Lane
(1993:225) berpendapat bahwa persoalan utama kebijakan publik adalah
pertentangan antara kebijakan dengan pelaksanaannya dalam kenyataan, sehingga
analisis kebijakan publik diarahkan untuk mendapatkan gambaran tentang
kesesuaian antara tujuan kebijakan dan penerapannya. Pembahasan berikut ini
menyoroti implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dari perspektif
kemampuan pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran pendidikan dikaitkan
dengan otonomi daerah.
Menurut
Armida, secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan , yaitu
: pertama, desentralisasi kewenangan
di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan distrik), dan kedua, desentrasasi pendidikan dengan
fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah (www.geocities.com/arief_anshory/otda_pendidikan.pdf).
Konsep
desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah
dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan
konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan
yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Dilihat
dari perspektif Armida nampak bahwa
desentralisasi pendidikan di Provinsi Jawa Barat belum berjalan dengan baik
setidaknya jika dilihat dari aspek pendanaannya.
Pada
tahun 1999/2000 anggaran pendidikan di Jawa Barat baru mencapai 7,57% dari APBD. Anggaran pendidikan hingga tahun 2008 mencapai
11% dari total APBD, itu artinya mencapai besaran Rp 800 miliar dari total APBD yang besarnya
sekitar Rp7 triliun. Baru pada tahun 2009 alokasi anggaran pendidikan menjadi
20% dari APBD atau Rp 1,6 triliun dari Rp 8 triliun APBD. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa ada
perubahan signifikan pada kebijakan penganggaran di era otonomi daerah sejak
diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Sistem Pemerintahan Daerah yang semakin memperkuat desentralisasi
termasuk dalam bidang pendidikan. Kendatipun demikian alokasi
anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat sebenarnya masih lebih banyak
ditopang oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang
mencapai Rp 4,5 triliun, hampir 300%
alokasi anggaran pendidikan Provinsi. Itu berarti bahwa pendanaan
pendidikan masih sangat tergantung pada pemerintah dan bahwa otonomi daerah
belum benar-benar nampak nyata jika dilihat dari pendanaan pendidikan.
Di sisi
lain alokasi anggaran pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat ternyata kurang
dari 10% dari total APBD atau Rp 111,99 miliar saja. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa alokasi anggaran belum fokus pada penganggaran Wajar Dikdas
Sembilan Tahun.
Wahyudi, yang turut terlibat
dalam penyusunan APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2009 mengatakan bahwa “dari
sisi 20% belum melulu untuk pendidikan, melainkan masih ditumbuk dengan hal ikhwal ‘yang diterjemahkan’ sebagai aspek
pendidikan”.
Tidak fokusnya alokasi
anggaran memang merupakan fenomena umum terutama pada tingkat
nasional. Hal itu terlihat di DPR ketika merencanakan akan membangun gedung
senilai Rp 1,8 trilyun untuk mengganti gedung DPR berusia 13 tahun yang dikatakan miring
8% melebihi menara Pisa. Hal lain juga
nampak dari keinginan untuk mengalokasikan dana aspirasi Rp 15 miliar per
angota DPR yang nampaknya direspon secara positif oleh Presiden dalam Rapat Kabinet
KIB II. Partai Golkar mengancam akan keluar dari Sekgab Koalisi jika alokasi
tersebut tidak disetujui Pemerintah. Jika aspirasi tersebut disetujui maka akan
menguras APBN lebih dari Rp 8 trilyun untuk 560 orang anggota DPR, sangat besar
jika dibandingkan kemampuan APBD Kota dan Kabupaten bahkan Provinsi sekalipun.
Bisa dipahami jika muncul
kritik dari Bandung Institure for Government Studies (BIGS) terhadap adanya
gratifikasi yang diberikan Bank Jabar Banten 2002-2008 pada kepala daerah di
Jawa Barat dan Banten senilai Rp 148,29 miliar, yang berarti rata-rata kepala
daerah memperoleh Rp 4,8 milyar per orang.
Gratifikasi tersebut merupakan balas jasa kepada kepala daerah yang
telah menempatkan dana APBD di Bank Jabar-Banten. Tentunya akan sangat bijaksana
jika dana tersebut diberikan Bank Jabar Banten sebagai perusahaan milik daerah
untuk memajukan pendidikan di daerah baik dalam konteks CSR maupun program
lainnya. Sebagai contoh Indosat
memberikan dana pendidikan lima sekolah
di Bandung Raya mulai dari Rp 5 juta, Rp 7,5 juta dan Rp 25 juta sebagai
program Reward IM3@School community sebagai member terbanyak serta
akumulasi reload terbanyak. Tentunya tidak diharapkan sekolah-sekolah
memperoleh dana CSR dikaitkan dengan
penggunaan telpon genggam seperti ini apalagi jika diperoleh dari perusahaan
rokok atau minuman keras.
Kenyataan tersebut sejalan dengan pandangan Wahlke (Encyclopedia
Americana Vol. 22, 2001) yang berpendapat
bahwa penjelasan mengenai pembuatan kebijakan pada umumnya berdasar pada teori
kelompok kepentingan, teori elit, teori
pilihan rasional (yang berasumsi bahwa pembuat keputusan menggunakan
perencanaan rasional untuk memaksimalkan tujuan) atau teori inkrementalisme
(yang berpegang bahwa keputusan dicapai melalui proses tawar menawar diantara
kepentingan-kepentingan yang bersaing dan evolve incrementally).
Dengan pelbagai
pandangan tersebut dapatlah dimengerti mengapa pembahasan alokasi anggaran
pendidikan di Provinsi Jawa Barat pada umumnya berjalan alot karena diwarnai oleh perbedaan kepentingan intra dan
antara eksekutif dan legislatif. Perbedaan pandangan dalam eksekutif tidak
mudah untuk diketahui tapi bukan berarti tidak ada, karena kini gubernur dan wakil gubernur
berasal dari partai politik yang berbeda. Sedangkan perbedaan kepentingan dalam
lembaga legislatif sangat nampak pada pembahasan di rapat-rapat internal maupun
eksternal. Jika komisi membahas dari
sudut politis-administratif, maka fraksi membahas dari sudut politis-ideologis.
Pembahasan di fraksi diwarnai kepentingan politik yang secara garis besar terbagi
dalam dua sikap : koalisi atau oposisi. Partai yang berkoalisi dengan Gubernur
cenderung mendukung dan memperkuat RAPBD yang diajukan eksekutif, sebaliknya
partai yang beroposisi mengkritisi dan merumuskan alternatif program, proyek
dan besaran anggaran pendidikan. Fraksi pun membuat pandangan umum fraksi yang
menjadi acuan dalam pengalokasian anggaran di Bangar khusus bagi angota yang
berasal dari fraksi tersebut.
Fenomena
tersebut membenarkan pandangan Sergiovani (1980:133) yang berpendapat “bahwa
kekuasaan atas uang, organisasi dan personalia terletak pada legislatur (DPR),
tata tertib sekolah (school legal code),
dan dewan sekolah dan tidak pada tangan manajemen”.
Senada dengan
itu Wildavsky (1990: ) berpandangan bahwa
isi kebijakan dapat diidentifikasi sebagai : interest
affected (kepentingan siapa yang terlibat), type of benefits (macam-macam manfaat), extent
of change envisioned (sejauh mana perubahan akan diwujudkan), site of decision making (tempat
pembuatan keputusan), program implementator
(siapa yang menjadi implementator) dan resources committed (sumber daya yang
disediakan). Sedangkan konteks implementasi dapat diidentifikasi sebagai : power,
interest and strategy of actors involved (kekuasaan, kepentingan, dan
strategi para aktor yang terlibat); institutions
and regime characteristics (karakteristik lembaga dan rejim); serta compliance and responsiveness (sesuai
dengan kaidah dan tingkat responsif).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar