Dalam
pandangan Thomas (1971:108-109), ada dua fakta sentral yang memandu analisis
mengenai anggaran pendidikan. Pertama, pendidikan adalah “komoditas” bernilai
di masyarakat. Nilai tersebut terletak pada beberapa kepuasan intrinsik yang
merupakan akibat dari “possession”
(rasa memiliki). Penting juga dipahami bahwa pendidikan merupakan alat untuk
tujuan bernilai lainnya. Pendidikan dilihat sebagai jalan menuju pertumbuhan
ekonomi, pertahanan nasional, pengurangan pengangguran, dan preservasi
demokrasi politik. Sedangkan dari sudut pandang individual, pendidikan
memungkinkan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi, memilih pekerjaan
dan posisi sosial yang lebih prestisius.
Kedua,
meskipun permintaan untuk pendidikan tinggi dan berkembang, setiap masyarakat
menjumpai kenyataan bahwa tidak semua kebutuhan mereka terpenuhi secara penuh.
Masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih untuk pendidikan. Sumber daya tidak
terbatas secara absolut tetapi di dalam kisaran pengeluaran tetap harus
dipertimbangkan. Sumberdaya selalu punya alternatif penggunaannya, sehingga
sumberdaya dianggap langka secara definitif, karena pemanfaatan untuk suatu
tujuan menghalangi penggunaan untuk aktivitas publik maupun pribadi lainnya.
Pandangan
Thomas memberikan perspektif ekonomi pada kebijakan alokasi anggaran
pendidikan. Karena itu pemahaman mengenai ekonomi pendidikan, teori human capital, pembiayaan pendidikan,
efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas menjadi penting. Uraian berikut
memberikan dasar teoretis mengenai aspek ekonomi terhadap alokasi anggaran
pendidikan.
a.
Ekonomi Pendidikan
Ekonomi
pendidikan (education economics,
economics of education) merupakan studi isu-isu ekonomi dalam pendidikan,
termasuk kebutuhan akan pendidikan dan pembiayaan pendidikan.
Education economics or the
economics of education is the
study of economic issues relating to education, including the demand for education and the
financing and provision of education (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics diunduh
16 Maret 2011).
b.
Teori Modal Manusia
Menurut Checchi, Daniele (The Economics of Education:
Human Capital, Family Background and Inequality, 2006 : 17 ) model
dominan kebutuhan akan pendidikan berbasis pada teori human capital (modal manusia). Gagasan intinya adalah pendidikan
merupakan investasi untuk memperoleh ketrampilan dan pengetahuan yang akan
meningkatkan earnings (penghasilan)
atau memberikan manfaat (benefit)
jangka panjang seperti penghargaan terhadap literature (kadangkala dikaitkan
dengan cultural capital atau modal
budaya). Card (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics) berpendapat bahwa suatu
peningkatan pada modal manusia akan mengikuti kemajuan teknologikal
seperti para karyawan yang
berpengetahuan yang dibutuhkan ketrampilannya, yang memahami proses produksi
dan dapat mengoperasikan mesin-mesin. Studi sejak tahun 1958 mencoba menghitung
keuntungan dari bertambahnya pendidikan
(persentase peningkatan income melalui
lamanya bersekolah). Hasil terakhir menunjukkan perbedaan return dari orang-orang berdasarkan tingkat pendidikannya.
Statistik-statistik
menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat rata-rata lama sekolah yang
tinggi tumbuh lebih cepat. AS menjadi pemimpin kemajuan pendidikan dimulai
dengan high school movement (1910–1950). Pendidikan nampaknya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, meskipun nampak ada hubungan kausalitas yang menunjukkan sebuah
kemunduran. Sebagai contoh, jika pendidikan dipandang sebagai “a luxury good” (barang mewah), itu
karena rumah tangga kaya mencari pendidikan sebagai sebuah simbol status
daripada pendidikan yang mengarah pada
kemakmuran.
Kemajuan
pendidikan bukanlah satu-satunya variabel pertumbuhan ekonomi karena hanya
memberikan sumbangan 14% terhadap peningkatan rata-rata tahunan pada
produktivitas kerja pada tahun 1915 hingga 2005 (Goldin
and Katz, Economic Journal Watch 6(1): 2-20.). Karena keterbatasan ini para
ekonom melihat alasan untuk mempercayai bahwa dewasa ini banyak ketrampilan dan
kapabilitas datang dari pembelajaran (learning)
di luar pendidikan tradisional dan sekaligus di luar persekolahan (Wikipedia, the free encyclopedia diunduh
16 Maret 2011).
Sebuah
model alternatif kebutuhan akan pendidikan mengacu pada apa yang disebut oleh
Horner sebagai screening, yang
mendasarkan pada teori ekonomi “signaling”
(The New Palgrave
Dictionary of Economics, 2nd Edition). Gagasan intinya adalah bahwa suksesnya
penyelesaian pendidikan adalah sebuah tanda
dari kemampuan .
An alternative model of the demand for
education, commonly referred to as screening, is based on the
economic theory of signalling. The central idea is that the successful
completion of education is a signal of ability. (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics)
Menurut Fischel, Hoxby dan Checci (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics
diunduh 16 Maret 2011),
pada banyak negara pendidikan persekolahan (school
education) dibiayai oleh pemerintah. Meskipun ada kesepakatan terhadap
prinsip bahwa pendidikan setidaknya pada tingkat persekolahan (school level) seharusnya dibiayai oleh pemerintah, namun ada debat
mengenai perluasan tanggungjawab publik terhadap pendidikan. Pendukung public education berargumentasi bahwa
tanggungjawab publik universal menghasilkan kesetaraan kesempatan dan kohesi
sosial. Para penentang pembiayaan publik menawarkan alternatif dalam bentuk voucher.
d. Education Production Function
Fungsi
produksi pendidikan adalah sebuah aplikasi konsep ekonomi mengenai fungsi produksi ke dalam lapangan pendidikan.
Konsep tersebut berkaitan dengan pelbagai input yang mempengaruhi pembelajaran
siswa (sekolah, keluarga, teman, tetangga dll.) hingga output yang
diperhitungkan termasuk sukses dalam pasar kerja, tingkat melanjutkan ke PT,
tingkat kelulusan, dan yang paling sering : skor tes yang terstandar. Studi
awal mengenai hal ini dilakukan oleh sosiolog Coleman. The Coleman Report yang dipublikasikan tahun 1966 menyimpulkan
bahwa efek marjinal pelbagai input terhadap pencapaian siswa relatif kecil jika
dibandingkan dampak keluarga dan teman.
Laporan
yang menunjukkan adanya sejumlah studi yang sukses dan telah meningkatkan
keterlibatan para ekonom, menghasilkan
inkonsistensi mengenai dampak sumberdaya sekolah pada pencapaian siswa.
Penafsiran dari pelbagai studi sangat kontroversial karena memasuki ranah
perdebatan politik. Secara garis besar ada dua macam studi yang mengundang
perdebatan luas. Pertama, pertanyaan umum mengenai apakah penambahan dana ke sekolah memang
menghasilkan pencapaian yang lebih tinggi (the
“money doesn’t matter” debate) telah masuk ke perdebatan legislatif dan
pertimbangan hukum sistem keuangan sekolah. Kedua, diskusi kebijakan lainnya,
mengenai pengurangan ukuran kelas (class
size reduction) memperkuat studi akademik hubungan antara ukuran kelas dan
pencapaian akademik siswa (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics).
e.
Akuntabilitas
Untuk
mengetahui hal ikhwal yang berkenaan dengan akuntabilitas, pemahaman historis
dan etimologis sedikit banyak dapat membantu menempatkan akuntabilitas dalam
posisi yang tepat.
1. Definition of accountability: the quality or state of being accountable; especially
: an obligation or
willingness to accept responsibility or to account for one's actions (http://www.merriam-webster.com/dictionary/accountability).
2.
"Accountability"
stems from late Latin accomptare
(to account), a prefixed form of computare
(to calculate), which in turn derived from putare (to reckon). (Oxford English Dictionary 2nd Ed.).
3.
While the word
itself does not appear in English until its use in 13th century Norman England,
(Melvin, 1998, 68-81 & Gary, 2005 393-480) the concept of account-giving
has ancient roots in record keeping activities related to governance and
money-lending systems that first developed in Ancient Israel,
Babylon,,Egypt, Greece,
and later, Rome.
Pada
dasarnya akuntabilitas (accountability) adalah
suatu konsep etik dan tata kelola dengan pelbagai makna. Kata itu seringkali
disinonimkan dengan “responsibility,
answerability, blameworthiness, liability, and other terms
associated with the expectation of account-giving” (Dykstra, 1939: 1-25).
Sebagai sebuah aspek tata kelola, kata itu menjadi pusat diskusi berkenaan
dengan masalah-masalah di dunia sektor publik, nirlaba dan privat
(korporasi).
Dalam
konteks kepemimpinan, akuntabilitas adalah suatu pemberitahuan dan asumsi
tanggungjawab untuk bertindak, menghasilkan, memutuskan, dan membuat kebijakan
termasuk administrasi, tata kelola dan implementasi dalam ranah peran posisi
pekerjaan dan kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan, menjawab konsekuensi
dari akibat (Christopher, 2006: 59).
Sebagai
sebuah istilah berkaitan dengan tata kelola, akuntabilitas sulit didefinisikan.
Ia sering digambarkan sebagai hubungan memberi tanggungjawab antar individu
(Mulgan, 2000: 555-573 dan Amanda 1995: 219-237). Akuntabilitas tidak dapat
eksis tanpa praktik akunting yang patut (proper),
dengan kata lain ketiadaan akunting berarti ketiadaan akuntabilitas. Schedler,
Andreas (1999: 13-28) mengatakan : “Accountability cannot exist without
proper accounting practices, in other words absence of accounting means absence
of accountability”.
Stone,
Dwivedi & Jabbra (1989)
membuat delapan tipe
akuntabilitas yaitu “moral,
administrative, political, managerial, market, legal/judicial, constituency
relation, and professional”. Akuntabilitas kepemimpinan mencakup atau
setidak-tidaknya bersinggungan dengan semua tipe akuntabilitas tersebut. “Leadership
accountability cross cuts many of these distinctions”.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics,
diunduh 20 Juli 2011).
f.
Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and
Evaluation)
Meskipun
istilah “monitoring and evaluation”
cenderung disebut bersama seperti satu hal sebenarnya monitoring dan evaluasi
adalah dua aktivitas organisasional yang berbeda, berhubungan tetapi tidak
identik.
Monitoring (Pemantauan)
World Bank mendefinisikan monitoring sebagai sebuah
tipe evaluasi yang dilakukan saat sebuah proyek sedang berjalan dengan tujuan
memperbaiki disain proyek dan memfungsikannya saat proyek itu sedang
berjalan. (This type of evaluation is performed while a project is being
implemented, with the aim of improving the project design and functioning while
in action) sedangkan Bamberger
mendefinisikannya sebagai kegiatan internal yang dirancang untuk
menyediakan umpan balik dalam kemajuan
suatu proyek, “an internal project
activity designed to provide constant feedback on the progress of a project,
the problems it is facing, and the efficiency with which it is being
implemented.” (http://web.mit.edu/urbanupgrading/upgrading/issues-tools/tools/monitoring-eval.html). Definisi yang
lain diberikan Shapiro, Janet sebagai berikut :
Monitoring is the systematic collection and analysis of information as a
project progresses. It is aimed at improving the efficiency and effectiveness
of a project or organisation. It isbased on targets set and activities planned
during the planning phases of work. It helps to keep the work on track, and can
let management know when things are going wrong. If done properly, it is an
invaluable tool for good management, and it provides a useful base for evaluation.
It enables you to determine whether the resources you have available are
sufficient and are being well used, whether the capacity you have is sufficient
and appropriate, and whether you are doing what you planned to do (see also the
toolkit on Action Planning) (nellshap@hixnet.co.za) .
Evaluasi
Evaluasi melakukan studi mengenai outcome sebuah kegiatan dengan tujuan
memberikan informasi mengenai rancangan proyek di masa depan. Bamberger menggambarkan evaluasi terutama digunakan
untuk membantu memilih dan merancang proyek masa depan.
Shapiro mendefinisikan evaluasi sebagai
perbandingan antara dampak sebuah kegiatan aktual dengan rencana strategis yang
telah disepakati :
Evaluation
is the
comparison of actual project impacts against the agreed strategic plans. It looks at what you set
out to do, at what you have accomplished, and how you accomplished it. It can
be formative (taking place
during the life of a project or organisation, with the intention of improving
the strategy or way of functioning of the project or organisation). It can also
be summative (drawing learnings
from a completed project or an organisation that is no longer functioning).
Someone once described this as the difference between a check-up and an
autopsy! (nellshap@hixnet.co.za).
Selanjutnya
Shapiro mengatakan bahwa apa yang dapat diperoleh dari monitoring dan evaluasi
adalah mendorong kearah pembelajaran dari apa yang sedang dilakukan dan dan
bagaimana melakukannya dengan berfokus pada efisiensi, efektivitas dan
dampaknya. “ What monitoring and evaluation have in common is that they are geared
towards learning from what you are doing and how you are doing it, by focusing
on: Efficiency Effectiveness Impact”. (nellshap@hixnet.co.za).
g. Efisiensi dan Efektifitas
Efisiensi
produksi pelayanan publik dibidang pendidikan dapat dicapai dengan efektifitas
anggaran. Penganggaran merupakan proses politik yang sangat kompleks karena
melibatkan banyak kelompok dan kepentingan. Pada suprastruktur politik
melibatkan eksekutif, legislatif, dan lembaga tinggi seperti BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan). Pada infrastruktur politik
melibatkan para pemangku kepentingan yang sangat luas.
Anggaran berada
pada inti dari proses pembuatan
keputusan pemerintah. Ini merupakan tugas memutuskan apa saham dari suatu
sumberdaya masyarakat yang diambil untuk diabdikan pada tujuan publik dan
berapa banyak yang diletakkan pada tangan swasta. Bagi para politisi, pusat
dari penganggaran adalah memutuskan bagaimana meningkatkan pendapatan dan
program apa yang perlu diberi dana. Kettl dalam The Encyclopedia Americana Vol. 4 (2001: 702-706) mengatakan ini adalah
pemicu bagi konflik politik (“it is a
virtual rod for political conflict”). Sedangkan pada tataran operasional
dipengaruhi oleh kinerja birokrasi. Weber menetapkan beberapa elemen esensial
birokrasi sebagai berikut:
(1)Within
organizations, individuals have fixed jurisdictions; (2) within these
jurisdictions, individuals have official duties that define their work; (3)
individuals work within a fixed pattern of hierarchy, which structures
authority within the organization; (4) individuals are hired as experts and
work in organization as a career; (5) management is based on rules and on
written files; (6) the hierarchy defines the pattern of relationship within
organization and the specialized jobs of its members. Hierarchy ensures
coordination, and coordination promotes efficiency (Kettl, 2001:
702) .
Kettl
berpandangan bahwa teori konvensional birokrasi telah dikritik karena alasan
teoretik dan humanistik. Model Weber tidak menerangkan beroperasinya organisasi
secara baik. Komunikasi jarang mengikuti garis hirarki kewenangan dan hubungan
informal sering lebih penting daripada kewenangan formal. Lagipula karyawan
biasanya bekerja dengan baik bukan
karena diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan tetapi karena termotivasi
untuk melakukannya.
Teori organisasi
modern alih-alih berfokus pada hirarkhi dan kewenangan, lebih berfokus untuk
mencari penjelasan hubungan di antara struktur formal, komunikasi informal dan
motivasi individu untuk mengidentifikasi elemen terbaik dalam mempromosikan
kinerja organisasi. Para teoris juga mengembangkan strategi untuk membuat
birokrasi lebih peka terhadap kebutuhan individual. Para reformer menghendaki
keterlibatan pegawai dalam keputusan kunci, mengurangi lapisan birokratik,
memberikan lebih banyak diskresi dalam pekerjaan dan memberikan perhatian pada
kebutuhan mereka yang datang berhubungan dengan birokrasi.
Selain itu,
Kettl (2001: 784) mengatakan bahwa dalam pemerintahan, power dan efektivitas sangat terletak pada keahlian birokratik (bureaucratic expertise). Kekuasaan besar
yang dimiliki birokrasi publik membuat mereka menjadi ancaman bagi pemerintahan
demokratik. Salah satu problem pemerintahan adalah bagaimana birokrasi publik “responsible”, yaitu mengelola program
secara efisien dan menjaga agar birokrat karir akuntabel untuk dipilih menjadi
pejabat publik. Menurut pengamatan Kettl di Amerika Serikat, dasar demokrasi
memberikan sumbangan pada inefisiensi birokrasi dan membatasi transfer
teknik-teknik sektor publik ke dalam organisasi publik (the foundation of American democracy have contributed to government
inefficiency). Dengan demikian, tantangannya adalah menyeimbangkan
kekuasaan birokratik yang diperlukan bagi pemecahan masalah secara efektif
dengan pengawasan demokratik yang diperlukan untuk adanya akuntabilitas.
Depdiknas
(2001:32) berpandangan bahwa efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh
mana tujuan (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Apabila target yang
direncanakan dapat dicapai dengan maksimal maka suatu proses dapat dikatakan
efektif. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan
memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional (Mulyasa,
2002: 82). Lebih lanjut dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan
terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan,ketepatan waktu dan adanya
partisipasi aktif dari anggota. Rinjin dalam Sunu (2009:14) mengemukakan bahwa
efektivitas mengindikasikan tingkat kesesuaian antara hasil yang direncanakan
dengan hasil yang dicapai dari seluruh kegiatan mulai dari variable masukan,
variable proses transformasi dan interaksi sampai pada variabel hasil yang
perlu dikaji akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas
penganggaran merupakan kesesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dengan
periode waktu tertentu yang telah ditetapkan dalam perencanaan dengan
kriteria-kriteria yang ada. Implementasi alokasi anggaran pendidikan mulai dari
perencanaan (plan), proses (do), penilaian (check) dan tindak lanjut (action) selalu mengarah pada pencapaian mutu
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar