Administrasi Pembangunan
Harjoko Sangganagara, (Ed.)
Modul 1
Konsep-konsep Pembangunan
Paradigma pertumbuhan Ekonomi (Teori Klasik, Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern, Teori Perdagangan sebagai Mesin Pertumbuhan, Teori Tahapan Pertumbuhan).
Paradigma Pembangunan Sosial ( Teori Pemerataan melalui Pertumbuhan, Teori Kebutuhan Dasar Manusia, Teori Pemecahan Masalah Pengangguran, Teori Ketergantungan, Teori Hak Asasi Manusia (HAM), Teori Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat)
Paradigma Pembangunan Manusia (Teori Perluasan Pilihan Manusia )
1. Paradigma Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan menurut literatur –literatur ekonomi pembangunan sering didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari pendaatan riil per kapita melalui peningkatan dan produktivitas sumber daya.
a. Teori Klasik
1) Division of labor.
Adam Smith (1776). Mengajukan teori bahwa pembagian kerja (division of labor) akan meningkatkan produktivitas dan peningkatan pendapatan.
2) Limits to Growth.
Malthus (1789) David Ricardo (1917) melahirkan pemikiran mengenai Limits to Growth atau batas pertumbuhan
b. Teori pertumbuhan ekonomi modern
1) Physical capital formatian (akumulasi modal).
Teori ini berpijak pada pandangan Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang.
a) Capital Output Ratio.
Harrod (1948) Domar (1946) . Pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas kapital (capital output ratio). Makin besar tabungan makin besar investasi makin tinggi pertumbuhan ekonomi
b) Surplus of Labor.
Arthur Lewis (1954). Dengan model Surplus of labor memberi tekanan pada peranan jumlah penduduk yang mengasumsikan terdapat penawan tenaga kerja yang sangat elastis.
c) Neo Klasik
Teori ini mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Teknologi sebagai faktor eksogen dapat dimanfaatkan oleh setiap negara sehingga akan terjadi konvergensi dan kesenjangan akan berkurang.
2) Human Capital (peningkatan kualitas dan investasi sumber daya manusia
a) Teori human capital.
Becker (1964) : Produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan latihan serta kesehatan).
b) Teori Endogen.
Teknologi bukan faktor eksogen tetapi faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh verbagai variabel kebijakan. Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah : Stok pengetahuan dan ide baru mendorong tumbuhnya daya cipta, kreasi, inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan inovatif dan produktif. Ini menuntut kualitas sumber daya yang meningkat.
c. Teori perdagangan sebagai mesin pertumbuhan .
Perdagangan internasional merupakan mesin pertumbuhan.
d. Teori tahapan pertumbuhan.
1) Lima tahap pertumbuhan.
Rostow (1966). Transformasi bisa dijelaskan melalui Lima tahap pertumbuhan adalah :
a) Traditional society
b) Preconditions for growth
c) The take-off
d) The drive to maturity (bergerak ke kedewasaan)
e) The age of high mass-consumption
2) Transformasi
Chenery dan Syrquin (1975) mengatakan bahwa perkembangan ekonomi akan mengalami transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja) dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi didominasi sektor industri dan jasa.
2. Paradigma Pembangunan Sosial
a. Teori Pemerataan dengan Pertumbuhan.
Bank Dunia (1974) menyeponsori sebuah model pembangunan yang dinamakan redistribution with growth (RWG)
b. Teori Kebutuhan dasar manusia.
Strategi basic human needs (BHN) menekankan pada public service dan jaminan akses orang miskin.
c. Teori Pemecahan masalah pengangguran
Todaro (1985). Memecahkan masalah pengangguran dapat memecahkan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan.
d. Teori Ketergantungan
Analisisnya didasarkan adanya interaksi antara struktur internal dan eksternal. Daerah pinggiran hanya dijadikan daerah jajahan (periphery versus metropolitan) dan dijadikan produsen bahan konsumen produk.
1) Marxis dan Neo Marxis.
Mengambil perspektif perjuangan kelas . resep pembangunan untuk daera pinggiran adalah Revolusi
2) Non Marxis.
Melihat masalah ketergantungan dari perspektif nasional dan regional. Yang perlu dibangun adalah bangsa/rakyat (nation building).
e. Teori HAM
Proses pembangunan harus menghasilkan :
Terciptanya solidaritas baru yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grass roots oriented).
Memelihara keragaman budaya dan lingkungan
Menjunjung tinggi martabar serta kebebasan manusia dan masyarakat
f. Teori Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat
Teori ini muncul di Era pasca industri yang menekankan kesejahteraan rakyat, keadilan dan kelestarian. Pertumbuhan manusia didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Memberi peran pada individu bukan sebagai obyek melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan dan mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.
3. Paradigma Pembangunan Manusia.
a. Teori Perluasan pilihan-pilihan manusia
tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia. Teorinya terdiri dari dua :
pertama, pembentukan kemampuan/kapabilitas manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat.
Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan dan untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial dan politik.
Empat unsur penting : peningkatan produktivitas; pemerataan kesempatan; kesinambungan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
UNDP (United Nations Development Program) mengajukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) . IPM merupakan indikator komposit yang bertumpu pada tiga komponen :
Kesehatan (sebagai ukuran longevity )
Pendidikan (sebagai ukuran knowledge)
Tingkat pendapat riil (sebagai ukuran living standard)
Konsep pembangunan manusia ini dianggap paling lengkap dan merupakan sintesa dari pendekatan-pendekatan sebelumnya.
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau rakyat
Senin, 17 Oktober 2011
Minggu, 18 September 2011
PERNYATAAN POLITIK ALUMNI GMNI 2011 (DRAFT)
1. Ideologi
Persatuan Alumni GMNI menegaskan dasar organisasinya yaitu Pancasila 1 Juni 1945 dan Marhaenisme sebagai asas perjuangannya atau sebagai working ideology .
2. Politik
a. Politik merupakan pengamalan Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Pancasila menjadi praksis pembangunan demokrasi politik ekonomi sosial dan budaya. Poltik yang didasarkan pada ideology Pancasila menjadi acuan bagi kebijakan dan program pembangunan di seluruh wilayah Indonesia yang merupakan suatu kesatuan geopolitik yang dijabarkan dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka “bhineka tunggal ika”.
b. Kenyataan menunjukkan bahwa kedaulatan di bidang politik semakin menipis seiring dilaksanakannya demokrasi liberal yang membuat negara sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena kebutuhan pragmatisnya.
c. Demokrasi telah melahirkan kleptokrasi sebagaimana dapat dilihat dari massivenya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan musuh utama reformasi.
3. Ekonomi
a. Demokrasi politik harus merupakan kesatuan dengan demokrasi ekonomi agar demokrasi tidak menjadi oligarkhi di mana sekelompok orang mengontrol sumberdaya politik dan ekonomi suatu bangsa hanya untuk kepentingan golongan dan tidak memperhatikan nasib kaum miskin yang merupakan bagian terbesar bangsa.
b. Perekonomian tidak lagi disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak pelan-pelan tidak lagi dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak lagi dikuasai oleh negara dan apalagi dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
c. Utang Luar Negeri Indonesia sampai kwartal I tahun 2011 mencapai Rp 214,5 miliar dolar AS meningkat 10 miliar dolar AS dibanding di posisi akhir tahun 2010.
d. Melalui sejumlah Undang-undang sebagian sumber daya alam milik rakyat saat ini dikuasai pihak asing. 90% kekayaan migas, 75% kekayaan tambang, 50% perbankan dan lain-laian dikuasai asing. Undang-undang No 25 /2007 tentang penanaman modal menyatakan bahwa semua bidang atau jenis usaha kecuali senjata terbuka bagi kegiatan penanaman modal. Di samping itu penanam modal diberik hak melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing.
e. Indonesia terus menerus menjadi importir pangan. Beras didatangkan dari Vietnam dan Thailand yang meningkat 282% dibanding tahun 2010. Daging ayam yang diimpor dari Malaysia mencapai 9 ton dengan nilai 29,24 ribu dolar AS pada semester I tahun 2011. Negri ini juga mengimpor teh sebanyak 5,54 ribu ton dengan nilai 11 juta dolar AS selama 6 bulan tahun 2011. Garam diimpor dari Australia, India, ‘Singapura, Selandia Baru dan Jerman dengan jumlah 1,8 juta ton senilai 95,42 juta dolar AS, padahal Indonesia memiliki panjang pantai jutaan kilometer. Singkong diimpor dari Italia senilai 20,64 ribu dolar AS dan dari Cina senilai 1.273 dolar AS. Sungguh memalukan.
f. Menjelang lebaran harga-harga meroket dan rakyat kesulitan memperoleh transportasi mudik yang layak dan terjangkau. Harga tiket sulit didapat dan harganya pun melangit akibat tuslah. Penumpang ekonomi diperlakukan nyaris seperti bukan rakyat dari sebuah negara merdeka. Ribuan rakyat tewas dijalan dan lebih banyak lagi yang luka-luka akibat kecelakaan lalu lintas karena buruknya sistem transportasi dan manajemen lalulintas.
4. Kesejahteraan Sosial
a. Setelah 66 tahun merdeka kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan, karena itu perlu diingatkan kembali bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara; negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
b. Politik oligarkhi telah menyebabkan pelemahan pada lembaga-lembaga politik negara karena saling menyandera satu sama lain. Sumber daya negara yang pada hakikatnya milik rakyat hanya “berputar-putar di antara mereka” sementara pemilik sejatinya semakin termarjinalkan dalam selubung ukuran statistik.
c. Mobilitas vertical yang seharusnya menjadi ciri dari perkembangan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern menghadapi tembok besar KKN (kolusi korupsi nepotisme) yang semakin akut bahkan menjadi reinkarnasi dari Orde Baru. Akses rakyat terhadap sumberdaya negara ditelikung oleh birokrasi dan partai politik yang korup.
d. Menurut data BPS dari 237 juta lebih penduduk masih ada 31 juta lebih orang miskin yaitu yang pengeluarannya kurang dari Rp 211.726/bulan atau Rp 7 ribu/hari.
Penggunaan anggaran kemiskinan yang terus meningkat setiap tahunnya dari Rp 51 triliun di tahun 2007 hingga Rp 86,1 triliun di tahun 2011 tidak efektif, karena untuk menurunkan satu orang miskin di tahun 2007 diperlukan biaya Rp 19,8 juta dan sementara di tahun 2010 diperlukan biaya hingga Rp 47 juta.
e. Data WHO tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 5000 rakyat Indonesia bunuh diri setiap tahun atau 1500 orang per hari.
5. Pendidikan Kebudayaan dan Iptek
a. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi , seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
b. Ontologi, axiology dan epistemology harus berdasar pada ideology Pancasila sehingga ilmu dan teknologi merupakan alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
c. Data Kemendiknas menyatakan bahwa pada tahun 2010 masih terdapat 11,7 juta anak usia sekolah yang belum tersentuh pendidikan. Diperkirakan 4,7 juta siswa SD dan SMP yang tergolong miskin terancam putus sekolah. Itu berarti sekitar 16 juta anak yang tidak bisa merasakan pendidikan dasar Sembilan tahun.
6. Hankam
a. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. TNI dan Polri sebagai kekuatan utamanya dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
b. Perlu ditegaskan TNI adalah alat negara yang bertugs mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dan bukan alat kekuasaan atau pemerintah.
c. Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum harus terus meningkatkan profesionalitas dan integritasnya di tengah-tengah kehidupan yang makin kompleks.
Persatuan Alumni GMNI menegaskan dasar organisasinya yaitu Pancasila 1 Juni 1945 dan Marhaenisme sebagai asas perjuangannya atau sebagai working ideology .
2. Politik
a. Politik merupakan pengamalan Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Pancasila menjadi praksis pembangunan demokrasi politik ekonomi sosial dan budaya. Poltik yang didasarkan pada ideology Pancasila menjadi acuan bagi kebijakan dan program pembangunan di seluruh wilayah Indonesia yang merupakan suatu kesatuan geopolitik yang dijabarkan dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka “bhineka tunggal ika”.
b. Kenyataan menunjukkan bahwa kedaulatan di bidang politik semakin menipis seiring dilaksanakannya demokrasi liberal yang membuat negara sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena kebutuhan pragmatisnya.
c. Demokrasi telah melahirkan kleptokrasi sebagaimana dapat dilihat dari massivenya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan musuh utama reformasi.
3. Ekonomi
a. Demokrasi politik harus merupakan kesatuan dengan demokrasi ekonomi agar demokrasi tidak menjadi oligarkhi di mana sekelompok orang mengontrol sumberdaya politik dan ekonomi suatu bangsa hanya untuk kepentingan golongan dan tidak memperhatikan nasib kaum miskin yang merupakan bagian terbesar bangsa.
b. Perekonomian tidak lagi disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak pelan-pelan tidak lagi dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak lagi dikuasai oleh negara dan apalagi dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
c. Utang Luar Negeri Indonesia sampai kwartal I tahun 2011 mencapai Rp 214,5 miliar dolar AS meningkat 10 miliar dolar AS dibanding di posisi akhir tahun 2010.
d. Melalui sejumlah Undang-undang sebagian sumber daya alam milik rakyat saat ini dikuasai pihak asing. 90% kekayaan migas, 75% kekayaan tambang, 50% perbankan dan lain-laian dikuasai asing. Undang-undang No 25 /2007 tentang penanaman modal menyatakan bahwa semua bidang atau jenis usaha kecuali senjata terbuka bagi kegiatan penanaman modal. Di samping itu penanam modal diberik hak melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing.
e. Indonesia terus menerus menjadi importir pangan. Beras didatangkan dari Vietnam dan Thailand yang meningkat 282% dibanding tahun 2010. Daging ayam yang diimpor dari Malaysia mencapai 9 ton dengan nilai 29,24 ribu dolar AS pada semester I tahun 2011. Negri ini juga mengimpor teh sebanyak 5,54 ribu ton dengan nilai 11 juta dolar AS selama 6 bulan tahun 2011. Garam diimpor dari Australia, India, ‘Singapura, Selandia Baru dan Jerman dengan jumlah 1,8 juta ton senilai 95,42 juta dolar AS, padahal Indonesia memiliki panjang pantai jutaan kilometer. Singkong diimpor dari Italia senilai 20,64 ribu dolar AS dan dari Cina senilai 1.273 dolar AS. Sungguh memalukan.
f. Menjelang lebaran harga-harga meroket dan rakyat kesulitan memperoleh transportasi mudik yang layak dan terjangkau. Harga tiket sulit didapat dan harganya pun melangit akibat tuslah. Penumpang ekonomi diperlakukan nyaris seperti bukan rakyat dari sebuah negara merdeka. Ribuan rakyat tewas dijalan dan lebih banyak lagi yang luka-luka akibat kecelakaan lalu lintas karena buruknya sistem transportasi dan manajemen lalulintas.
4. Kesejahteraan Sosial
a. Setelah 66 tahun merdeka kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan, karena itu perlu diingatkan kembali bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara; negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
b. Politik oligarkhi telah menyebabkan pelemahan pada lembaga-lembaga politik negara karena saling menyandera satu sama lain. Sumber daya negara yang pada hakikatnya milik rakyat hanya “berputar-putar di antara mereka” sementara pemilik sejatinya semakin termarjinalkan dalam selubung ukuran statistik.
c. Mobilitas vertical yang seharusnya menjadi ciri dari perkembangan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern menghadapi tembok besar KKN (kolusi korupsi nepotisme) yang semakin akut bahkan menjadi reinkarnasi dari Orde Baru. Akses rakyat terhadap sumberdaya negara ditelikung oleh birokrasi dan partai politik yang korup.
d. Menurut data BPS dari 237 juta lebih penduduk masih ada 31 juta lebih orang miskin yaitu yang pengeluarannya kurang dari Rp 211.726/bulan atau Rp 7 ribu/hari.
Penggunaan anggaran kemiskinan yang terus meningkat setiap tahunnya dari Rp 51 triliun di tahun 2007 hingga Rp 86,1 triliun di tahun 2011 tidak efektif, karena untuk menurunkan satu orang miskin di tahun 2007 diperlukan biaya Rp 19,8 juta dan sementara di tahun 2010 diperlukan biaya hingga Rp 47 juta.
e. Data WHO tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 5000 rakyat Indonesia bunuh diri setiap tahun atau 1500 orang per hari.
5. Pendidikan Kebudayaan dan Iptek
a. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi , seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
b. Ontologi, axiology dan epistemology harus berdasar pada ideology Pancasila sehingga ilmu dan teknologi merupakan alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
c. Data Kemendiknas menyatakan bahwa pada tahun 2010 masih terdapat 11,7 juta anak usia sekolah yang belum tersentuh pendidikan. Diperkirakan 4,7 juta siswa SD dan SMP yang tergolong miskin terancam putus sekolah. Itu berarti sekitar 16 juta anak yang tidak bisa merasakan pendidikan dasar Sembilan tahun.
6. Hankam
a. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. TNI dan Polri sebagai kekuatan utamanya dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
b. Perlu ditegaskan TNI adalah alat negara yang bertugs mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara dan bukan alat kekuasaan atau pemerintah.
c. Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum harus terus meningkatkan profesionalitas dan integritasnya di tengah-tengah kehidupan yang makin kompleks.
Rabu, 07 September 2011
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN
(Studi Alokasi Anggaran dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
di Provinsi Jawa Barat)
RANGKUMAN DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Kependidikan
Bidang Ilmu Administrasi Pendidikan
Promovendus :
Harjoko B. Sugiatmo
0807905
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011
TELAH DIUJI PADA UJIAN TAHAP I
Pada Tanggal 22 Juni 2011
PENGUJI :
1. Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab M.A.
2. Prof. Dr. H. Nanang Fattah M.Pd.
3. Prof. Dr. H. Buchari Alma M.Pd.
4. Prof. H. Udin Syaefudin Sa’ud PhD
5. Prof. Dr. H. Wahyudin Zarkasyi Ak.
ABSTRAK
Harjoko B. Sugiatmo. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN. (Studi Alokasi Anggaran dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Provinsi Jawa Barat).
Pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat hanya memperoleh alokasi anggaran kurang dari 10% dari total anggaran pendidikan. Dengan demikian masalah pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana anggaran yang relatif kecil dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan dan meningkatkan mutu pendidikan dasar sebagaimana secara normatif tercantum pada dokumen perencanaan daerah. Untuk itu diperlukan implementasi kebijakan yang memungkinkan pendidikan dasar Sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) di Provinsi Jawa Barat dapat berjalan dengan baik dan bermutu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis kebijakan atau metode post policy analysis, sedangkan teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi, focus group discussion wawancara dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja Pemerintah provinsi Jawa Barat dalam implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip proporsionalitas, efisiensi dan akuntabilitas namun belum sesuai dengan prinsip efektivitas. Prinsip efektivitas dilakukan dengan mengkaitkan kinerja dengan indikator yang harus dicapai yang ditentukan dalam RPJMD yang menunjukkan bahwa indikator-indikator nampaknya tidak dapat dicapai sepenuhnya oleh eksekutif.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya belum menerapkan mutu dalam konsep absolut yang menerapkan pencapaian standar tertinggi dalam pekerjaan, produk maupun layanan, maupun mutu menurut pelanggan yang merupakan sesuatu yang memuaskan pelanggan (masyarakat, orang tua murid, dunia usaha). Mutu masih dianggap sebagai konsep relatif yang masih perlu ditingkatkan terus menerus.
ABSTRACT
Harjoko B. Sugiatmo. THE IMPLEMENTATION OF EDUCATIONAL BUDGET ALLOCATION POLICY. (Analytical study of Budget Allocation for Improving the Quality of Compulsory Basic Education in West Java Province).
The relatively small budget allocation of basic education in the West Java Province becomes a problem for improving the quality of based basic education as normatively stated in some documents of local development plans and regulations. Effective implementation of the policy is needed for improving basic education quality. From those points of view, there are some research questions : how about the financing ability of the government, what is the priority of educational budget allocation, how to use the budget, what is the result of the implementation of budget allocation policy and what is the impact of budget allocation policy implementation for improving the educational quality.
The study was conducted through observing the process of educational budget allocation policy; the implementation of the policy; the achievement of basic education quality, in the use of using interview, library research and observation method. The method of post policy analysis was used to analyze the phenomenon of budget allocation policy in West Java Province.
The result showed that the performance of the government of the West Java Province in implementing policy had been matched according to the principles of proportionality, efficiency and accountability but was not effective yet.
The conclusion is that the result of budget allocation policy had relatively improved the quality of basic education.
The recommendation is that more budgets must be given to basic education and budget allocation needs some priorities especially in providing school infrastructures, qualified teachers and personal cost. Meanwhile, some programs must be sharpened into quality improvement direction. Role sharing between national and local government needs to be continued until the compulsory education is accomplished.
DAFTAR ISI
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang………………………….. 1
B. Fokus Penelitian………………………… 11
C. Pertanyaan Penelitian…………………… 11
D. Tujuan Penelitian……………………….. 11
E. Manfaat Penelitian……………………… 12
F. Premis Penelitian……………………….. 12
G. Kerangka Pikir Penelitian………………. 13
H. Metode Penelitian………………………. 15
I. Kesimpulan dan Rekomendasi…………. 16
J. Model Alternatif Implementasi
Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan
di Provinsi Jawa Bara …………………. 20
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
RINGKASAN DISERTASI
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum derajat pendidikan dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang ditamatkan. Artinya semakin banyak penduduk yang menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka hal tersebut sudah mengarah pada indikasi adanya peningkatan kualitas SDM. Selain itu derajat pendidikan dilihat secara luas, yaitu meliputi pendidikan formal maupun non-formal
Berdasarkan data tahun 2007, penduduk Jawa Barat kebanyakan baru menyelesaikan pendidikannya pada jenjang SD, yaitu 38,07%, bahkan 23,27% tidak tamat SD. Persentase penduduk yang tamat SLTP atau SLTA hampir sama yaitu 17%, sedangkan yang menamatkan jenjang akademi atau universitas sekitar 5%. Sementara data BPS (Maret 2009) menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat baru mencapai 7,91 tahun, yang berarti pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai. Gaffar dalam Ali dkk. (2007:568) menyatakan bahwa “usaha untuk melanjutkan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun” dan “ peningkatan alokasi anggaran pendidikan dan peningkatan fungsi-fungsi pengawasan” merupakan bagian dari “agenda mendasar …untuk memajukan sistem pendidikan nasional” .
Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi dalam program-program pembangunan pendidikan yang membutuhkan belanja langsung maupun tidak langsung baik pada tingkat Pemerintah, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota /Kabupaten. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan kebijakan alokasi angggaran pendidikan untuk memastikan ketersediaan sumber pembiayaan pendidikan yang merupakan bagian integral dari APBN maupun APBD sebagai implementasi otonomi daerah di bidang pendidikan.
Menurut Thomas dalam Encyclopedia Americana Vol. 9 , besaran anggaran pendidikan berkaitan dengan kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang berbeda-beda di tiap Negara dan daerah. Di Israel mencapai 17% dari APBN, Jepang 6,5%, Inggris 4,6% dan Bangladesh 0,01% (2001:736). Sedangkan besaran anggaran pendidikan di Indonesia sejak akhir dasawarsa 90-an mencapai 20% dari APBN, termasuk gaji guru di dalamnya.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat. Ketentuan tersebut menyiratkan sebuah diskresi dan tanggung jawab bagi pemerintah daerah.
Pada tahun 1999/2000 anggaran pendidikan di Jawa Barat baru mencapai 7,57% dari APBD. Hingga tahun 2008 alokasi anggaran untuk pendidikan baru mencapai 11% dari total APBD, itu artinya baru mencapai besaran Rp 800 miliar dari Rp7 triliun APBD. Karena kuatnya tuntutan masyarakat dan dorongan anggota DPRD pada tahun 2009 menjadi 20% dari APBD atau Rp 1,6 triliun dari Rp 8 triliun besaran APBD. Meskipun demikian alokasi anggaran ternyata lebih banyak digunakan biaya manajemen dibanding untuk membiayai pendidikan dasar, menengah, luar sekolah dan luar biasa. Alokasi anggaran untuk pendidikan dasar hanya Rp 111,99 miliar. Itu berarti kurang dari 10%, padahal menurut Bank Dunia pada umumnya negara-negara Asia mengalokasikan dana pemerintah untuk pendidikan dasarnya mencapai 48%, bahkan di Amerika Serikat mencapai 51% (Fattah dalam Ali, 2007:596).
Masalah bagi stakeholder pendidikan di Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana agar alokasi yang relatif kecil tersebut harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menuntaskan program Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas Sembilan Tahun) tepat pada waktunya sekaligus untuk meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi Jawa Barat sebagaimana secara normatif tercantum pada perencanaan daerah baik RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) maupun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) serta RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah). Implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan menjadi kunci agar pendidikan khususnya pendidikan dasar Sembilan tahun (wajar dikdas sembilan tahun) di Provinsi Jawa Barat dapat berjalan dengan baik dan bermutu.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan maka aspek biaya (cost) harus diletakkan dalam formulasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Atas dasar tersebut perlu diteliti bagaimana implementasi suatu kebijakan publik yaitu pada kebijakan penganggaran pendidikan dijalankan pada pemerintahan daerah di provinsi Jawa Barat. Jika masalah ini tidak diteliti dikhawatirkan pemerintahan daerah tidak mengetahui persoalan-persoalan yang timbul dari kebijakan yang dibuat dan tidak mengetahui kelemahan-kelemahan dan penyebab-penyebabnya. Jika itu yang terjadi dikhawatirkan maka kebijakan tersebut tidak akan berjalan dengan baik dan tidak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap fenomena dari implementasi kebijakan dan dapat memberikan rekomendasi, baik berupa solusi maupun continuous improvement.
Karena penelitian ini menyoroti suatu kebijakan maka penelitian ini berada pada studi analisis kebijakan. Dengan demikian penelitian ini berada pada tataran makro. Penelitian pada tingkat makro menjadi penting untuk mengetahui implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dasar, dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN (Studi Alokasi Anggaran dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Provinsi Jawa Barat)”.
Aspek-aspek yang menjadi fokus penelitian ini adalah berkenaan dengan kemampuan keuangan daerah, prioritas anggaran, pemanfaatan anggaran dan dampak dari implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan pada jenjang pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas yaitu bagaimana anggaran yang relatif kecil dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat, dapat dirinci dalam pertanyaan penelitian berikut:
1) Bagaimana kemampuan Pemerintah Daerah dalam penyediaan sumber dana alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat ?
2) Apa yang menjadi prioritas alokasi anggaran di Provinsi Jawa Barat?
3) Bagaimana pemanfaatan anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat?
4) Bagaimana hasil dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat?
5) Apa dampak dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1) Kemampuan Pemerintah Daerah dalam penyediaan sumber dana alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat.
2) Prioritas alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat.
3) Pemanfaatan anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat.
4) Hasil dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat.
5) Dampak dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat.
E. Manfaat Penelitian
1. Teoretis
Untuk memperkaya khazanah Ilmu Administrasi Pendidikan khususnya dalam Ilmu Pembiayaan Pendidikan, baik aspek substansi (bidang garapan) dan proses, maupun dalam konteks pembangunan pendidikan di Daerah serta Ilmu Administrasi Pembangunan, dan Administrasi Pemerintahan atau Administrasi Publik.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan :
a. Sumbangan pemikiran bagi manajemen dalam melaksanakan fungsi penganggaran khususnya dalam pengalokasian anggaran bagi program wajib belajar sembilan tahun di provinsi Jawa Barat.
b. Rumusan model alternatif alokasi anggaran pendidikan yang dapat dijadikan rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.
F. Premis Penelitian
1. Proses alokasi anggaran pendidikan merupakan sebuah proses politik yang terjadi pada pemerintahan daerah, yaitu antara lembaga eksekutif dan lembaga legislative yang memerlukan adanya pendekatan yang tepat agar dapat diimplementasikan.
2. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai pada tercapainya hasil tergantung pada kegiatan program yang telah dirancang dan alokasi anggaran yang cukup.
3. Implementasi kebijakan dapat dianalisis dengan melihat dilaksanakannya program-program yang telah dirancang sebelumnya dan melihat program-program tersebut dalam perspektif pencapaian tujuan-tujuan kebijakan.
4. Menurut Rondinelli dan Cheema (1983:30) ada dua pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang perlu dipilih sebelum kebijakan diimplementasikan, yaitu : (1) the compliance approach, dan (2) the political approach. Pendekatan yang pertama menganggap implementasi kebijakan itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Implementasi kebijakan dianggap sebagai suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik dan perencanaanya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration as an integral part of the policy making process in which politics are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.
5. Menurut Grindle (1980 : 7-11) ada dua hal yang turut mempengaruhi keberhasilan yaitu pertama, content of policy, yang terdiri dari : interests affected; type of benefits; extent of change envisioned; site of decision making; program implementators; resources commited. Kedua, context of implementation, yang terdiri dari : power, interest, and strategies of actors involved; institutions and regime charactersistics; compliance and responsiveness.
G. Kerangka Pikir Penelitian
Kebijakan alokasi anggaran pendidikan diformulasikan oleh Pemerintahan Daerah Jawa Barat yang terdiri dari Gubernur selaku eksekutif dan DPRD selaku legislatif dengan melibatkan masyarakat selaku pemangku kepentingan (stakeholders). Peraturan Daerah kemudian mengikat seluruh masyarakat Jawa Barat, sedangkan pada tingkat eksekutif Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan organisasi peringkat daerah (OPD) lainnya , dengan demikian maka anggaran untuk pendidikan dasar Sembilan tahun diberikan pada dinas dan OPD tersebut untuk mengimplementasikannya. Efektifitas penganggaran akan menghasilkan pendidikan bermutu sebagaimana yang dituntut oleh Perda dan Standar Pendidikan Nasional. Pendidikan yang bermutu pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi pada mutu sumber daya manusia Jawa Barat.
Landasan filosofis dari kerangka pemikiran ini adalah bahwa secara teoretik, upaya-upaya pendidikan memerlukan dukungan kebijakan administrasi pendidikan, termasuk kebijakan penganggaran. Secara aturan perundang-undangan pendidikan dasar sembilan tahun merupakan bagian integral pendidikan yang diatur oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan dalam konteks Jawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah. Adapun mutu dari pendidikan nilai tersebut mengacu pada rumusan di dalam Perda itu sendiri dan tentunya dikaitkan dengan Standar Pendidikan Nasional.
H. Metoda Penelitian
Masalah pelaksanaan otonomi penyelenggaraan pendidikan di daerah merupakan realitas sosial yang bersifat kontekstual. Karena itu tujuan utama penelitian ini bukanlah untuk menguji suatu hipotesis namun ditujukan untuk mendeskripsikan objek yang diteliti melalui proses pengeksplorasian fakta dan data lapangan sebagaimana adanya. Dengan demikian pendekatan penelitian yang dianggap cocok digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif (Nasution, 1988).
Namun demikian untuk mendalami setiap permasalahan yang diteliti sehingga pemecahannya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan akhirnya memberikan sumbangan yang berarti bagi maksud dan tujuan penelitian, diperlukan kajian secara mendalam sesuai dengan karakteristik permasalahan yang diteliti. Penelitian bukan sekedar mendeskripsikan realitas sosial, tetapi perlu analisis-analisis yang bersifat prediktif, maka metode yang paling dianggap sesuai dengan konteks masalah yang diteliti digunakan metode penelitian analisis kebijakan atau metoda post policy analysis (MacMillan & Schumacher, 2001:526-581). Sedangkan analisis kebijakan yang digunakan adalah analisis keefektifan biaya.
1. Pendekatan Penelitian
Studi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis maupun teori tertentu, melainkan berupaya untuk menelusuri pemahaman baru mengenai fenomena yang dikaji. Cara kerja dari studi ini bersifat : subyektifitas ke obyektifitas, induksi ke deduksi dan konstruksi ke enumerasi. Untuk itu peneliti memperlakukan diri sebagai instrument utama (human instrument), yang bergerak dari hal-hal spesifik, dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya dan memadukan data sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kesimpulan-kesimpulan dapat ditemukan. Dengan sifatnya yang demikian maka studi ini tergolong dalam penelitian yang menggunakan Metode Naturalistik dengan Pendekatan Kualitatif.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Provinsi Jawa Barat. Subyek yang diteliti adalah para pejabat eksekutif dan legislatif dan praktisi pendidikan serta stakeholders (pemangku kepentingan) yang dipilih secara non sampling.
Pertimbangan pemilihan lokasi adalah mengingat strategisnya posisi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibukota negara, mendorong Jawa Barat berperan sebagai agent of development (agen pembangunan) bagi pertumbuhan nasional. Provinsi Jawa Barat menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam mengukur kinerja pemerintahan dan pembangunannya, yang di dalamnya termuat komponen tingkat pendidikan masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya insani. Pembangunan pendidikan diprioritaskan pada peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan. Sedangkan pembangunan kebudayaannya diprioritaskan pada revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
Upaya untuk meningkatkan kontribusi dari komponen pendidikan dilakukan antara lain dengan meningkatkan anggaran pendidikan menuju besaran 20% sebagai amanat konstitusi. Itu berarti 20 % dari APBD Provinsi Jawa Barat yang besarnya mencapai Rp 8,29 trilyun (Bewara, Edisi I/2009, 8), suatu jumlah anggaran yang besar bahkan jika dibandingkan dengan anggaran provinsi-provinsi lain di luar DKI Jaya. Secara khusus Provinsi Jawa Barat memberlakukan tiga buah Peraturan Daerah tentang kebudayaan daerah yang diimplementasikan melalui pendidikan sebagai bentuk kebijakan berkenaan dengan kearifan lokal Jawa Barat sehingga menarik untuk diteliti.
3. Unit Analisis
Adapun unit-unit analisis ialah :
a. Pemerintah Provinsi Jawa Barat khususnya Tim Penyusun Anggaran, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat
c. Kepala Sekolah dan Guru SD maupun SMP di beberapa tempat di Provinsi Jawa Barat.
d. Dokumen-dokumen.
I. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
a. Kemampuan Keuangan Daerah
Kondisi keuangan daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sering dijadikan parameter otonomi daerah. PAD Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 mencapai Rp 5,564 triliun dan jika dilihat dari struktur APBD memberikan kontribusi terhadap total pendapatan daerah sebesar 70,75%. PAD berasal dari jenis pendapatan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang sah.
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2009 yang belum diaudit BPK RI adalah sebesar Rp 7,723 triliun dan dana bagi belanja pendidikan sebesar Rp 1,628 triliun, kurang lebih 20% dari APBD nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Provinsi Jawa Barat sudah menjalankan otonomi daerahnya di bidang pendidikan dengan baik.
Kendatipun demikian alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat sebenarnya masih lebih banyak ditopang oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang mencapai Rp 4,5 triliun, hampir 300% alokasi anggaran pendidikan Provinsi.
Dalam menjalankan tugas umum pemerintahan maka Pemerintah Provinsi memperhatikan dan membantu Kota dan Kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat selain karena tuntutan peraturan perundang-undangan (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 94, PP Nomor 50 Tahun 2007, Permendagri Nomor 22 Tahun 2009) juga karena kemampuan keuangan Kota/Kabupaten yang beragam.
b. Prioritas Alokasi Anggaran Pendidikan Dasar di Provinsi Jawa Barat
Kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat diarahkan untuk menuntaskan Jawa Barat bebas buta aksara; mewujudkan Jawa Barat bebas biaya pendidikan dasar dalam rangka penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun; mewujudkan Jawa Barat bebas putus jenjang sekolah dalam rangka pelaksanaan wajar dua belas tahun di seluruh Kabupaten/Kota; meningkatkan pengelolaan penjaminan mutu pendidikan dasar; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar; meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan Guru serta tenaga kependidikan; meningkatkan revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang relevan bagi peningkatan kemajuan Jawa Barat
Prioritas alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat berada pada common goals yang pertama yaitu “peningkatan kualitas dan produktivitas SDM yang sasarannya antara lain meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan masyarakat” dan diarahkan untuk meningkatkan angka melek huruf , rata-rata lama sekolah dan merealisasikan “Jabar Bebas Putus Jenjang Pendidikan”.
c. Pemanfaatan Anggaran Pendidikan
Sebanyak 89,04% anggaran pendidikan yang berasal dari APBD Provinsi Jawa Barat dialokasikan untuk Belanja Langsung dan Bantuan sedangkan 10,96% dialokasikan untuk Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung dan Bantuan seluruhnya berjumlah Rp 1,450 triliun lebih, dibagi ke dalam Belanja Langsung sebesar Rp 472,937 miliar lebih dan Bantuan sebesar Rp 977,257 miliar lebih. Sedangkan Belanja Tidak Langsung seluruhnya berjumlah Rp 178,484 miliar lebih digunakan untuk Gaji PNS Dinas Pendidikan dan Gaji /Tunjangan Guru Pendidilan Luar Biasa sebesar Rp 168,759 miliar lebih dan Insentif Guru Madrasah Diniyah (Pendidikan Keagamaan) sebesar Rp 12,108 miliar lebih.
Belanja Langsung adalah untuk membiayai program dan kegiatan termasuk sumbangan buku pelajaran, sedangkan Bantuan adalah berupa uang yang diberikan untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) mendampingi BOS yang berasal dari APBN, bantuan untuk seragam serta beasiswa. Belanja Langsung tidak hanya untuk membiayai program dan kegiatan pendidikan yang ditangani oleh Disdik tetapi juga ada juga di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang lain seperti Disbudpar, Dinas Pertanian, Dinas KUKM, Dinas Naker serta Badiklatda yaitu untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat di luar persekolahan.
Dari anggaran pendidikan Rp 1,6 triliun tersebut belanja yang dikelola Dinas Pendidikan hanya sekitar Rp 507 miliar saja dan yang dialokasikan untuk program pendidikan dasar adalah Rp. 111,99 miliar.
Anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat diimplementasikan melalui program dan non program. Dalam program maka program dielaborasi ke dalam program bantuan maupun kegiatan baik yang berada di Dinas Pendidikan maupun di OPD lainnya. Sedangkan yang non program berada dalam wilayah diskresi Gubernur untuk mengeluarkan anggaran yang belum ditentukan programnya.
Pemerintah Provinsi memperoleh alokasi anggaran pembangunan yang berasal dari APBN yang dikelola pemanfaatannya oleh Dinas Pendidikan. Komponen anggaran yang terbesar diberikan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) yaitu sebesar Rp 2,843 triliun dan Peningkatan Mutu dan Profesionalisme Guru Rp 1,173 triliun. Besarnya anggaran tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu para Guru.
d. Hasil dari Implementasi Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan Dasar.
1. Terlaksananya program untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dasar, peningkatan tata kelola pendidikan yang efektif dan penguasaaan /pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dikategorikan ke dalam verifikasi, monitoring, evaluasi; koordinasi; workshop/semiloka; rapat-rapat koordinasi; peningkatan mutu layanan pendidikan dan bantuan.
2. Tercapainya keluaran fisik dan non fisik serta bantuan keuangan seperti peningkatan sarana dan prasarana, Bantuan Operasional Sekolah Provinsi, bantuan pengadaan buku rapor, bantuan buku, bantuan pakaian untuk siswa, dan bantuan untuk guru
3. Terlaksanakannya akuntabilitas karena dalam menjalankan pengendalian digunakan instrument yang dinamakan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintahan). LAKIP yang dibuat menggambarkan input, proses, ouput, dan outcomes dari setiap kegiatan di bidang pendidikan.
e. Dampak Implementasi Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan
Ada peningkatan mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat sebagaimana terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia di Bidang Pendidikan untuk tahun 2009 yang meningkat dari 80,35 pada tahun 2008 menjadi 80,58 pada tahun 2009 atau meningkat 0,23 poin meskipun belum mencapai target yang tertuang dalam RKPD yaitu sebesar 82,02 poin . Rata-rata Lama Sekolah mencapai 7,58 tahun berada di atas rata-rata nasional yaitu 5,7 tahun. Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 95,60%, sehingga Angka Buta Huruf turun dari 5,33% menjadi 4,4%.
B. Rekomendasi
1. Proses pengalokasian anggaran perlu lebih meningkatkan dijalankannya prinsip-prinsip good governance yaitu partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholders, berorientasi pada konsesnsus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis.
2. Implementasi kebijakan yang berkaitan dengan anggaran pendidikan hendaknya mengarah pada sejauh mana sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan untuk mencapai hasil tertentu yang telah ditetapkan : yaitu berkaitan dengan akuntabilitas praktek; menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik; mempertimbangkan rasa keadilan; menunjukkan pemihakan pada kelompok berpendapatan rendah dan mempersempit kesenjangan.
3. Alokasi anggaran lebih besar perlu diberikan untuk program pendidikan dasar dengan alokasi anggaran diprioritaskan pada : (1) Peningkatan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan; (2) Pemenuhan kekurangan guru baik segi kuantitas maupun kualitasnya pada setiap daerah, khususnya daerah-daerah terpencil; (3) Peningkatan profesionalisme guru maupun tenaga kependidikan maupun profesionalisme pengelolaan pendidikan; (4) Pemanfaatan media teknologi modern pada fungsi pendidikan; (5) Pemberian bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah atau miskin terutama yang berada di desa-desa tertinggal. Secara lebih spesifik adalah anak-anak petani, nelayan, dan buruh
4. Perlu dilakukan terobosan-terobosan untuk menghilangkan angka buta huruf di kalangan penduduk melalui suatu gerakan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara total dan signifikan. Pola seperti ini perlu diterapkan pada tingkat yang lebih besar pada level provinsi
5. Peningkatan relevansi pendidikan perlu dikaitkan dengan tiga hal : pertama, falsafah yang melandasi masyarakat Jawa Barat yaitu falsafah silih asuh, silih asih, dan silih asah. Kedua, potensi religiusitas masyarakat berkontribusi pada usaha keras dalam mencerdaskan dirinya dan berkompetensi untuk mendapatkan ilmu pengetahauan. Ketiga, tersedianya dunia industri dan dunia usaha yang bisa mendukung kegiatan pembangunan pendidikan di Jawa Barat.
J. Model Alternatif Implementasi Kebijakan
Alokasi Anggaran Pendidikan di Provinsi
Jawa Barat
Strategi yang digunakan untuk model alternative adalah bahwa kebijakan alokasi anggaran pendidikan harus dapat : (1) Mendorong tingkat pendidikan masyarakat (melalui implementasi kebijakan di bidang ketenagaan, pembiayaan, sarana dana prasarana, partisipasi masyarakat) ; dan (2) Menjadikan masyarakat Jawa Barat yang berbudiperkerti luhur serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (melalui implementasi kebijakan di bidang kurikulum).
Sasaran yang ingin dicapai dengan strategi tersebut adalah : (1) Meningkatnya akses dan mutu pendidikan terutama untuk penuntasan wajib belajar Sembilan tahun dan pencanangan wajib belajar 12 tahun bagi anak usia sekolah; (2) Meningkatnya kesadaran akan perbedaan, toleransi dan kerjasama antar umat beragama; (3) Meningkatnya implementasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal; (4) Meningkatnya sikap saling menghargai dan menghormati berbagai komunitas budaya.
Alternatif model mengadopsi kerangka manajemen stratejik, pertama, melakukan environmental scanning (analisis lingkungan) yang terdiri dari analisis lingkungan eksternal (ALE) dan analisis lingkungan internal (ALI). Kedua, strategy formulation (perumusan strategi) yaitu kegiatan perumusan misi, menentukan tujuan, membuat prioritas, membuat strategi, dan membuat kebijakan. Ketiga, strategy implementation (menjalankan strategi yang telah dibuat) yaitu menyusun program, menganggarkan, serta membuat prosedur. Keempat, evaluaton and control (evaluasi dan pengawasan) yaitu kegiatan monitoring terhadap kinerja organisasi kemudian melakukan koreksi yang diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Wahab dan Kusumastuty, Dyah. (2009). Penjaminan Mutu. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Abdul Wahab, Solichin. (1990). Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Mohammad dalam Ali dkk. (2007). Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagoginana Press.
Alma, Buchari & Hurriyati, Ratih. (2008). Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima. Bandung: Alfabeta.
Card, David. (----). "Returns to Schooling," dalam The New Palgrave Dictionary of Economics , 2nd Edition.
Checchi, Daniele. (2006). The Economics of Education: Human Capital, Family Background and Inequality.
Christopher, Williams. (2006). Leadership Accountability in a Globalizing World. London: Palgrave Macmillan.
Creswell, J.A. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. London: SAGE Publication, International Educational and Profesional
Dye, Thomas R. (1984). Understanding Public Policy. ---.
Engkoswara dalam Ali dkk. (2007). Pendidikan Berbasis Unggulan Lokal dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana.
Fattah, Nanang dan Nurdin, Diding dalam Ali dkk. (2007). Ekonomi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagogiana Press.
Fischel, William A. (2008). "Educational Finance" dalam The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition.
Fowler, Frances C. (2009). Policy Studies for Educational Leaders An Introduction Third Edition. Boston : Pearson Education Inc.
Gaffar, Fakry dan Nurdin, Diding dalam Ali dkk. (2007). Manajemen Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagogiana Press
Goetz, Judith Preisle & LeCompte, Margareth Diane. (1984). Ethnography and Qualitative Design in Educational Research. London: Academic Press Inc.
Guba, E.G. (1978). Toward A Methodology of Naturalistic Inquiry in Educational Evaluation. California : University of California.
Grindle, Merilee S. (1990). Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey : Princeton Press.
Hartley, Harry J. (1968). Educational Planning-Programming-Budgeting. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc
Hendarto, Agung & Suhendar, Nizar. (2002). Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta : Masyarakat Transparansi Indonesia.
Hill et. al. (2004). Strategic Management an Integrated Approach. Milton : Wiley & Houghton Mifflin.
Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L. (1996). Manajemen Strategis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta : Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa
Kartasasmita, Ginanjar. (1997). Administrasi Pembangunan Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Morrisan. (2004). Pemerintahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 Beserta Penjelasannya. Tanggerang : Ramdina Prakarsa.
Mulyasa. (2003). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Poerbakawatja, Soegarda dan Harahap, Abu Hasyim. (1981). Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Rondinelli, Dennis A. & G. Shabbir Cheema. (1988). “Implementing Decentralization Policies: an Introduction” dalam Cheema dan Rondinelli, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries, California : Sage Publication Inc.
Rubin, Irene S. (1992). “Budgeting: Theory, Concept, Methods and Issues” dalam Rabin, Jack (ed.). Handbook of Public Budgeting. New York : Marcel Dekker, Inc.
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sallis, Edward. (1993). Total Quality Management in Education. London : British Library Cataloguing in Publication Data.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Sumantri, Mulyani dalam Ali dkk. (2007). Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.
Schedler, Andreas. (1999). "Conceptualizing Accountability" dalam Andreas Schedler, Larry Diamond, Marc F. Plattner. The Self-Restraining State: Power and Accountability in New Democracies. London: Lynne Rienner Publishers.
Sergiovani, Thomas J. et. al. (1980). Educational Governance and Administration. Engelwood Clifs, New Jersey :Prentice Hall,Inc.
Sugiarto, Soleh et. al. (2009). Memori DPRD Provinsi Jawa Barat Periode 2004-2009. Bandung : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat.
Syaukani et. al. (2002). Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar & Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan.
Thomas, J. Alan. (1971). The Productive School. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Tjiptowardojo, Djoemad. (2010). Kebijakan Publik dalam Perspektif Demokrasi. Bandung: STIA Bagasasi.
Ul Haq, Mahbub et al. (1985). Human Development Report 1985. New York : Oxford University Press
Wachyan, Abdul et. al. (2002). Rencana Pembangunan Regional Makro Pendidikan Jawa Barat. Bandung : Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat.
---. (….). Management in Education. London : Kogan Page Educational Management Series.
---. (1999). Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menangah Umum.
---. (2001). The Encyclopedia Americana International Edition Vol. 4 dan Vol. 22. Danbury, Connecticut : Grolier Incorporated.
Disertasi/Tesis/Laporan Penelitian/Makalah:
Clark, David et. Al. Financing of Education in Indonesia. Manila: Asian Development Bank & Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong.
Kelompok Konsentrasi Pendidikan Dasar dan Menengah (S3 Reguler). (2009). Studi Tentang Impelementasi Kebijakan Komite Sekolah dan BP3 Sebagai Perbandingan di Kabupaten Bandung. Tugas Mata Kuliah Seminar Kajian Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. H. Azis Wahab, MA. Laporan Studi Lapangan. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.
Subardiman et. al. (2009). “Percepatan Peningkatan Mutu Pendidikan. Analisis Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)” . Laporan Studi Lapangan. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.
Sumianto, Toto. (2008). “Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Bidang Manajemen Pendidikan: Studi Analisis Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan Berdasarkan Peraturan Perundangan yang Relevan di Kabupaten Majalengka”. Disertasi. Bandung : Pendidikan Pasca Sarjana UPI.
Sumantri, Agus. (2010). Efektivitas Implementasi Manajemen Sekolah Bermutu. (Studi tentang Hubungan antar Komponen Sekolah Bermutu dengan Mutu Kinerja SMPN RSBI di Wilayah Jawa Barat). Disertasi. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.
Sunu, Arya. (2011). Pendidikan Multikultural di Provinsi Bali. Disertasi. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.
Syafioeddin, Irianto Machfud Sidik.(2009). Pembangunan Pendidikan Berbasis Kewilayahan di Tingkat Kabupaten (Studi Implementasi Kebijakan Pendidikan di Kabupaten Indramayu dalam Konteks Otonomi Daerah). Disertasi. Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Jurnal / Artikel
Alisyahbana, Armida S. (2005). “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan”. Artikel. [Online]. Tersedia : http://www.geocities.com.arief_anshory/otda_pendidikan.pdf [20 Mei 2010].
BAN-SM. (2010). Akreditasi Sekolah Dasar dan Madrasah. [Online]. Tersedia : http://www.ban-sm.or.id/statistik [3 Februari 2011].
Dykstra, Clarence A. (1939). "The Quest for Responsibility" dalam The American Political Science Review, Vol. 33, No. 1. [Online]. Tersedia : doi:10.2307/1949761. http://jstor.org/stable/1949761. [10 April 2011].
Goldin and Katz. (----). “Education Policy Failings in Historical Perspective" dalam Economis Journal Watch Volume 6 (1). ----.
Hannaway, Jane dan Woodroffe, Nicola. (2003). “Policy Instruments in Education” dalam Review of Research in Education 27, 2003. Washington DC : AERA.
Lee, Jaekyung & Kwong, Kenneth. (2004). “The Impact of Accountability on Racial and Economic Equity : Concidering Both School Resources and Achievement Aoutcomes” dalam American Educational Research Journal, winter 2004, Volume 4 No. 4.
Miller, Robert J. dan Rowan, Brian. (2006). “Effects of Organic Management on Students Achievements” dalam American Educational Research Journal Summer 2006 Volume 43 Number 2.
Patta, Johnny. (2008). Peningkatan Kapasitas Pembiayaan Pembangunan di Propinsi Jawa Barat 2008-2013 dalam Warta Bapeda Propinsi Jawa Barat Volume 13 No. /April-Juni 2008). Bandung : Subid Pendataan Bidang Monitoring dan Evaluasi Bapeda Provinsi Jawa Barat.
Sinclair, Amanda (1995). "The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses" dalam Accounting, Organizations and Society 20 (2/3).---.
Superfine, Benjamin Michael (2009). “The Evolving Role of The Courts in Educational Policy : The Tension Between Judicial, Scientific and Democratic Decision Making in Kitzmiller v. Dover” dalam American Educational Research Journal Volume 46 Number 4, December 2009. Washington DC : AERA & SAGE.
Surakhmad, Winarno. (2009). “Kebijakan Pendidikan Yang Mengindonesiakan”. Artikel. Koran Tempo, 1 Desember 2009.
The World Bank.(2009). Education For All (EFA). Artikel. [Online] Tersedia :
Wikipedia, the free encylopedia. (2010). Budget. Artikel. [Online]. Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Budgeting. [11 Desember 2010].
Wiseman, Alexander E. (2010). The Uses of Evidence for Education Policy Making : Global Context and International Trends dalam What Counts as Evidence in Educational Setting ? Rethinking Equity, Diversity dan Reform in the 21st Century, Review of Research in Education. Washington DC : American Educational Research Association and SAGE.
Peraturan Perundang-undangan/Produk Kebijakan
---. (2003). Produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Barat. Peraturan Daerah Tahun 2003. Keputusan Dewan dan Pimpinan Dewan 2003. Bandung : Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Barat.
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Kaldera.
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104,, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421) .
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta : Eka Jaya.
---. (2005). Berita Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 2005 Seri E Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 72 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perencanaan Pembangunan Daerah.
---. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar N---. (2008). Berita Daerah Provinsi Jawa Barat No. 8 2008 Seri E Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.
---. (2008). Berita Daerah Provinsi Jawa Barat No. 54 2008 Seri E Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013.
asional Pendidikan.
---. (2008). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
Laporan
Haryadi, Dedi. (2010). Laporan Hasil Pelaksanaan Penilaian Sinergitas Kecamatan Tingkat Provinsi Cluster Kota. Bandung : ---.
Heryawan, Ahmad. (2010). Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2009. Bandung : Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Zarkasy, Wahyudin. (2010). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Tahun 2009. Bandung : Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Pendidikan.
---. (2010). Laporan Panitia Khusus Pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2009. Bandung : DPRD Provinsi Jawa Barat
Brosur / Leaflet :
---. (2005). Selayang Pandang Indramayu in Harmony. Indramayu : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu.
---. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025. Dengan Iman dan Takwa, Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia. Bandung : Bappeda Provinsi Jawa Barat.
---. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-201. Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera. Bandung : Bappeda Provinsi Jawa Barat.
Surat Kabar/Majalah/e-paper/Website :
Galamedia , 31 April 2010; 31 Mei 2010.
Galamedia. [Online] Tersedia : http://www.klik-galamedia.com [3 Februari 2011].
Kompas, 7 Januari 2008 dan 17 Maret 2009.
Kompas (edisi Jawa Barat), 17 Juli 2009; 4 Agustus 2009.
Koran Tempo, 1 Desember 2009.
Media Indonesia, 4 Mei 2010.
Pikiran Rakyat, 11 November 2009; 11 April 2010.
Radar Bandung, 15 April 2010.
Republika. [Online]. Tersedia : --- [---].
Tribun Jabar, 21 Januari 2010; 3 Mei 2010.
Wikipedia, the free encyclopedia. [Online]. Tersedia :---[---].
RIWAYAT HIDUP PROMOVENDUS
Drs H. Harjoko Sangganagara Bin Sugiatmo M.Pd., lahir di Ngawi pada tanggal 17 Oktober 1959; anak dari H. Sugiatmo Prawiroredjo (ayah, almarhum) dan Karti (ibu), beristrikan Hj. Aat Atikah S.Sos, BA., Am.Keb. yang bekerja sebagai PNS pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung; dan dikaruniai tiga orang anak : Idea Wening Nurani S.Si., alumni FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung, Abdurrahman Sidiq Suryasemesta, mahasiswa FH Universitas Diponegoro Semarang dan Muhammad Agustus Prajakusuma, siswa Kelas XI SMU Negeri 6 Bandung.
Riwayat pendidikan : (a) SD Negeri Jelambar Pagi II, Jakarta (b) SMP Kusuma Bangsa, Ngawi; (c) SMEA Panti Pamardi Siwi, Ngawi; (d) Universitas Pasundan, Bandung (sarjana muda dan sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial); (e) Pendidikan Non Gelar dari Universitas Padjadjaran dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat; dan (f) Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (memperoleh gelar Magister Pendidikan pada program studi Pendidikan Umum dengan konsentrasi Teori dan Filsafat Pendidikan) .
Pengalaman di bidang organisasi : (a) Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP Unpas (b) Sekretaris PDI Kabupaten DT II Bandung; (c) Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten Bandung 1992-1997; (d) Pjs. Ketua Fraksi PDI Kabupaten Bandung; (e) Sekretaris Balitbang PDI Perjuangan Jawa Barat ; (d) Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Barat; (e) Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Barat; (f) Sekretaris Panitia Legislasi DPRD Provinsi Jawa Barat; (g) Sekretaris Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Provinsi Jawa Barat; dan (h) Wakil Ketua Pimpinan Daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat;
Riwayat pekerjaan : (a) Karyawan Yayasan Widya Bhakti ditempatkan pada SMP Santa Angela Bandung; (b) Lembaga Pengabdian Masyarakat; (c) mengajar pada jurusan Administrasi Negara STIA Bagasasi untuk mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, Pemikiran Politik dan Kekuatan Politik Indonesia serta Administrasi Pembangunan. Di samping itu juga menjadi kolumnis masalah pembangunan dan kebudayaan pada koran Kompas Jabar, Kontan, Pikiran Rakyat, Media Indonesia dan Tribun Jabar.
Pengalaman sebagai pembicara/narasumber : (a) Seminar Pendidikan UPI; (b) Seminar Mitigasi Bencana pada jurusan KS FISIP Unpas; (c) Pembekalan mengenai Kesetaraan Gender pada mahasiswa baru FISIP Unpad; (d) RUU Anti Pornografi pada DKM FT Unpas; (e) Seminar Badan Remaja Masjid mengenai Penanggulangan HIV/AIDS bagi siswa SMU se-Kota Cirebon; (f) Pembekalan mengenai Ketahanan Ideologi bagi mahasiswa se-Jawa pada GMNI Korda Jabar ; (g) Penyampaian Materi Pokok-pokok Pikiran DPRD pada Musrenbang di Bapeda Provinsi Jawa Barat; (h) Seminar Aktualisasi Peran Politik Pemuda pada GMNI Cirebon; (i) Diskusi masalah kependudukan di BTV; (j) Diskusi masalah Tata Ruang Jawa Barat di STV; (k) Wawancara masalah pembangunan di TVRI Jawa Barat; (l) Diskusi mengenai lingkungan hidup di Radio Mara; (m) Pembahasan masalah UKM di Radio Delta FM; (n) Pembahasan masalah pembangunan di RRI Bandung, dan lain-lain.
Pengalaman dalam pemerintahan : (a) menjadi anggota DPRD Kabupaten DT II Bandung (1992-1997); dan (b) anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (masa bakti 2000-2004 dan 2004-2009).
Pengalaman internasional : (a) penyelenggara World Peace Exhibition; (b) partisipan Seminar dan Kongres Asia and Pacific Social Work Education ; (c) partisipan International Congress for AIDS of Asia and Pacific (ICAAP IX); (d) trade visitor International Dubai Expo dan (e) China International Exhibition.
(Studi Alokasi Anggaran dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun
di Provinsi Jawa Barat)
RANGKUMAN DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Kependidikan
Bidang Ilmu Administrasi Pendidikan
Promovendus :
Harjoko B. Sugiatmo
0807905
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2011
TELAH DIUJI PADA UJIAN TAHAP I
Pada Tanggal 22 Juni 2011
PENGUJI :
1. Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab M.A.
2. Prof. Dr. H. Nanang Fattah M.Pd.
3. Prof. Dr. H. Buchari Alma M.Pd.
4. Prof. H. Udin Syaefudin Sa’ud PhD
5. Prof. Dr. H. Wahyudin Zarkasyi Ak.
ABSTRAK
Harjoko B. Sugiatmo. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN. (Studi Alokasi Anggaran dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Provinsi Jawa Barat).
Pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat hanya memperoleh alokasi anggaran kurang dari 10% dari total anggaran pendidikan. Dengan demikian masalah pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana anggaran yang relatif kecil dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan dan meningkatkan mutu pendidikan dasar sebagaimana secara normatif tercantum pada dokumen perencanaan daerah. Untuk itu diperlukan implementasi kebijakan yang memungkinkan pendidikan dasar Sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) di Provinsi Jawa Barat dapat berjalan dengan baik dan bermutu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis kebijakan atau metode post policy analysis, sedangkan teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi, focus group discussion wawancara dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja Pemerintah provinsi Jawa Barat dalam implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip proporsionalitas, efisiensi dan akuntabilitas namun belum sesuai dengan prinsip efektivitas. Prinsip efektivitas dilakukan dengan mengkaitkan kinerja dengan indikator yang harus dicapai yang ditentukan dalam RPJMD yang menunjukkan bahwa indikator-indikator nampaknya tidak dapat dicapai sepenuhnya oleh eksekutif.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya belum menerapkan mutu dalam konsep absolut yang menerapkan pencapaian standar tertinggi dalam pekerjaan, produk maupun layanan, maupun mutu menurut pelanggan yang merupakan sesuatu yang memuaskan pelanggan (masyarakat, orang tua murid, dunia usaha). Mutu masih dianggap sebagai konsep relatif yang masih perlu ditingkatkan terus menerus.
ABSTRACT
Harjoko B. Sugiatmo. THE IMPLEMENTATION OF EDUCATIONAL BUDGET ALLOCATION POLICY. (Analytical study of Budget Allocation for Improving the Quality of Compulsory Basic Education in West Java Province).
The relatively small budget allocation of basic education in the West Java Province becomes a problem for improving the quality of based basic education as normatively stated in some documents of local development plans and regulations. Effective implementation of the policy is needed for improving basic education quality. From those points of view, there are some research questions : how about the financing ability of the government, what is the priority of educational budget allocation, how to use the budget, what is the result of the implementation of budget allocation policy and what is the impact of budget allocation policy implementation for improving the educational quality.
The study was conducted through observing the process of educational budget allocation policy; the implementation of the policy; the achievement of basic education quality, in the use of using interview, library research and observation method. The method of post policy analysis was used to analyze the phenomenon of budget allocation policy in West Java Province.
The result showed that the performance of the government of the West Java Province in implementing policy had been matched according to the principles of proportionality, efficiency and accountability but was not effective yet.
The conclusion is that the result of budget allocation policy had relatively improved the quality of basic education.
The recommendation is that more budgets must be given to basic education and budget allocation needs some priorities especially in providing school infrastructures, qualified teachers and personal cost. Meanwhile, some programs must be sharpened into quality improvement direction. Role sharing between national and local government needs to be continued until the compulsory education is accomplished.
DAFTAR ISI
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang………………………….. 1
B. Fokus Penelitian………………………… 11
C. Pertanyaan Penelitian…………………… 11
D. Tujuan Penelitian……………………….. 11
E. Manfaat Penelitian……………………… 12
F. Premis Penelitian……………………….. 12
G. Kerangka Pikir Penelitian………………. 13
H. Metode Penelitian………………………. 15
I. Kesimpulan dan Rekomendasi…………. 16
J. Model Alternatif Implementasi
Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan
di Provinsi Jawa Bara …………………. 20
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
RINGKASAN DISERTASI
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum derajat pendidikan dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang ditamatkan. Artinya semakin banyak penduduk yang menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka hal tersebut sudah mengarah pada indikasi adanya peningkatan kualitas SDM. Selain itu derajat pendidikan dilihat secara luas, yaitu meliputi pendidikan formal maupun non-formal
Berdasarkan data tahun 2007, penduduk Jawa Barat kebanyakan baru menyelesaikan pendidikannya pada jenjang SD, yaitu 38,07%, bahkan 23,27% tidak tamat SD. Persentase penduduk yang tamat SLTP atau SLTA hampir sama yaitu 17%, sedangkan yang menamatkan jenjang akademi atau universitas sekitar 5%. Sementara data BPS (Maret 2009) menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat baru mencapai 7,91 tahun, yang berarti pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai. Gaffar dalam Ali dkk. (2007:568) menyatakan bahwa “usaha untuk melanjutkan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun” dan “ peningkatan alokasi anggaran pendidikan dan peningkatan fungsi-fungsi pengawasan” merupakan bagian dari “agenda mendasar …untuk memajukan sistem pendidikan nasional” .
Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi dalam program-program pembangunan pendidikan yang membutuhkan belanja langsung maupun tidak langsung baik pada tingkat Pemerintah, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota /Kabupaten. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan kebijakan alokasi angggaran pendidikan untuk memastikan ketersediaan sumber pembiayaan pendidikan yang merupakan bagian integral dari APBN maupun APBD sebagai implementasi otonomi daerah di bidang pendidikan.
Menurut Thomas dalam Encyclopedia Americana Vol. 9 , besaran anggaran pendidikan berkaitan dengan kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang berbeda-beda di tiap Negara dan daerah. Di Israel mencapai 17% dari APBN, Jepang 6,5%, Inggris 4,6% dan Bangladesh 0,01% (2001:736). Sedangkan besaran anggaran pendidikan di Indonesia sejak akhir dasawarsa 90-an mencapai 20% dari APBN, termasuk gaji guru di dalamnya.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat. Ketentuan tersebut menyiratkan sebuah diskresi dan tanggung jawab bagi pemerintah daerah.
Pada tahun 1999/2000 anggaran pendidikan di Jawa Barat baru mencapai 7,57% dari APBD. Hingga tahun 2008 alokasi anggaran untuk pendidikan baru mencapai 11% dari total APBD, itu artinya baru mencapai besaran Rp 800 miliar dari Rp7 triliun APBD. Karena kuatnya tuntutan masyarakat dan dorongan anggota DPRD pada tahun 2009 menjadi 20% dari APBD atau Rp 1,6 triliun dari Rp 8 triliun besaran APBD. Meskipun demikian alokasi anggaran ternyata lebih banyak digunakan biaya manajemen dibanding untuk membiayai pendidikan dasar, menengah, luar sekolah dan luar biasa. Alokasi anggaran untuk pendidikan dasar hanya Rp 111,99 miliar. Itu berarti kurang dari 10%, padahal menurut Bank Dunia pada umumnya negara-negara Asia mengalokasikan dana pemerintah untuk pendidikan dasarnya mencapai 48%, bahkan di Amerika Serikat mencapai 51% (Fattah dalam Ali, 2007:596).
Masalah bagi stakeholder pendidikan di Provinsi Jawa Barat adalah bagaimana agar alokasi yang relatif kecil tersebut harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menuntaskan program Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas Sembilan Tahun) tepat pada waktunya sekaligus untuk meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi Jawa Barat sebagaimana secara normatif tercantum pada perencanaan daerah baik RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) maupun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) serta RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah). Implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan menjadi kunci agar pendidikan khususnya pendidikan dasar Sembilan tahun (wajar dikdas sembilan tahun) di Provinsi Jawa Barat dapat berjalan dengan baik dan bermutu.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan maka aspek biaya (cost) harus diletakkan dalam formulasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Atas dasar tersebut perlu diteliti bagaimana implementasi suatu kebijakan publik yaitu pada kebijakan penganggaran pendidikan dijalankan pada pemerintahan daerah di provinsi Jawa Barat. Jika masalah ini tidak diteliti dikhawatirkan pemerintahan daerah tidak mengetahui persoalan-persoalan yang timbul dari kebijakan yang dibuat dan tidak mengetahui kelemahan-kelemahan dan penyebab-penyebabnya. Jika itu yang terjadi dikhawatirkan maka kebijakan tersebut tidak akan berjalan dengan baik dan tidak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap fenomena dari implementasi kebijakan dan dapat memberikan rekomendasi, baik berupa solusi maupun continuous improvement.
Karena penelitian ini menyoroti suatu kebijakan maka penelitian ini berada pada studi analisis kebijakan. Dengan demikian penelitian ini berada pada tataran makro. Penelitian pada tingkat makro menjadi penting untuk mengetahui implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan dasar, dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN (Studi Alokasi Anggaran dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di Provinsi Jawa Barat)”.
Aspek-aspek yang menjadi fokus penelitian ini adalah berkenaan dengan kemampuan keuangan daerah, prioritas anggaran, pemanfaatan anggaran dan dampak dari implementasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan pada jenjang pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas yaitu bagaimana anggaran yang relatif kecil dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat, dapat dirinci dalam pertanyaan penelitian berikut:
1) Bagaimana kemampuan Pemerintah Daerah dalam penyediaan sumber dana alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat ?
2) Apa yang menjadi prioritas alokasi anggaran di Provinsi Jawa Barat?
3) Bagaimana pemanfaatan anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat?
4) Bagaimana hasil dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat?
5) Apa dampak dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1) Kemampuan Pemerintah Daerah dalam penyediaan sumber dana alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat.
2) Prioritas alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat.
3) Pemanfaatan anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat.
4) Hasil dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat.
5) Dampak dari kebijakan alokasi anggaran terhadap mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat.
E. Manfaat Penelitian
1. Teoretis
Untuk memperkaya khazanah Ilmu Administrasi Pendidikan khususnya dalam Ilmu Pembiayaan Pendidikan, baik aspek substansi (bidang garapan) dan proses, maupun dalam konteks pembangunan pendidikan di Daerah serta Ilmu Administrasi Pembangunan, dan Administrasi Pemerintahan atau Administrasi Publik.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan :
a. Sumbangan pemikiran bagi manajemen dalam melaksanakan fungsi penganggaran khususnya dalam pengalokasian anggaran bagi program wajib belajar sembilan tahun di provinsi Jawa Barat.
b. Rumusan model alternatif alokasi anggaran pendidikan yang dapat dijadikan rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.
F. Premis Penelitian
1. Proses alokasi anggaran pendidikan merupakan sebuah proses politik yang terjadi pada pemerintahan daerah, yaitu antara lembaga eksekutif dan lembaga legislative yang memerlukan adanya pendekatan yang tepat agar dapat diimplementasikan.
2. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai pada tercapainya hasil tergantung pada kegiatan program yang telah dirancang dan alokasi anggaran yang cukup.
3. Implementasi kebijakan dapat dianalisis dengan melihat dilaksanakannya program-program yang telah dirancang sebelumnya dan melihat program-program tersebut dalam perspektif pencapaian tujuan-tujuan kebijakan.
4. Menurut Rondinelli dan Cheema (1983:30) ada dua pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang perlu dipilih sebelum kebijakan diimplementasikan, yaitu : (1) the compliance approach, dan (2) the political approach. Pendekatan yang pertama menganggap implementasi kebijakan itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Implementasi kebijakan dianggap sebagai suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik dan perencanaanya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration as an integral part of the policy making process in which politics are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.
5. Menurut Grindle (1980 : 7-11) ada dua hal yang turut mempengaruhi keberhasilan yaitu pertama, content of policy, yang terdiri dari : interests affected; type of benefits; extent of change envisioned; site of decision making; program implementators; resources commited. Kedua, context of implementation, yang terdiri dari : power, interest, and strategies of actors involved; institutions and regime charactersistics; compliance and responsiveness.
G. Kerangka Pikir Penelitian
Kebijakan alokasi anggaran pendidikan diformulasikan oleh Pemerintahan Daerah Jawa Barat yang terdiri dari Gubernur selaku eksekutif dan DPRD selaku legislatif dengan melibatkan masyarakat selaku pemangku kepentingan (stakeholders). Peraturan Daerah kemudian mengikat seluruh masyarakat Jawa Barat, sedangkan pada tingkat eksekutif Provinsi dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan organisasi peringkat daerah (OPD) lainnya , dengan demikian maka anggaran untuk pendidikan dasar Sembilan tahun diberikan pada dinas dan OPD tersebut untuk mengimplementasikannya. Efektifitas penganggaran akan menghasilkan pendidikan bermutu sebagaimana yang dituntut oleh Perda dan Standar Pendidikan Nasional. Pendidikan yang bermutu pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi pada mutu sumber daya manusia Jawa Barat.
Landasan filosofis dari kerangka pemikiran ini adalah bahwa secara teoretik, upaya-upaya pendidikan memerlukan dukungan kebijakan administrasi pendidikan, termasuk kebijakan penganggaran. Secara aturan perundang-undangan pendidikan dasar sembilan tahun merupakan bagian integral pendidikan yang diatur oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan dalam konteks Jawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah. Adapun mutu dari pendidikan nilai tersebut mengacu pada rumusan di dalam Perda itu sendiri dan tentunya dikaitkan dengan Standar Pendidikan Nasional.
H. Metoda Penelitian
Masalah pelaksanaan otonomi penyelenggaraan pendidikan di daerah merupakan realitas sosial yang bersifat kontekstual. Karena itu tujuan utama penelitian ini bukanlah untuk menguji suatu hipotesis namun ditujukan untuk mendeskripsikan objek yang diteliti melalui proses pengeksplorasian fakta dan data lapangan sebagaimana adanya. Dengan demikian pendekatan penelitian yang dianggap cocok digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif (Nasution, 1988).
Namun demikian untuk mendalami setiap permasalahan yang diteliti sehingga pemecahannya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan akhirnya memberikan sumbangan yang berarti bagi maksud dan tujuan penelitian, diperlukan kajian secara mendalam sesuai dengan karakteristik permasalahan yang diteliti. Penelitian bukan sekedar mendeskripsikan realitas sosial, tetapi perlu analisis-analisis yang bersifat prediktif, maka metode yang paling dianggap sesuai dengan konteks masalah yang diteliti digunakan metode penelitian analisis kebijakan atau metoda post policy analysis (MacMillan & Schumacher, 2001:526-581). Sedangkan analisis kebijakan yang digunakan adalah analisis keefektifan biaya.
1. Pendekatan Penelitian
Studi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis maupun teori tertentu, melainkan berupaya untuk menelusuri pemahaman baru mengenai fenomena yang dikaji. Cara kerja dari studi ini bersifat : subyektifitas ke obyektifitas, induksi ke deduksi dan konstruksi ke enumerasi. Untuk itu peneliti memperlakukan diri sebagai instrument utama (human instrument), yang bergerak dari hal-hal spesifik, dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya dan memadukan data sedemikian rupa sehingga pada akhirnya kesimpulan-kesimpulan dapat ditemukan. Dengan sifatnya yang demikian maka studi ini tergolong dalam penelitian yang menggunakan Metode Naturalistik dengan Pendekatan Kualitatif.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Provinsi Jawa Barat. Subyek yang diteliti adalah para pejabat eksekutif dan legislatif dan praktisi pendidikan serta stakeholders (pemangku kepentingan) yang dipilih secara non sampling.
Pertimbangan pemilihan lokasi adalah mengingat strategisnya posisi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibukota negara, mendorong Jawa Barat berperan sebagai agent of development (agen pembangunan) bagi pertumbuhan nasional. Provinsi Jawa Barat menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam mengukur kinerja pemerintahan dan pembangunannya, yang di dalamnya termuat komponen tingkat pendidikan masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya insani. Pembangunan pendidikan diprioritaskan pada peningkatan pemerataan dan mutu pendidikan. Sedangkan pembangunan kebudayaannya diprioritaskan pada revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
Upaya untuk meningkatkan kontribusi dari komponen pendidikan dilakukan antara lain dengan meningkatkan anggaran pendidikan menuju besaran 20% sebagai amanat konstitusi. Itu berarti 20 % dari APBD Provinsi Jawa Barat yang besarnya mencapai Rp 8,29 trilyun (Bewara, Edisi I/2009, 8), suatu jumlah anggaran yang besar bahkan jika dibandingkan dengan anggaran provinsi-provinsi lain di luar DKI Jaya. Secara khusus Provinsi Jawa Barat memberlakukan tiga buah Peraturan Daerah tentang kebudayaan daerah yang diimplementasikan melalui pendidikan sebagai bentuk kebijakan berkenaan dengan kearifan lokal Jawa Barat sehingga menarik untuk diteliti.
3. Unit Analisis
Adapun unit-unit analisis ialah :
a. Pemerintah Provinsi Jawa Barat khususnya Tim Penyusun Anggaran, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat
c. Kepala Sekolah dan Guru SD maupun SMP di beberapa tempat di Provinsi Jawa Barat.
d. Dokumen-dokumen.
I. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
a. Kemampuan Keuangan Daerah
Kondisi keuangan daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sering dijadikan parameter otonomi daerah. PAD Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 mencapai Rp 5,564 triliun dan jika dilihat dari struktur APBD memberikan kontribusi terhadap total pendapatan daerah sebesar 70,75%. PAD berasal dari jenis pendapatan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang sah.
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2009 yang belum diaudit BPK RI adalah sebesar Rp 7,723 triliun dan dana bagi belanja pendidikan sebesar Rp 1,628 triliun, kurang lebih 20% dari APBD nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Provinsi Jawa Barat sudah menjalankan otonomi daerahnya di bidang pendidikan dengan baik.
Kendatipun demikian alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat sebenarnya masih lebih banyak ditopang oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang mencapai Rp 4,5 triliun, hampir 300% alokasi anggaran pendidikan Provinsi.
Dalam menjalankan tugas umum pemerintahan maka Pemerintah Provinsi memperhatikan dan membantu Kota dan Kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Jawa Barat selain karena tuntutan peraturan perundang-undangan (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 94, PP Nomor 50 Tahun 2007, Permendagri Nomor 22 Tahun 2009) juga karena kemampuan keuangan Kota/Kabupaten yang beragam.
b. Prioritas Alokasi Anggaran Pendidikan Dasar di Provinsi Jawa Barat
Kebijakan alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat diarahkan untuk menuntaskan Jawa Barat bebas buta aksara; mewujudkan Jawa Barat bebas biaya pendidikan dasar dalam rangka penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun; mewujudkan Jawa Barat bebas putus jenjang sekolah dalam rangka pelaksanaan wajar dua belas tahun di seluruh Kabupaten/Kota; meningkatkan pengelolaan penjaminan mutu pendidikan dasar; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar; meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan Guru serta tenaga kependidikan; meningkatkan revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang relevan bagi peningkatan kemajuan Jawa Barat
Prioritas alokasi anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat berada pada common goals yang pertama yaitu “peningkatan kualitas dan produktivitas SDM yang sasarannya antara lain meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan masyarakat” dan diarahkan untuk meningkatkan angka melek huruf , rata-rata lama sekolah dan merealisasikan “Jabar Bebas Putus Jenjang Pendidikan”.
c. Pemanfaatan Anggaran Pendidikan
Sebanyak 89,04% anggaran pendidikan yang berasal dari APBD Provinsi Jawa Barat dialokasikan untuk Belanja Langsung dan Bantuan sedangkan 10,96% dialokasikan untuk Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung dan Bantuan seluruhnya berjumlah Rp 1,450 triliun lebih, dibagi ke dalam Belanja Langsung sebesar Rp 472,937 miliar lebih dan Bantuan sebesar Rp 977,257 miliar lebih. Sedangkan Belanja Tidak Langsung seluruhnya berjumlah Rp 178,484 miliar lebih digunakan untuk Gaji PNS Dinas Pendidikan dan Gaji /Tunjangan Guru Pendidilan Luar Biasa sebesar Rp 168,759 miliar lebih dan Insentif Guru Madrasah Diniyah (Pendidikan Keagamaan) sebesar Rp 12,108 miliar lebih.
Belanja Langsung adalah untuk membiayai program dan kegiatan termasuk sumbangan buku pelajaran, sedangkan Bantuan adalah berupa uang yang diberikan untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) mendampingi BOS yang berasal dari APBN, bantuan untuk seragam serta beasiswa. Belanja Langsung tidak hanya untuk membiayai program dan kegiatan pendidikan yang ditangani oleh Disdik tetapi juga ada juga di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang lain seperti Disbudpar, Dinas Pertanian, Dinas KUKM, Dinas Naker serta Badiklatda yaitu untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat di luar persekolahan.
Dari anggaran pendidikan Rp 1,6 triliun tersebut belanja yang dikelola Dinas Pendidikan hanya sekitar Rp 507 miliar saja dan yang dialokasikan untuk program pendidikan dasar adalah Rp. 111,99 miliar.
Anggaran pendidikan di Provinsi Jawa Barat diimplementasikan melalui program dan non program. Dalam program maka program dielaborasi ke dalam program bantuan maupun kegiatan baik yang berada di Dinas Pendidikan maupun di OPD lainnya. Sedangkan yang non program berada dalam wilayah diskresi Gubernur untuk mengeluarkan anggaran yang belum ditentukan programnya.
Pemerintah Provinsi memperoleh alokasi anggaran pembangunan yang berasal dari APBN yang dikelola pemanfaatannya oleh Dinas Pendidikan. Komponen anggaran yang terbesar diberikan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) yaitu sebesar Rp 2,843 triliun dan Peningkatan Mutu dan Profesionalisme Guru Rp 1,173 triliun. Besarnya anggaran tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu para Guru.
d. Hasil dari Implementasi Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan Dasar.
1. Terlaksananya program untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dasar, peningkatan tata kelola pendidikan yang efektif dan penguasaaan /pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dikategorikan ke dalam verifikasi, monitoring, evaluasi; koordinasi; workshop/semiloka; rapat-rapat koordinasi; peningkatan mutu layanan pendidikan dan bantuan.
2. Tercapainya keluaran fisik dan non fisik serta bantuan keuangan seperti peningkatan sarana dan prasarana, Bantuan Operasional Sekolah Provinsi, bantuan pengadaan buku rapor, bantuan buku, bantuan pakaian untuk siswa, dan bantuan untuk guru
3. Terlaksanakannya akuntabilitas karena dalam menjalankan pengendalian digunakan instrument yang dinamakan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintahan). LAKIP yang dibuat menggambarkan input, proses, ouput, dan outcomes dari setiap kegiatan di bidang pendidikan.
e. Dampak Implementasi Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan
Ada peningkatan mutu pendidikan dasar di Provinsi Jawa Barat sebagaimana terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia di Bidang Pendidikan untuk tahun 2009 yang meningkat dari 80,35 pada tahun 2008 menjadi 80,58 pada tahun 2009 atau meningkat 0,23 poin meskipun belum mencapai target yang tertuang dalam RKPD yaitu sebesar 82,02 poin . Rata-rata Lama Sekolah mencapai 7,58 tahun berada di atas rata-rata nasional yaitu 5,7 tahun. Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 95,60%, sehingga Angka Buta Huruf turun dari 5,33% menjadi 4,4%.
B. Rekomendasi
1. Proses pengalokasian anggaran perlu lebih meningkatkan dijalankannya prinsip-prinsip good governance yaitu partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholders, berorientasi pada konsesnsus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategis.
2. Implementasi kebijakan yang berkaitan dengan anggaran pendidikan hendaknya mengarah pada sejauh mana sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan untuk mencapai hasil tertentu yang telah ditetapkan : yaitu berkaitan dengan akuntabilitas praktek; menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik; mempertimbangkan rasa keadilan; menunjukkan pemihakan pada kelompok berpendapatan rendah dan mempersempit kesenjangan.
3. Alokasi anggaran lebih besar perlu diberikan untuk program pendidikan dasar dengan alokasi anggaran diprioritaskan pada : (1) Peningkatan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan; (2) Pemenuhan kekurangan guru baik segi kuantitas maupun kualitasnya pada setiap daerah, khususnya daerah-daerah terpencil; (3) Peningkatan profesionalisme guru maupun tenaga kependidikan maupun profesionalisme pengelolaan pendidikan; (4) Pemanfaatan media teknologi modern pada fungsi pendidikan; (5) Pemberian bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah atau miskin terutama yang berada di desa-desa tertinggal. Secara lebih spesifik adalah anak-anak petani, nelayan, dan buruh
4. Perlu dilakukan terobosan-terobosan untuk menghilangkan angka buta huruf di kalangan penduduk melalui suatu gerakan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara total dan signifikan. Pola seperti ini perlu diterapkan pada tingkat yang lebih besar pada level provinsi
5. Peningkatan relevansi pendidikan perlu dikaitkan dengan tiga hal : pertama, falsafah yang melandasi masyarakat Jawa Barat yaitu falsafah silih asuh, silih asih, dan silih asah. Kedua, potensi religiusitas masyarakat berkontribusi pada usaha keras dalam mencerdaskan dirinya dan berkompetensi untuk mendapatkan ilmu pengetahauan. Ketiga, tersedianya dunia industri dan dunia usaha yang bisa mendukung kegiatan pembangunan pendidikan di Jawa Barat.
J. Model Alternatif Implementasi Kebijakan
Alokasi Anggaran Pendidikan di Provinsi
Jawa Barat
Strategi yang digunakan untuk model alternative adalah bahwa kebijakan alokasi anggaran pendidikan harus dapat : (1) Mendorong tingkat pendidikan masyarakat (melalui implementasi kebijakan di bidang ketenagaan, pembiayaan, sarana dana prasarana, partisipasi masyarakat) ; dan (2) Menjadikan masyarakat Jawa Barat yang berbudiperkerti luhur serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (melalui implementasi kebijakan di bidang kurikulum).
Sasaran yang ingin dicapai dengan strategi tersebut adalah : (1) Meningkatnya akses dan mutu pendidikan terutama untuk penuntasan wajib belajar Sembilan tahun dan pencanangan wajib belajar 12 tahun bagi anak usia sekolah; (2) Meningkatnya kesadaran akan perbedaan, toleransi dan kerjasama antar umat beragama; (3) Meningkatnya implementasi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal; (4) Meningkatnya sikap saling menghargai dan menghormati berbagai komunitas budaya.
Alternatif model mengadopsi kerangka manajemen stratejik, pertama, melakukan environmental scanning (analisis lingkungan) yang terdiri dari analisis lingkungan eksternal (ALE) dan analisis lingkungan internal (ALI). Kedua, strategy formulation (perumusan strategi) yaitu kegiatan perumusan misi, menentukan tujuan, membuat prioritas, membuat strategi, dan membuat kebijakan. Ketiga, strategy implementation (menjalankan strategi yang telah dibuat) yaitu menyusun program, menganggarkan, serta membuat prosedur. Keempat, evaluaton and control (evaluasi dan pengawasan) yaitu kegiatan monitoring terhadap kinerja organisasi kemudian melakukan koreksi yang diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Wahab dan Kusumastuty, Dyah. (2009). Penjaminan Mutu. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Abdul Wahab, Solichin. (1990). Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Mohammad dalam Ali dkk. (2007). Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagoginana Press.
Alma, Buchari & Hurriyati, Ratih. (2008). Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima. Bandung: Alfabeta.
Card, David. (----). "Returns to Schooling," dalam The New Palgrave Dictionary of Economics , 2nd Edition.
Checchi, Daniele. (2006). The Economics of Education: Human Capital, Family Background and Inequality.
Christopher, Williams. (2006). Leadership Accountability in a Globalizing World. London: Palgrave Macmillan.
Creswell, J.A. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. London: SAGE Publication, International Educational and Profesional
Dye, Thomas R. (1984). Understanding Public Policy. ---.
Engkoswara dalam Ali dkk. (2007). Pendidikan Berbasis Unggulan Lokal dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana.
Fattah, Nanang dan Nurdin, Diding dalam Ali dkk. (2007). Ekonomi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagogiana Press.
Fischel, William A. (2008). "Educational Finance" dalam The New Palgrave Dictionary of Economics, 2nd Edition.
Fowler, Frances C. (2009). Policy Studies for Educational Leaders An Introduction Third Edition. Boston : Pearson Education Inc.
Gaffar, Fakry dan Nurdin, Diding dalam Ali dkk. (2007). Manajemen Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagogiana Press
Goetz, Judith Preisle & LeCompte, Margareth Diane. (1984). Ethnography and Qualitative Design in Educational Research. London: Academic Press Inc.
Guba, E.G. (1978). Toward A Methodology of Naturalistic Inquiry in Educational Evaluation. California : University of California.
Grindle, Merilee S. (1990). Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey : Princeton Press.
Hartley, Harry J. (1968). Educational Planning-Programming-Budgeting. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc
Hendarto, Agung & Suhendar, Nizar. (2002). Good Governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta : Masyarakat Transparansi Indonesia.
Hill et. al. (2004). Strategic Management an Integrated Approach. Milton : Wiley & Houghton Mifflin.
Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L. (1996). Manajemen Strategis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta : Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa
Kartasasmita, Ginanjar. (1997). Administrasi Pembangunan Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Morrisan. (2004). Pemerintahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 Beserta Penjelasannya. Tanggerang : Ramdina Prakarsa.
Mulyasa. (2003). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Poerbakawatja, Soegarda dan Harahap, Abu Hasyim. (1981). Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Rondinelli, Dennis A. & G. Shabbir Cheema. (1988). “Implementing Decentralization Policies: an Introduction” dalam Cheema dan Rondinelli, Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries, California : Sage Publication Inc.
Rubin, Irene S. (1992). “Budgeting: Theory, Concept, Methods and Issues” dalam Rabin, Jack (ed.). Handbook of Public Budgeting. New York : Marcel Dekker, Inc.
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sallis, Edward. (1993). Total Quality Management in Education. London : British Library Cataloguing in Publication Data.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Sumantri, Mulyani dalam Ali dkk. (2007). Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.
Schedler, Andreas. (1999). "Conceptualizing Accountability" dalam Andreas Schedler, Larry Diamond, Marc F. Plattner. The Self-Restraining State: Power and Accountability in New Democracies. London: Lynne Rienner Publishers.
Sergiovani, Thomas J. et. al. (1980). Educational Governance and Administration. Engelwood Clifs, New Jersey :Prentice Hall,Inc.
Sugiarto, Soleh et. al. (2009). Memori DPRD Provinsi Jawa Barat Periode 2004-2009. Bandung : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat.
Syaukani et. al. (2002). Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar & Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan.
Thomas, J. Alan. (1971). The Productive School. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Tjiptowardojo, Djoemad. (2010). Kebijakan Publik dalam Perspektif Demokrasi. Bandung: STIA Bagasasi.
Ul Haq, Mahbub et al. (1985). Human Development Report 1985. New York : Oxford University Press
Wachyan, Abdul et. al. (2002). Rencana Pembangunan Regional Makro Pendidikan Jawa Barat. Bandung : Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat.
---. (….). Management in Education. London : Kogan Page Educational Management Series.
---. (1999). Panduan Manajemen Sekolah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menangah Umum.
---. (2001). The Encyclopedia Americana International Edition Vol. 4 dan Vol. 22. Danbury, Connecticut : Grolier Incorporated.
Disertasi/Tesis/Laporan Penelitian/Makalah:
Clark, David et. Al. Financing of Education in Indonesia. Manila: Asian Development Bank & Comparative Education Research Centre, The University of Hong Kong.
Kelompok Konsentrasi Pendidikan Dasar dan Menengah (S3 Reguler). (2009). Studi Tentang Impelementasi Kebijakan Komite Sekolah dan BP3 Sebagai Perbandingan di Kabupaten Bandung. Tugas Mata Kuliah Seminar Kajian Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. H. Azis Wahab, MA. Laporan Studi Lapangan. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.
Subardiman et. al. (2009). “Percepatan Peningkatan Mutu Pendidikan. Analisis Kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)” . Laporan Studi Lapangan. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.
Sumianto, Toto. (2008). “Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Bidang Manajemen Pendidikan: Studi Analisis Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Bidang Pendidikan Berdasarkan Peraturan Perundangan yang Relevan di Kabupaten Majalengka”. Disertasi. Bandung : Pendidikan Pasca Sarjana UPI.
Sumantri, Agus. (2010). Efektivitas Implementasi Manajemen Sekolah Bermutu. (Studi tentang Hubungan antar Komponen Sekolah Bermutu dengan Mutu Kinerja SMPN RSBI di Wilayah Jawa Barat). Disertasi. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.
Sunu, Arya. (2011). Pendidikan Multikultural di Provinsi Bali. Disertasi. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.
Syafioeddin, Irianto Machfud Sidik.(2009). Pembangunan Pendidikan Berbasis Kewilayahan di Tingkat Kabupaten (Studi Implementasi Kebijakan Pendidikan di Kabupaten Indramayu dalam Konteks Otonomi Daerah). Disertasi. Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Jurnal / Artikel
Alisyahbana, Armida S. (2005). “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan”. Artikel. [Online]. Tersedia : http://www.geocities.com.arief_anshory/otda_pendidikan.pdf [20 Mei 2010].
BAN-SM. (2010). Akreditasi Sekolah Dasar dan Madrasah. [Online]. Tersedia : http://www.ban-sm.or.id/statistik [3 Februari 2011].
Dykstra, Clarence A. (1939). "The Quest for Responsibility" dalam The American Political Science Review, Vol. 33, No. 1. [Online]. Tersedia : doi:10.2307/1949761. http://jstor.org/stable/1949761. [10 April 2011].
Goldin and Katz. (----). “Education Policy Failings in Historical Perspective" dalam Economis Journal Watch Volume 6 (1). ----.
Hannaway, Jane dan Woodroffe, Nicola. (2003). “Policy Instruments in Education” dalam Review of Research in Education 27, 2003. Washington DC : AERA.
Lee, Jaekyung & Kwong, Kenneth. (2004). “The Impact of Accountability on Racial and Economic Equity : Concidering Both School Resources and Achievement Aoutcomes” dalam American Educational Research Journal, winter 2004, Volume 4 No. 4.
Miller, Robert J. dan Rowan, Brian. (2006). “Effects of Organic Management on Students Achievements” dalam American Educational Research Journal Summer 2006 Volume 43 Number 2.
Patta, Johnny. (2008). Peningkatan Kapasitas Pembiayaan Pembangunan di Propinsi Jawa Barat 2008-2013 dalam Warta Bapeda Propinsi Jawa Barat Volume 13 No. /April-Juni 2008). Bandung : Subid Pendataan Bidang Monitoring dan Evaluasi Bapeda Provinsi Jawa Barat.
Sinclair, Amanda (1995). "The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses" dalam Accounting, Organizations and Society 20 (2/3).---.
Superfine, Benjamin Michael (2009). “The Evolving Role of The Courts in Educational Policy : The Tension Between Judicial, Scientific and Democratic Decision Making in Kitzmiller v. Dover” dalam American Educational Research Journal Volume 46 Number 4, December 2009. Washington DC : AERA & SAGE.
Surakhmad, Winarno. (2009). “Kebijakan Pendidikan Yang Mengindonesiakan”. Artikel. Koran Tempo, 1 Desember 2009.
The World Bank.(2009). Education For All (EFA). Artikel. [Online] Tersedia :
Wikipedia, the free encylopedia. (2010). Budget. Artikel. [Online]. Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Budgeting. [11 Desember 2010].
Wiseman, Alexander E. (2010). The Uses of Evidence for Education Policy Making : Global Context and International Trends dalam What Counts as Evidence in Educational Setting ? Rethinking Equity, Diversity dan Reform in the 21st Century, Review of Research in Education. Washington DC : American Educational Research Association and SAGE.
Peraturan Perundang-undangan/Produk Kebijakan
---. (2003). Produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Barat. Peraturan Daerah Tahun 2003. Keputusan Dewan dan Pimpinan Dewan 2003. Bandung : Sekretariat DPRD Propinsi Jawa Barat.
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Kaldera.
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104,, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421) .
---. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta : Eka Jaya.
---. (2005). Berita Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 2005 Seri E Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 72 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perencanaan Pembangunan Daerah.
---. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar N---. (2008). Berita Daerah Provinsi Jawa Barat No. 8 2008 Seri E Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.
---. (2008). Berita Daerah Provinsi Jawa Barat No. 54 2008 Seri E Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013.
asional Pendidikan.
---. (2008). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
Laporan
Haryadi, Dedi. (2010). Laporan Hasil Pelaksanaan Penilaian Sinergitas Kecamatan Tingkat Provinsi Cluster Kota. Bandung : ---.
Heryawan, Ahmad. (2010). Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2009. Bandung : Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Zarkasy, Wahyudin. (2010). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Tahun 2009. Bandung : Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Pendidikan.
---. (2010). Laporan Panitia Khusus Pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2009. Bandung : DPRD Provinsi Jawa Barat
Brosur / Leaflet :
---. (2005). Selayang Pandang Indramayu in Harmony. Indramayu : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu.
---. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025. Dengan Iman dan Takwa, Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia. Bandung : Bappeda Provinsi Jawa Barat.
---. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-201. Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera. Bandung : Bappeda Provinsi Jawa Barat.
Surat Kabar/Majalah/e-paper/Website :
Galamedia , 31 April 2010; 31 Mei 2010.
Galamedia. [Online] Tersedia : http://www.klik-galamedia.com [3 Februari 2011].
Kompas, 7 Januari 2008 dan 17 Maret 2009.
Kompas (edisi Jawa Barat), 17 Juli 2009; 4 Agustus 2009.
Koran Tempo, 1 Desember 2009.
Media Indonesia, 4 Mei 2010.
Pikiran Rakyat, 11 November 2009; 11 April 2010.
Radar Bandung, 15 April 2010.
Republika. [Online]. Tersedia : --- [---].
Tribun Jabar, 21 Januari 2010; 3 Mei 2010.
Wikipedia, the free encyclopedia. [Online]. Tersedia :---[---].
RIWAYAT HIDUP PROMOVENDUS
Drs H. Harjoko Sangganagara Bin Sugiatmo M.Pd., lahir di Ngawi pada tanggal 17 Oktober 1959; anak dari H. Sugiatmo Prawiroredjo (ayah, almarhum) dan Karti (ibu), beristrikan Hj. Aat Atikah S.Sos, BA., Am.Keb. yang bekerja sebagai PNS pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung; dan dikaruniai tiga orang anak : Idea Wening Nurani S.Si., alumni FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung, Abdurrahman Sidiq Suryasemesta, mahasiswa FH Universitas Diponegoro Semarang dan Muhammad Agustus Prajakusuma, siswa Kelas XI SMU Negeri 6 Bandung.
Riwayat pendidikan : (a) SD Negeri Jelambar Pagi II, Jakarta (b) SMP Kusuma Bangsa, Ngawi; (c) SMEA Panti Pamardi Siwi, Ngawi; (d) Universitas Pasundan, Bandung (sarjana muda dan sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial); (e) Pendidikan Non Gelar dari Universitas Padjadjaran dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat; dan (f) Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (memperoleh gelar Magister Pendidikan pada program studi Pendidikan Umum dengan konsentrasi Teori dan Filsafat Pendidikan) .
Pengalaman di bidang organisasi : (a) Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP Unpas (b) Sekretaris PDI Kabupaten DT II Bandung; (c) Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten Bandung 1992-1997; (d) Pjs. Ketua Fraksi PDI Kabupaten Bandung; (e) Sekretaris Balitbang PDI Perjuangan Jawa Barat ; (d) Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Barat; (e) Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Barat; (f) Sekretaris Panitia Legislasi DPRD Provinsi Jawa Barat; (g) Sekretaris Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Provinsi Jawa Barat; dan (h) Wakil Ketua Pimpinan Daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat;
Riwayat pekerjaan : (a) Karyawan Yayasan Widya Bhakti ditempatkan pada SMP Santa Angela Bandung; (b) Lembaga Pengabdian Masyarakat; (c) mengajar pada jurusan Administrasi Negara STIA Bagasasi untuk mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, Pemikiran Politik dan Kekuatan Politik Indonesia serta Administrasi Pembangunan. Di samping itu juga menjadi kolumnis masalah pembangunan dan kebudayaan pada koran Kompas Jabar, Kontan, Pikiran Rakyat, Media Indonesia dan Tribun Jabar.
Pengalaman sebagai pembicara/narasumber : (a) Seminar Pendidikan UPI; (b) Seminar Mitigasi Bencana pada jurusan KS FISIP Unpas; (c) Pembekalan mengenai Kesetaraan Gender pada mahasiswa baru FISIP Unpad; (d) RUU Anti Pornografi pada DKM FT Unpas; (e) Seminar Badan Remaja Masjid mengenai Penanggulangan HIV/AIDS bagi siswa SMU se-Kota Cirebon; (f) Pembekalan mengenai Ketahanan Ideologi bagi mahasiswa se-Jawa pada GMNI Korda Jabar ; (g) Penyampaian Materi Pokok-pokok Pikiran DPRD pada Musrenbang di Bapeda Provinsi Jawa Barat; (h) Seminar Aktualisasi Peran Politik Pemuda pada GMNI Cirebon; (i) Diskusi masalah kependudukan di BTV; (j) Diskusi masalah Tata Ruang Jawa Barat di STV; (k) Wawancara masalah pembangunan di TVRI Jawa Barat; (l) Diskusi mengenai lingkungan hidup di Radio Mara; (m) Pembahasan masalah UKM di Radio Delta FM; (n) Pembahasan masalah pembangunan di RRI Bandung, dan lain-lain.
Pengalaman dalam pemerintahan : (a) menjadi anggota DPRD Kabupaten DT II Bandung (1992-1997); dan (b) anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (masa bakti 2000-2004 dan 2004-2009).
Pengalaman internasional : (a) penyelenggara World Peace Exhibition; (b) partisipan Seminar dan Kongres Asia and Pacific Social Work Education ; (c) partisipan International Congress for AIDS of Asia and Pacific (ICAAP IX); (d) trade visitor International Dubai Expo dan (e) China International Exhibition.
Rabu, 30 Maret 2011
BERKEPRIBADIAN DALAM KEBUDAYAAN ( Upaya mengaktualisasikan Ajaran Bung Karno dalam pidato “TRISAKTI” Tahun 1964)
Harjoko Sangganagara
A. Peta Masyarakat Indonesia : Struktur dan Kultur
1. Struktur dan Kultur
a. Struktur Sosial
Modern
(1) struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiangtiangmasyarakat adalah organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasukorganisasi profesional dan fungsional
(2) Se bagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan mene ngah; lapisan atas dan ba wah adalah minoritas.
(3) Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat suatu continuum
(4) Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun kebawah.
(5) Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan. Orang modern adalah orang organisasi” (organization man).
Tradisional
(1) kekerabatan, kesukuan, atau keaga maan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, organisasiorganisasiserupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup.
(2) Pada masyarakat tradisional dan pramodern, sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah.
(3) Dalam masyarakat tradisional pembatas antarstrata sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang melewati batas itu.
(4) Sebaliknya dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di atas.
b. Kultur
Ginandjar membedakan antara masyarakat tradisional dengan modern pada tiga hal : tindakan-tindakan sosial, orientasi terhadap perubahan dan berkembangnya organisasi dan diferensiasi.
Modern
• Tindakan Sosial lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihanpilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.
• Orientasi terhadap perubahan senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
• Berkembangnya organisasi dan diferensiasi. organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin maju
Tradisional
Tindakan2 Sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi, atau prescribed action.
Orientasi terhadap perubahan. perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun
Berkembangnya organisasi dan diferensiasi. membutuhkan organisasi yang sangat sede rhana, cakupannya terbatas, tugasnya juga terba tas
2. Pemetaan Sosio-Kultural-Politik
a. Postulat :
1) Bung Karno mengajukan suatu tesis mengenai kekuatan politik dalam perjuangan melawan kolonialisme yang menggabungkan aspek struktur sosial dan budaya yang dinamakan : Nasionalisme, Islamisme, Marxisme dan Marhaenis-Marhaen (Dibawah Bendera Revolusi Jilid I);
2) Clifford Geertz dengan mendasarkan penelitian untuk penulisan disertasinya yang dilakukan di Mojokuto (Pare, Kediri) membuat model masyarakat Jawa berdasarkan kultur yang dipengaruhi oleh sikap keberagamaan dan status sosialnya di masyarakat: Santri, Abangan, Priyayi (Religion of Java)
3) Herbert Feith yang mengkai pemikiran dan kekuatan politik Indonesia antara tahun 1945 hingga 1965 membuat klasifikasi kepartaian berdasarkan warna ideologisnya :Nasionalisme Radikal, Islam, Sosialisme-Demokrat, Komunisme, Hindu Jawa
4) Koentjaraningrat membagi struktur sosial ke dalam “wong sugih dan wong cilik”.
b. Simplifikasi Struktur dan Kultur
Struktur
1. Wong Sugih/Priyayi
2. Wong Cilik
Kultur
1. Santri
2. Abangan
c. Model empat kuadran
1. Priyayi-Santri
2. Priyayi-abangan
3. Wong cilik-santri
4. Wong cilik-abangan
d. Implikasi terhadap Ideologi dan Kepartaian
Priyayi Santri : Islam Modern (PKS, PBB, PAN)
Priyayi Abangan : Nasionalisme, Sosdem (PG, PD)
WongCilik Santri : Islam Tradisional (PKB, PPP)
Wong Cilik Abangan : Nasionalisme Radikal, Marhaenisme (PDI Perjuangan, PNI)
e. Pemilu
1) 1955 : PNI, Masyumi, NU, PKI, PSII
2) 1971 : Golkar, NU, PNI, PSII
3) 1977-1992: Golkar, PPP, PDI
4) 1999 : PDI Perjuangan, PG, PPP, PAN, PKB
5) 2004 : PG, PDI Perjuangan, PD, PKB, PAN, PKS
6) 2009 : PD, PG, PDI Perjuangan, PKS, PAN
3. Sosial Budaya Provinsi Jawa Barat
Silih Asih Silih Asuh Silih Asah adalah filsafat hidup yang dianut mayoritas penduduk Jawa Barat. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sejatinya, inilah suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi, yang akar filsafatnya menusuk jauh ke dalam bumi dalam pengertian hafiah. Berbeda dengan peradaban masyarakat lain di Nusantara, peradaban masyarakat Jawa Barat yang berpenduduk asli dan berbahasa Sunda sangat dipengaruhi oleh alam yang subur dan alami. Itulah sebabnya, dalam interaksi sosial, masyarakat di sana menganut falsafah seperti di kutip di atas.
Selain akrab dengan alam lingkungan dan sesama manusia, manusia Sunda juga dekat dengan Tuhan yang menciptakan mereka dan menciptakan alam semesta tempat mereka berkehidupan (Triangle of life). Keakraban masyarakat Sunda dengan lingkungan tampak dari bagaimana masyarakat Jawa Barat, khususnya di pedesaan, memelihara kelestarian lingkungan. Di provinsi ini banyak muncul anggota masyarakat yang atas inisiatif sendiri memelihara lingkungan alam mereka.
Keakraban masyarakat Jawa Barat dengan Tuhan, menyebabkan masyarakat di sana relatif dikenal sebagai masyarakat yang agamis, relijius, yang memegang teguh nilai-nilai ajaran agama yang mereka anut yakni agama Islam sebagai agama dengan penganut terbesar, kemudian Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, dan lainnya. Kendati demikian, dalam proses kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa Barat relatif terbuka saat berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang cenderung sekuler dalam suatu proses interaksi dinamis dan harmonis. Peningkatan kualitas kehidupan dan kerukunan umat beragama tergambarkan dengan meningkatnya sarana peribadatan.
Budaya Jawa Barat didominasi Sunda. Adat tradisionalnya yang penuh khasanah Bumi Pasundan menjadi cermin kebudayaan di sana. Perda Kebudayaan Jawa Barat bahkan mencantumkan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, kesenian, kepurbakalaan dan sejarahnya, nilai-nilai tradisional dan juga museum sebagai bagian dari pengelolaan kebudayaan. Bahasa daerah di Jawa
Barat yang diatur dalam Perda adalah Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon/Dermayon dan Bahasa Melayu-Betawi.
Untuk melestarikan budaya Jawa Barat, pemerintah daerah menetapkan 12 desa budaya, yakni desa khas yang di tata untuk kepentingan melestarikan budaya dalam bentuk adat atau rumah adat.
B. Strategi dan Taktik
Megawati Sukarnoputri :
Setiap kader harus memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi agar dapat memperjuangkan cita-cita kerakyatan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Kesadaran tersebut harus tercermin dalam kehidupan, dalam menentukan kebijakan, dalam tingkah laku, pergaulan sosial sampai tutur kata. Kesenjangan antra cita-cita Partai dan tingkah laku sosial kader harus dihindari.
Dalam amandemen pasal 32 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Amanat dari UUD 1945 tersebut telah jelas, namun upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan nasional membutuhkan strategi
1. Asas Jatidiri dan Watak Partai (Anggaran Dasar PDI Perjuangan) :
a. Partai berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.
b. Jati diri Partai adalah Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
c. Watak Partai adalah demokratis, merdeka, pantang menyerah dan terbuka.
2. Strategi :
a. Menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika
b. Memberdayakan wong cilik dalam demokrasi politik, ekonomi dan budaya.
c. “memajukan identitas dan kebudayaan nasional” ; “mendorong multikulturalisme’; dan ‘melindungi hak-hak masyarakat adat’ (indegenous people) dalam menghadapi globalisasi (Sikap dan kebijakan politik PDI Perjuangan).
3. Taktik :
a. Merangkul ormas, pemuda/mahasiswa, NGO yang memiliki akar ideologis yang sama.
b. Memelihara warisan budaya dan sejarah.
c. Memelihara keberagaman budaya.
d. Memelihara dan merevitalisasi nilai dan artikulasi budaya daerah.
e. Menolak penyeragaman dalam kebudayaan.
f. Menolak penafsiran tunggal terhadap agama, ideology negara dan kebudayaan nasional.
g. Menempatkan estetika (seni budaya) sebagai landasan pengembangan kepribadian bangsa.
h. Pengembangan pusat-pusat kebudayaan di daerah-daerah.
i. mempromosikan budaya lokal yang sesuai dengan pembentukan kepribadian nasional.
j. Penumbuhan etos kerja dan kebanggaan nasional.
4. Tujuan
Proses pembentukan karakter bangsa karena faktor-faktor budaya oleh Catell (Phares, 1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor yang membedakan karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan ketekunan (industriousness). Syntalitas membuat karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik secara individual maupun kolektif bangsa.
Salah satu kriteria kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Bung Karno (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”
C. Peran dan Fungsi Elit Sosial Politik dalam Mengatasai Konflik Sosial di Masyarakat
1. Siapakah Elit ?
a. Elit adalah orang yang mempunyai kekuatan besar dalam sistem politik nasional; biasanya jumlahnya sedikit, mungkin hanya tiga sampai empat persen dari jumlah populasi suatu bangsa. Pada para elit, melekat ciri-ciri : orang yang membentuk keputusan-keputusan utama dalam bidang politik dan ekonomi, para menteri, legislator, pemilik dan pengawas stasiun televisi dan radio, para penguasa bisnis, para pemilik properti yang besar, birokrat tingkat tinggi, para petinggi tentara, polisi dan intel, intelektual yang dikenal dan dipercaya publik, para profesionalis (pengacara dan dokter), editor media cetak utama dan lebih luas lagi sampai pada lembaga-lembaga sosial yeng berpengaruh, pimpinan asosiasi perdagangan/industri/usaha dan pergerakan ulama dan keagamaan, perguruan tinggi dan LSM. (Hossain and Moore, 2002).
b. Istilah bagi kelompok elit kerap kali juga tertukar-tukar dengan istilah untuk politisi, kandidat, in cumbent atau enterpreneur. Elit juga harus dibedakan dari kelompok menengah (middle class), karena middle class pada dasarnya lebih diorientasikan untuk kelompok bisnis kelas-kelas wirausaha, jadi ia merupakan bagian dari elit. (Chandra, 2006).
c. Elit tidaklah merupakan blok homogen, mereka bisa terbagi dalam etnis, fungsi, politik dan ekonomi. Dan pada banyak negara elit hampir selalu secara politik dan ekonomi memiliki keterkaitan dengan negara dan sering berkembang dalam hubungan yang erat dan atau senantiasa berada di lingkungan pusat kekuasaan negara (Ornert dan Hewitt, 2006).
2. Peran Elite ( menurut ajaran Ki Hajar Dewantara)
a. Ing ngarsa sung tuladha
Memberi keteladanan dalam memelihara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat bhinneka tunggal ika.
b. Ing madya mbangun karsa
Membangun prakarsa kegotongroyongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
c. Tut wuri handayani
Memberikungan dukungan pada pelaksanaan nilai-nilai budaya daerah yang telah menjadi kearifan lokal dalam menjaga integrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Metode Analisis Sosial dan Teknik Observasi dalam Mengantisipasi Perubahan Sosial dan Pergerseran Tata Nilai dalam Budaya
“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah ummat manusia”.
Capra (1998:3)
1. Perubahan Sosial
a. Pengertian
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[1][2] Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial)
b. Gejala-gejala penyebab perubahan
Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-ciri antara lain:[4]
1) Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami perubahan baik lambat maupun cepat.
2) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
3) Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri.
4) Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat.
c. Bentuk Perubahan
1) Perubahan evolusi
Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan.[5] Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[1] Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu.[1] Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.
2) Perubahan revolusi
Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya.[7] Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat.[7] Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.[7]
Syarat-syarat terjadinya Revolusi
Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat.[1] Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah[1]:
(1) Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.[1]
(2) Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.[1]
(3) Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.[1]
(4) Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut.[1]
(5) Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.[1]
2. Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya)
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
3. Konflik Sosial
Secara sosiologis, fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi, yaitu adanya kelas sosial yang disebut dengan pemilik produksi dan kelas sosial yang disebut dengan kelas buruh, dimana mereka memiliki kepentingan berbeda. Kemudian konflik sosial juga dapat terjadi disebabkan adanya penarikan legitimasi pada pihak yang menguasai oleh pihak yang dikuasai, dimana penarikan legitimasi ini berkaitan dengan masalah kesenjangan mobilitas sosial, dan tertumpuk atau terkonsentrasinya asset ekonomi, kekuasaan dan sosial pada orang atau kelompok yang sama. Selanjutnya, konflik sosial dapat terjadi disebabkan tidak berfungsinya struktur atau institusi tertentu, solidaritas atau integrasi sosial. http://www.depsos.go.id/unduh/litbang/Informasi%20Vol%2012,%20No.%2003%202007.pdf
4. Analisis
Untuk menganalisis dapat digunakan terori konflik dan analisis stratifikasi sosial.
a. Teori Konflik
memandang masyarakat itu merupakan arena perjuangan. Setiap orang dan
kelompok mempunyai interest dan berupayamewujudkannya. Karena itu, konflik akan selalu ada dalam masyarakat. Selanjutnya,secara umum dapat dikatakan bahwa teori konflik menekankan peranan kekuasaan (power) dalam menciptakan integrasi sosial, atau yang memungkinkan masyarakat itu tetap ada. Oleh sebab itu, dalam pandangan teori konflik, integrasi sosial itu bersifat temporer atau sementara, dimana kelompok yang dominan berhasil mempertahankan kekuasaannya dan keberlangsungan masyarakat yang ada. Setiap waktu, kesatuan ini terancam dan bisa runtuh manakala kelompok kekuatan yang tertindas berhasil menghimpun kekuatan dan melawan kelompok atau kelas yang dominan.
Dalam teori konflik, ide-ide atau ideologi dan norma dipandang sebagai alat (weapon) kaum penguasa (dominant class) untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri atau sistem sosial yang timpang (unequal) itu. Di sini kita mengenal jargon-jargon seperti “hegemony”, dan “ruling idea is the idea of the ruling class”.
5. Teknik Observasi
Metoda riset yang digunakan adalah studi kasus etnografis. Studi kasus etnografis melibatkan penggunaan observasi dan observasi partisipan yang disertai wawancara dan pembicaraan tak berstruktur. (Kuper &Kuper, 2000:657)
Studi etnografi (ethnographic studies) mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem. Meskipun makna budaya itu sangat luas, tetapi studi etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup (Sukmadinata, 2006: 62).
Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas. Hasil akhir penelitian komprehensif, suatu naratif deskriptif yang bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang menginterpretasikan seluruh aspek-aspek kehidupan dan menggambarkan kompleksitas kehidupan tersebut.
E. Sinergi dengan Stakeholders
Konflik sosial dapat diatasi, salah satunya dengan memberdayakan modal sosial yang ada di masyarakat.
1. Modal Sosial
Menyimak berbagai pengertian modal sosial kita bisa mendapatkan pengertian modal sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban, serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Di sini, dalam level mekanismenya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain.
Para kader PDI Perjuangan harus melakukan kerjasama dengan para pemangku kepentingan agar terjadi sinergi dalam mengatasi konflik di masyarakat. Di bawah ini dua pemangku kepentingan yang merupakan mitra dalam perjuangan : LSM dan Masyarakat Adat.
Social Bounding
Nilai, Kultur, Persepsi:
Simpati dan kepercayaan
Social linking
Institusi : (kelompok)
Ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan dan asosiasi
Social Bridging
Mekanisme : (aksi kelompok)
Tingkah laku kerjasama, sinergi
Sumber : Woolcock
2. Lembaga Swadaya
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. (Masyarakathttp://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Swadaya_Masyarakat)
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO).
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
• Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
• Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
• Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sbb :
• Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
• Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
• Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
• Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah
Sebuah laporan PBB tahun 1995 mengenai pemerintahan global memperkirakan ada sekitar 29.000 ONP internasional. Jumlah di tingkat nasional jauh lebih tinggi: Amerika Serikat memiliki kira-kira 2 juta ONP, kebanyakan dibentuk dalam 30 tahun terakhir. Russia memiliki 65.000 ONP. Lusinan dibentuk per harinya. Di Kenya, sekitar 240 NGO dibentuk setiap tahunnya.
3. Masyarakat Adat
Komunitas Masyarakat Adat terdapat di Desa budaya berikut:
1) Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung;
2) Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung;
3) Kampung Kuta, Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis;
4) Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi;
5) Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut;
6) Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut;
7) Kampung Adat Ciburuy, Desa Palamayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut;
8) Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya;
9) Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor;
10) Rumah Adat Citalang, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta;
11) Rumah Adat Lengkong, Desa Lengkong, Kecamatan Garangwangi, Kabupaten Kuningan;
12) Rumah Adat Panjalin, Desa Panjalin, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka.
A. Peta Masyarakat Indonesia : Struktur dan Kultur
1. Struktur dan Kultur
a. Struktur Sosial
Modern
(1) struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiangtiangmasyarakat adalah organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasukorganisasi profesional dan fungsional
(2) Se bagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan mene ngah; lapisan atas dan ba wah adalah minoritas.
(3) Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat suatu continuum
(4) Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun kebawah.
(5) Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan. Orang modern adalah orang organisasi” (organization man).
Tradisional
(1) kekerabatan, kesukuan, atau keaga maan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, organisasiorganisasiserupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup.
(2) Pada masyarakat tradisional dan pramodern, sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah.
(3) Dalam masyarakat tradisional pembatas antarstrata sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang melewati batas itu.
(4) Sebaliknya dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di atas.
b. Kultur
Ginandjar membedakan antara masyarakat tradisional dengan modern pada tiga hal : tindakan-tindakan sosial, orientasi terhadap perubahan dan berkembangnya organisasi dan diferensiasi.
Modern
• Tindakan Sosial lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihanpilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.
• Orientasi terhadap perubahan senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
• Berkembangnya organisasi dan diferensiasi. organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin maju
Tradisional
Tindakan2 Sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi, atau prescribed action.
Orientasi terhadap perubahan. perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun
Berkembangnya organisasi dan diferensiasi. membutuhkan organisasi yang sangat sede rhana, cakupannya terbatas, tugasnya juga terba tas
2. Pemetaan Sosio-Kultural-Politik
a. Postulat :
1) Bung Karno mengajukan suatu tesis mengenai kekuatan politik dalam perjuangan melawan kolonialisme yang menggabungkan aspek struktur sosial dan budaya yang dinamakan : Nasionalisme, Islamisme, Marxisme dan Marhaenis-Marhaen (Dibawah Bendera Revolusi Jilid I);
2) Clifford Geertz dengan mendasarkan penelitian untuk penulisan disertasinya yang dilakukan di Mojokuto (Pare, Kediri) membuat model masyarakat Jawa berdasarkan kultur yang dipengaruhi oleh sikap keberagamaan dan status sosialnya di masyarakat: Santri, Abangan, Priyayi (Religion of Java)
3) Herbert Feith yang mengkai pemikiran dan kekuatan politik Indonesia antara tahun 1945 hingga 1965 membuat klasifikasi kepartaian berdasarkan warna ideologisnya :Nasionalisme Radikal, Islam, Sosialisme-Demokrat, Komunisme, Hindu Jawa
4) Koentjaraningrat membagi struktur sosial ke dalam “wong sugih dan wong cilik”.
b. Simplifikasi Struktur dan Kultur
Struktur
1. Wong Sugih/Priyayi
2. Wong Cilik
Kultur
1. Santri
2. Abangan
c. Model empat kuadran
1. Priyayi-Santri
2. Priyayi-abangan
3. Wong cilik-santri
4. Wong cilik-abangan
d. Implikasi terhadap Ideologi dan Kepartaian
Priyayi Santri : Islam Modern (PKS, PBB, PAN)
Priyayi Abangan : Nasionalisme, Sosdem (PG, PD)
WongCilik Santri : Islam Tradisional (PKB, PPP)
Wong Cilik Abangan : Nasionalisme Radikal, Marhaenisme (PDI Perjuangan, PNI)
e. Pemilu
1) 1955 : PNI, Masyumi, NU, PKI, PSII
2) 1971 : Golkar, NU, PNI, PSII
3) 1977-1992: Golkar, PPP, PDI
4) 1999 : PDI Perjuangan, PG, PPP, PAN, PKB
5) 2004 : PG, PDI Perjuangan, PD, PKB, PAN, PKS
6) 2009 : PD, PG, PDI Perjuangan, PKS, PAN
3. Sosial Budaya Provinsi Jawa Barat
Silih Asih Silih Asuh Silih Asah adalah filsafat hidup yang dianut mayoritas penduduk Jawa Barat. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sejatinya, inilah suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi, yang akar filsafatnya menusuk jauh ke dalam bumi dalam pengertian hafiah. Berbeda dengan peradaban masyarakat lain di Nusantara, peradaban masyarakat Jawa Barat yang berpenduduk asli dan berbahasa Sunda sangat dipengaruhi oleh alam yang subur dan alami. Itulah sebabnya, dalam interaksi sosial, masyarakat di sana menganut falsafah seperti di kutip di atas.
Selain akrab dengan alam lingkungan dan sesama manusia, manusia Sunda juga dekat dengan Tuhan yang menciptakan mereka dan menciptakan alam semesta tempat mereka berkehidupan (Triangle of life). Keakraban masyarakat Sunda dengan lingkungan tampak dari bagaimana masyarakat Jawa Barat, khususnya di pedesaan, memelihara kelestarian lingkungan. Di provinsi ini banyak muncul anggota masyarakat yang atas inisiatif sendiri memelihara lingkungan alam mereka.
Keakraban masyarakat Jawa Barat dengan Tuhan, menyebabkan masyarakat di sana relatif dikenal sebagai masyarakat yang agamis, relijius, yang memegang teguh nilai-nilai ajaran agama yang mereka anut yakni agama Islam sebagai agama dengan penganut terbesar, kemudian Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, dan lainnya. Kendati demikian, dalam proses kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa Barat relatif terbuka saat berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang cenderung sekuler dalam suatu proses interaksi dinamis dan harmonis. Peningkatan kualitas kehidupan dan kerukunan umat beragama tergambarkan dengan meningkatnya sarana peribadatan.
Budaya Jawa Barat didominasi Sunda. Adat tradisionalnya yang penuh khasanah Bumi Pasundan menjadi cermin kebudayaan di sana. Perda Kebudayaan Jawa Barat bahkan mencantumkan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, kesenian, kepurbakalaan dan sejarahnya, nilai-nilai tradisional dan juga museum sebagai bagian dari pengelolaan kebudayaan. Bahasa daerah di Jawa
Barat yang diatur dalam Perda adalah Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon/Dermayon dan Bahasa Melayu-Betawi.
Untuk melestarikan budaya Jawa Barat, pemerintah daerah menetapkan 12 desa budaya, yakni desa khas yang di tata untuk kepentingan melestarikan budaya dalam bentuk adat atau rumah adat.
B. Strategi dan Taktik
Megawati Sukarnoputri :
Setiap kader harus memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi agar dapat memperjuangkan cita-cita kerakyatan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Kesadaran tersebut harus tercermin dalam kehidupan, dalam menentukan kebijakan, dalam tingkah laku, pergaulan sosial sampai tutur kata. Kesenjangan antra cita-cita Partai dan tingkah laku sosial kader harus dihindari.
Dalam amandemen pasal 32 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Amanat dari UUD 1945 tersebut telah jelas, namun upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan nasional membutuhkan strategi
1. Asas Jatidiri dan Watak Partai (Anggaran Dasar PDI Perjuangan) :
a. Partai berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.
b. Jati diri Partai adalah Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
c. Watak Partai adalah demokratis, merdeka, pantang menyerah dan terbuka.
2. Strategi :
a. Menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika
b. Memberdayakan wong cilik dalam demokrasi politik, ekonomi dan budaya.
c. “memajukan identitas dan kebudayaan nasional” ; “mendorong multikulturalisme’; dan ‘melindungi hak-hak masyarakat adat’ (indegenous people) dalam menghadapi globalisasi (Sikap dan kebijakan politik PDI Perjuangan).
3. Taktik :
a. Merangkul ormas, pemuda/mahasiswa, NGO yang memiliki akar ideologis yang sama.
b. Memelihara warisan budaya dan sejarah.
c. Memelihara keberagaman budaya.
d. Memelihara dan merevitalisasi nilai dan artikulasi budaya daerah.
e. Menolak penyeragaman dalam kebudayaan.
f. Menolak penafsiran tunggal terhadap agama, ideology negara dan kebudayaan nasional.
g. Menempatkan estetika (seni budaya) sebagai landasan pengembangan kepribadian bangsa.
h. Pengembangan pusat-pusat kebudayaan di daerah-daerah.
i. mempromosikan budaya lokal yang sesuai dengan pembentukan kepribadian nasional.
j. Penumbuhan etos kerja dan kebanggaan nasional.
4. Tujuan
Proses pembentukan karakter bangsa karena faktor-faktor budaya oleh Catell (Phares, 1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor yang membedakan karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan ketekunan (industriousness). Syntalitas membuat karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik secara individual maupun kolektif bangsa.
Salah satu kriteria kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Bung Karno (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”
C. Peran dan Fungsi Elit Sosial Politik dalam Mengatasai Konflik Sosial di Masyarakat
1. Siapakah Elit ?
a. Elit adalah orang yang mempunyai kekuatan besar dalam sistem politik nasional; biasanya jumlahnya sedikit, mungkin hanya tiga sampai empat persen dari jumlah populasi suatu bangsa. Pada para elit, melekat ciri-ciri : orang yang membentuk keputusan-keputusan utama dalam bidang politik dan ekonomi, para menteri, legislator, pemilik dan pengawas stasiun televisi dan radio, para penguasa bisnis, para pemilik properti yang besar, birokrat tingkat tinggi, para petinggi tentara, polisi dan intel, intelektual yang dikenal dan dipercaya publik, para profesionalis (pengacara dan dokter), editor media cetak utama dan lebih luas lagi sampai pada lembaga-lembaga sosial yeng berpengaruh, pimpinan asosiasi perdagangan/industri/usaha dan pergerakan ulama dan keagamaan, perguruan tinggi dan LSM. (Hossain and Moore, 2002).
b. Istilah bagi kelompok elit kerap kali juga tertukar-tukar dengan istilah untuk politisi, kandidat, in cumbent atau enterpreneur. Elit juga harus dibedakan dari kelompok menengah (middle class), karena middle class pada dasarnya lebih diorientasikan untuk kelompok bisnis kelas-kelas wirausaha, jadi ia merupakan bagian dari elit. (Chandra, 2006).
c. Elit tidaklah merupakan blok homogen, mereka bisa terbagi dalam etnis, fungsi, politik dan ekonomi. Dan pada banyak negara elit hampir selalu secara politik dan ekonomi memiliki keterkaitan dengan negara dan sering berkembang dalam hubungan yang erat dan atau senantiasa berada di lingkungan pusat kekuasaan negara (Ornert dan Hewitt, 2006).
2. Peran Elite ( menurut ajaran Ki Hajar Dewantara)
a. Ing ngarsa sung tuladha
Memberi keteladanan dalam memelihara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat bhinneka tunggal ika.
b. Ing madya mbangun karsa
Membangun prakarsa kegotongroyongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
c. Tut wuri handayani
Memberikungan dukungan pada pelaksanaan nilai-nilai budaya daerah yang telah menjadi kearifan lokal dalam menjaga integrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Metode Analisis Sosial dan Teknik Observasi dalam Mengantisipasi Perubahan Sosial dan Pergerseran Tata Nilai dalam Budaya
“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah ummat manusia”.
Capra (1998:3)
1. Perubahan Sosial
a. Pengertian
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[1][2] Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial)
b. Gejala-gejala penyebab perubahan
Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-ciri antara lain:[4]
1) Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami perubahan baik lambat maupun cepat.
2) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
3) Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri.
4) Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat.
c. Bentuk Perubahan
1) Perubahan evolusi
Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan.[5] Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[1] Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu.[1] Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.
2) Perubahan revolusi
Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya.[7] Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat.[7] Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.[7]
Syarat-syarat terjadinya Revolusi
Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat.[1] Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah[1]:
(1) Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.[1]
(2) Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.[1]
(3) Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.[1]
(4) Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut.[1]
(5) Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.[1]
2. Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya)
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
3. Konflik Sosial
Secara sosiologis, fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi, yaitu adanya kelas sosial yang disebut dengan pemilik produksi dan kelas sosial yang disebut dengan kelas buruh, dimana mereka memiliki kepentingan berbeda. Kemudian konflik sosial juga dapat terjadi disebabkan adanya penarikan legitimasi pada pihak yang menguasai oleh pihak yang dikuasai, dimana penarikan legitimasi ini berkaitan dengan masalah kesenjangan mobilitas sosial, dan tertumpuk atau terkonsentrasinya asset ekonomi, kekuasaan dan sosial pada orang atau kelompok yang sama. Selanjutnya, konflik sosial dapat terjadi disebabkan tidak berfungsinya struktur atau institusi tertentu, solidaritas atau integrasi sosial. http://www.depsos.go.id/unduh/litbang/Informasi%20Vol%2012,%20No.%2003%202007.pdf
4. Analisis
Untuk menganalisis dapat digunakan terori konflik dan analisis stratifikasi sosial.
a. Teori Konflik
memandang masyarakat itu merupakan arena perjuangan. Setiap orang dan
kelompok mempunyai interest dan berupayamewujudkannya. Karena itu, konflik akan selalu ada dalam masyarakat. Selanjutnya,secara umum dapat dikatakan bahwa teori konflik menekankan peranan kekuasaan (power) dalam menciptakan integrasi sosial, atau yang memungkinkan masyarakat itu tetap ada. Oleh sebab itu, dalam pandangan teori konflik, integrasi sosial itu bersifat temporer atau sementara, dimana kelompok yang dominan berhasil mempertahankan kekuasaannya dan keberlangsungan masyarakat yang ada. Setiap waktu, kesatuan ini terancam dan bisa runtuh manakala kelompok kekuatan yang tertindas berhasil menghimpun kekuatan dan melawan kelompok atau kelas yang dominan.
Dalam teori konflik, ide-ide atau ideologi dan norma dipandang sebagai alat (weapon) kaum penguasa (dominant class) untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri atau sistem sosial yang timpang (unequal) itu. Di sini kita mengenal jargon-jargon seperti “hegemony”, dan “ruling idea is the idea of the ruling class”.
5. Teknik Observasi
Metoda riset yang digunakan adalah studi kasus etnografis. Studi kasus etnografis melibatkan penggunaan observasi dan observasi partisipan yang disertai wawancara dan pembicaraan tak berstruktur. (Kuper &Kuper, 2000:657)
Studi etnografi (ethnographic studies) mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem. Meskipun makna budaya itu sangat luas, tetapi studi etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup (Sukmadinata, 2006: 62).
Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas. Hasil akhir penelitian komprehensif, suatu naratif deskriptif yang bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang menginterpretasikan seluruh aspek-aspek kehidupan dan menggambarkan kompleksitas kehidupan tersebut.
E. Sinergi dengan Stakeholders
Konflik sosial dapat diatasi, salah satunya dengan memberdayakan modal sosial yang ada di masyarakat.
1. Modal Sosial
Menyimak berbagai pengertian modal sosial kita bisa mendapatkan pengertian modal sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban, serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Di sini, dalam level mekanismenya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain.
Para kader PDI Perjuangan harus melakukan kerjasama dengan para pemangku kepentingan agar terjadi sinergi dalam mengatasi konflik di masyarakat. Di bawah ini dua pemangku kepentingan yang merupakan mitra dalam perjuangan : LSM dan Masyarakat Adat.
Social Bounding
Nilai, Kultur, Persepsi:
Simpati dan kepercayaan
Social linking
Institusi : (kelompok)
Ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan dan asosiasi
Social Bridging
Mekanisme : (aksi kelompok)
Tingkah laku kerjasama, sinergi
Sumber : Woolcock
2. Lembaga Swadaya
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. (Masyarakathttp://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Swadaya_Masyarakat)
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO).
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
• Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
• Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
• Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sbb :
• Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
• Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
• Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
• Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah
Sebuah laporan PBB tahun 1995 mengenai pemerintahan global memperkirakan ada sekitar 29.000 ONP internasional. Jumlah di tingkat nasional jauh lebih tinggi: Amerika Serikat memiliki kira-kira 2 juta ONP, kebanyakan dibentuk dalam 30 tahun terakhir. Russia memiliki 65.000 ONP. Lusinan dibentuk per harinya. Di Kenya, sekitar 240 NGO dibentuk setiap tahunnya.
3. Masyarakat Adat
Komunitas Masyarakat Adat terdapat di Desa budaya berikut:
1) Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung;
2) Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung;
3) Kampung Kuta, Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis;
4) Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi;
5) Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut;
6) Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut;
7) Kampung Adat Ciburuy, Desa Palamayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut;
8) Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya;
9) Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor;
10) Rumah Adat Citalang, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta;
11) Rumah Adat Lengkong, Desa Lengkong, Kecamatan Garangwangi, Kabupaten Kuningan;
12) Rumah Adat Panjalin, Desa Panjalin, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka.
Kamis, 03 Maret 2011
PELESTARIAN BUDAYA DAERAH MELALUI PENDIDIKAN DI PROVINSI JAWA BARAT
Harjoko Sangganagara
Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Dikembangkan dalam Pendidikan
Bahasa Sastra dan Aksara Daerah
Bahasa, sastra dan aksara daerah merupakan wujud kebudayaan daerah yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang tidak terpermanai. Di samping itu bahasa, sastra dan aksara daerah merupakan unsur kebudayaan daerah dan bagian dari kebudayaan nasional yang berperan dalam meninggikan martabat dan peradaban bangsa. Menurut Pusat Bahasa, di Indonesia ada 749 bahasa daerah. Untuk melestarikan, membina serta mengembangkannya maka pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah yang ada di Jawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003. Dinas Pendidikan diberi tanggungjawab dalam pendidikan dan pengajaran bahasa, sastra dan aksara daerah, sedangkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bertanggungjawab dalam memeliharanya.
Bahasa Daerah yang digunakan oleh penduduk di Provinsi Jawa Barat sangat beragam karena Jawa Barat dihuni tidak hanya oleh suku bangsa Sunda, Betawi dan Cirebon tetapi juga oleh para pendatang dari berbagai daerah dengan bahasa daerahnya masing-masing. Dari observasi lapangan diketahui bahasa daerah yang banyak digunakan oleh penduduk adalah bahasa Sunda, Jawa, Padang, Batak, Cirebon, Melayu-Betawi, Palembang, Madura, Bugis dan lain-lain.
Bahasa daerah Sunda masih digunakan sebagai bahasa media, seperti majalah Mangle dan Koran Kujang. Di televisi dan radio masih dijumpai digunakan sebagai bahasa dalam siaran berita. Tidak dijumpai adanya majalah atau surat kabar yang sepenuhnya menggunakan Bahasa Cirebon dan Melayu-Betawi, namun ekspansi bahasa Melayu-Betawi yang memang digunakan sebagai bahasa pergaulan masyarakat Jakarta merambah di hampir semua siaran televisi maupun radio di seluruh Jawa Barat sebagai bahasa pengantar yang dibawakan oleh penyiar atau presenter.
Pada aspek pelestarian bahasa dan sastra daerah terdapat tiga bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Jawa Barat yaitu Bahasa Sunda dengan jumlah penutur 75% dari penduduk Jawa Barat,umumnya digunakan di Wilayah Priangan, Jawa Barat bagian Tengah dan Bandung Raya; Bahasa Cirebon dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat umumnya digunakan di Wilayah Cirebon dan Bahasa Melayu-Betawi dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat dan berada di Wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan sebagian Karawang.
Bahasa daerah yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa bahasa Sunda, Cirebon dan Melayu-Betawi yang dalam prakteknya disesuaikan dengan mayoritas penduduk di wilayah di mana bahasa tersebut digunakan sebagai bahasa ibu. Bahasa Sunda diajarkan di wilayah Bogor dan Priangan , bahasa Cirebon diajarkan di wilayah Cirebon dan bahasa Melayu-Betawi diajarkan di wilayah Bogor Debek Bekasi (Bodebek).
Sastra berkait dengan bahasa. Sastra Daerah menggunakan bahasa daerah sebagai media. Sastra daerah ada yang tradisional dan ada pula yang kontemporer.
Sastra daerah yang menggunakan bahasa Sunda paling nampak pada tembang Cianjuran, sisindiran, kakawihan, wayang golek. Wayang golek dan tembang Cianjuran masih dapat ditemukan digelar pada acara-acara yang diselenggarakan instansi pemerintah, tetapi lebih banyak dijumpai disiarkan oleh televisi dan radio. Sedangkan sastra daerah yang kontemporer dapat ditemukan pada buku-buku sastra, majalah berbahasa Sunda, dan Koran lokal dalam bentuk cerita pendek, novel maupun puisi. Koran Tribun Jabar setiap sabtu memuat cerita pendek yang berbahasa Sunda dan nampaknya masih menunjukkan banyaknya sastrawan Sunda terlihat dari pemuatan cerita pendek yang berkelanjutan dengan tema cerita yang beragam.
Sastra dalam bahasa Cirebon dalam bentuk tulisan ditemui pada puisi-puisi yang sangat terbatas jumlahnya, antara lain yang ditulis sastrawan Subhanudin Alwy. Sastra Cirebon dan Melayu-Betawi lebih banyak ditemui pada sastra lisan yang disiarkan lewat radio.
Bahasa dan sastra bisa berbentuk lisan maupun tulisan yang berkaitan dengan penggunaan aksara. Aksara Daerah di Jawa Barat setidaknya ada dua macam : Cacarakan dan Aksara Sunda Kaganga yang dikreasi dari Aksara Sunda Kuno. Cacarakan atau Hanacaraka berasal dari huruf Jawa yang dimodifikasi menjadi Aksara Sunda oleh Roorda tahun 1835 (Darsa, 2003: xix). Belakangan Aksara Sunda tidak lagi menggunakan cacarakan tetapi menggunakan Aksara Sunda Kaganga yang terdiri dari 32 huruf yang terdiri dari tujuh aksara swara (vocal mandiri) dan 25 aksara ngalagena (konsonan). Cacarakan atau hanacaraka kini tetap digunakan sebagai aksara daerah di Cirebon dan Indramayu.
Kesenian daerah
Kesenian daerah merupakan karya estetik hasil perwujudan kreativitas daya cipta, rasa, karsa dan karya yang hidup dan berakar di Daerah Jawa Barat baik tradisional maupun kontemporer. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 dibuat untuk memelihara kesenian tersebut. Pendidikan kesenian diserahkan pada Dinas Pendidikan sedangkan pelestarian, pengembangan pemanfaatan dan apresiasi karya seni serta penghargaan terhadap seniman diserahkan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pemeliharaan kesenian diarahkan pada nilai yang bermanfaat bagi teerwujudnya pembangunan manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Jenis kesenian tradisional yang ada di Jawa Barat 391 jenis dari 35 rumpun seni. Dari jumlah tersebut yang dapat dikategorikan sebagai seni sangat berkembang sebanyak 39 buah, berkembang 61 buah, tidak berkembang 248 buah dan yang mengalami kepunahan 43 buah.
Kesenian yang diajarkan di sekolah terbatas pada beberapa jenis saja tergantung pada ketersediaan guru dan peralatan yang ada, antara lain degung, angklung, calung dan tari jaipongan di wilayah Priangan. Sedangkan di wilayah Cirebon yang diajarkan adalah gamelan dan beberapa tarian seperti tari topeng.
Warisan budaya, sejarah, nilai tradisional
Wilayah Jawa Barat banyak menyimpan peninggalan kepurbakalaan, kesejarahan dan nilai tradisional yang beranekaragam dan mencerminkan karakter masyarakat Jawa Barat. Di samping itu banyak pula museum sebagai tempat penyimpanan peninggalan-peninggalan budaya tersebut. Perda Nomor 7 Tahun 2003 dibuat untuk mengatur pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum.
Jumlah situs/cagar budaya yang ada di Jawa Barat seluruhnya 1.309 buah dan jumlah tersebut baru 60% yang terpelihara dengan baik sedangkan 40% kurang terpelihara karena berada di wilayah yang sulit dijangkau moda transportasi dan atau tidak ada juru pemelihara situs.
Tabel 1 Kearifan Lokal Jawa Barat
Subkultur Kearifan Lokal Media Pembinaan Peraturan Daerah yang Mengatur
1.Sunda
2.Cirebon
3.Melayu/Betawi 1. Bahasa
2.Sastra
3.Aksara Sekolah
Perda Nomor 5 Tahun 2003
4.Kesenian Sekolah Perda Nomor 6 Tahun 2003
5.Warisan Budaya
6.Sejarah
7.Nilai Tradisiona Museum
Perda Nomor 7 Tahun 2003
Sumber : Produk DPRD Propinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Tahun 2003 Keputusan Dewan dan Pimpinan Dewan Tahun 2003 (Diolah kembali).
Media untuk untuk memeliharan dan mengembangkan kearifan lokal yang diatur oleh Peraturan Daerah adalah sekolah dan museum. Museum yang ada di Jawa Barat sebanyak 27 buah museum terdiri dari sebuah museum umum yaitu Museum Sri Baduga di Bandung dan 27 buah museum khusus yang menyebar di wilayah Jawa Barat. Tingkat kunjungan ke museum bisa dikatakan masih rendah. Museum Sri Baduga hanya dikunjungi 170 orang dari mancanagara dan 156.314 orang dari Nusantara pada tahun 2009.
Fakta menunjukkan bahwa media massa seperti media cetak dan media audio-visual (televisi) memainkan peran yang sangat penting dalam memelihara dan mengembangkan budaya daerah di Jawa Barat, namun belum terakomodasi dalam peraturan daerah dan konsekuensinya belum memiliki akses terhadap alokasi anggaran daerah. Sejauh yang ini hanya TVRI Jawa Barat yang memperoleh alokasi anggaran itupun melalui program yang dibuat pemerintah provinsi, sementara bantuan langsung tidak dapat dilakukan karena aturan yang melarang pemberian bantuan pada instansi-instansi vertical. TVRI Jawa Barat sebagai LPP (Lembaga Penyiaran Publik) dianggap sebagai instansi vertikal.
Program Pembangunan Bidang Kebudayaan
Program pada bidang kebudayaan terdiri dari satu program dengan Sembilan kegiatan dan 54 hasil kegiatan
Pembangunan kebudayaan tidak hanya dalam bentuk program tetapi juga dalam bentuk perhatian dan bantuan Gubernur. Periode 2009, Gubernur Jawa Barat telah membentikan bantuan keuangan ke-15 sanggar seni di Jawa Barat. Salah satunya diberikan pada AWI (Angklung Web Institute) sehingga dapat mementaskan angklung dan musik bambu di teater terbuka Esplenade Singapura akhir tahun 2009, yang merupakan ajang bagi siswa untuk menunjukkan kreasi dan apresiasinya terhadap kebudayaan daerah.
Beberapa permasalahan yang muncul dari hasil pengamatan adalah kecenderungan makin melemahnya penggunaan bahasa daerah; semakin menurunnya tingkat apresiasi budaya daerah; menurunnya riset-riset nilai-nilai budaya daerah oleh akademisi dan praktisi kebudayaan; kurang terpeliharanya beberapa dokumen sejarah, artefak-artefak dan petilasan masa lampau; kurangnya pemahaman dan penghayaran sebagian besar masyarakat khususnya para pelajar terhadap makna filosofi dan nilai yang terkandung dalam budaya local serta kurangnya respond an apresiasi masyarakat terhadap kegiatan yang bernuansa budaya lokal.
Untuk mengatasi persoalan tersebut Gubernur berpandangan diperlukan upaya peningkatan frekuensi kegiatan apresiasi bahasa dan sastra daerah pada generasi muda; peningkatan pembinaan terhadap budaya daerah dalam rangka menetralisir nilai-nilai yang kurang relevan dengan kepribagian masyarakat Jawa Barat melalui pembinaan budaya yang berkelanjutan; peningkatan upaya inventarisasi dan dokumentasi terhadap naskah kuna, dokumen sejarah dan benda-benda tinggalan sejarah dan budaya; peningkatan apresiasi terhadap koleksi dan benda-benda museum kepada generasi muda melalui pameran permuseuman; peningkatan kegiatan /event kesenian dan kebudayaan di sekolah-sekolah, kurikulum yang berbasis budaya lokal harus diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan sekolah; perlu adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menyinergikan pemerintah dengan stakeholder kebudayaan dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Untuk penjaminan mutu pendidikan berbasis kearifan lokal, Pemprov Jawa Barat berupaya meningkatkan kualitas dari proses dan output pendidikan dengan menggunakan strategi: menetapkan tolok ukur peningkatan mutu pendidikan; dan pembagian peran OPD.
Tolok ukur peningkatan mutu pendidikan
Peningkatan mutu dilihat dari hal-hal sebagai berikut : (1) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan formal, non formal dan infornal; (2) meningkatnya kualitas tata kelola pendidikan yang efektif dan berbasis kompetensi serta berorientasi pada kualitas lulusan; (3) meningkatnya penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) terwujudnya jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk dilakukan upaya-upaya prioritas sebagai berikut :
1. Pendidikan gratis bagi masyarakat melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan sasaran meningkatnya APM SD/MI, APM SMP/MI, meningkatnya angka melanjutkan SD ke SMP, terpenuhinya kebutuhan ruang kelas dan bantuan bea siswa bagi siswa SMP/MTs.
2. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dengan sasaran : meningkatnya daya tampung SMP SD berstandar nasional, SMP SBI, tersedianya pedoman pembinaan dan pengembangan budi pekerti, tersedianya buku teks pelajaran KTSP.
3. Manajemen pelayanan pendidikan dengan sasaran : kesejahteraan guru, kompetensi pendidik, jumlah sekolah terakreditasi, jumlah guru berkualifikasi S1, guru mengikuti sertifikasi, buku laporan pendidikan, pemahaman penyelenggaraan pendidikan tentang MBS, wawasan pendidik tentang kurikulum, pelayanan terhadap data/informasi, meningkatnya mutu UN/UASBN, peran perpustakaan.
4. Mencanangkan wajib belajar 12 tahun.
5. Meningkatkan kemampuan dan budaya baca dan meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan berbasis teknologi informasi (RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013, IV-8 – IV-13).
6. Meningkatkan upaya revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang selaras dengan perkembangan zaman melalui program pengembangan nilai budaya dengan sasaran termanfaatkannya nilai-nilai tradisional, peninggalan kesejarahan, kepurbakalaan dan museum bagi pengembangan budaya daerah serta meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa, sastra dan aksara daerah.
7. Mengembangkan jenis dan bentuk kegiatan pembangunan kebudayaan yang mampu secara nyata berkontribusi terhadap penignkatan apresiasi dan kesejahteraan masyarakat melalui program pengelolaan kekayaan dan keragaman budaya dengan sasaran meningkatknya pengelolaan keragaman dan kekayaan budaya daerah. Meningkatnya pengelolaan dan pengakuan atas hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam bidang seni dan budaya; meningkatnya apresiasi seni dan budaya daerah di kalangan pemerintah, masyarakat dan swasta.
Pembagian peran Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
Untuk mencapai mutu yang telah ditetapkan maka dibuatlah pembagian peran OPD. Pembagian peran OPD dibuat berdasarkan sasaran pada misi yang ingin dicapai. Pendidikan berbasis kearifan local berada pada Misi 1 yaitu “mewujudkan sumber daya manusia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing” dengan sasaran penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun dan rintisan wajar 12 tahun, penuntasan bebas buta aksara, peningkatan kualitas hidup beragama dan revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan local. Untuk mencapai sasaran itu ada OPD Utama, OPD Mitra Utama, OPD Pendukung Penjaminan Mutu dan Akuntabilitas dan OPD Pendukung Umum.
Dari gambaran di atas nampaklah bahwa peningkatan mutu diupayakan dengan meningkatkan kualitas proses pendidikan dan output pendidikan. Proses pendidikan ditingkatkan kualitasnya dengan meningkatkan kompetensi guru dan siswa, memperbaiki sarana dan prasarana termasuk TIK, serta meningkatkan koordinasi supervisi monitoring dan evaluasi. Tujuannya agar siswa memiliki jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas Dinas Pendidikan serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kemudian berkoordinasi dengan Pemerintah Kota dan Kabupaten karena sekolah-sekolah berada dalam kewenangan pemerintah kota dan kabupaten. Selanjutnya Dinas melibatkan masyarakat seperti seniman dan budayawan serta masyarakat umum.
Untuk menjamin akuntabilitas dan peningkatan mutu maka ada OPD seperti Inspektorat, Bappeda, Asissten dan Biro-biro yang melakukan pengarahan, pembinaan, dan pengawasan. Untuk memastikan semua dapat berjalan ada OPD pendukung dalam penyediaan pegawai yang kompeten, pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum serta humas.
Koordinasi dengan pemerintah Kota dan Kabupaten merupakan hal yang tidak mudah di era otonomi daerah, karena ada pandangan bahwa dengan otonomi daerah tersebut Kota dan Kabupaten tidak lagi memiliki keterikatan hirarkhis dengan Provinsi. Karena itu dibuatlah kesepakatan antara Gubernur dengan Walikota dan Bupati se-Jawa Barat untuk menyinergikan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk di bidang pendidikan. Kesepakatan dibuat tahun 2008 yang isinya antara lain bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten memberikan prioritas untuk membiayai pembangunan bidang pendidikan dengan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota atau sumber dana lainnya. Besarnya kontribusi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan dan pencapaian target disesuaikan secara proporsional berdasarkan karakteristik dan masalah yang dihadapi.
Perhatian Sekolah terhadap Kearifan Lokal
Strategi yang dibuat Pemerintah Provinsi maupun peraturan perundang-undangan mengenai budaya daerah yang telah ditetapkan tidak akan bisa dijalankan jika sekolah sebagai pelaksana pendidikan tidak memiliki komitmen untuk mendukung kebijakan pendidikan berbasis kearifan lokal tersebut. Oleh karena itu maka perhatian sekolah menjadi sangat penting untuk diteliti. Perhatian sekolah terhadap pendidikan berbasis kearifan lokal nampak dari dari hal-hal berikut ini :
Kurikulum
Kurikulum pengajaran Bahasa Sunda di sekolah telah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah tahun 2006. Dengan kurikulum ini siswa diarahkan untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran di kelas. (“Dina kurikulum ayeuna siswa diperedih langkung aktif dina proses pembelajaran di kelas. Jalaran kitu, buku pengajaran kedah tiasa ngahudang para siswa langkung motekar diajar sorangan”).
Guru
Guru yang mengajarkan bahasa dan kesenian daerah di Kelas I sampai IV adalah guru kelas, yang kompetensi pada mata pelajaran yang yang diajarkan belum memadai. Baru di Kelas V hingga kelas IX diajar oleh Guru Mata Pelajaran, meskipun belum seluruhnya merupakan guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang relevan terutama pada sekolah-sekolah swasta.
Dengan segala keterbatasannya para guru melakukan upaya untuk mengefektifkan pembelajaran. Di beberapa sekolah ada guru yang membimbing siswa mementaskan drama dengan bahasa daerah. Pementasan mereka ada yang disponsori Dinas Pariwisata dan dipertunjukkan dalam program tahunan yang sudah dirancang. Beberapa orang guru mengajak siswa untuk menyaksikan pertunjukan dengan membeli tiket pertunjukan baik di Rumentang Siang atau Taman Budaya Jawa Barat maupun di tempat-tempat lain.
Di Cirebon teater semacam ini acapkali dipentaskan di Gua Sunyaragi, sebuah situs cagar budaya peninggalan kesultanan Cirebon. Di Bandung sering dilakukan lomba teater berbahasa Sunda di kampus-kampus seperti STSI, Unpad, Unpas dan UPI yang biasanya diikuti sekolah-sekolah yang ada di Jawa Barat.
Sarana dan prasarana
Buku yang digunakan di beberapa sekolah terdiri dari dua buah: “Nyangkem Basa Pangajaran Basa Sunda Pikeun SMP Kelas VIII” dan “Lancar Basa Sunda Pangajaran Basa Sunda Pikeun Murid SMP/MTS (Materi sareng LKS)” . Buku tersebut sudah disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) 2006 Pengajaran Bahasa dan Sastra Sunda. Isinya berpusat pada empat aspek ketrampilan bahasa : “ngaregepkeun, nyarita, maca jeung nulis” (memperhatikan, bercerita, membaca dan menulis).
Buku pelajaran dan LKS (lembar kerja siswa) serta alat-alat kesenian seperti gamelan masih merupakan kendala dalam pengajaran. Buku-buku masiah relatif mahal dan alat-alat kesenian tidak dapat dimiliki oleh semua sekolah. Dengan demikian guru harus melakukan upaya untuk mengatasi hal tersebut misalnya dengan meminta siswa membawa alat musik tradisional seperti seruling yang terbuat dari bambu atau alat-alat musik lainnya.
Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM)
Nilai minimal untuk Bahasa Daerah pada SMP ditetapkan dalam standar ketuntasan belahar minimal yang ditetapkan sekolah yaitu 6,50 sama dengan nilai untuk mata pelajaran Bahasa Inggris . Itu berarti jika siswa memperoleh nilai di bawah 6,50 maka dikategorikan belum tuntas belajar (nilai di bawah SKBM). Sedangkan SKBM untuk Bahasa Daerah pada jenjang SD adalah 6,3. Bahasa Daerah pada umumnya dimasukkan ke dalam Muatan Lokal bersama pelajaran lainnya seperti Bahasa Inggris dan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Peran Kepala Sekolah
Dalam implementasi pendidikan berbasis kearifan lokal di sekolah maka peran Kepala Sekolah sangat penting karena posisinya sebagai administrator dan manajer yang mengarahkan kebijakan dan mengalokasikan sumber daya yang ada di sekolah untuk efektifitas pembelajaran.
Untuk menjalankan perannya itu kepala sekolah memerlukan ketrampilan memimpin sekolah yang meliputi seluruh aspek dalam pengelolaan sekolah seperti : dasar-dasar manajemen, kepemimpian kepala sekolah, manajemen komunikasi, manajemen waktu, system informasi manajemen, asesmen sekolah, menyusun rencana pengembangan sekolah, manajemen kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan, manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah, manajemen laboratorium, manajemen perpustakaan, manajemen bimbingan dan konseling, supervisi akademik, membentuk disiplin sekolah, meningkatkan motivasi belajar siswa, mendorong orang tua berperan aktif dalam program sekolah, mengaktifkan Dewan Sekolah, membangun hubungan baik dengan masyarakat, kewiraswastaan dalam pendidikan, mengelola perubahan di sekolah, manajemen mutu terpadu, manajemen peningkatan mutu dan manajemen konflik. Dasar-dasar manajmenen tersebut dipandu dengan buku pegangan yang diterbitkan oleh Ditmenum Ditjen Dikdasmen Depdikbud (1999).
Seorang kepala sekolah yang diwawancarai mengungkapkan kegalauan mengenai perilaku siswa yang disinyalir kurang menghargai budaya daerah maupun budi pekerti. Pengajaran bahasa, sastra serta kesenian daerah diharapkan dapat memberikan kearifan lokal bagi siswa dan dapat mempengaruhi perilaku maupun karakter sebagaimana yang diharapkan. Bahasa daerah diyakininya memiliki kemampuan menghaluskan pekerti dan rasa sehingga melahirkan perilaku halus, hormat dan santun dalam pergaulan baik sesama teman maupun dengan orang tua.
Pemenuhan Keinginan Masyarakat Lokal
Pendidikan nilai kedaerahan merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya krisis (Setia, Beni, Pikiran Rakyat, November 2009), yakni “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”. Lebih jauh Setia mengatakan bahwa kelas menengah kota mutakhir di tengah konteks Indonesia baru sama sekali tidak punya kesadaran budaya – baik itu yang lokal Sunda, nasional Indonesia, atau internasional Barat. Generasi yang hanya tahu bersenang-senang di tengah budaya pop yang melulu menjanjikan keterhiburan dan pergantian trend yang cepat, sambil saling sikut atau berkomplot untuk memperoleh legalitas untuk memuaskan insting mereguk nikmat kuasa dan power secara instan. Generasi dekaden yang tidak sadar mengabaikan bahasa Sunda – karena tren di televisi merujuk ke bahasa non-Sunda—yang menyebabkan bahasa Sunda terlantar.
Persoalan kegamangan yang berkaitan dengan jatidiri diungkap pula oleh Paskarina, Carolina seorang akademisi yang mengatakan bahwa Ki Sunda “termajinalisasi di rumahnya sendiri”. Sebagai etnis kedua terbesar di Indonesia, ternyata tidak banyak orang Sunda yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Jawa Barat merupakan daerah yang memiliki perguruan tinggi terbanyak di Indonesia, tapi rata-rata lama sekolah warganya hanya 7,82 tahun, artinya kesempatan bersekolah ternyata lebih banyak dinikmati oleh orang-orang luar Jawa Barat. Di tengah kondisi seperti itu, kekecewaan terhadap kondisi eksisting menjadi sangat kuat di kalangan masyarakat Jawa Barat, yang kemudian mengarah pada ketidakpercayaan terhadap otoritas pemerintah. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Di sisi lain, institusi-institusi yang dianggap merepresentasikan pemerintah justru memperlihatkan perilaku menyimpang, seperti melakukan korupsi, kolusi, nepotisme. Para elit saling berebut kekuasaan dan sebagainya. Makin carut marutnya penyelenggaraan politik dan pemerintahan, perubahan sosial dan budaya, lalu melahairkan reaksi kencang berupa ketidakpercayaan (distrust) masyarakat pada arus perubahan yang terselenggara dalam skema “seolah-olah demokrasi”. Jika krisis kepercayaan politik yang berimbas pada keretakan sosial ini dibiarkan berlatur-larut, maka kita sedang mengalami maslah serius yakni ancaman kebangkrutan.
Di sisi lain, kolumnis Kusnandar, Dadang (Kompas Edisi Jawa Barat , 17 Juli 2009) mempertanyakan masalah keadilan dalam pembinaan budaya daerah terkait dengan adanya subkultur budaya Cirebon. Tulisan tersebut kemudian ditanggapi oleh di surat kabar yang sama oleh Setiawan, Hawe dan kemudian ditanggapi pula oleh penulis Kasim, Supali dari Indramayu (Kompas Edisi Jawa Barat, 4 Agustus 2009). Masih ada tanggapan dari penulis lainnya seperti dari wartawan Bainur, Dadang, penulis S.M., Edeng , dan budayawan Cirebon Alwy, Subhanudin. Polemik tersebut menandai adanya masalah mengenai implementasi dari sebuah kebijakan pendidikan nilai kedaerahan di Jawa Barat.
Dengan demikian nampaklah bahwa implementasi pendidikan berbasis kearifan lokal berisi nilai kedaerahan dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendasar tetapi di sisi lain masih belum dapat memuaskan kebutuhan masyarakat khususnya di wilayah subkultur tertentu. Sejumlah kendala dalam pelaksanaanya antara lain disebabkan karena budaya daerah Jawa Barat terdiri dari pelbagai subkultur budaya : Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi sehingga menimbulkan konsekuensi pada nilai-nilai kedaerahan yang berbeda pula. Masalah implementasi pendidikan nilai tersebut secara operasional menampakkan adanya rasa ketidakadilan dari suatu subkultur budaya terhadap subkultur budaya lainnya.
Untuk mewujudkan jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat, Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Rangkaian Peringatan Hari Bahasa Ibu International; Pemuatan karya sastra terbaik di media massa berbahasa daerah; Peta varian bahasa daerah di Jawa Barat; Susunan cerita rakyat berupa nasakah toponimi (asal-usul daerah); Keikutsertaan sastrawan Jawa Barat pada Temu Sastra IV anggota Mitra Praja Utama; Festival Budaya pesisir dan agraris Jawa Barat; Master plan kawasan percandian situs Batujaya; Naskah peta budaya Jawa Barat (Tahap III) bidang nilai tradisi; Penataan Ruang Pamer dan Koleksi Museum Ibu Inggit Garnasih; Dialog budaya tentang Perang Bubat; dokumentasi arsitektur bangunan tradisional di Jawa Barat; Workshop pelestarian dan pengembangan Situs Gua Pawon ; relokasi lima buah situs di Waduk Jatigede; Ekspedisi ke empat situs di wilayah Pantura; Katalogisasi situs-situs (BCB) Tahap III; Pembinaan Tenaga Teknis Konservasi dan Juru Pelihara Situs; Lomba busana tradisional Jawa Barat; 2.600 eksemplar buku penunjang bidang kesejarahan untuk disebarkan pada siswa sekolah menengah umum ; 3. 1000 eksemplar buku mengungkap nilai tradisi yang terkandung dalam seni pertunjukaan ; Pameran Nasional tenun tradisional di Museum Sri Baduga diikuti 25 museum se-Indonesia; keikut sertaan Museum Sri Baduga pada Pameran Permuseuman tingkat Nasional dan Pameran Sejarah Perjuangan Bangasa ; Pameran Keliling Permuseuman; Hasil konservasi dan reproduksi berupa satu buah replika Kawali III dan 5 buah artefak Gua Pawon; Susunan 20 naskah hasil transliterasi, terjemahan dan kajian naskah kuno dan digitalisasi 20 naskah koleksi Museum Sri Baduga; Visualisasi dan dokumentasi khazanah budaya Museum Sri Baduga; Cetakah bahan informasi dan promosi Museum Sri Baduga (1000 buku Kujang), 5000 leaflet, 200 foto, 1000 kalender, 10 media, 2 baligo); Renovasi rumah adat Kampung Pulo ; Musholla di lokasi situs Gua Pawon; Site Plan Gua Pawon; Rapat Koordinasi persiapan; Workshop pembelajaran teater tradisional; Fasilitasi sastrawan “nganjang ka sakola”; Fasilitasi lomba cabaret; Pasanggiri dan Apresiasi Sastra dan Seni Daerah di empat wilayah; Pasanggiri dan Apresiasi Sastra dan Seni Daerah tingkat Provinsi; Monitoring dan Evaluasi; Peningkatan minat siswa terhadap bahasa, sastra dan seni daerah ; Workshop penyusunan rencana pembelajaran bahasa, sastra dan aksara daerah; pelatihan bahasa dan sastra daerah untuk guru SD; Pelatihan bahasa dan sastra daerah untuk guru SD; Pelatihan bahasa dan sastra daerah untuk Kepala TK, SD, SMP dan SMA; Pelatihan Bahasa dan sastra daerah untuk Guru TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK.
Bahasa dan sastra daerah yang dilestarikan adalah tiga bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Jawa Barat yaitu Bahasa Sunda dengan jumlah penutur 75% dari penduduk Jawa Barat,umumnya digunakan di Wilayah Priangan, Jawa Barat bagian Tengah dan Bandung Raya; Bahasa Cirebon dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat umumnya digunakan di Wilayah Cirebon dan Bahasa Melayu-Betawi dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat dan berada di Wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan sebagian Karawang.
Sedangkan museum yang ada di Jawa Barat sebanyak 27 buah museum terdiri dari sebuah museum umum yaitu Museum Sri Baduga di Bandung dan 27 buah museum khusus yang menyebar di wilayah Jawa Barat. Tingkat kunjungan ke Museum Sri Baduga 170 orang dari mancanagara dan 156.314 orang dari Nusantara.
Jumlah situs/cagar budaya yang ada di Jawa Barat seluruhnya 1.309 buah dan jumlah tersebut baru 60% yang terpelihara dengan baik sedangkan 40% kurang terpelihara karena berada di wilayah yang sulit dijangkau moda transportasi dan atau tidak ada juru pemelihara situs.
Pentas seni dan budaya daerah yang bertaraf nasional dan internasional sebanyak 38 kali di dalam dan luar negri.
Apresiasi Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal telah nampak bermunculan di masyarakat. Banyak anak-anak muda dengan upaya kreatif melestarikan budaya daerah melalui berbagai cara dan media. Lili Suparli terpanggil mendirikan Komunitas Lawung Budaya beranggotakan 60 orang karena pemerintah dianggap belum mampu menjaga dan mengayomi serta menampilkan seni budaya daerah sebagai seni budaya nasional. KLB menampilkan kolaborasi tarian topeng Cirebon diiringi gamelan dan musik jazz Dwiki Darmawan di West Java Night di Bali Art Center Denpasar (Pikiran Rakyat, 11 April 2010).
Ada pula Fajar Persada Supandi, yang mendirikan Lentera Studio dengan bendera aBiGdev (Anak Bandung Inti Game Developer) yang membuat dua game online : Nusachallenge untuk mengenalkan budaya dan pakaian adat Indonesia dan Angklung Heroes Game, dengan mengemas kekhasan budaya daerah dari aspek music sound dan tampilan visualnya (Galamedia, 31 April 2010).
Angklung Web Institute setiap tiga bulan sekali menyelenggarakan pagelaran angklung, bahkan pada bulan Juni 2010 mengikutertakan peserta dari luar negeri seperti Madrasah Aljunied Al Islamiyah Singapura, Sari-sari Kulintang Phillipine Group dari Filipina dan pertunjukan angklung dari Thailand. Saung Udjo sebagai sebuah sanggar angklung juga menyelenggarakan seminar bamboo internasional di samping pendidikan dan pertunjukan rutin di sanggar.
Koran Kompas edisi Jawa Barat dan Pikiran Rakyat banyak memuat rubrik dan opini mengenai budaya daerah, sesekali Pikiran Rakyat memuat puisi-puisi dalam bahasa Sunda dan Cirebon, secara rutin Tribun Jabar memuat carpon (carita pondok), televise TVRI Jabar dan semua televisi lokal menyiarkan berita dalam bahasa Sunda dan Cirebon sekali dalam sehari.
Beberapa instansi pemerintah “mewajibkan” penggunaan bahasa daerah di tempat kerja sekali dalam seminggu. Budaya daerah juga muncul setahun sekali dalam peringatan-peringatan lahirnya daerah. HUT Kota Bogor 528 diperingati dalam rapat paripurna DPRD dengan menggunakan bahasa Sunda. Tapi banyak pula kegiatan itu bersifat seremonial dan tanpa perencanaan yang baik, sehingga dalam waktu beberapa bulan saja kewajiban menggunakan bahasa daerah di tempat kerja pun hilang dengan sendirinya.
Program-program di bidang pendidikan khususnya pendidikan dasar adalah : menuntaskan Jawa Barat bebas buta aksara; mewujudkan Jawa Barat bebas biaya pendidikan dasar dalam rangka penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun; mewujudkan Jawa Barat bebas putus jenjang sekolah dalam rangka pelaksanaan wajar dua bela tahun di seluruh Kabupaten/Kota; meningkatkan pengelolaan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah; meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan Guru serta tenaga kependidikan. Semua itu dikaitkan dengan program di bidang kebudayaan untuk meningkatkan upaya revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang relevan bagi peningkatan kemajuan Jawa Barat yang mengacu pada Perda-perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah; Nomor 6 Tahun 2003 tantang Pemeliharaan Kesenian, dan Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum.
Nampaknya dalam pengalokasian anggaran di Provinsi Jawa Barat harus memperhatikan keseimbangan antar wilayah, apalagi wilayah dengan kondisi khusus daerah seperti wilayah Cirebon yang merupakan pusat keraton di Jawa Barat saat ini. Jika tidak maka kasus Sultan Kanoman XII Raja Muhammad Emiruddin mendemo Wali Kota Cirebon Subardi (Tribun Jabar 4 Juni 2010) menuntut anggaran perbaikan keraton yang telah rusak parah bisa terulang lagi di waktu mendatang. Padahal dukungan keraton terhadap pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan intangible benefits yang harus diperhitungkan. Belum lagi jika dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai variable konteks sosial (Avory et al.: 2008: ) sebagai sumber variasi dalam pencapaian pembelajaran bahasa.
Demonstrasi Keraton Kanoman mestinya tidak perlu terjadi jika dilakukan kebijakan yang sama seperti terhadap peninggalan budaya Sunda di Sumedang. Renovasi museum Prabu Geusan Ulun Sumedang menghabiskan dana Rp 1,9 milyar yang dikucurkan dari Dinas Pemukiman dan Perumahan Jawa Barat dan Disparbud Jawa Barat dan APBN (Radar 7 Juni 2010). Perhatian itu berkaitan dengan posisi Sumedang sebagai pusat budaya sunda atau Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) seperti dinyatakan Edi Ruhimant Kepala Bidang Objek Data Turis Wisata (ODTW) Disbudparpora Sumedang.
Paradoks juga muncul pada saat Kota/Kabupaten kekurangan anggaran, peningkatan anggaran di tingkat Provinsi nampaknya belum disertai kemampuan untuk menggunakannya, sebagai contoh 12% APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2009 tidak terserap. Hal itu menunjukkan bahwa pada aspek perencanaan masih terjadi kelemahan. Dari jumlah APBD Rp 9,2 trilyun hanya terserap 8,06 trilyun (87,66%), Gubernur beralasan hal itu karena efisiensi dan akan digunakan membiayai pos-pos yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. “Efisiensi dan efektifitas sebagai indikator penggunaan APBD”, sehingga Gubernur menginstruksikan untuk mengefisienkan belanja yang tidak langsung menyentuh kepentingan masyarakat banyak seperti anggaran rapat-rapat di hotel-hotel harus dibatasi. Pada sisi lain Bansos (bantuan sosial) harus berdasarkan prinsip kehati-hatian, harus memenuhi syarat administrative, bermanfaat bagi masyarakat dan akuntabel (Galamedia, 31 Mei 2010). Anggota DPRD yang lain, Supriadin mengeluhkan kurangnya pemerataan alokasi anggaran pendidikan, di Kota Bandung banyak sekolah kekurangan murid sementara di Tasikmalaya kekurangan sekolah. Di samping itu iapun mengeluhkan kurangnya transparansi eksekutif karena hanya melaporkan total anggaran tanpa memberikan rinciannya.
Ditinjau dari tipe-tipe analisis kebijakan yang dikemukakan Fowler (2009) maka pengalokasian anggaran pendidikan berbasis kearifan daerah di Provinsi Jawa Barat merupakan gabungan dari pelbagai kebijakan yang bisa dikategorikan distributive, regulatori (Lowi), rangsangan, membangun kapasitas (McDoneell & Elmore). Di lihat dari analisis biaya dan keefektifan biaya (Levin) pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20% baru merupakan belanja (expenditure) yang belum mencerminkan biaya (cost) karena belum adanya unit cost pendidikan yang baku, di samping itu lebih banyak indirect cost (belanja tidak langsung) dibandung direct cost (belanja langsung).
Dari sisi benefit, sudah memperlihatkan tangible benefits dalam bentuk angka-angka APK, RLS dan AMH namun belum mengukur intangible benefits seperti dukungan komunitas terhadap program-program pendidikan. Penelusuran terhadap intangible benefits menunjukkan fenomena apresiasi generasi muda pada budaya daerah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh Lili Suparli terpanggil mendirikan Komunitas Lawung Budaya beranggotakan 60 orang karena pemerintah dianggap belum mampu menjaga dan mengayomi serta menampilkan seni budaya daerah sebagai seni budaya nasional. KLB menampilkan kolaborasi tarian topeng Cirebon diiringi gamelan dan music jazz Dwiki Darmawan di West Java Night di Bali Art Center Denpasar.(Pikiran Rakyat, 11 April 2010). Ada pula Fajar Persada Supandi, yang mendirikan Lentera Studio dengan bendera aBiGdev ( Anak Bandung Inti Game Developer) yang membuat dua game online : Nusachallenge untuk mengenalkan budaya dan pakaian adat Indonesia dan Angklung Heroes Game, dengan mengemas kekhasan budaya daerah dari aspek music sound dan tampilan visualnya (Galamedia, 31 April 2010).
Intangible benefits tersebut selaras dengan pandangan Surakhmad mengenai “kebijakan pendidikan yang meng-Indonesiakan” yang mengarah pada tiga tujuan, yaitu : pertama, pendidikan sebagai proses yang mewujudkan nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila, dalam arti merupakan kebijakan hidup yang berarti kebijakan berbangsa setiap warga Negara. Kedua, pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan yang mengutamakan tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang membudayakan. Dengan demikian pendidikan sekaligus berarti kebijakan pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga Negara. Ketiga, pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagaman.
Di sisi lain pendidikan berbasis kearifan lokal tidaklah menimbulkan ethno-sentrisme karena ada nilai-nilai menghargai tamu seperti “someah hade ka semah”. Nilai ini menjadi tema diskusi “Tepang sono Inohong Jawa Barat” di Savoy Homan 30 April 2010 yang dihadiri budayawan dan seniman. Mereka mendiskusikan mengenai keramahan yang harus tetap dipertahankan, falsafahnya tamu harus diambut baik (Galamedia 1 Mei 2010).
Nilai-nilai lain juga nampak dari sastra lisan yang popular di Cirebon adalah pesan/ wasiat Sinuhun Sunan Gunungjati Syekh Syarif Hidayatullah : ingsun titip tajug lan fakir miskin. Menurut Kusnandar seorang pengamat budaya dari Cirebon, pesan ini juga mesti didekati bukan hanya semata yang bersifat materi, melainkan juga miskin dalam pemahaman (pengetahuan). Artinya titik tekan miskin juga pada soal immateri. Tajug artinya kehormatan, tidak hanya sebentuk mushalla atau tempat melaksanakan shalat. Menghidupkan Sastra lisan, berarti menghidupkan kembali kekayaan lama warisan budaya bangsa. 58 bahasa daerah di Indonesia setidaknya menjadi sistem tanda betapa banyaknya sastra lisan yang pernah berlangsung dalam Peningkatan kemampuan dan budaya baca dan peningkatan kualitas pelayanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dengan demikian berhadapan dengan kenyataan indeks minat baca masyarakat yang sangat rendah yakni 0,0001 yang berarti 1000 orang membaca satu buku, sedangkan minat baca surat kabar hanya 5,3 juta atau 15,4 % penduduk Jawa Barat, sedangkan indeks minat baca orang Singapura adalah 0,550 yang berarti 1000 orang membaca 550 buku.
Taufik Faturohman dari Penerbit Geger Sunten mengatakan lima tahun terakhir buku fiksi bahasa Sunda yang diterbitkan semakin berkurang dari 20 buku menjadi lima buku per tahun itupun dicetak hanya 2000 lembar dengan upah hanya Rp 1 juta- 2 juta dalam tiga tahun. Rahmat Hidayat dari Penerbit Kiblat mencetak yang semula mencetak 3000 eksemplar kini hanya mencetak 1000 eksemplar saja karena penjualannya sangat lambat, rata-rata hanya dapat menjual 500 eksemplar per tahun. Para penerbit mengatakan bahwa keterlibatan Disdik Jabar sangat kurang (Kompas 7 Januari 2008 dan 17 Maret 2009). Kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah baru berupa workshop bagi 130 kepala sekolah dan pelatihan tenaga perpustakaan bagi 208 orang.
Peningkatan upaya revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang selaras dengan perkembangan zaman harus memperhatikan keluhan dan harapan masyarakat. Ade Hidayat, Guru PKn SMK Bhakti Kencana, Limbangan Garut mengatakan Pendidikan Indonesia yang dikenal kental dengan nilai budaya, moral dan religiusitasnya ternyata tidak mampu membuktikan keunggulan karakter dibandingkan negara liberal yang ateis tapi patuh pada hukum (Tribun Jabar 13 April 2010).
Iwan Setiawan, dosen dan sekretaris Puslit Dinamika Pembangunan LPPM Unpad, menyatakan bahwa secara historis-empiris kreativitas dan keinovatifan masyarakat Jawa Barat tidak diragukan. Dalam berkarya dan berkarsa masyarakat Jabar sangat berprinsip (tidak tuturut munding), mengusung keunggulan lokal (comparative advantage), menjunjung tinggi keberagaman (diversification) dan berorientasi nilai daya saing (competitive advantage) sehingga dihasilkan kekayaan yang tidak saja beragam, tetapi juga bernilai artistik, futuristik, dan sosio-ekonomik. Kekayaan Jawa Barat berbasis sumber daya alam, berbentuk sosial ekonomik dan budaya. Kekayaan budaya bisa dilihat pada kampong adat seperti Kampung Naga, kampung Kuta, kampung Dukuh, kampung Baduy, Kampung Cigugur; pada artefak dan situs sejarah Banten, Sumedang Larang, Cirebon, Galuh, Pakuan, Pajajaran; pada kesenian angklung, topeng Pantura, tembang sunda Cianjuran, wayang golek, tarling, benjang, pencak silat, dan jaipongan. “Pemerintah kota/kabupaten dan pemprov harus berbuat lebih cepat, konsisten dan tertib (jangan rumit dan mahal) melindungi, menata administrasi, menglengkapi dokumentasi (paten, sertifikasi) dan memberdayakan kekayaan masyarakat” (Tribun Jabar, 22 Mei 2010).
Opini-opini tersebut nampaknya mengarah pada perlunya peninjauan muatan lokal di sekolah-sekolah terutama yang berkaitan dengan kearifan lokal agar lebih fungsional terhadap kondisi dan tantangan lokal.
Contextualization of finding is frequently the main element lacking in educational research evidence and resultant policymaking (Carnoy, 1999; Zayda 2005). This means that evidence for educational policymaking often consists of unsubstantiated findings or one-shot fenomena that may take precedence over long-term trends and cultural characteristics (Ball, 1998). Indeed, making educational policy exclusively on the basis of empirical research evidence is neither possible nor preferred in many cases because of the importance of considering the evidence within context (Whitty, 2006).
Dinas Pendidikan (Disdik) Sumedang tengah menyusun standarisasi kinerja Kepala Sekolah, Guru dan Siswa yang akan diwarnai oleh konsep dan nilai-nilai strategis pembangunan Sumedang sebagai Puseur Budaya Pasundan. Akan disusun sebuah tata tertib sekolah sebagai acuan norma berperilaku di sekolah yang bermuatan nilai-nilai budaya Sunda. Budaya tersebut dibentuk melalui proses pembiasaan di sekolah misalnya dilarang berbicara kasar.
UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain:
1) Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”
2) Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3) Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas.
4) Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5) Meningkatkan pemanfaatan information and communication technology (ICT) dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah.
6) Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan profesional guru.
7) Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8) Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9) Melaksanakan Quality Assurance (UNESCO, 2001).
Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya harus memulai menyesuaikan diri dengan standarisasi Unesco tersebut dalam meningkatkan kualitas pendidikannya agar dapat berkompetisi dalam kehidupan global.
*Harjoko Sangganagara, peserta Program S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Dikembangkan dalam Pendidikan
Bahasa Sastra dan Aksara Daerah
Bahasa, sastra dan aksara daerah merupakan wujud kebudayaan daerah yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang tidak terpermanai. Di samping itu bahasa, sastra dan aksara daerah merupakan unsur kebudayaan daerah dan bagian dari kebudayaan nasional yang berperan dalam meninggikan martabat dan peradaban bangsa. Menurut Pusat Bahasa, di Indonesia ada 749 bahasa daerah. Untuk melestarikan, membina serta mengembangkannya maka pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah yang ada di Jawa Barat diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003. Dinas Pendidikan diberi tanggungjawab dalam pendidikan dan pengajaran bahasa, sastra dan aksara daerah, sedangkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bertanggungjawab dalam memeliharanya.
Bahasa Daerah yang digunakan oleh penduduk di Provinsi Jawa Barat sangat beragam karena Jawa Barat dihuni tidak hanya oleh suku bangsa Sunda, Betawi dan Cirebon tetapi juga oleh para pendatang dari berbagai daerah dengan bahasa daerahnya masing-masing. Dari observasi lapangan diketahui bahasa daerah yang banyak digunakan oleh penduduk adalah bahasa Sunda, Jawa, Padang, Batak, Cirebon, Melayu-Betawi, Palembang, Madura, Bugis dan lain-lain.
Bahasa daerah Sunda masih digunakan sebagai bahasa media, seperti majalah Mangle dan Koran Kujang. Di televisi dan radio masih dijumpai digunakan sebagai bahasa dalam siaran berita. Tidak dijumpai adanya majalah atau surat kabar yang sepenuhnya menggunakan Bahasa Cirebon dan Melayu-Betawi, namun ekspansi bahasa Melayu-Betawi yang memang digunakan sebagai bahasa pergaulan masyarakat Jakarta merambah di hampir semua siaran televisi maupun radio di seluruh Jawa Barat sebagai bahasa pengantar yang dibawakan oleh penyiar atau presenter.
Pada aspek pelestarian bahasa dan sastra daerah terdapat tiga bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Jawa Barat yaitu Bahasa Sunda dengan jumlah penutur 75% dari penduduk Jawa Barat,umumnya digunakan di Wilayah Priangan, Jawa Barat bagian Tengah dan Bandung Raya; Bahasa Cirebon dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat umumnya digunakan di Wilayah Cirebon dan Bahasa Melayu-Betawi dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat dan berada di Wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan sebagian Karawang.
Bahasa daerah yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa bahasa Sunda, Cirebon dan Melayu-Betawi yang dalam prakteknya disesuaikan dengan mayoritas penduduk di wilayah di mana bahasa tersebut digunakan sebagai bahasa ibu. Bahasa Sunda diajarkan di wilayah Bogor dan Priangan , bahasa Cirebon diajarkan di wilayah Cirebon dan bahasa Melayu-Betawi diajarkan di wilayah Bogor Debek Bekasi (Bodebek).
Sastra berkait dengan bahasa. Sastra Daerah menggunakan bahasa daerah sebagai media. Sastra daerah ada yang tradisional dan ada pula yang kontemporer.
Sastra daerah yang menggunakan bahasa Sunda paling nampak pada tembang Cianjuran, sisindiran, kakawihan, wayang golek. Wayang golek dan tembang Cianjuran masih dapat ditemukan digelar pada acara-acara yang diselenggarakan instansi pemerintah, tetapi lebih banyak dijumpai disiarkan oleh televisi dan radio. Sedangkan sastra daerah yang kontemporer dapat ditemukan pada buku-buku sastra, majalah berbahasa Sunda, dan Koran lokal dalam bentuk cerita pendek, novel maupun puisi. Koran Tribun Jabar setiap sabtu memuat cerita pendek yang berbahasa Sunda dan nampaknya masih menunjukkan banyaknya sastrawan Sunda terlihat dari pemuatan cerita pendek yang berkelanjutan dengan tema cerita yang beragam.
Sastra dalam bahasa Cirebon dalam bentuk tulisan ditemui pada puisi-puisi yang sangat terbatas jumlahnya, antara lain yang ditulis sastrawan Subhanudin Alwy. Sastra Cirebon dan Melayu-Betawi lebih banyak ditemui pada sastra lisan yang disiarkan lewat radio.
Bahasa dan sastra bisa berbentuk lisan maupun tulisan yang berkaitan dengan penggunaan aksara. Aksara Daerah di Jawa Barat setidaknya ada dua macam : Cacarakan dan Aksara Sunda Kaganga yang dikreasi dari Aksara Sunda Kuno. Cacarakan atau Hanacaraka berasal dari huruf Jawa yang dimodifikasi menjadi Aksara Sunda oleh Roorda tahun 1835 (Darsa, 2003: xix). Belakangan Aksara Sunda tidak lagi menggunakan cacarakan tetapi menggunakan Aksara Sunda Kaganga yang terdiri dari 32 huruf yang terdiri dari tujuh aksara swara (vocal mandiri) dan 25 aksara ngalagena (konsonan). Cacarakan atau hanacaraka kini tetap digunakan sebagai aksara daerah di Cirebon dan Indramayu.
Kesenian daerah
Kesenian daerah merupakan karya estetik hasil perwujudan kreativitas daya cipta, rasa, karsa dan karya yang hidup dan berakar di Daerah Jawa Barat baik tradisional maupun kontemporer. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 dibuat untuk memelihara kesenian tersebut. Pendidikan kesenian diserahkan pada Dinas Pendidikan sedangkan pelestarian, pengembangan pemanfaatan dan apresiasi karya seni serta penghargaan terhadap seniman diserahkan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pemeliharaan kesenian diarahkan pada nilai yang bermanfaat bagi teerwujudnya pembangunan manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Jenis kesenian tradisional yang ada di Jawa Barat 391 jenis dari 35 rumpun seni. Dari jumlah tersebut yang dapat dikategorikan sebagai seni sangat berkembang sebanyak 39 buah, berkembang 61 buah, tidak berkembang 248 buah dan yang mengalami kepunahan 43 buah.
Kesenian yang diajarkan di sekolah terbatas pada beberapa jenis saja tergantung pada ketersediaan guru dan peralatan yang ada, antara lain degung, angklung, calung dan tari jaipongan di wilayah Priangan. Sedangkan di wilayah Cirebon yang diajarkan adalah gamelan dan beberapa tarian seperti tari topeng.
Warisan budaya, sejarah, nilai tradisional
Wilayah Jawa Barat banyak menyimpan peninggalan kepurbakalaan, kesejarahan dan nilai tradisional yang beranekaragam dan mencerminkan karakter masyarakat Jawa Barat. Di samping itu banyak pula museum sebagai tempat penyimpanan peninggalan-peninggalan budaya tersebut. Perda Nomor 7 Tahun 2003 dibuat untuk mengatur pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum.
Jumlah situs/cagar budaya yang ada di Jawa Barat seluruhnya 1.309 buah dan jumlah tersebut baru 60% yang terpelihara dengan baik sedangkan 40% kurang terpelihara karena berada di wilayah yang sulit dijangkau moda transportasi dan atau tidak ada juru pemelihara situs.
Tabel 1 Kearifan Lokal Jawa Barat
Subkultur Kearifan Lokal Media Pembinaan Peraturan Daerah yang Mengatur
1.Sunda
2.Cirebon
3.Melayu/Betawi 1. Bahasa
2.Sastra
3.Aksara Sekolah
Perda Nomor 5 Tahun 2003
4.Kesenian Sekolah Perda Nomor 6 Tahun 2003
5.Warisan Budaya
6.Sejarah
7.Nilai Tradisiona Museum
Perda Nomor 7 Tahun 2003
Sumber : Produk DPRD Propinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Tahun 2003 Keputusan Dewan dan Pimpinan Dewan Tahun 2003 (Diolah kembali).
Media untuk untuk memeliharan dan mengembangkan kearifan lokal yang diatur oleh Peraturan Daerah adalah sekolah dan museum. Museum yang ada di Jawa Barat sebanyak 27 buah museum terdiri dari sebuah museum umum yaitu Museum Sri Baduga di Bandung dan 27 buah museum khusus yang menyebar di wilayah Jawa Barat. Tingkat kunjungan ke museum bisa dikatakan masih rendah. Museum Sri Baduga hanya dikunjungi 170 orang dari mancanagara dan 156.314 orang dari Nusantara pada tahun 2009.
Fakta menunjukkan bahwa media massa seperti media cetak dan media audio-visual (televisi) memainkan peran yang sangat penting dalam memelihara dan mengembangkan budaya daerah di Jawa Barat, namun belum terakomodasi dalam peraturan daerah dan konsekuensinya belum memiliki akses terhadap alokasi anggaran daerah. Sejauh yang ini hanya TVRI Jawa Barat yang memperoleh alokasi anggaran itupun melalui program yang dibuat pemerintah provinsi, sementara bantuan langsung tidak dapat dilakukan karena aturan yang melarang pemberian bantuan pada instansi-instansi vertical. TVRI Jawa Barat sebagai LPP (Lembaga Penyiaran Publik) dianggap sebagai instansi vertikal.
Program Pembangunan Bidang Kebudayaan
Program pada bidang kebudayaan terdiri dari satu program dengan Sembilan kegiatan dan 54 hasil kegiatan
Pembangunan kebudayaan tidak hanya dalam bentuk program tetapi juga dalam bentuk perhatian dan bantuan Gubernur. Periode 2009, Gubernur Jawa Barat telah membentikan bantuan keuangan ke-15 sanggar seni di Jawa Barat. Salah satunya diberikan pada AWI (Angklung Web Institute) sehingga dapat mementaskan angklung dan musik bambu di teater terbuka Esplenade Singapura akhir tahun 2009, yang merupakan ajang bagi siswa untuk menunjukkan kreasi dan apresiasinya terhadap kebudayaan daerah.
Beberapa permasalahan yang muncul dari hasil pengamatan adalah kecenderungan makin melemahnya penggunaan bahasa daerah; semakin menurunnya tingkat apresiasi budaya daerah; menurunnya riset-riset nilai-nilai budaya daerah oleh akademisi dan praktisi kebudayaan; kurang terpeliharanya beberapa dokumen sejarah, artefak-artefak dan petilasan masa lampau; kurangnya pemahaman dan penghayaran sebagian besar masyarakat khususnya para pelajar terhadap makna filosofi dan nilai yang terkandung dalam budaya local serta kurangnya respond an apresiasi masyarakat terhadap kegiatan yang bernuansa budaya lokal.
Untuk mengatasi persoalan tersebut Gubernur berpandangan diperlukan upaya peningkatan frekuensi kegiatan apresiasi bahasa dan sastra daerah pada generasi muda; peningkatan pembinaan terhadap budaya daerah dalam rangka menetralisir nilai-nilai yang kurang relevan dengan kepribagian masyarakat Jawa Barat melalui pembinaan budaya yang berkelanjutan; peningkatan upaya inventarisasi dan dokumentasi terhadap naskah kuna, dokumen sejarah dan benda-benda tinggalan sejarah dan budaya; peningkatan apresiasi terhadap koleksi dan benda-benda museum kepada generasi muda melalui pameran permuseuman; peningkatan kegiatan /event kesenian dan kebudayaan di sekolah-sekolah, kurikulum yang berbasis budaya lokal harus diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan sekolah; perlu adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menyinergikan pemerintah dengan stakeholder kebudayaan dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Untuk penjaminan mutu pendidikan berbasis kearifan lokal, Pemprov Jawa Barat berupaya meningkatkan kualitas dari proses dan output pendidikan dengan menggunakan strategi: menetapkan tolok ukur peningkatan mutu pendidikan; dan pembagian peran OPD.
Tolok ukur peningkatan mutu pendidikan
Peningkatan mutu dilihat dari hal-hal sebagai berikut : (1) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan formal, non formal dan infornal; (2) meningkatnya kualitas tata kelola pendidikan yang efektif dan berbasis kompetensi serta berorientasi pada kualitas lulusan; (3) meningkatnya penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) terwujudnya jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk dilakukan upaya-upaya prioritas sebagai berikut :
1. Pendidikan gratis bagi masyarakat melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan sasaran meningkatnya APM SD/MI, APM SMP/MI, meningkatnya angka melanjutkan SD ke SMP, terpenuhinya kebutuhan ruang kelas dan bantuan bea siswa bagi siswa SMP/MTs.
2. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dengan sasaran : meningkatnya daya tampung SMP SD berstandar nasional, SMP SBI, tersedianya pedoman pembinaan dan pengembangan budi pekerti, tersedianya buku teks pelajaran KTSP.
3. Manajemen pelayanan pendidikan dengan sasaran : kesejahteraan guru, kompetensi pendidik, jumlah sekolah terakreditasi, jumlah guru berkualifikasi S1, guru mengikuti sertifikasi, buku laporan pendidikan, pemahaman penyelenggaraan pendidikan tentang MBS, wawasan pendidik tentang kurikulum, pelayanan terhadap data/informasi, meningkatnya mutu UN/UASBN, peran perpustakaan.
4. Mencanangkan wajib belajar 12 tahun.
5. Meningkatkan kemampuan dan budaya baca dan meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan berbasis teknologi informasi (RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013, IV-8 – IV-13).
6. Meningkatkan upaya revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang selaras dengan perkembangan zaman melalui program pengembangan nilai budaya dengan sasaran termanfaatkannya nilai-nilai tradisional, peninggalan kesejarahan, kepurbakalaan dan museum bagi pengembangan budaya daerah serta meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa, sastra dan aksara daerah.
7. Mengembangkan jenis dan bentuk kegiatan pembangunan kebudayaan yang mampu secara nyata berkontribusi terhadap penignkatan apresiasi dan kesejahteraan masyarakat melalui program pengelolaan kekayaan dan keragaman budaya dengan sasaran meningkatknya pengelolaan keragaman dan kekayaan budaya daerah. Meningkatnya pengelolaan dan pengakuan atas hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam bidang seni dan budaya; meningkatnya apresiasi seni dan budaya daerah di kalangan pemerintah, masyarakat dan swasta.
Pembagian peran Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
Untuk mencapai mutu yang telah ditetapkan maka dibuatlah pembagian peran OPD. Pembagian peran OPD dibuat berdasarkan sasaran pada misi yang ingin dicapai. Pendidikan berbasis kearifan local berada pada Misi 1 yaitu “mewujudkan sumber daya manusia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing” dengan sasaran penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun dan rintisan wajar 12 tahun, penuntasan bebas buta aksara, peningkatan kualitas hidup beragama dan revitalisasi nilai-nilai budaya dan kearifan local. Untuk mencapai sasaran itu ada OPD Utama, OPD Mitra Utama, OPD Pendukung Penjaminan Mutu dan Akuntabilitas dan OPD Pendukung Umum.
Dari gambaran di atas nampaklah bahwa peningkatan mutu diupayakan dengan meningkatkan kualitas proses pendidikan dan output pendidikan. Proses pendidikan ditingkatkan kualitasnya dengan meningkatkan kompetensi guru dan siswa, memperbaiki sarana dan prasarana termasuk TIK, serta meningkatkan koordinasi supervisi monitoring dan evaluasi. Tujuannya agar siswa memiliki jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas Dinas Pendidikan serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kemudian berkoordinasi dengan Pemerintah Kota dan Kabupaten karena sekolah-sekolah berada dalam kewenangan pemerintah kota dan kabupaten. Selanjutnya Dinas melibatkan masyarakat seperti seniman dan budayawan serta masyarakat umum.
Untuk menjamin akuntabilitas dan peningkatan mutu maka ada OPD seperti Inspektorat, Bappeda, Asissten dan Biro-biro yang melakukan pengarahan, pembinaan, dan pengawasan. Untuk memastikan semua dapat berjalan ada OPD pendukung dalam penyediaan pegawai yang kompeten, pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum serta humas.
Koordinasi dengan pemerintah Kota dan Kabupaten merupakan hal yang tidak mudah di era otonomi daerah, karena ada pandangan bahwa dengan otonomi daerah tersebut Kota dan Kabupaten tidak lagi memiliki keterikatan hirarkhis dengan Provinsi. Karena itu dibuatlah kesepakatan antara Gubernur dengan Walikota dan Bupati se-Jawa Barat untuk menyinergikan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk di bidang pendidikan. Kesepakatan dibuat tahun 2008 yang isinya antara lain bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten memberikan prioritas untuk membiayai pembangunan bidang pendidikan dengan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota atau sumber dana lainnya. Besarnya kontribusi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan dan pencapaian target disesuaikan secara proporsional berdasarkan karakteristik dan masalah yang dihadapi.
Perhatian Sekolah terhadap Kearifan Lokal
Strategi yang dibuat Pemerintah Provinsi maupun peraturan perundang-undangan mengenai budaya daerah yang telah ditetapkan tidak akan bisa dijalankan jika sekolah sebagai pelaksana pendidikan tidak memiliki komitmen untuk mendukung kebijakan pendidikan berbasis kearifan lokal tersebut. Oleh karena itu maka perhatian sekolah menjadi sangat penting untuk diteliti. Perhatian sekolah terhadap pendidikan berbasis kearifan lokal nampak dari dari hal-hal berikut ini :
Kurikulum
Kurikulum pengajaran Bahasa Sunda di sekolah telah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah tahun 2006. Dengan kurikulum ini siswa diarahkan untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran di kelas. (“Dina kurikulum ayeuna siswa diperedih langkung aktif dina proses pembelajaran di kelas. Jalaran kitu, buku pengajaran kedah tiasa ngahudang para siswa langkung motekar diajar sorangan”).
Guru
Guru yang mengajarkan bahasa dan kesenian daerah di Kelas I sampai IV adalah guru kelas, yang kompetensi pada mata pelajaran yang yang diajarkan belum memadai. Baru di Kelas V hingga kelas IX diajar oleh Guru Mata Pelajaran, meskipun belum seluruhnya merupakan guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang relevan terutama pada sekolah-sekolah swasta.
Dengan segala keterbatasannya para guru melakukan upaya untuk mengefektifkan pembelajaran. Di beberapa sekolah ada guru yang membimbing siswa mementaskan drama dengan bahasa daerah. Pementasan mereka ada yang disponsori Dinas Pariwisata dan dipertunjukkan dalam program tahunan yang sudah dirancang. Beberapa orang guru mengajak siswa untuk menyaksikan pertunjukan dengan membeli tiket pertunjukan baik di Rumentang Siang atau Taman Budaya Jawa Barat maupun di tempat-tempat lain.
Di Cirebon teater semacam ini acapkali dipentaskan di Gua Sunyaragi, sebuah situs cagar budaya peninggalan kesultanan Cirebon. Di Bandung sering dilakukan lomba teater berbahasa Sunda di kampus-kampus seperti STSI, Unpad, Unpas dan UPI yang biasanya diikuti sekolah-sekolah yang ada di Jawa Barat.
Sarana dan prasarana
Buku yang digunakan di beberapa sekolah terdiri dari dua buah: “Nyangkem Basa Pangajaran Basa Sunda Pikeun SMP Kelas VIII” dan “Lancar Basa Sunda Pangajaran Basa Sunda Pikeun Murid SMP/MTS (Materi sareng LKS)” . Buku tersebut sudah disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) 2006 Pengajaran Bahasa dan Sastra Sunda. Isinya berpusat pada empat aspek ketrampilan bahasa : “ngaregepkeun, nyarita, maca jeung nulis” (memperhatikan, bercerita, membaca dan menulis).
Buku pelajaran dan LKS (lembar kerja siswa) serta alat-alat kesenian seperti gamelan masih merupakan kendala dalam pengajaran. Buku-buku masiah relatif mahal dan alat-alat kesenian tidak dapat dimiliki oleh semua sekolah. Dengan demikian guru harus melakukan upaya untuk mengatasi hal tersebut misalnya dengan meminta siswa membawa alat musik tradisional seperti seruling yang terbuat dari bambu atau alat-alat musik lainnya.
Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM)
Nilai minimal untuk Bahasa Daerah pada SMP ditetapkan dalam standar ketuntasan belahar minimal yang ditetapkan sekolah yaitu 6,50 sama dengan nilai untuk mata pelajaran Bahasa Inggris . Itu berarti jika siswa memperoleh nilai di bawah 6,50 maka dikategorikan belum tuntas belajar (nilai di bawah SKBM). Sedangkan SKBM untuk Bahasa Daerah pada jenjang SD adalah 6,3. Bahasa Daerah pada umumnya dimasukkan ke dalam Muatan Lokal bersama pelajaran lainnya seperti Bahasa Inggris dan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Peran Kepala Sekolah
Dalam implementasi pendidikan berbasis kearifan lokal di sekolah maka peran Kepala Sekolah sangat penting karena posisinya sebagai administrator dan manajer yang mengarahkan kebijakan dan mengalokasikan sumber daya yang ada di sekolah untuk efektifitas pembelajaran.
Untuk menjalankan perannya itu kepala sekolah memerlukan ketrampilan memimpin sekolah yang meliputi seluruh aspek dalam pengelolaan sekolah seperti : dasar-dasar manajemen, kepemimpian kepala sekolah, manajemen komunikasi, manajemen waktu, system informasi manajemen, asesmen sekolah, menyusun rencana pengembangan sekolah, manajemen kurikulum, manajemen personalia, manajemen kesiswaan, manajemen keuangan, manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah, manajemen laboratorium, manajemen perpustakaan, manajemen bimbingan dan konseling, supervisi akademik, membentuk disiplin sekolah, meningkatkan motivasi belajar siswa, mendorong orang tua berperan aktif dalam program sekolah, mengaktifkan Dewan Sekolah, membangun hubungan baik dengan masyarakat, kewiraswastaan dalam pendidikan, mengelola perubahan di sekolah, manajemen mutu terpadu, manajemen peningkatan mutu dan manajemen konflik. Dasar-dasar manajmenen tersebut dipandu dengan buku pegangan yang diterbitkan oleh Ditmenum Ditjen Dikdasmen Depdikbud (1999).
Seorang kepala sekolah yang diwawancarai mengungkapkan kegalauan mengenai perilaku siswa yang disinyalir kurang menghargai budaya daerah maupun budi pekerti. Pengajaran bahasa, sastra serta kesenian daerah diharapkan dapat memberikan kearifan lokal bagi siswa dan dapat mempengaruhi perilaku maupun karakter sebagaimana yang diharapkan. Bahasa daerah diyakininya memiliki kemampuan menghaluskan pekerti dan rasa sehingga melahirkan perilaku halus, hormat dan santun dalam pergaulan baik sesama teman maupun dengan orang tua.
Pemenuhan Keinginan Masyarakat Lokal
Pendidikan nilai kedaerahan merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya krisis (Setia, Beni, Pikiran Rakyat, November 2009), yakni “fakta makin tidak berfungsinya bahasa Sunda sebagai alat untuk mengekspresikan intelektualitas orang Sunda” di samping “fakta yang merujuk pada banyak orang Sunda masa kini yang tak lagi merasa bahasa dan budaya Sunda itu medium untuk mengaktualisasikan jatidiri Sunda”. Lebih jauh Setia mengatakan bahwa kelas menengah kota mutakhir di tengah konteks Indonesia baru sama sekali tidak punya kesadaran budaya – baik itu yang lokal Sunda, nasional Indonesia, atau internasional Barat. Generasi yang hanya tahu bersenang-senang di tengah budaya pop yang melulu menjanjikan keterhiburan dan pergantian trend yang cepat, sambil saling sikut atau berkomplot untuk memperoleh legalitas untuk memuaskan insting mereguk nikmat kuasa dan power secara instan. Generasi dekaden yang tidak sadar mengabaikan bahasa Sunda – karena tren di televisi merujuk ke bahasa non-Sunda—yang menyebabkan bahasa Sunda terlantar.
Persoalan kegamangan yang berkaitan dengan jatidiri diungkap pula oleh Paskarina, Carolina seorang akademisi yang mengatakan bahwa Ki Sunda “termajinalisasi di rumahnya sendiri”. Sebagai etnis kedua terbesar di Indonesia, ternyata tidak banyak orang Sunda yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Jawa Barat merupakan daerah yang memiliki perguruan tinggi terbanyak di Indonesia, tapi rata-rata lama sekolah warganya hanya 7,82 tahun, artinya kesempatan bersekolah ternyata lebih banyak dinikmati oleh orang-orang luar Jawa Barat. Di tengah kondisi seperti itu, kekecewaan terhadap kondisi eksisting menjadi sangat kuat di kalangan masyarakat Jawa Barat, yang kemudian mengarah pada ketidakpercayaan terhadap otoritas pemerintah. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Di sisi lain, institusi-institusi yang dianggap merepresentasikan pemerintah justru memperlihatkan perilaku menyimpang, seperti melakukan korupsi, kolusi, nepotisme. Para elit saling berebut kekuasaan dan sebagainya. Makin carut marutnya penyelenggaraan politik dan pemerintahan, perubahan sosial dan budaya, lalu melahairkan reaksi kencang berupa ketidakpercayaan (distrust) masyarakat pada arus perubahan yang terselenggara dalam skema “seolah-olah demokrasi”. Jika krisis kepercayaan politik yang berimbas pada keretakan sosial ini dibiarkan berlatur-larut, maka kita sedang mengalami maslah serius yakni ancaman kebangkrutan.
Di sisi lain, kolumnis Kusnandar, Dadang (Kompas Edisi Jawa Barat , 17 Juli 2009) mempertanyakan masalah keadilan dalam pembinaan budaya daerah terkait dengan adanya subkultur budaya Cirebon. Tulisan tersebut kemudian ditanggapi oleh di surat kabar yang sama oleh Setiawan, Hawe dan kemudian ditanggapi pula oleh penulis Kasim, Supali dari Indramayu (Kompas Edisi Jawa Barat, 4 Agustus 2009). Masih ada tanggapan dari penulis lainnya seperti dari wartawan Bainur, Dadang, penulis S.M., Edeng , dan budayawan Cirebon Alwy, Subhanudin. Polemik tersebut menandai adanya masalah mengenai implementasi dari sebuah kebijakan pendidikan nilai kedaerahan di Jawa Barat.
Dengan demikian nampaklah bahwa implementasi pendidikan berbasis kearifan lokal berisi nilai kedaerahan dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendasar tetapi di sisi lain masih belum dapat memuaskan kebutuhan masyarakat khususnya di wilayah subkultur tertentu. Sejumlah kendala dalam pelaksanaanya antara lain disebabkan karena budaya daerah Jawa Barat terdiri dari pelbagai subkultur budaya : Sunda, Cirebon, dan Melayu-Betawi sehingga menimbulkan konsekuensi pada nilai-nilai kedaerahan yang berbeda pula. Masalah implementasi pendidikan nilai tersebut secara operasional menampakkan adanya rasa ketidakadilan dari suatu subkultur budaya terhadap subkultur budaya lainnya.
Untuk mewujudkan jati diri masyarakat yang berperilaku cerdas dan berbudi pekerti luhur, yang dicirikan dengan meningkatnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya daerah dalam kehidupan bermasyarakat, Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Rangkaian Peringatan Hari Bahasa Ibu International; Pemuatan karya sastra terbaik di media massa berbahasa daerah; Peta varian bahasa daerah di Jawa Barat; Susunan cerita rakyat berupa nasakah toponimi (asal-usul daerah); Keikutsertaan sastrawan Jawa Barat pada Temu Sastra IV anggota Mitra Praja Utama; Festival Budaya pesisir dan agraris Jawa Barat; Master plan kawasan percandian situs Batujaya; Naskah peta budaya Jawa Barat (Tahap III) bidang nilai tradisi; Penataan Ruang Pamer dan Koleksi Museum Ibu Inggit Garnasih; Dialog budaya tentang Perang Bubat; dokumentasi arsitektur bangunan tradisional di Jawa Barat; Workshop pelestarian dan pengembangan Situs Gua Pawon ; relokasi lima buah situs di Waduk Jatigede; Ekspedisi ke empat situs di wilayah Pantura; Katalogisasi situs-situs (BCB) Tahap III; Pembinaan Tenaga Teknis Konservasi dan Juru Pelihara Situs; Lomba busana tradisional Jawa Barat; 2.600 eksemplar buku penunjang bidang kesejarahan untuk disebarkan pada siswa sekolah menengah umum ; 3. 1000 eksemplar buku mengungkap nilai tradisi yang terkandung dalam seni pertunjukaan ; Pameran Nasional tenun tradisional di Museum Sri Baduga diikuti 25 museum se-Indonesia; keikut sertaan Museum Sri Baduga pada Pameran Permuseuman tingkat Nasional dan Pameran Sejarah Perjuangan Bangasa ; Pameran Keliling Permuseuman; Hasil konservasi dan reproduksi berupa satu buah replika Kawali III dan 5 buah artefak Gua Pawon; Susunan 20 naskah hasil transliterasi, terjemahan dan kajian naskah kuno dan digitalisasi 20 naskah koleksi Museum Sri Baduga; Visualisasi dan dokumentasi khazanah budaya Museum Sri Baduga; Cetakah bahan informasi dan promosi Museum Sri Baduga (1000 buku Kujang), 5000 leaflet, 200 foto, 1000 kalender, 10 media, 2 baligo); Renovasi rumah adat Kampung Pulo ; Musholla di lokasi situs Gua Pawon; Site Plan Gua Pawon; Rapat Koordinasi persiapan; Workshop pembelajaran teater tradisional; Fasilitasi sastrawan “nganjang ka sakola”; Fasilitasi lomba cabaret; Pasanggiri dan Apresiasi Sastra dan Seni Daerah di empat wilayah; Pasanggiri dan Apresiasi Sastra dan Seni Daerah tingkat Provinsi; Monitoring dan Evaluasi; Peningkatan minat siswa terhadap bahasa, sastra dan seni daerah ; Workshop penyusunan rencana pembelajaran bahasa, sastra dan aksara daerah; pelatihan bahasa dan sastra daerah untuk guru SD; Pelatihan bahasa dan sastra daerah untuk guru SD; Pelatihan bahasa dan sastra daerah untuk Kepala TK, SD, SMP dan SMA; Pelatihan Bahasa dan sastra daerah untuk Guru TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK.
Bahasa dan sastra daerah yang dilestarikan adalah tiga bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Jawa Barat yaitu Bahasa Sunda dengan jumlah penutur 75% dari penduduk Jawa Barat,umumnya digunakan di Wilayah Priangan, Jawa Barat bagian Tengah dan Bandung Raya; Bahasa Cirebon dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat umumnya digunakan di Wilayah Cirebon dan Bahasa Melayu-Betawi dengan jumlah penutur 10% penduduk Jawa Barat dan berada di Wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan sebagian Karawang.
Sedangkan museum yang ada di Jawa Barat sebanyak 27 buah museum terdiri dari sebuah museum umum yaitu Museum Sri Baduga di Bandung dan 27 buah museum khusus yang menyebar di wilayah Jawa Barat. Tingkat kunjungan ke Museum Sri Baduga 170 orang dari mancanagara dan 156.314 orang dari Nusantara.
Jumlah situs/cagar budaya yang ada di Jawa Barat seluruhnya 1.309 buah dan jumlah tersebut baru 60% yang terpelihara dengan baik sedangkan 40% kurang terpelihara karena berada di wilayah yang sulit dijangkau moda transportasi dan atau tidak ada juru pemelihara situs.
Pentas seni dan budaya daerah yang bertaraf nasional dan internasional sebanyak 38 kali di dalam dan luar negri.
Apresiasi Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai kearifan lokal telah nampak bermunculan di masyarakat. Banyak anak-anak muda dengan upaya kreatif melestarikan budaya daerah melalui berbagai cara dan media. Lili Suparli terpanggil mendirikan Komunitas Lawung Budaya beranggotakan 60 orang karena pemerintah dianggap belum mampu menjaga dan mengayomi serta menampilkan seni budaya daerah sebagai seni budaya nasional. KLB menampilkan kolaborasi tarian topeng Cirebon diiringi gamelan dan musik jazz Dwiki Darmawan di West Java Night di Bali Art Center Denpasar (Pikiran Rakyat, 11 April 2010).
Ada pula Fajar Persada Supandi, yang mendirikan Lentera Studio dengan bendera aBiGdev (Anak Bandung Inti Game Developer) yang membuat dua game online : Nusachallenge untuk mengenalkan budaya dan pakaian adat Indonesia dan Angklung Heroes Game, dengan mengemas kekhasan budaya daerah dari aspek music sound dan tampilan visualnya (Galamedia, 31 April 2010).
Angklung Web Institute setiap tiga bulan sekali menyelenggarakan pagelaran angklung, bahkan pada bulan Juni 2010 mengikutertakan peserta dari luar negeri seperti Madrasah Aljunied Al Islamiyah Singapura, Sari-sari Kulintang Phillipine Group dari Filipina dan pertunjukan angklung dari Thailand. Saung Udjo sebagai sebuah sanggar angklung juga menyelenggarakan seminar bamboo internasional di samping pendidikan dan pertunjukan rutin di sanggar.
Koran Kompas edisi Jawa Barat dan Pikiran Rakyat banyak memuat rubrik dan opini mengenai budaya daerah, sesekali Pikiran Rakyat memuat puisi-puisi dalam bahasa Sunda dan Cirebon, secara rutin Tribun Jabar memuat carpon (carita pondok), televise TVRI Jabar dan semua televisi lokal menyiarkan berita dalam bahasa Sunda dan Cirebon sekali dalam sehari.
Beberapa instansi pemerintah “mewajibkan” penggunaan bahasa daerah di tempat kerja sekali dalam seminggu. Budaya daerah juga muncul setahun sekali dalam peringatan-peringatan lahirnya daerah. HUT Kota Bogor 528 diperingati dalam rapat paripurna DPRD dengan menggunakan bahasa Sunda. Tapi banyak pula kegiatan itu bersifat seremonial dan tanpa perencanaan yang baik, sehingga dalam waktu beberapa bulan saja kewajiban menggunakan bahasa daerah di tempat kerja pun hilang dengan sendirinya.
Program-program di bidang pendidikan khususnya pendidikan dasar adalah : menuntaskan Jawa Barat bebas buta aksara; mewujudkan Jawa Barat bebas biaya pendidikan dasar dalam rangka penuntasan wajar dikdas Sembilan tahun; mewujudkan Jawa Barat bebas putus jenjang sekolah dalam rangka pelaksanaan wajar dua bela tahun di seluruh Kabupaten/Kota; meningkatkan pengelolaan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah; meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah; meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan Guru serta tenaga kependidikan. Semua itu dikaitkan dengan program di bidang kebudayaan untuk meningkatkan upaya revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang relevan bagi peningkatan kemajuan Jawa Barat yang mengacu pada Perda-perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah; Nomor 6 Tahun 2003 tantang Pemeliharaan Kesenian, dan Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum.
Nampaknya dalam pengalokasian anggaran di Provinsi Jawa Barat harus memperhatikan keseimbangan antar wilayah, apalagi wilayah dengan kondisi khusus daerah seperti wilayah Cirebon yang merupakan pusat keraton di Jawa Barat saat ini. Jika tidak maka kasus Sultan Kanoman XII Raja Muhammad Emiruddin mendemo Wali Kota Cirebon Subardi (Tribun Jabar 4 Juni 2010) menuntut anggaran perbaikan keraton yang telah rusak parah bisa terulang lagi di waktu mendatang. Padahal dukungan keraton terhadap pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan intangible benefits yang harus diperhitungkan. Belum lagi jika dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai variable konteks sosial (Avory et al.: 2008: ) sebagai sumber variasi dalam pencapaian pembelajaran bahasa.
Demonstrasi Keraton Kanoman mestinya tidak perlu terjadi jika dilakukan kebijakan yang sama seperti terhadap peninggalan budaya Sunda di Sumedang. Renovasi museum Prabu Geusan Ulun Sumedang menghabiskan dana Rp 1,9 milyar yang dikucurkan dari Dinas Pemukiman dan Perumahan Jawa Barat dan Disparbud Jawa Barat dan APBN (Radar 7 Juni 2010). Perhatian itu berkaitan dengan posisi Sumedang sebagai pusat budaya sunda atau Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) seperti dinyatakan Edi Ruhimant Kepala Bidang Objek Data Turis Wisata (ODTW) Disbudparpora Sumedang.
Paradoks juga muncul pada saat Kota/Kabupaten kekurangan anggaran, peningkatan anggaran di tingkat Provinsi nampaknya belum disertai kemampuan untuk menggunakannya, sebagai contoh 12% APBD Provinsi Jawa Barat tahun 2009 tidak terserap. Hal itu menunjukkan bahwa pada aspek perencanaan masih terjadi kelemahan. Dari jumlah APBD Rp 9,2 trilyun hanya terserap 8,06 trilyun (87,66%), Gubernur beralasan hal itu karena efisiensi dan akan digunakan membiayai pos-pos yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. “Efisiensi dan efektifitas sebagai indikator penggunaan APBD”, sehingga Gubernur menginstruksikan untuk mengefisienkan belanja yang tidak langsung menyentuh kepentingan masyarakat banyak seperti anggaran rapat-rapat di hotel-hotel harus dibatasi. Pada sisi lain Bansos (bantuan sosial) harus berdasarkan prinsip kehati-hatian, harus memenuhi syarat administrative, bermanfaat bagi masyarakat dan akuntabel (Galamedia, 31 Mei 2010). Anggota DPRD yang lain, Supriadin mengeluhkan kurangnya pemerataan alokasi anggaran pendidikan, di Kota Bandung banyak sekolah kekurangan murid sementara di Tasikmalaya kekurangan sekolah. Di samping itu iapun mengeluhkan kurangnya transparansi eksekutif karena hanya melaporkan total anggaran tanpa memberikan rinciannya.
Ditinjau dari tipe-tipe analisis kebijakan yang dikemukakan Fowler (2009) maka pengalokasian anggaran pendidikan berbasis kearifan daerah di Provinsi Jawa Barat merupakan gabungan dari pelbagai kebijakan yang bisa dikategorikan distributive, regulatori (Lowi), rangsangan, membangun kapasitas (McDoneell & Elmore). Di lihat dari analisis biaya dan keefektifan biaya (Levin) pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20% baru merupakan belanja (expenditure) yang belum mencerminkan biaya (cost) karena belum adanya unit cost pendidikan yang baku, di samping itu lebih banyak indirect cost (belanja tidak langsung) dibandung direct cost (belanja langsung).
Dari sisi benefit, sudah memperlihatkan tangible benefits dalam bentuk angka-angka APK, RLS dan AMH namun belum mengukur intangible benefits seperti dukungan komunitas terhadap program-program pendidikan. Penelusuran terhadap intangible benefits menunjukkan fenomena apresiasi generasi muda pada budaya daerah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh Lili Suparli terpanggil mendirikan Komunitas Lawung Budaya beranggotakan 60 orang karena pemerintah dianggap belum mampu menjaga dan mengayomi serta menampilkan seni budaya daerah sebagai seni budaya nasional. KLB menampilkan kolaborasi tarian topeng Cirebon diiringi gamelan dan music jazz Dwiki Darmawan di West Java Night di Bali Art Center Denpasar.(Pikiran Rakyat, 11 April 2010). Ada pula Fajar Persada Supandi, yang mendirikan Lentera Studio dengan bendera aBiGdev ( Anak Bandung Inti Game Developer) yang membuat dua game online : Nusachallenge untuk mengenalkan budaya dan pakaian adat Indonesia dan Angklung Heroes Game, dengan mengemas kekhasan budaya daerah dari aspek music sound dan tampilan visualnya (Galamedia, 31 April 2010).
Intangible benefits tersebut selaras dengan pandangan Surakhmad mengenai “kebijakan pendidikan yang meng-Indonesiakan” yang mengarah pada tiga tujuan, yaitu : pertama, pendidikan sebagai proses yang mewujudkan nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila, dalam arti merupakan kebijakan hidup yang berarti kebijakan berbangsa setiap warga Negara. Kedua, pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan yang mengutamakan tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang membudayakan. Dengan demikian pendidikan sekaligus berarti kebijakan pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga Negara. Ketiga, pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagaman.
Di sisi lain pendidikan berbasis kearifan lokal tidaklah menimbulkan ethno-sentrisme karena ada nilai-nilai menghargai tamu seperti “someah hade ka semah”. Nilai ini menjadi tema diskusi “Tepang sono Inohong Jawa Barat” di Savoy Homan 30 April 2010 yang dihadiri budayawan dan seniman. Mereka mendiskusikan mengenai keramahan yang harus tetap dipertahankan, falsafahnya tamu harus diambut baik (Galamedia 1 Mei 2010).
Nilai-nilai lain juga nampak dari sastra lisan yang popular di Cirebon adalah pesan/ wasiat Sinuhun Sunan Gunungjati Syekh Syarif Hidayatullah : ingsun titip tajug lan fakir miskin. Menurut Kusnandar seorang pengamat budaya dari Cirebon, pesan ini juga mesti didekati bukan hanya semata yang bersifat materi, melainkan juga miskin dalam pemahaman (pengetahuan). Artinya titik tekan miskin juga pada soal immateri. Tajug artinya kehormatan, tidak hanya sebentuk mushalla atau tempat melaksanakan shalat. Menghidupkan Sastra lisan, berarti menghidupkan kembali kekayaan lama warisan budaya bangsa. 58 bahasa daerah di Indonesia setidaknya menjadi sistem tanda betapa banyaknya sastra lisan yang pernah berlangsung dalam Peningkatan kemampuan dan budaya baca dan peningkatan kualitas pelayanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dengan demikian berhadapan dengan kenyataan indeks minat baca masyarakat yang sangat rendah yakni 0,0001 yang berarti 1000 orang membaca satu buku, sedangkan minat baca surat kabar hanya 5,3 juta atau 15,4 % penduduk Jawa Barat, sedangkan indeks minat baca orang Singapura adalah 0,550 yang berarti 1000 orang membaca 550 buku.
Taufik Faturohman dari Penerbit Geger Sunten mengatakan lima tahun terakhir buku fiksi bahasa Sunda yang diterbitkan semakin berkurang dari 20 buku menjadi lima buku per tahun itupun dicetak hanya 2000 lembar dengan upah hanya Rp 1 juta- 2 juta dalam tiga tahun. Rahmat Hidayat dari Penerbit Kiblat mencetak yang semula mencetak 3000 eksemplar kini hanya mencetak 1000 eksemplar saja karena penjualannya sangat lambat, rata-rata hanya dapat menjual 500 eksemplar per tahun. Para penerbit mengatakan bahwa keterlibatan Disdik Jabar sangat kurang (Kompas 7 Januari 2008 dan 17 Maret 2009). Kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah baru berupa workshop bagi 130 kepala sekolah dan pelatihan tenaga perpustakaan bagi 208 orang.
Peningkatan upaya revitalisasi nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal yang selaras dengan perkembangan zaman harus memperhatikan keluhan dan harapan masyarakat. Ade Hidayat, Guru PKn SMK Bhakti Kencana, Limbangan Garut mengatakan Pendidikan Indonesia yang dikenal kental dengan nilai budaya, moral dan religiusitasnya ternyata tidak mampu membuktikan keunggulan karakter dibandingkan negara liberal yang ateis tapi patuh pada hukum (Tribun Jabar 13 April 2010).
Iwan Setiawan, dosen dan sekretaris Puslit Dinamika Pembangunan LPPM Unpad, menyatakan bahwa secara historis-empiris kreativitas dan keinovatifan masyarakat Jawa Barat tidak diragukan. Dalam berkarya dan berkarsa masyarakat Jabar sangat berprinsip (tidak tuturut munding), mengusung keunggulan lokal (comparative advantage), menjunjung tinggi keberagaman (diversification) dan berorientasi nilai daya saing (competitive advantage) sehingga dihasilkan kekayaan yang tidak saja beragam, tetapi juga bernilai artistik, futuristik, dan sosio-ekonomik. Kekayaan Jawa Barat berbasis sumber daya alam, berbentuk sosial ekonomik dan budaya. Kekayaan budaya bisa dilihat pada kampong adat seperti Kampung Naga, kampung Kuta, kampung Dukuh, kampung Baduy, Kampung Cigugur; pada artefak dan situs sejarah Banten, Sumedang Larang, Cirebon, Galuh, Pakuan, Pajajaran; pada kesenian angklung, topeng Pantura, tembang sunda Cianjuran, wayang golek, tarling, benjang, pencak silat, dan jaipongan. “Pemerintah kota/kabupaten dan pemprov harus berbuat lebih cepat, konsisten dan tertib (jangan rumit dan mahal) melindungi, menata administrasi, menglengkapi dokumentasi (paten, sertifikasi) dan memberdayakan kekayaan masyarakat” (Tribun Jabar, 22 Mei 2010).
Opini-opini tersebut nampaknya mengarah pada perlunya peninjauan muatan lokal di sekolah-sekolah terutama yang berkaitan dengan kearifan lokal agar lebih fungsional terhadap kondisi dan tantangan lokal.
Contextualization of finding is frequently the main element lacking in educational research evidence and resultant policymaking (Carnoy, 1999; Zayda 2005). This means that evidence for educational policymaking often consists of unsubstantiated findings or one-shot fenomena that may take precedence over long-term trends and cultural characteristics (Ball, 1998). Indeed, making educational policy exclusively on the basis of empirical research evidence is neither possible nor preferred in many cases because of the importance of considering the evidence within context (Whitty, 2006).
Dinas Pendidikan (Disdik) Sumedang tengah menyusun standarisasi kinerja Kepala Sekolah, Guru dan Siswa yang akan diwarnai oleh konsep dan nilai-nilai strategis pembangunan Sumedang sebagai Puseur Budaya Pasundan. Akan disusun sebuah tata tertib sekolah sebagai acuan norma berperilaku di sekolah yang bermuatan nilai-nilai budaya Sunda. Budaya tersebut dibentuk melalui proses pembiasaan di sekolah misalnya dilarang berbicara kasar.
UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain:
1) Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”
2) Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3) Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas.
4) Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5) Meningkatkan pemanfaatan information and communication technology (ICT) dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah.
6) Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan profesional guru.
7) Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8) Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9) Melaksanakan Quality Assurance (UNESCO, 2001).
Pemerintah Provinsi Jawa Barat nampaknya harus memulai menyesuaikan diri dengan standarisasi Unesco tersebut dalam meningkatkan kualitas pendidikannya agar dapat berkompetisi dalam kehidupan global.
*Harjoko Sangganagara, peserta Program S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Langganan:
Postingan (Atom)