Kamis, 04 September 2014

Aspek Ekonomi pada Anggaran Pendidikan

Dalam pandangan Thomas (1971:108-109), ada dua fakta sentral yang memandu analisis mengenai anggaran pendidikan.  Pertama, pendidikan adalah “komoditas” bernilai di masyarakat. Nilai tersebut terletak pada beberapa kepuasan intrinsik yang merupakan akibat dari “possession” (rasa memiliki). Penting juga dipahami bahwa pendidikan merupakan alat untuk tujuan bernilai lainnya. Pendidikan dilihat sebagai jalan menuju pertumbuhan ekonomi, pertahanan nasional, pengurangan pengangguran, dan preservasi demokrasi politik. Sedangkan dari sudut pandang individual, pendidikan memungkinkan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi, memilih pekerjaan dan posisi sosial yang lebih prestisius.

Kedua, meskipun permintaan untuk pendidikan tinggi dan berkembang, setiap masyarakat menjumpai kenyataan bahwa tidak semua kebutuhan mereka terpenuhi secara penuh. Masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih untuk pendidikan. Sumber daya tidak terbatas secara absolut tetapi di dalam kisaran pengeluaran tetap harus dipertimbangkan. Sumberdaya selalu punya alternatif penggunaannya, sehingga sumberdaya dianggap langka secara definitif, karena pemanfaatan untuk suatu tujuan menghalangi penggunaan untuk aktivitas publik maupun pribadi lainnya.
Pandangan Thomas memberikan perspektif ekonomi pada kebijakan alokasi anggaran pendidikan. Karena itu pemahaman mengenai ekonomi pendidikan, teori human capital, pembiayaan pendidikan, efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas menjadi penting. Uraian berikut memberikan dasar teoretis mengenai aspek ekonomi terhadap alokasi anggaran pendidikan.

a. Ekonomi Pendidikan
Ekonomi pendidikan (education economics, economics of education) merupakan studi isu-isu ekonomi dalam pendidikan, termasuk kebutuhan akan pendidikan dan pembiayaan  pendidikan.
  Education economics or the economics of education is the study of economic issues relating to education, including the demand for education and the financing and provision of education (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics diunduh 16 Maret 2011).

b. Teori Modal Manusia
Menurut Checchi, Daniele (The Economics of Education: Human Capital, Family Background and Inequality, 2006 : 17 ) model dominan kebutuhan akan pendidikan berbasis pada teori human capital (modal manusia). Gagasan intinya adalah pendidikan merupakan investasi untuk memperoleh ketrampilan dan pengetahuan yang akan meningkatkan earnings (penghasilan) atau memberikan manfaat (benefit) jangka panjang seperti penghargaan terhadap literature (kadangkala dikaitkan dengan cultural capital atau modal budaya). Card (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics)  berpendapat bahwa suatu peningkatan pada modal manusia akan mengikuti kemajuan teknologikal seperti  para karyawan yang berpengetahuan yang dibutuhkan ketrampilannya, yang memahami proses produksi dan dapat mengoperasikan mesin-mesin. Studi sejak tahun 1958 mencoba menghitung keuntungan dari bertambahnya pendidikan  (persentase peningkatan income melalui lamanya bersekolah). Hasil terakhir menunjukkan perbedaan return dari orang-orang berdasarkan tingkat pendidikannya.
Statistik-statistik menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat rata-rata lama sekolah yang tinggi tumbuh lebih cepat. AS menjadi pemimpin kemajuan pendidikan dimulai dengan high school movement (1910–1950). Pendidikan nampaknya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meskipun nampak ada hubungan kausalitas yang menunjukkan sebuah kemunduran. Sebagai contoh, jika pendidikan dipandang sebagai “a luxury good” (barang mewah), itu karena rumah tangga kaya mencari pendidikan sebagai sebuah simbol status daripada  pendidikan yang mengarah pada kemakmuran.
Kemajuan pendidikan bukanlah satu-satunya variabel pertumbuhan ekonomi karena hanya memberikan sumbangan 14% terhadap peningkatan rata-rata tahunan pada produktivitas kerja pada tahun 1915 hingga 2005 (Goldin and Katz, Economic Journal Watch 6(1): 2-20.). Karena keterbatasan ini para ekonom melihat alasan untuk mempercayai bahwa dewasa ini banyak ketrampilan dan kapabilitas datang dari pembelajaran (learning) di luar pendidikan tradisional dan sekaligus di luar persekolahan (Wikipedia, the free encyclopedia diunduh 16 Maret 2011).
Sebuah model alternatif kebutuhan akan pendidikan mengacu pada apa yang disebut oleh Horner sebagai screening, yang mendasarkan pada teori ekonomi “signaling(The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition). Gagasan intinya adalah bahwa suksesnya penyelesaian pendidikan adalah sebuah tanda  dari kemampuan .
  An alternative model of the demand for education, commonly referred to as screening, is based on the economic theory of signalling. The central idea is that the successful completion of education is a signal of ability. (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics)

c. Pembiayaan Pendidikan
Menurut Fischel, Hoxby dan Checci (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics diunduh 16 Maret 2011), pada banyak negara pendidikan persekolahan (school education) dibiayai oleh pemerintah. Meskipun ada kesepakatan terhadap prinsip bahwa pendidikan setidaknya pada tingkat persekolahan (school level) seharusnya  dibiayai oleh pemerintah, namun ada debat mengenai perluasan tanggungjawab publik terhadap pendidikan. Pendukung public education berargumentasi bahwa tanggungjawab publik universal menghasilkan kesetaraan kesempatan dan kohesi sosial. Para penentang pembiayaan publik menawarkan alternatif dalam bentuk voucher.

d.     Education Production Function

Fungsi produksi pendidikan adalah sebuah aplikasi konsep ekonomi  mengenai fungsi produksi ke dalam lapangan pendidikan. Konsep tersebut berkaitan dengan pelbagai input yang mempengaruhi pembelajaran siswa (sekolah, keluarga, teman, tetangga dll.) hingga output yang diperhitungkan termasuk sukses dalam pasar kerja, tingkat melanjutkan ke PT, tingkat kelulusan, dan yang paling sering : skor tes yang terstandar. Studi awal mengenai hal ini dilakukan oleh sosiolog Coleman. The Coleman Report yang dipublikasikan tahun 1966 menyimpulkan bahwa efek marjinal pelbagai input terhadap pencapaian siswa relatif kecil jika dibandingkan dampak keluarga dan teman.
Laporan yang menunjukkan adanya sejumlah studi yang sukses dan telah meningkatkan keterlibatan para ekonom,  menghasilkan inkonsistensi mengenai dampak sumberdaya sekolah pada pencapaian siswa. Penafsiran dari pelbagai studi sangat kontroversial karena memasuki ranah perdebatan politik. Secara garis besar ada dua macam studi yang mengundang perdebatan luas. Pertama, pertanyaan umum mengenai  apakah penambahan dana ke sekolah memang menghasilkan pencapaian yang lebih tinggi (the “money doesn’t matter” debate) telah masuk ke perdebatan legislatif dan pertimbangan hukum sistem keuangan sekolah. Kedua, diskusi kebijakan  lainnya,  mengenai pengurangan ukuran kelas (class size reduction) memperkuat studi akademik hubungan antara ukuran kelas dan pencapaian akademik siswa (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics).

e. Akuntabilitas
Untuk mengetahui hal ikhwal yang berkenaan dengan akuntabilitas, pemahaman historis dan etimologis sedikit banyak dapat membantu menempatkan akuntabilitas dalam posisi yang tepat.

1.      Definition of accountability: the quality or state of being accountable; especially : an obligation or willingness to accept responsibility or to account for one's actions (http://www.merriam-webster.com/dictionary/accountability).

2.     "Accountability" stems from late Latin accomptare (to account), a prefixed form of computare (to calculate), which in turn derived from putare (to reckon). (Oxford English Dictionary 2nd Ed.).

3.      While the word itself does not appear in English until its use in 13th century Norman England, (Melvin, 1998, 68-81 & Gary, 2005 393-480) the concept of account-giving has ancient roots in record keeping activities related to governance and money-lending systems that first developed in Ancient Israel, Babylon,,Egypt, Greece, and later, Rome.


Pada dasarnya akuntabilitas (accountability) adalah suatu konsep etik dan tata kelola dengan pelbagai makna. Kata itu seringkali disinonimkan dengan “responsibility, answerability, blameworthiness, liability, and other terms associated with the expectation of account-giving” (Dykstra, 1939: 1-25). Sebagai sebuah aspek tata kelola, kata itu menjadi pusat diskusi berkenaan dengan masalah-masalah di dunia sektor publik, nirlaba dan privat (korporasi). 
Dalam konteks kepemimpinan, akuntabilitas adalah suatu pemberitahuan dan asumsi tanggungjawab untuk bertindak, menghasilkan, memutuskan, dan membuat kebijakan termasuk administrasi, tata kelola dan implementasi dalam ranah peran posisi pekerjaan dan kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan, menjawab konsekuensi dari akibat (Christopher, 2006:  59).
Sebagai sebuah istilah berkaitan dengan tata kelola, akuntabilitas sulit didefinisikan. Ia sering digambarkan sebagai hubungan memberi tanggungjawab antar individu (Mulgan, 2000: 555-573 dan Amanda 1995: 219-237). Akuntabilitas tidak dapat eksis tanpa praktik akunting yang patut (proper), dengan kata lain ketiadaan akunting berarti ketiadaan akuntabilitas. Schedler, Andreas (1999: 13-28) mengatakan : Accountability cannot exist without proper accounting practices, in other words absence of accounting means absence of accountability”.
Stone, Dwivedi & Jabbra (1989)   membuat  delapan tipe akuntabilitas yaitu “moral, administrative, political, managerial, market, legal/judicial, constituency relation, and professional”. Akuntabilitas kepemimpinan mencakup atau setidak-tidaknya bersinggungan dengan semua tipe akuntabilitas tersebut. “Leadership   accountability cross cuts many of these distinctions”. (http://en.wikipedia.org/wiki/Education_economics, diunduh 20 Juli 2011).

f. Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation)
Meskipun istilah “monitoring and evaluation” cenderung disebut bersama seperti satu hal sebenarnya monitoring dan evaluasi adalah dua aktivitas organisasional yang berbeda, berhubungan tetapi tidak identik.
Monitoring (Pemantauan)
World Bank mendefinisikan monitoring sebagai sebuah tipe evaluasi yang dilakukan saat sebuah proyek sedang berjalan dengan tujuan memperbaiki disain proyek dan memfungsikannya saat proyek itu sedang berjalan.  (This type of evaluation is performed while a project is being implemented, with the aim of improving the project design and functioning while in action) sedangkan Bamberger  mendefinisikannya sebagai kegiatan internal yang dirancang untuk menyediakan umpan balik  dalam kemajuan suatu proyek, “an internal project activity designed to provide constant feedback on the progress of a project, the problems it is facing, and the efficiency with which it is being implemented.” (http://web.mit.edu/urbanupgrading/upgrading/issues-tools/tools/monitoring-eval.html). Definisi yang lain diberikan  Shapiro, Janet sebagai berikut :
Monitoring is the systematic collection and analysis of information as a project progresses. It is aimed at improving the efficiency and effectiveness of a project or organisation. It isbased on targets set and activities planned during the planning phases of work. It helps to keep the work on track, and can let management know when things are going wrong. If done properly, it is an invaluable tool for good management, and it provides a useful base for evaluation. It enables you to determine whether the resources you have available are sufficient and are being well used, whether the capacity you have is sufficient and appropriate, and whether you are doing what you planned to do (see also the toolkit on Action Planning) (nellshap@hixnet.co.za) .

Evaluasi

Evaluasi melakukan studi mengenai outcome sebuah kegiatan dengan tujuan memberikan informasi mengenai rancangan proyek di masa depan. Bamberger  menggambarkan evaluasi terutama digunakan untuk membantu memilih dan merancang proyek masa depan.
Shapiro mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara dampak sebuah kegiatan aktual dengan rencana strategis yang telah disepakati :
Evaluation is the comparison of actual project impacts against the agreed strategic plans. It looks at what you set out to do, at what you have accomplished, and how you accomplished it. It can be formative (taking place during the life of a project or organisation, with the intention of improving the strategy or way of functioning of the project or organisation). It can also be summative (drawing learnings from a completed project or an organisation that is no longer functioning). Someone once described this as the difference between a check-up and an autopsy!  (nellshap@hixnet.co.za).

Selanjutnya Shapiro mengatakan bahwa apa yang dapat diperoleh dari monitoring dan evaluasi adalah mendorong kearah pembelajaran dari apa yang sedang dilakukan dan dan bagaimana melakukannya dengan berfokus pada efisiensi, efektivitas dan dampaknya.  “ What monitoring and evaluation have in common is that they are geared towards learning from what you are doing and how you are doing it, by focusing on: Efficiency Effectiveness  Impact”. (nellshap@hixnet.co.za).

