Selasa, 24 Januari 2017

Kemampuan Pemerintah Daerah dalam Penyediaan Anggaran Pendidikan



Lane (1993:225) berpendapat bahwa persoalan utama kebijakan publik adalah pertentangan antara kebijakan dengan pelaksanaannya dalam kenyataan, sehingga analisis kebijakan publik diarahkan untuk mendapatkan gambaran tentang kesesuaian antara tujuan kebijakan dan penerapannya. Pembahasan berikut ini menyoroti implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dari perspektif kemampuan pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran pendidikan dikaitkan dengan otonomi daerah.
Menurut Armida, secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan , yaitu : pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan distrik), dan kedua, desentrasasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah (www.geocities.com/arief_anshory/otda_pendidikan.pdf).
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dilihat dari perspektif Armida  nampak bahwa desentralisasi pendidikan di Provinsi Jawa Barat belum berjalan dengan baik setidaknya jika dilihat dari aspek pendanaannya.
Pada tahun 1999/2000 anggaran pendidikan di Jawa Barat baru mencapai  7,57% dari APBD.  Anggaran pendidikan hingga tahun 2008  mencapai  11% dari total APBD, itu artinya mencapai besaran  Rp 800 miliar dari total APBD yang besarnya sekitar Rp7 triliun. Baru pada tahun 2009 alokasi anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBD atau Rp 1,6 triliun dari Rp 8 triliun APBD.  Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa ada perubahan signifikan pada kebijakan penganggaran di era otonomi daerah sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah yang semakin memperkuat desentralisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Kendatipun demikian alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat sebenarnya masih lebih banyak ditopang oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang mencapai Rp 4,5 triliun, hampir 300%  alokasi anggaran pendidikan Provinsi. Itu berarti bahwa pendanaan pendidikan masih sangat tergantung pada pemerintah dan bahwa otonomi daerah belum benar-benar nampak nyata jika dilihat dari pendanaan pendidikan.
Di sisi lain alokasi anggaran pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat ternyata kurang dari 10% dari total APBD atau Rp 111,99 miliar saja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alokasi anggaran belum fokus pada penganggaran Wajar Dikdas Sembilan Tahun.
Wahyudi, yang turut terlibat dalam penyusunan APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2009 mengatakan bahwa “dari sisi 20% belum melulu untuk pendidikan, melainkan masih ditumbuk dengan hal ikhwal ‘yang diterjemahkan’ sebagai aspek pendidikan”.
Tidak fokusnya alokasi anggaran memang merupakan fenomena umum terutama  pada tingkat  nasional. Hal itu  terlihat di  DPR ketika merencanakan akan membangun gedung senilai Rp 1,8 trilyun untuk mengganti gedung DPR  berusia 13 tahun yang dikatakan miring 8%  melebihi menara Pisa. Hal lain juga nampak dari keinginan untuk mengalokasikan dana aspirasi Rp 15 miliar per angota DPR yang nampaknya direspon secara positif oleh Presiden dalam Rapat Kabinet KIB II. Partai Golkar mengancam akan keluar dari Sekgab Koalisi jika alokasi tersebut tidak disetujui Pemerintah. Jika aspirasi tersebut disetujui maka akan menguras APBN lebih dari Rp 8 trilyun untuk 560 orang anggota DPR, sangat besar jika dibandingkan kemampuan APBD Kota dan Kabupaten bahkan Provinsi sekalipun.
Bisa dipahami jika muncul kritik dari Bandung Institure for Government Studies (BIGS) terhadap adanya gratifikasi yang diberikan Bank Jabar Banten 2002-2008 pada kepala daerah di Jawa Barat dan Banten senilai Rp 148,29 miliar, yang berarti rata-rata kepala daerah memperoleh Rp 4,8 milyar per orang.  Gratifikasi tersebut merupakan balas jasa kepada kepala daerah yang telah menempatkan dana APBD di Bank Jabar-Banten. Tentunya akan sangat bijaksana jika dana tersebut diberikan Bank Jabar Banten sebagai perusahaan milik daerah untuk memajukan pendidikan di daerah baik dalam konteks CSR maupun program lainnya.  Sebagai contoh Indosat memberikan  dana pendidikan lima sekolah di Bandung Raya mulai dari Rp 5 juta, Rp 7,5 juta dan Rp 25 juta sebagai program  Reward IM3@School community sebagai member terbanyak serta akumulasi reload terbanyak. Tentunya tidak diharapkan sekolah-sekolah memperoleh dana  CSR dikaitkan dengan penggunaan telpon genggam seperti ini apalagi jika diperoleh dari perusahaan rokok atau minuman keras.
Kenyataan tersebut sejalan dengan pandangan Wahlke (Encyclopedia Americana Vol. 22, 2001)  yang berpendapat bahwa penjelasan mengenai pembuatan kebijakan pada umumnya berdasar pada teori kelompok  kepentingan, teori elit, teori pilihan rasional (yang berasumsi bahwa pembuat keputusan menggunakan perencanaan rasional untuk memaksimalkan tujuan) atau teori inkrementalisme (yang berpegang bahwa keputusan dicapai melalui proses tawar menawar diantara kepentingan-kepentingan yang bersaing dan evolve incrementally).
Dengan pelbagai pandangan tersebut dapatlah dimengerti mengapa pembahasan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat pada umumnya berjalan alot karena  diwarnai oleh perbedaan kepentingan intra dan antara eksekutif dan legislatif. Perbedaan pandangan dalam eksekutif tidak mudah untuk diketahui tapi bukan berarti tidak ada,  karena kini gubernur dan wakil gubernur berasal dari partai politik yang berbeda. Sedangkan perbedaan kepentingan dalam lembaga legislatif sangat nampak pada pembahasan di rapat-rapat internal maupun eksternal.  Jika komisi membahas dari sudut politis-administratif, maka fraksi membahas dari sudut politis-ideologis. Pembahasan di fraksi diwarnai kepentingan politik yang secara garis besar terbagi dalam dua sikap : koalisi atau oposisi. Partai yang berkoalisi dengan Gubernur cenderung mendukung dan memperkuat RAPBD yang diajukan eksekutif, sebaliknya partai yang beroposisi mengkritisi dan merumuskan alternatif program, proyek dan besaran anggaran pendidikan. Fraksi pun membuat pandangan umum fraksi yang menjadi acuan dalam pengalokasian anggaran di Bangar khusus bagi angota yang berasal dari fraksi tersebut.
Fenomena tersebut membenarkan pandangan Sergiovani (1980:133) yang berpendapat “bahwa kekuasaan atas uang, organisasi dan personalia terletak pada legislatur (DPR), tata tertib sekolah (school legal code), dan dewan sekolah dan tidak pada tangan manajemen”.
Senada dengan itu Wildavsky (1990: ) berpandangan bahwa  isi kebijakan dapat diidentifikasi sebagai  : interest affected (kepentingan siapa yang terlibat), type of benefits (macam-macam manfaat),  extent of change envisioned (sejauh mana perubahan akan diwujudkan), site of decision making (tempat pembuatan keputusan), program implementator (siapa yang menjadi implementator) dan  resources committed (sumber daya yang disediakan). Sedangkan konteks implementasi dapat diidentifikasi sebagai  : power, interest and strategy of actors involved (kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat); institutions and regime characteristics (karakteristik lembaga dan rejim); serta compliance and responsiveness (sesuai dengan kaidah dan tingkat responsif).

Tidak ada komentar: