Hasil yang dicapai dari
implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dalam tiga
klasifikasi yaitu terlaksananya program, pencapaian fisik dan non fisik, serta pencapaian target.
a.
Terlaksananya Program Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar
Untuk
meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dasar, peningkatan tata kelola
pendidikan yang efektif dan penguasaaan /pemanfaatan ilmu pengetahuan dana
teknologi, Dinas Pendidikan pada tahun 2009 telah melakukan kegiatan-kegiatan
yang dikategorikan ke dalam verifikasi, monitoring, evaluasi; koordinasi;
workshop/semiloka; rapat; peningkatan mutu layanan pendidikan dan bantuan,
sebagai berikut :
Verifikasi,
monitoring dan evaluasi; Rapat Koordinasi;
Workshop pemberdayaan gugus TK; Workshop pengelolaan TK-SD dan SD-SMP
satu atap; Workshop pemberdayaan gugus SD; Workshop pembinaan penerimaan
bantuan SD-SMP satu atap dan rehabilitasi TK; Workshop penerimaan bantuaan alat
bermain TK; Workshop TK Pembina; Rapat pemberian alat peraga IPA; Rapat tentang
pemberian alat pembelajaran IPS Terpadu; Peningkatan mutu layanan pendidikan di
TK-SD dan SD-SMP satu atap; Semiloka pengembangan SSN/SBI; Workshop
Pengembangan Kurikulum SBI; Workshop Pembinaan Rintisan SBI; Workshop Pembinaan
SSN; Workshop Pengembangan Pembelajaran Bilingual/Berbasis ICT; Bantuan kepada
Tim Pengembangan Kurikulum Berbasis Teknologi dan Peningkatan Mutu di RSBI dan
SSN.
b. Capaian Fisik dan Non Fisik
Peningkatan
Sarana Prasarana
Role sharing
pendanaan peningkatan sarana prasarana pendidikan dasar pada tahun 2006, 2007,
2008 telah dialokasikan anggaran sebesar Rp 851,5 miliar. Hasilnya adalah
perbaikan 11.864 ruang kelas. Sedangkan untuk tahun 2010 diproyeksikan perlu
dibangun 11.943 ruang kelas baru dan direhabilitasi (Memori DPRD Provinsi Jawa Barat 2004-2009, 2009:68).
Role
sharing adalah
pembagian peran dalam membiayai perbaikan sekolah dasar dengan porsi 50%
Depdiknas, 30% Pemerintah Provinsi dan 20% Pemerintah Kota dan Kabupaten.
Pemerintah pusat melalui Depdiknas menyediakan 50% dana atau Rp 1,419 triliun,
Pemerintah Provinsi Jabar menyediakan 30% dana atau Rp 851,631 miliar dan
Pemerintah Kota/Kabupaten menyediakan 20% atau Rp 567,754 miliar.
Meskipun
demikian sampai tahun 2010 masih banyak lagi sekolah yang belum layak untuk
digunakan sehingga puluhan siswa kelas 6 SD Negeri Sukalilah I melaksanakan
UASBN dengan perasaan was-was karena atapnya hampir roboh dan disangga dengan
bambu sudah satu tahun rusak parah, sehingga dipindahkan ke ruang lain. Jehan
mengaku sangat tegang saat mengerjakan soal-soal ujian takut kalau atap
tiba-tiba jatuh menimpa (Tribun Jabar 5
Mei 2010).
Di
samping itu nampaknya pembangunan SD Negeri di Jawa Barat terkesan tidak memperhatikan aspek tata ruang sama
sekali. Itu terjadi hampir di seluruh kota dan kabupaten termasuk di Kota
Bekasi. Sepuluh SD berada di daerah rawan banjir karena berada di sekitar
cekungan dan bantaran sungai Kali Bekasi dan Kali Malang serta Bendung Bekasi.
Tahun lalu sekolah-sekolah itu diliburkan karena KBM benar-benar tidak bisa
dilaksanakan lantaran bangunan sekolah terendam air hingga dua meter. SD
Kadupandak I di Cianjur berada hanya 200 meter dari tanggul yang jebol akibat
hujan deras. Genangan air setinggi dua meter merendam seluruh bangunan berikut
semua isinya termasuk seribu buku di perpustakaan tidak mungkin digunakan lagi,
sementara 67 murid diliburkan sementara Contoh lainnya adalah SDN Rancaekek III
yang lokasinya terpencil dan berdampingan dengan kuburan desa dengan kondisi
rusak.
Untuk
itu DPRD pada tahun 2010 memproyeksikan pembangunan 11.943 ruang kelas baru dan
direhabilitasi ( Memori DPRD Provinsi
Jawa Barat 2004-2009, 2009:68).
Sayangnya pada tahun 2010 pemerintah provinsi tidak menjalankan lagi
program role sharing tersebut dengan pelbagai alasan. Karena itu
Gubernur meminta perusahaan-perusahaan besar di Jawa Barat seperti Chevron
untuk memberdayakan masyarakat melalui Community Development. Sementara
itu Pertamina Areal Kamojang menyediakan dana CSR Rp 3 miliar antara lain untuk
penyediaan prasarana pendidikan.
Belakangan
ada indikasi bahwa untuk tahun 2010 Gubernur menggulirkan dana Rp 480
milyar untuk perbaikan dan membangun gedung sekolah di Jawa Barat yaitu untuk
merehabilitasi 2.328 sekolah, memperbaiki 3000 ruang kelas yang rusak akibat
gempa bumi 2009 dan membantu 120 unit sekolah baru. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan dalam alokasi anggaran pendidikan sangat situasional, elastis, relatif dan longgar serta
menunjukkan kuatnya diskresi Gubernur dalam implementasinya .
Tabel 4.6
Jumlah SD dan SMP se-Jawa Barat
SD
|
Jumlah
|
SMP
|
Jumlah
|
Jumlah SD
|
17.767
|
Jumlah SMP
|
2.943
|
Siswa Perempuan
|
2.285.209
|
Siswa Perempuan
|
668.403
|
Siswa Laki-laki
|
2.318.457
|
Siswa Laki-laki
|
682.638
|
Jumlah Siswa
|
4.603.713
|
Jumlah Siswa
|
1.351.041
|
Rombongan Belajar
|
149.816
|
Rombongan
Belajar
|
98.912
|
Sumber
:
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Di
luar role sharing, pemerintah kota
dan kabupaten melakukan perbaikan sarana/prasarana dengan APBD masing-masing.
Kota Cimahi membangun gedung SD baru, menambah 15 ruang kelas SMP/MTs,
pembangunan 70 ruang kelas, 106 unit kamar mandi/WC/sanitasi air, 108 ruang
perpustakaan mengadakan alat praktek untuk 50 SD, dan mengadakan meubeler untuk
6 SD (ILPPD Tahun 2009).
Meski
program role sharing perbaikan
sekolah telah berjalan tetapi masih saja kekurangan dan kerusakan ruang kelas.
Di Kabupaten Bandung Barat saja masih kekurangan 326 ruang kelas untuk SMP yang
merata di 15 kecamatan, sedangkan yang perlu direhabilitasi mencapai 600 unit
yang memerlukan Rp 95 juta untuk setiap ruang kelas baru.
Di
Ciamis 142 SD rusak berat karena gempa. Perbaikan masih diperlukan bagi 94
ruang kelas baru. Anggaran untuk ruang kelas yang mampu menahan getaran gempa
berkekuatan 9,0 SR adalah Rp 100 juta per ruang kelas.
Berdasarkan
data Disdik Jawa Barat pada 2009, jumlah lulusan SD sebanyak 778.810 siswa,
sedangkan daya tampung SMP hanya 651.045 siswa, yang jika diasumsikan ke dalam
ruang kelas masih kekurangan sekitar 3.200 ruang kelas. Sementara daya tampung
di SMA saat ini hanya 348.806 siswa, padahal siswa yang lulus SMP mencapai
651.045 siswa atau masih kekurangan ruang kelas sebanyak 5.560 unit ruang
kelas.
Jalal
selaku Wamendiknas mengatakan bahwa total anggaran yang dibutuhkan merehab
178.000 kelas SD/MI yang dibangun pada
masa SD Inpres termasuk yang ada di Jawa Barat adalah Rp 14 triliun dan tahun
2011 baru dipenuhi Rp 9,3 triliun untuk 138 ribu kelas.
Pemberian
Bantuan Keuangan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasi
anggaran untuk biaya langsung pendidikan (direct
cost) dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD Rp 25.000,00;
SMP Rp 127.500,00 dan SMA Rp 180.000,00.
Total alokasi anggaran BOS adalah Rp 599,99 milyar untuk 8.570.252 siswa. Tentu saja
pengalokasian ini perlu dihargai mengingat APBN hanya memberikan BOS sampai
SMP, sedangkan Provinsi Jawa Barat telah mampu memberikan BOS hingga SMA.
Tabel
4.7 Alokasi
Dana BOS Provinsi Jawa Barat
Sekolah Penerima BOS
|
Jumlah Siswa
|
Besaran Dana
(dalam Rupiah)
|
SD/SDLB/MI/SalafiahUla
|
5.360.000
|
134.000.000.000
|
SMP/SmPLB/SMPT/MTs/ Salafiah
Wustho
|
2.130.392
|
271.624.980.000
|
SMA/SMALB
|
481.952
|
86.751.360.000
|
SMK/MA
|
597.908
|
107.623.440.000
|
Jumlah
|
8.570.262
|
599.999.780.000
|
Sumber : Gubernur Jawa
Barat (2010)
Di
samping itu ada pula bantuan keuangan dalam rangka pendidikan gratis terutama
bagi masyarakat kurang mampu (yang diimplementasikan antara lain melalui :
Bantuan Gubernur untuk Siswa dan Sekolah (BAGUSS), Pengadaan Buku Murah,
Beasiswa bagi Siswa dan Mahasiswa Berprestasi dan Tidak Mampu, bantuan buku
serta Bantuan Seragam.
Pada
tahun 2011 BOS Provinsi untuk SMA yang jumlahnya Rp 180.000/siswa/tahun tidak
dianggarkan lagi. Gubernur mengatakan bahwa anggaran dialihkan untuk siswa yang
tidak mampu yang akan memperoleh Rp 500.000/siswa/tahun. Alasan Gubernur adalah
bahwa ada satu kabupaten yang 73% siswanya putus sekolah di tingkat SMU. Di
Jawa Barat, siswa SMP yang melanjutkan ke SMA baru 57% dan 43% putus sekolah.
Target Jawa Barat adalah 63% siswa bisa melanjutkan ke SMA.
Bukan
hanya di tingkat Pemerintah Provinsi, Pemerintah kota dan kabupaten juga
melakukan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan alokasi anggaran pendidikannya.
Sebuah langkah maju dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung yang menyediakan
anggaran pendidikan gratis.
Tabel
4.8 Anggaran
Pendidikan Kota Bandung
Jenis
Belanja
|
%
|
Anggaran
|
Belanja
Langsung
Belanja
Tidak Langsung
Sekolah
Gratis SD
SMPS
SMAS
SMPN
SMAN
|
98,87%
1,83%
|
663 m
194 m
83
83
88,7
71,7
27,14
|
1,1 Triliun
|
Sumber : Radar Bandung, 15 April 2010
Pemerintah
Kota Bandung melalui Peraturan Walikota Bandung Nomor 336 Tahun 2010 memberikan
BOS yang besarnya mencapai Rp
93,405 miliar untuk membiayai Penyelenggaraan Program Sekolah Gratis bagi 857
SD/MI, 52 SMP Negeri, 178 SMP Swasta,
MTs Negeri/Swasta dan SMP Negeri Induk SMP Terbuka, serta 1 SMA Negeri dan 50
SMA/MA/SMK Swasta.
Di
sisi lain meski tidak memiliki kemampuan APBD sebesar Kota Bandung, Pemerintah
Kabupaten Garut mencanangkan wajar dikdas 12 tahun mulai tahun 2010 dengan memperbanyak RKB baru dan SMA/SMK
gratis. Diperkirakan untuk SMA/SMK
gratis diperlukan biaya Rp 75 miliar setahun
(Tribun Jabar, 3 Mei 2010).
Selain
bantuan berupa uang ada pula bantuan berupa buku-buku mata pelajaran yang
di-UAN-kan dan ada pula bantuan baju seragam melalui Kegiatan Bantuan
Baju Seragam Sekolah SD/MI dan SMP/MTs dari Keluarga Tidak Mampu.
Tunjangan
dan Bantuan Keuangan bagi Guru
Pemerintah mencairkan Rp 700 miliar untuk tunjangan guru
bagi 21.000 guru , tunjangan fungsional non-PNS bagi 60.000 guru se-Jawa Barat
dan tunjangan bagi guru daerah khusus bagi 1.200 guru di Garut dan Sukabumi. Besaran
uang tunjangan guru untuk golongan IV A berkisar Rp 2,3 – 2,5 juta.
Sementara
itu Pemerintah Provinsi dalam bentuk Bantuan keuangan Pemprov untuk Guru di
daerah terpencil untuk 48 guru non PNS SD/MI SMP/MTs terpencil sebesar Rp
900,00 per orang; 1279 guru PNS terpencil sebesar Rp 1.050 000,00 per orang;
300 guru SMP di perbatasan sebesar Rp 1.000.000,00 per orang; 150 guru SMA di perbatasan
Rp 1.000.000,00 per orang; 115 penjaga SD terpencil Rp 1.000.000,00 per orang.
Ada pula
tunjangan daerah di setiap kota dan kabupaten bagi yang belum bersertifikasi.
Di Indramayu setiap guru PNS dan Swasta memperoleh Rp 150.000 per bulan sejak
tahun 2003. Di kota Bandung APBD menganggarkan Rp 136 miliar untuk tunjangan
penghasilan guru.
Upaya
menyejahterakan Guru juga dilakukan
Pemerintah Provinsi dalam bentuk Bantuan keuangan Pemprov untuk Guru di daerah
terpencil untuk 35.661 orang guru Non PNS dan Guru Bantu.
Masalahnya
terletak pada berbelit-belitnya birokrasi karena untuk mencairkannya perlu
rekomendasi, proposal dan Surat Keputusan Bupati. 145 guru SMA di desa terpencil Kabupaten Bandung
Barat belum menerima tunjangan dari
Pemprov tersebut yang besarnya Rp 1.000.000
per tahun. Untuk guru di Kabupaten
Bandung Barat saja jumlahnya mencapai
total Rp 2 milyar.
Standarisasi
Pendidikan
Salah satu cara meningkatkan kualitas
pendidikan versi UNESCO adalah meningkatkan pemanfaatan information and communication technology
(ICT) dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah. Di provinsi Jawa Barat, resep
ini setidaknya telah dicoba dilaksanakan pada sekolah-sekolah yang masuk
kategori Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
Pemerintah Kota
Cimahi telah menerapkan pengembangan materi belajar mengajar metode
pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi bagi 10 SMP
Negri. Sebagaimana diketahui Cimahi telah membangun apa yang dinamakan BITC (Baros Information Technology Creative).
Di samping itu 17 SD dan 10 SMP telah diakreditasi (ILPPD 2010).
Sekolah yang
memiliki status standar nasional di Kabupaten Bandung Barat meningkat menjadi
12 sekolah dari 140 SMP yang ada, tiga di antaranya RSBI. Solihin, Iin Kepala
Bidang SMP Disdikpora KBB menargetkan untuk mengajukan 14 sekolah menjadi SSN.
Di Jawa Barat
ada 21 SMP Negeri yang merupakan RSBI yang dirumuskan sebagai SNP plus. Meskipun
demikian manajemen sekolah berbasis mutu belum sepenuhnya dapat
diimplementasikan dengan baik. Hal tersebut diperkuat oleh Sumantri, Agus yang
mengatakan bahwa “the implementation of
school quality management in SMPN RSBI was not be maximum implemented, it was
showed by only three component of school which have positive contribution, sush
as : society supports, teachers and teaching learning process and curriculum” (Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI
2010).
Untuk melakukan
standarisasi pendidikan di Provinsi Jawa Barat ada lembaga yang memiliki fungsi
melakukan penjaminan mutu yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP).
Sampai tahun 2010 LPMP baru melakukan evaluasi mutu di dua kabupaten dari 26
kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Di
samping itu Dinas Pendidikan memiliki empat UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah)
yang terkait, yaitu UPTD Balai Pengembangan Guru, UPTD Balai Pengembangan
Bahasa Daerah dan UPTD Balai Pengembangan Teknologi Pendidikan dan UPTD Balai
Pelatihan Guru Sekolah Luar Biasa yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2002.
Provinsi
Jawa Barat juga memiliki sebuah yayasan yang mengelola pendidikan yaitu Yayasan
Darmaloka yang membuat sekolah unggulan untuk anak-anak dari keluarga yang
tidak mampu sehingga mereka dapat bersekolah.
Tingkat
Kelulusan Siswa
Dengan
standar nilai kelulusan yang meningkat, tingkat kelulusan SMP mengalami penurunan
dari 98,94% (2009) menjadi 97,59 (2010), sehingga sebanyak 15.557 siswa harus
mengikuti UN ulangan. Di luar dugaan nilai untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia banyak yang buruk meski lebih baik dari Matematika.
Hasil
UN SMP dengan kelulusan tertinggi adalah kota Tasikmalaya sebesar 99,54%, dan
yang terendah adalah di Kabupaten Karawang yaitu 92,23 %. Sedangkan tingkat kelulusan pada
SMP/MTs Terbuka mencapai 98,07%. Untuk seluruh SMP di Jawa Barat, maka SMP Negeri
5 Bandung mencapai nilai kelulusan tertinggi se-Jawa Barat yakni 36,34.
Provinsi Jawa Barat termasuk ke
dalam empat Provinsi yang hasil Ujian Nasionalnya terbaik secara nasional. Sebagai
perbandingan, provinsi yang ketidaklulusannya tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur,
sedangkan Bali secara nasional terendah ketidaklulusannya hanya 1,4%. Siswa dinyatakan
lulus bila memperoleh nilai rata-rata lebih 5,5 untuk 4 mata ujian yakni Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA. Secara nasional siswa yang tidak
lulus UN SMP berjumlah 350.798 orang, sedangkan yang tingkat kelulusannya 0% ada 561 sekolah, bahkan di Jakarta sebagai
Ibukota Negara masih ada 6 sekolah yang tingkat kelulusan UN nya 0%. Dengan
demikian Provinsi Jawa Barat termasuk dalam kategori provinsi yang memiliki
tingkat kelulusan UN sangat baik meskipun yang terbaik adalah Provinsi Bali.
Tabel 4.9 Jumlah Lulusan
SD dan SMP se-Jawa Barat
SD
|
SMP
|
Jumlah
SD
|
17.767
|
Jumlah
SMP
|
2.943
|
Jumlah
siswa
|
4.603.713
|
Jumlah
siswa
|
1.351.041
|
Lulusan
|
680.313
|
Lulusan
|
375.571
|
Mengulang
|
75.362
|
Mengulang
|
1.962
|
Putus
Sekolah
|
10.029
|
Putus
Sekolah
|
9.290
|
Sumber
:
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Dengan
melaksanakan semua program yang telah dibuat dalam APBD tahun 2009,
meningkatkan sarana dan prasarana, meningkatkan kesejahteraan guru, memberikan
bantuan keuangan bagi sekolah dan siswa, menjalankan standar pendidikan
nasional, melibatkan partisipasi masyarakat maka Provinsi Jawa Barat dapat
mencapai tingkat kelulusan UN cukup baik yang berujung pada meningkatnya Indeks
Pendidikan dari 80,35 pada tahun 2008 menjadi 80,58 pada tahun 2009 atau
meningkat 0,23 poin.
c. Pencapaian Target
Pengukuran
kinerja pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran pendidikan tentunya
dikaitkan dengan kebijakan umum keuangan daerah. Kebijakan belanja daerah
sesuai dengan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2009
berpedoman pada prinsip-prinsip penganggaran, belanja daerah disusun dengan
pendekatan belanja kinerja (performance
budget) yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang
direncanakan dengan memperhatikan prestasi kerja setiap OPD dalam pelaksanaan
tugas, pokok dana fungsinya. Tujuan penggunaan anggaran berbasis kinerja adalah
untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran serta menjamin
efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran ke dalam program /kegiatan.
Kebijakan
belanja daerah dilakukan dengan pengaturan pola pembelanjaan yang proporsional,
efisien dan efektif. Anggaran pendidikan tersebut diarahkan terutama untuk
meningkatkan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan merealisasikan
“Jabar Putus Jenjang Sekolah”.
Berdasarkan
kebijakan tersebut maka untuk mengukur kinerja digunakan tiga prinsip :
proporsionalitas, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas. Dilihat dari
prinsip proporsionalitas maka anggaran
pendidikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp 1,6 triliun rupiah yang berarti 20%
dari APBD adalah proporsional dilihat dari ketentuan undang-undang yang
berlaku, namun demikian dapat dikatakan tidak proporsional jika dikaitkan
dengan prioritas anggaran untuk meningkatkan angka melek huruf, rata-rata lama
sekolah dan merealisasikan “Jabar Putus Jenjang Sekolah”.
Prinsip
efisiensi menurut anggota Komite Perencana Jawa Barat, Patta (Warta Bapeda
Provinsi Jawa Barat, 2008:28) , dilakukan antara lain dengan melakukan program peningkatan
produktivitas, perencanaan dan penganggaran, mengembangkan metode pembangunan
berbiaya rendah, mengurangi besaran bunga pinjaman lokal, menyeleksi program
pembangunan, mempertimbangkan keekonomisan skala dalam penyediaan pelayanan
serta mempromosikan metode cost-saving
dengan cara bekerja sama dengan kontraktor swasta.
Untuk
melihat prinsip efektivitas alokasi
anggaran pendidikan, maka terlebih dulu ditentukan indikator yang harus
dicapai yang ditentukan dalam RPJMD
kemudian membandingkannya dengan pencapaian kinerja.
Tabel 4.10
Indikator Kinerja Pembangunan Daerah di Bidang Pendidikan
No.
|
Indikator
Kinerja
|
Target
Midterm
|
Pencapaian
Target
2009
|
1.
|
Angka Rata-rata Lama Sekolah
|
9-9,5 tahun
|
7,58 tahun
|
2.
|
Angka Melek Huruf
|
95-96%
|
95,60%
|
Sumber :
RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013 dan hasil penelitian
Dengan
pencapaian tersebut, indikator-indikator nampaknya tidak dapat dicapai oleh
eksekutif. Target Indeks Pembangunan Manusia di Bidang Pendidikan untuk tahun
2009 yang tertuang dalam RKPD adalah sebesar 82,02 poin sedangkan realisasinya
80,58 (BPS 2009), itu berarti target yang telah ditetapkan tidak tercapai.
Salah satu indikator yang menentukan IPM bidang pendidikan adalah Rata-rata
Lama Sekolah (RLS) yang mencapai 7,58 tahun atau rata-rata kelas satu SLTP.
Pencapaian tersebut tidak berjalan seiring dengan yang ditargetkan Gubernur
bahwa wajar dikdas Sembilan tahun akan tercapai selambat-lambatnya pada tahun
2010, sementara target wajib belajar 12 tahun akan dicapai tahun 2013. Melihat
kenyataan seperti itu DPRD memberikan kritiknya secara tajam dan mengatakan
bahwa “jauh panggang dari api” (Ketua DPRD dalam Catatan Strategis DPRD tanggal
22 April 2010).
Pencapaian
IPM bidang pendidikan tersebut mempengaruhi pencapaian IPM secara keseluruhan.
Target IPM tahun 2009 adalah 75,91 hanya dapat direalisasi 71,50 poin. Kalangan
DPRD menyatakan bahwa dengan tidak tercapainya target tersebut menunjukkan
kinerja aparatur pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan lamban dalam
menjalankan urusan pemerintah daerah. Gubernur dianggap “tidak mampu
mengerahkan serta mengarahkan segenap aparatur pemerintah supaya fokus dalam
pencapaian target tersebut, termasuk di dalamnya tidak mampu
mengkoordinasikannya dengan Kabupaten/Kota”.
Kritik
DPRD tersebut didasarkan pada argumentasi berikut ini : rawan drop out siswa SD dan SMP yang tinggi;
jumlah guru yang layak masih belum memadai dan belum merata penyebarannya;
sertifikasi guru ternyata belum memberikan hasil yang optimal; alokasi anggaran
pendidikan 20% belum mampu memacu kenaikan indeks pendidikan. “Berbagai program
pendidikan yang dilaksanakan ternyata belum mencapai hasil maksimal seperti
pelaksanaan BOS” karena sistem yang dilaksanakan menyebabkan penerimaan dana
jadi terlambat; program kegiatan sekolah gratis belum dilaksanakan secara
meluas oleh masyarakat; kegiatan revitalisasi sistem informasi kemajuan
berbasis GIS yang diharapkan mampu meningkatkan manajemen pelayanan pendidikan
ternyata gagal karena perencanaan yang tidak matang; anggaran untuk pengadaan
buku yang dialokasikan sebesar Rp 275 miliar tidak berjalan sebagaimana
harusnya terbukti jumlah buku tidak sesuai kebutuhan sekolah atau bahkan belum
menerima sama sekali, di sisi lain buku yang didistribusikan sama dengan buku
yang disediakan Kemendiknas sehingga terkesan pengelolaannya tidak baik.
Sementara
Kepala Dinas Pendidikan memberikan
tanggapan yang sejalan dengan kritik DPRD karena diakuinya bahwa fasilitas belajar-mengajar seperti alat
peraga dan buku-buku teks yang sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) masih
belum memadai..
Untuk melihat
efektivitas implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dalam
meningkatkan mutu, maka dampak kebijakan tersebut dalam perlu diketahui.