Minggu, 05 September 2010

Pendidikan Umum dan Pendidikan Kepribadian



















1. Hakekat Pendidikan Umum

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Erapa Barat dan Amerika Serikat, Pendidikan Umum (general education) muncul kemudian setelah Pendidikan Liberal (liberal education). Pendidikan Umum pada awalnya diperuntukkan sebagai ‘counter’ terhadap spesialisasi ilmu pengetahuan yang berlebihan. Pendidikan Liberal lebih terkait pada pemenuhan mata pelajaran (content centered) sebagai warisan budaya aristokratis sedangkan Pendidikan Umum lebih terkait dengan pribadi siswa (student centered).
Perbedaan sudut pandang penggagas teori Pendidikan Umum telah mengakibatkan perbedaan tekanan dalam mendefinisikan Pendidikan Umum tersebut. Dimensi-dimensi yang membedakannya adalah : dimensi program, dimensi proses, dimensi produk dan dimensi fase (Mulyana, 2002:3).

(1). Definisi berdasarkan dimensi program diajukan oleh Alberty & Alberty yang menyatakan : ‘general education is that part of the program which is required of all students at a given level’. (2). Definisi berdasarkan proses dikemukakan oleh Brameld : ‘general education means an integrated and organized understanding of great areas of life and reality’; Cohen :’ general education is the process of developng a framework on which to place knowledge stemming from various sources’; Phenix: ‘general education is the process of engineering essential meanings’ dan Team : ‘a process whereby lifelong learners grow and fulfill that potential’.(3). Definisi berdasarkan produk diajukan McConnell : ‘general education prepares the student for a full and satisfying life as a member of family, as a worker, as a citizen and integrated and purposefull human being’; IDE : ‘general education prepares a student to take a responsible place in society and to appreciate his/her own work in the context of society needs’; Draper : ‘general education is that education that everyone must have for satisfactory and efficient living, regardless of what one plans to make his life work’ . (4) Definisi berdasarkan fase ditemukan dalam Dictionary of Education yang merumuskannya sebagai : ‘the phases of learning which should be the common experience of all men and women’.

2. Tujuan Pendidikan Umum

Pendidikan sebagai suatu jenis aktifitas manusia tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapainya. Teori-teori pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh konsep pemikiran mengenai eksistensi manusia dari Plato dan Aristoteles menunjukkan pentingnya proses ‘memanusiakan manusia’. Mulyana (2002: 5) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya kemudian menjadi teori-teori baru yang menekankan tujuan kedewasaan dan kemandirian (Langeveld), totalitas kepribadian (Tolman), pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Encyclopedia Americana), hati nurani (Kohnstamm & Gunning). Demikian juga halnya dengan pendidikan umum, memiliki tujuan yang hendak dicapainya.
Beberapa tujuan pendidikan umum yang dikumpulkan Mulyana (2002:7) : (1) pembelajaran makna-makna yang esensial (Phenix); (2) mempersiapkan warga negara yang utuh (Connell dan Daper); (3) pengembangan keseluruhan kepribadian dalam kaitan dengan masyarakatnya (Mansoer); (4) mengembangkan intelegensi kritis yang dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, mengembangkan dan meningkatkan karakter moral, mengembangkan dan meningkatkan kewarganegaraan, menciptakan kesatuan intelektual dan keharmonisan pemikiran (Henry); (5) memberi kemampuan untuk memiliki dan mengetahui informasi yang diperlukan untuk membangun pendapat-pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan dan hubungan mereka dengan dunia sekitar; membantu dalam pengembangan intelektual, ketrampilan praktis, dan sensitivitas emosional dan estetik yang dapat mempersiapkan mereka untuk berpikir, bertindak dan merasa dalam dunia yang senantiasa berubah; membantu siswa memahami nilai-nilai yang terdapat dalam budaya dan membantu mereka agar peduli terhadap nilai dan keyakinan dari tradisi dan budaya setempat (UCA).

3. Etika Kepribadian

Manusia modern mengalami “kekacauan besar” (great disruption) terutama dalam masalah moral sebagaimana digambarkan Fukuyama (2002). Globalisasi menunjukkan intensitas yang luar biasa semenjak dunia tersegmentasi ke dalam gelombang-gelombang peradaban. Era informasi menyatukan dan menyeragamkan dunia sekaligus memecahnya ke dalam sub budaya. Manusia nampaknya tidak sepenuhnya siap menerima perubahan dilematis itu. Capra (1998: ) menunjukkan kegamangan tersebut, ketika kemampuan adaptasi manusia nampaknya mengalami stagnasi berhadapan dengan permasalahan di segala aspek kehidupan. Pendidikan meskipun mengalami krisis seperti digambarkan Coombs (1986: 3) diharapkan tetap menjalankan misinya dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan, kapasitas moral/ akhlak/ budi pekerti dan kapasitas kewarganegaraan, pada tataran lokal, regional, nasional dan global. Pendidikan yang meningkatkan kapasitas akhlak / budi pekerti sejalan dengan ajaran Rasulullah Muhammad S.A.W. yang kehadirannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia agar manusia memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah) melalui teladan yang diberikannya (Quthb,1998:325 )
Dewasa ini pranata sosial yang dibuat manusia bukan saja mengalami penurunan tingkat kepercayaan oleh publik, tetapi juga semakin menjauhkan manusia dari dari cita-citanya untuk hidup “mengejar kebahagiaan” bagi kemanusiaan seluruhnya. Relasi ekonomi antar negara maju dan negara berkembang nampak tidak adil. Ahli fisika dan aktifis terkemuka India, Shiva (Kompas, 25 September 2005) memaparkan kesenjangan pendapatan antara penduduk dunia yang hidup di negara terkaya dan penduduk yang hidup di negara termiskin berlipat-lipat, dari 30:1 pada tahun 1960-an, menjadi 78:1 pada tahun 1978. Kung (2002:159) memandang bahwa dunia memerlukan etika ekonomi-politik global, yaitu “sebuah konsensus fundamental yang memadukan nilai-nilai standar dan sikap-sikap mutlak”. Dalam politik Kung mempertanyakan apakah politisi boleh berbohong? Dia juga mempertanyakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi konflik regional, nasional dan internasional. Berkaitan dengan neokapitalisme, apakah hanya bermotifkan keuntungan? Baginya ekonomi pasar global membutuhkan etika global. Demikian juga kebijakan tatanan dunia harus bermotifkan etika. Cara bisnis harus pula dipertanggungjawabkan secara etika. Selanjutnya Kung (2002:455) mengatakan :
“Dilihat dari banyaknya krisis dan skandal, orang tidak dapat menghindari kesan bahwa Tuhan yang pantas mendapatkan penghormatan di sebagian besar bentuk dan kondisi adalah Tuhan besar dari modernitas par excellence, Tuhan kemajuan, Tuhan keberhasilan! Itu berarti efisisensi menggantikan transendensi; keuntungan, karir, prestise, dan sukses dengan segala biaya, sebagai ganti dari keterbukaan pada dimensi lain….dari semua skandal, di Jerman, Italia, hingga Amerika dan Jepang, ada kesamaan dalam modus operandi mereka, yakni menghalalkan segala cara. Untuk sukses orang perlu berbohong, menyogok, melanggar janji. dll. “

Persoalan etika yang disampaikan di atas merupakan satu persoalan kemanusiaan, karena etika merupakan suatu cara untuk menilai dan memutuskan pilihan atas berbagai tindakan moral dan kepatutan, yang harus dimiliki setiap manusia dalam kehidupannya. “Ethis is a branch of philosopy in which men attemp to evaluate and decide upon particular courses of moral action or general theoris of conduct” (The Encyclopedia Americana International Edition, 2004 ) Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethikos yang berarti nilai atau aturan mengenai tingkah laku yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Dengan demikian, etika berkaitan dengan kepribadian, karena mengatur dan membentuk karakter di dalam interaksinya dengan orang lain maupun kelompok.

4. Karakteristik Kepribadian

Kepribadian (personality) memiliki banyak pengertian. Allport (Phares, 1984:9) mengidentifikasikan 50 konotasi yang di dapat dari lapangan etimologi, theologi, filsafat, jurisprudensi, sosiologi, dan psikologi. Personality berasal dari akar kata persona (topeng) yang dikenakan seorang aktor. Phares (1984:9) mengumpulkan beberapa definisi kepribadian sebagai berikut:
1. Deceptivce masquarade or mimicry;
2. Superficial attractiveness;
3. Social-stimulus value;
4. The entire organization of a human being at any stage of development;
5. Levels or layers of dispositions, ussualy with a unifying or intergrative principle at the top;
6. The integration of those systems or habits that represent an individual’s characteristic adjustment to the environment;
7. The way in which the person does such things as talking, remembering, thingking, or loving;
8. The dynamic organization within the individual of those psychological systems that determines his orher unique adjustment to the environment (item 1-8 were adapted from those collected by Allport, 1937, pp. 25-50);
9. A persons unique patrtern of traits (from Guilford, 1959, p.5);
10. Those characteristic of the person or of those people generally that account for consistent pattern of response (from Pervin, 1980, p.6);
11. A stable set of characteristic and tendencies that determines those commonalities and differences in the psychological behavior (thoughts, feeling and actions) of people that have continuity in time and that may not be easily understood as the sole result of the social and biological pressures the moment (from Maddi, 1980, p.10).

Menurut Phares (1984:17) kepribadian dapat ditengarai dengan terminologi stabilitas dan kontunitas (stability and continuity). Namun tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa individu tidaklah selalu berada dalam keadaan konstans, mereka menunjukkan unsur-unsur perubahan. Tapi bagi beberapa ahli psikologi, kepribadian cenderung stabil, dan menjadi karakter seseorang. Lainnya lagi menggarisbawahi unsur perbedaan dan keunikan dari individu. Dahlan dalam matrikulasi PPS UPI mengutip Al- Ghazali yang menyatakan kepribadian adalah kalbu. Bahkan hakekat manusia adalah kalbu itu sendiri juga mengutip sabda Rasulullah : “secepat nuranimu goyah itu jelek. Kalau nuranimu tenang itu baik”.Kepribadian dengan demikian merupakan totalitas dari berbagai potensi yang terdapat dalam diri manusia. Hal itu sejalan dengan yang dikatakan Prince (Kartono, 1979:11) :
“Personality is the entire mental organization of a human being at any stage of his development. It embraces every phase of human character, intellect, temperament, skill, morality, and every attitude that has been built up in the course of one’s life”.

5. Pendidikan Kepribadian

Pendidikan Umum berkaitan dengan pembentukan integritas kepribadian. Manusia dengan kepribadian yang integral, yang menempatkan dirinya sebagai individu, tapi juga sebagai makhluk sosial, makhluk budaya, dan bagian dari alam. Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki tanggungjawab terhadap Tuhan, diri sendiri, masyarakat, tatanan budaya dan terhadap alam.
Sebagai makhluk ciptaan Allah manusia memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi biologis. Dalam dimensi biologi (basyar), manusia merupakan unsur tanah, hal ini sesuai dengan Al Quran (S.38:71) : “sesungguhnya aku mencipta basyar dari tanah”. Dalam dimensi biologis tersebut terkandung tritunggal hayat (hidup), hawa (keinginan) dan jasad. Tetapi manusia tidak semata-mata bio-fisik, karena “ketika sudah Ku sempurnakan kejadiannya lalu kutiupkan kepadanya ruh-Ku” (QS. 38:72). Dengan demikian ada dimensi ruhiah/ ilahiah dalam diri manusia dan itulah yang membuatnya memiliki spiritualitas.
Pendidikan umum (general education) menurut Draper (Gwynn, 1960:413) merupakan “educationn that everyone have for satisfactory and efficient living, regardless af what one plans make life work” diarahkan pada pendidikan kepribadian, adalah pendidikan memanusiakan manusia, karenanya pendidikan umum menguatkan pembentukan jati diri manusia sebagai individu, makhluk sosial, bagian dari alam, dan makhluk ciptaan Al-Khalik yang senantiasa harus beriman dan bertakwa kepada-Nya (Sumaatmadja, 2002:108).
Konsep dasar pendidikan umum dalam pengertian general education banyak berkaitan dengan pendidikan kepribadian karena seperti dikatakan Hand & Bidna (Sumaatmadja, 2002:115), bahwa tujuan Pendidikan Umum ingin membina manusia menjadi manusia yang utuh (the making of complete man). Sehat mental dan jiwanya (mental and physical health), memahami orang lain (social adjustment), dan memahami diri sendiri (personal adjustment). Selanjutnya Sumaatmadja mengutip Klafki yang berpendapat bahwa pendidikan umum bertujuan untuk mengembangkan daya kemampuan manusia (the development of human power), dan memadukan kemampuan intelektual-rasional (kognitif), emosional/ efektif dan keterampilan psikomotorik (the comprehensive education of man, the education of head, heart and hand).

6. Kepribadian yang Utuh

Phenix (1964:5-8), berpandangan bahwa pendidikan umum sebagai suatu proses pendidikan yang membina makna esensial yang ada pada diri manusia “General education is the process of enggineering essential meaning…To lead to fulfillment of human life throught the enlargement and deeping of meaning”. Manusia yang utuh menurutnya adalah yang memenuhi syarat trampil berbicara, mampu mengkomunikasikan lambang dengan baik, kreatif dan estetis, memiliki kekayaan hubungan antar manusia, cerdas dalam membuat keputusan serta memiliki wawasan yang integral. Selanjutnya Phenix (1964: 8) mengungkapkan :
“ A complete person should be skill in use of speech, symbol and gesture,factually well informed, capable of creating and apretiating objects of aesthetic significance, endowed with rich and diciplined life in relation to self and others, able to make wise decisions and to judge between right and wrong, and possesed of an integral outlook.”

Wawasan integral diperlukan mengingat pendidikan umum ingin memahami manusia secara menyeluruh dan utuh. Sayangnya orang memandang manusia secara parsial dengan latar belakang cara berfikirnya. Untuk keperluan tersebut diperlukan kemampuan memahami manusia sebagai a rational animal yang utuh, dengan cara memahami makna.
Makna (meaning) bagi Phenix, maksudnya adalah ungkapan pengertian akal atau pikiran secara luas. Sehingga terdapat bermacam-macam makna atau arti, pada persepsi, pada pemikiran logis, pada kreasi seni, pada kesadaran diri, pada keputusan yang berguna, pada pertimbangan moral, pada kesadaran terhadap waktu dan pada aktifitas ibadah. Semua fungsi yang penting ini merupakan dunia makna, yang menjadi hakikat kehidupan manusia. Jawaban filosofis terhadap hakikat manusia dengan demikian adalah bahwa manusia adalah makhluk yang menemukan, menciptakan dan memperhatikan makna.

7. Kurikulum yang Berbasis Nilai

Jika esensi manusia ada dalam dunia makna, maka tujuan yang tepat dari pendidikan adalah mempromosikan pertumbuhan nilai. Untuk mencapai tujuan ini, pendidik perlu memahami bermacam-macam nilai yang efektif dalam perkembangan peradaban dan menyusun kurikulum penjelasan yang berbasis nilai.
Nilai yang dimaksud Phenix (1964:28) dikategorikan dalam 6 bidang makna, yaitu: Simbolik, terkandung dalam bahasa, matematika dan tentu simbolik non diskursif; Empirik, terkandung dalam ilmu alam, ilmu hayat, psikologi dan ilmu sosial; Estetik, terkandung dalam musik, seni lukis, seni gerak dan sastra; Synoetik, terkandung dalam filsafat, psikologi, sastra, agama dalam eksistensial; Etik, dalam pelbagai wilayah khusus moral dan etika; dan Synoptik, dalam sejarah, religi dan filsafat .Makna-makna tersebut menunjukkan hubungan yang erat antara (1) pendidikan (2) sifat manusia dan (3) disiplin ilmu. Pendidikan hanya efektif jika berdasar pada ketiga hal itu. Itu berarti adanya modifikasi pandangan tentang manusia a rational animal menjadi animal that can have meaning (mempunyai makna). Makna-makna itulah yang harus termuat dalam kaderisasi yang hendak membina kepribadian melalui penanaman jiwa kebangsaan.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Menanamkan jiwa kebangsaan bukan pekerjaan mudah, tetapi akan mudah jika dilakukan secara kolektif dengan mengedepankan sikap kejujuran berbangsa. Peletak dasar republik tercinta ini telah mencontohkan sikap kejujuran berbangsa itu, maka kembali kepada kita untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai tersebut : menanamkan jiwa kebangsaan.

Harjoko Sangganagara mengatakan...

Benar Kang. Terima kasih