g.  Efisiensi dan Efektifitas
Efisiensi produksi pelayanan publik dibidang pendidikan dapat dicapai dengan efektifitas anggaran. Penganggaran merupakan proses politik yang sangat kompleks karena melibatkan banyak kelompok dan kepentingan. Pada suprastruktur politik melibatkan eksekutif, legislatif, dan lembaga tinggi seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada infrastruktur politik  melibatkan para pemangku kepentingan yang sangat luas.
Anggaran berada pada  inti dari proses pembuatan keputusan pemerintah. Ini merupakan tugas memutuskan apa saham dari suatu sumberdaya masyarakat yang diambil untuk diabdikan pada tujuan publik dan berapa banyak yang diletakkan pada tangan swasta. Bagi para politisi, pusat dari penganggaran adalah memutuskan bagaimana meningkatkan pendapatan dan program apa yang perlu diberi dana. Kettl dalam The Encyclopedia Americana Vol. 4 (2001: 702-706) mengatakan ini adalah pemicu bagi konflik politik (“it is a virtual rod for political conflict”). Sedangkan pada tataran operasional dipengaruhi oleh kinerja birokrasi. Weber menetapkan beberapa elemen esensial birokrasi sebagai berikut:
(1)Within organizations, individuals have fixed jurisdictions; (2) within these jurisdictions, individuals have official duties that define their work; (3) individuals work within a fixed pattern of hierarchy, which structures authority within the organization; (4) individuals are hired as experts and work in organization as a career; (5) management is based on rules and on written files; (6) the hierarchy defines the pattern of relationship within organization and the specialized jobs of its members. Hierarchy ensures coordination, and coordination promotes efficiency (Kettl, 2001: 702) .
Kettl berpandangan bahwa teori konvensional birokrasi telah dikritik karena alasan teoretik dan humanistik. Model Weber tidak menerangkan beroperasinya organisasi secara baik. Komunikasi jarang mengikuti garis hirarki kewenangan dan hubungan informal sering lebih penting daripada kewenangan formal. Lagipula karyawan biasanya bekerja  dengan baik bukan karena diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan tetapi karena termotivasi untuk melakukannya.
Teori organisasi modern alih-alih berfokus pada hirarkhi dan kewenangan, lebih berfokus untuk mencari penjelasan hubungan di antara struktur formal, komunikasi informal dan motivasi individu untuk mengidentifikasi elemen terbaik dalam mempromosikan kinerja organisasi. Para teoris juga mengembangkan strategi untuk membuat birokrasi lebih peka terhadap kebutuhan individual. Para reformer menghendaki keterlibatan pegawai dalam keputusan kunci, mengurangi lapisan birokratik, memberikan lebih banyak diskresi dalam pekerjaan dan memberikan perhatian pada kebutuhan mereka yang datang berhubungan dengan birokrasi.
Selain itu, Kettl (2001: 784) mengatakan bahwa dalam pemerintahan, power dan efektivitas sangat terletak pada keahlian birokratik (bureaucratic expertise). Kekuasaan besar yang dimiliki birokrasi publik membuat mereka menjadi ancaman bagi pemerintahan demokratik. Salah satu problem pemerintahan adalah bagaimana birokrasi publik “responsible”, yaitu mengelola program secara efisien dan menjaga agar birokrat karir akuntabel untuk dipilih menjadi pejabat publik. Menurut pengamatan Kettl di Amerika Serikat, dasar demokrasi memberikan sumbangan pada inefisiensi birokrasi dan membatasi transfer teknik-teknik sektor publik ke dalam organisasi publik (the foundation of American democracy have contributed to government inefficiency). Dengan demikian, tantangannya adalah menyeimbangkan kekuasaan birokratik yang diperlukan bagi pemecahan masalah secara efektif dengan pengawasan demokratik yang diperlukan untuk adanya akuntabilitas.
Depdiknas (2001:32) berpandangan bahwa efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Apabila target yang direncanakan dapat dicapai dengan maksimal maka suatu proses dapat dikatakan efektif. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional (Mulyasa, 2002: 82). Lebih lanjut dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan,ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari anggota. Rinjin dalam Sunu (2009:14) mengemukakan bahwa efektivitas mengindikasikan tingkat kesesuaian antara hasil yang direncanakan dengan hasil yang dicapai dari seluruh kegiatan mulai dari variable masukan, variable proses transformasi dan interaksi sampai pada variabel hasil yang perlu dikaji akuntabilitasnya untuk melakukan tindakan perbaikan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas penganggaran merupakan kesesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dengan periode waktu tertentu yang telah ditetapkan dalam perencanaan dengan kriteria-kriteria yang ada. Implementasi alokasi anggaran pendidikan mulai dari perencanaan (plan), proses (do), penilaian (check) dan tindak lanjut (action)  selalu mengarah pada pencapaian mutu pendidikan.


Tidak ada komentar: