakteristik globalisasi. Capra (1998:3) mengungkapkan :
“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah ummat manusia”.

Masalah yang ditimbulkan oleh krisis global ini adalah ketidakmampuan manusia menghadapinya secara profesional sesuai dengan keahlian mereka. Sangat menyedihkan bahwa ekonom tidak memahami inflasi, onkolog sama sekali bingung tentang penyebab-penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi tidak berdaya menghadapi kejahatan. Inilah masalah-masalah yang harus dihadapi dengan cara proaktif dan antisipasif.
Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah membuat keahlian kehilangan kewibawaannya, sehingga sangup melahirkan krisis identitas dalam diri individu, kelompok, masyarakat dan bangsa. Huntington (2002 : 218) menyatakan bahwa hal ini sudah dimulai sejak tahun 1990-an dan menghinggapi banyak negara. Selanjutnya dikatakan :
“Hampir setiap orang selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, “Siapakah kita”? “Berada di pihak manakah kita”? dan “Siapakah musuh kita”? Pertanyaan-pertanyaan tidak hanya “menghantui” negara-negara baru, sebagaimana yang terjadi di Yugoslavia, tetapi juga dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah dunia. Pada pertengahan 1990-an negara-negara yang mengalami krisisi identitas nasional selalu dilanda “konflik internal” : Algeria, Kanada, Jerman, Inggris, India, Iran, Jepang, Meksiko, Maroko, Rusia, Afrika Selatan, Syiria, Tunisia, Ukraina, dan Amerika Serikat. Persoalan identitas terutama melanda negara-negara bagian yang masyarakatnya memilliki keragaman peradaban”.

Kegamangan menghadapi peradaban global tentu saja memerlukan pendekatan yang tepat, salah satunya dengan innovative learning dan jika hal tersebut dikehendaki menjadi cara belajar masyarakat, maka harus ada suatu program yang dinamakan innovative societal learning. Untuk melaksanakan hal itu setidaknya ada 4 (empat) masalah yang perlu dipersiapkan, yakni : (1) Masalah penyusunan program belajar; (2) Malasah pengembangan jaringan institusi; (3) Masalah penyediaan dan penyebaran informasi dan (4) Masalah pengembangan teknik-teknik belajar mengajar. (Buchori, 1994 :72).

4. Pemberdayaan (Empowerment)
Dalam pembinaan kepribadian tidak kalah pentingnya selain menguasai pola-pola baru, adalah pemberdayaan seluruh potensi manusia agar dapat menentukan arah kehidupannya (self determination). Colzon sebagaimana disitir Cook dan Macaulay (Sumaatmadja, 2002 : 79) mengatakan sebagai berikut :
“Empowerment adalah membebaskan seseorang dari kendali yang kaku…...dan memberikan orang tersebut kebebasan untuk bertanggungjawab terhadap ide-idenya dan keputusan-keputusannya, tindakan-tindakannya”.

Sen, A. menyebutnya sebagai “expansion of people capability” sedangkan Varty, C. mendefinisikan pemberdayaan sebagai ‘expansion of peoples creativity’ (Sri-Edi-swasono, PR Selasa 12 Juli 2005).
Dalam proses pemberdayaan, manusia disadarkan akan keberadaanya bersama orang lain, yang merupakan suatu realitas yang harus dihadapi dengan berani. Itu semua menuntut adanya visi ke depan untuk mengantisipasi semua kemungkinan yang akan timbul. Keempat dimensi tersebut : Visi, berpijak di atas realita, selalu berhadapan dengan orang lain dan sebagai orang berani merupakan dimensi yang harus dimiliki oleh kepemimpinan yang berbeda (empowerment leadership).
Sumaatmadja (2002:81) menyatakan bahwa ketidakberdayaan individu dan juga kelompok letak pada keterbelengguan dalam aspek-aspek sosial budaya (kebodohan), sosial ekonomi (kemiskinan), sosial psikologi (harga diri) dan sosial politik (perbudakan) . Untuk pemberdayaan manusia diperlukan pendidikan yang membebaskan manusia dari keterbelengguan seperti itu. Freire (1985:52) menghendaki pendidikan bersifat dialogika yang “membebaskan kaum tertindas dalam perjuangan tanpa henti untk merebut kembali kemanusiaan mereka (proses humanisasi)”. Penindasan berasal dari konsep pendidikan “gaya bank” dan kontradiksi guru murid. Ciri pendidikan gaya bank yaitu menempatkan murid sebagai pihak yang diajari, tidak tahu apa-apa dan harus patuh mendengarkan, menyetujui dan dan diatur tanpa diminta pendapatnya atau sebagai obyek belaka.
Pendidikan gaya bank yang menindas, mendapat kritikan pula dari Illich (1972:66) yang secara provokatif memberi argumentasi mengapa “sistem pendidikan formal harus ditolak” . Beberapa argumen dari Illich adalah : (1) Lembaga-lembaga pendidikan kita yang ada sekarang melayani tujuan-tujuan guru; (2) sekolah telah menjadi masalah sosial; (3) sekolah merupakan majikan yang terbesar maupun yang paling anonim dari semua majikan; (4) Sekolah bukan hanya agama dunia baru, sekolah telah merupakan pasaran tenaga kerja dunia yang paling cepat berkembang; (5) sekolah merupakan pencipta dan pendukung efektif dari mitos sosial; (6) Murid sebagai konsumen didik untuk menyesuaikan keinginan-keinginan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang laku di pasaran.
Pendidikan yang memberdayakan menentang pendidikan gaya bank, tapi menggunakan pendekatan yang meningkatkan kapabilitas dan kreatifitas manusia

Tidak ada komentar: