Harjoko Sangganagara
A. Peta Masyarakat Indonesia : Struktur dan Kultur
1. Struktur dan Kultur
a. Struktur Sosial
Modern
(1) struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiangtiangmasyarakat adalah organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasukorganisasi profesional dan fungsional
(2) Se bagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan mene ngah; lapisan atas dan ba wah adalah minoritas.
(3) Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat suatu continuum
(4) Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun kebawah.
(5) Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan. Orang modern adalah orang organisasi” (organization man).
Tradisional
(1) kekerabatan, kesukuan, atau keaga maan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, organisasiorganisasiserupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup.
(2) Pada masyarakat tradisional dan pramodern, sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah.
(3) Dalam masyarakat tradisional pembatas antarstrata sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang melewati batas itu.
(4) Sebaliknya dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di atas.
b. Kultur
Ginandjar membedakan antara masyarakat tradisional dengan modern pada tiga hal : tindakan-tindakan sosial, orientasi terhadap perubahan dan berkembangnya organisasi dan diferensiasi.
Modern
• Tindakan Sosial lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihanpilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.
• Orientasi terhadap perubahan senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.
• Berkembangnya organisasi dan diferensiasi. organisasi berkembang, cakupannya makin luas dan makin rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin maju
Tradisional
Tindakan2 Sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi, atau prescribed action.
Orientasi terhadap perubahan. perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun
Berkembangnya organisasi dan diferensiasi. membutuhkan organisasi yang sangat sede rhana, cakupannya terbatas, tugasnya juga terba tas
2. Pemetaan Sosio-Kultural-Politik
a. Postulat :
1) Bung Karno mengajukan suatu tesis mengenai kekuatan politik dalam perjuangan melawan kolonialisme yang menggabungkan aspek struktur sosial dan budaya yang dinamakan : Nasionalisme, Islamisme, Marxisme dan Marhaenis-Marhaen (Dibawah Bendera Revolusi Jilid I);
2) Clifford Geertz dengan mendasarkan penelitian untuk penulisan disertasinya yang dilakukan di Mojokuto (Pare, Kediri) membuat model masyarakat Jawa berdasarkan kultur yang dipengaruhi oleh sikap keberagamaan dan status sosialnya di masyarakat: Santri, Abangan, Priyayi (Religion of Java)
3) Herbert Feith yang mengkai pemikiran dan kekuatan politik Indonesia antara tahun 1945 hingga 1965 membuat klasifikasi kepartaian berdasarkan warna ideologisnya :Nasionalisme Radikal, Islam, Sosialisme-Demokrat, Komunisme, Hindu Jawa
4) Koentjaraningrat membagi struktur sosial ke dalam “wong sugih dan wong cilik”.
b. Simplifikasi Struktur dan Kultur
Struktur
1. Wong Sugih/Priyayi
2. Wong Cilik
Kultur
1. Santri
2. Abangan
c. Model empat kuadran
1. Priyayi-Santri
2. Priyayi-abangan
3. Wong cilik-santri
4. Wong cilik-abangan
d. Implikasi terhadap Ideologi dan Kepartaian
Priyayi Santri : Islam Modern (PKS, PBB, PAN)
Priyayi Abangan : Nasionalisme, Sosdem (PG, PD)
WongCilik Santri : Islam Tradisional (PKB, PPP)
Wong Cilik Abangan : Nasionalisme Radikal, Marhaenisme (PDI Perjuangan, PNI)
e. Pemilu
1) 1955 : PNI, Masyumi, NU, PKI, PSII
2) 1971 : Golkar, NU, PNI, PSII
3) 1977-1992: Golkar, PPP, PDI
4) 1999 : PDI Perjuangan, PG, PPP, PAN, PKB
5) 2004 : PG, PDI Perjuangan, PD, PKB, PAN, PKS
6) 2009 : PD, PG, PDI Perjuangan, PKS, PAN
3. Sosial Budaya Provinsi Jawa Barat
Silih Asih Silih Asuh Silih Asah adalah filsafat hidup yang dianut mayoritas penduduk Jawa Barat. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sejatinya, inilah suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi, yang akar filsafatnya menusuk jauh ke dalam bumi dalam pengertian hafiah. Berbeda dengan peradaban masyarakat lain di Nusantara, peradaban masyarakat Jawa Barat yang berpenduduk asli dan berbahasa Sunda sangat dipengaruhi oleh alam yang subur dan alami. Itulah sebabnya, dalam interaksi sosial, masyarakat di sana menganut falsafah seperti di kutip di atas.
Selain akrab dengan alam lingkungan dan sesama manusia, manusia Sunda juga dekat dengan Tuhan yang menciptakan mereka dan menciptakan alam semesta tempat mereka berkehidupan (Triangle of life). Keakraban masyarakat Sunda dengan lingkungan tampak dari bagaimana masyarakat Jawa Barat, khususnya di pedesaan, memelihara kelestarian lingkungan. Di provinsi ini banyak muncul anggota masyarakat yang atas inisiatif sendiri memelihara lingkungan alam mereka.
Keakraban masyarakat Jawa Barat dengan Tuhan, menyebabkan masyarakat di sana relatif dikenal sebagai masyarakat yang agamis, relijius, yang memegang teguh nilai-nilai ajaran agama yang mereka anut yakni agama Islam sebagai agama dengan penganut terbesar, kemudian Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, dan lainnya. Kendati demikian, dalam proses kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa Barat relatif terbuka saat berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang cenderung sekuler dalam suatu proses interaksi dinamis dan harmonis. Peningkatan kualitas kehidupan dan kerukunan umat beragama tergambarkan dengan meningkatnya sarana peribadatan.
Budaya Jawa Barat didominasi Sunda. Adat tradisionalnya yang penuh khasanah Bumi Pasundan menjadi cermin kebudayaan di sana. Perda Kebudayaan Jawa Barat bahkan mencantumkan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, kesenian, kepurbakalaan dan sejarahnya, nilai-nilai tradisional dan juga museum sebagai bagian dari pengelolaan kebudayaan. Bahasa daerah di Jawa
Barat yang diatur dalam Perda adalah Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon/Dermayon dan Bahasa Melayu-Betawi.
Untuk melestarikan budaya Jawa Barat, pemerintah daerah menetapkan 12 desa budaya, yakni desa khas yang di tata untuk kepentingan melestarikan budaya dalam bentuk adat atau rumah adat.
B. Strategi dan Taktik
Megawati Sukarnoputri :
Setiap kader harus memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi agar dapat memperjuangkan cita-cita kerakyatan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Kesadaran tersebut harus tercermin dalam kehidupan, dalam menentukan kebijakan, dalam tingkah laku, pergaulan sosial sampai tutur kata. Kesenjangan antra cita-cita Partai dan tingkah laku sosial kader harus dihindari.
Dalam amandemen pasal 32 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Amanat dari UUD 1945 tersebut telah jelas, namun upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan nasional membutuhkan strategi
1. Asas Jatidiri dan Watak Partai (Anggaran Dasar PDI Perjuangan) :
a. Partai berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.
b. Jati diri Partai adalah Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
c. Watak Partai adalah demokratis, merdeka, pantang menyerah dan terbuka.
2. Strategi :
a. Menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika
b. Memberdayakan wong cilik dalam demokrasi politik, ekonomi dan budaya.
c. “memajukan identitas dan kebudayaan nasional” ; “mendorong multikulturalisme’; dan ‘melindungi hak-hak masyarakat adat’ (indegenous people) dalam menghadapi globalisasi (Sikap dan kebijakan politik PDI Perjuangan).
3. Taktik :
a. Merangkul ormas, pemuda/mahasiswa, NGO yang memiliki akar ideologis yang sama.
b. Memelihara warisan budaya dan sejarah.
c. Memelihara keberagaman budaya.
d. Memelihara dan merevitalisasi nilai dan artikulasi budaya daerah.
e. Menolak penyeragaman dalam kebudayaan.
f. Menolak penafsiran tunggal terhadap agama, ideology negara dan kebudayaan nasional.
g. Menempatkan estetika (seni budaya) sebagai landasan pengembangan kepribadian bangsa.
h. Pengembangan pusat-pusat kebudayaan di daerah-daerah.
i. mempromosikan budaya lokal yang sesuai dengan pembentukan kepribadian nasional.
j. Penumbuhan etos kerja dan kebanggaan nasional.
4. Tujuan
Proses pembentukan karakter bangsa karena faktor-faktor budaya oleh Catell (Phares, 1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor yang membedakan karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan ketekunan (industriousness). Syntalitas membuat karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik secara individual maupun kolektif bangsa.
Salah satu kriteria kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Bung Karno (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”
C. Peran dan Fungsi Elit Sosial Politik dalam Mengatasai Konflik Sosial di Masyarakat
1. Siapakah Elit ?
a. Elit adalah orang yang mempunyai kekuatan besar dalam sistem politik nasional; biasanya jumlahnya sedikit, mungkin hanya tiga sampai empat persen dari jumlah populasi suatu bangsa. Pada para elit, melekat ciri-ciri : orang yang membentuk keputusan-keputusan utama dalam bidang politik dan ekonomi, para menteri, legislator, pemilik dan pengawas stasiun televisi dan radio, para penguasa bisnis, para pemilik properti yang besar, birokrat tingkat tinggi, para petinggi tentara, polisi dan intel, intelektual yang dikenal dan dipercaya publik, para profesionalis (pengacara dan dokter), editor media cetak utama dan lebih luas lagi sampai pada lembaga-lembaga sosial yeng berpengaruh, pimpinan asosiasi perdagangan/industri/usaha dan pergerakan ulama dan keagamaan, perguruan tinggi dan LSM. (Hossain and Moore, 2002).
b. Istilah bagi kelompok elit kerap kali juga tertukar-tukar dengan istilah untuk politisi, kandidat, in cumbent atau enterpreneur. Elit juga harus dibedakan dari kelompok menengah (middle class), karena middle class pada dasarnya lebih diorientasikan untuk kelompok bisnis kelas-kelas wirausaha, jadi ia merupakan bagian dari elit. (Chandra, 2006).
c. Elit tidaklah merupakan blok homogen, mereka bisa terbagi dalam etnis, fungsi, politik dan ekonomi. Dan pada banyak negara elit hampir selalu secara politik dan ekonomi memiliki keterkaitan dengan negara dan sering berkembang dalam hubungan yang erat dan atau senantiasa berada di lingkungan pusat kekuasaan negara (Ornert dan Hewitt, 2006).
2. Peran Elite ( menurut ajaran Ki Hajar Dewantara)
a. Ing ngarsa sung tuladha
Memberi keteladanan dalam memelihara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat bhinneka tunggal ika.
b. Ing madya mbangun karsa
Membangun prakarsa kegotongroyongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
c. Tut wuri handayani
Memberikungan dukungan pada pelaksanaan nilai-nilai budaya daerah yang telah menjadi kearifan lokal dalam menjaga integrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Metode Analisis Sosial dan Teknik Observasi dalam Mengantisipasi Perubahan Sosial dan Pergerseran Tata Nilai dalam Budaya
“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah ummat manusia”.
Capra (1998:3)
1. Perubahan Sosial
a. Pengertian
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[1][2] Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial)
b. Gejala-gejala penyebab perubahan
Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-ciri antara lain:[4]
1) Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami perubahan baik lambat maupun cepat.
2) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
3) Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri.
4) Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat.
c. Bentuk Perubahan
1) Perubahan evolusi
Perubahan evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan.[5] Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[1] Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu.[1] Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.
2) Perubahan revolusi
Perubahan revolusi merupakan perubahan yang berlangsung secara cepat dan tidak ada kehendak atau perencanaan sebelumnya.[7] Secara sosiologis perubahan revolusi diartikan sebagai perubahan-perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat.[7] Dalam revolusi, perubahan dapat terjadi dengan direncanakan atau tidak direncanakan, dimana sering kali diawali dengan ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat yang bersangkutan.[7]
Syarat-syarat terjadinya Revolusi
Revolusi tidak dapat terjadi di setiap situasi dan kondisi masyarakat.[1] Secara sosiologi, suatu revolusi dapat terjadi harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain adalah[1]:
(1) Ada beberapa keinginan umum mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.[1]
(2) Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat tersebut.[1]
(3) Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut, untuk kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat, untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.[1]
(4) Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat. Artinya adalah bahwa tujuan tersebut bersifat konkret dan dapat dilihat oleh masyarakat. Selain itu, diperlukan juga suatu tujuan yang abstrak. Misalnya perumusan sesuatu ideologi tersebut.[1]
(5) Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor adalah baik sekali untuk memulai dengan gerakan revolusi. Apabila momentum (pemilihan waktu yang tepat) yang dipilih keliru, maka revolusi apat gagal.[1]
2. Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya)
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.
3. Konflik Sosial
Secara sosiologis, fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi, yaitu adanya kelas sosial yang disebut dengan pemilik produksi dan kelas sosial yang disebut dengan kelas buruh, dimana mereka memiliki kepentingan berbeda. Kemudian konflik sosial juga dapat terjadi disebabkan adanya penarikan legitimasi pada pihak yang menguasai oleh pihak yang dikuasai, dimana penarikan legitimasi ini berkaitan dengan masalah kesenjangan mobilitas sosial, dan tertumpuk atau terkonsentrasinya asset ekonomi, kekuasaan dan sosial pada orang atau kelompok yang sama. Selanjutnya, konflik sosial dapat terjadi disebabkan tidak berfungsinya struktur atau institusi tertentu, solidaritas atau integrasi sosial. http://www.depsos.go.id/unduh/litbang/Informasi%20Vol%2012,%20No.%2003%202007.pdf
4. Analisis
Untuk menganalisis dapat digunakan terori konflik dan analisis stratifikasi sosial.
a. Teori Konflik
memandang masyarakat itu merupakan arena perjuangan. Setiap orang dan
kelompok mempunyai interest dan berupayamewujudkannya. Karena itu, konflik akan selalu ada dalam masyarakat. Selanjutnya,secara umum dapat dikatakan bahwa teori konflik menekankan peranan kekuasaan (power) dalam menciptakan integrasi sosial, atau yang memungkinkan masyarakat itu tetap ada. Oleh sebab itu, dalam pandangan teori konflik, integrasi sosial itu bersifat temporer atau sementara, dimana kelompok yang dominan berhasil mempertahankan kekuasaannya dan keberlangsungan masyarakat yang ada. Setiap waktu, kesatuan ini terancam dan bisa runtuh manakala kelompok kekuatan yang tertindas berhasil menghimpun kekuatan dan melawan kelompok atau kelas yang dominan.
Dalam teori konflik, ide-ide atau ideologi dan norma dipandang sebagai alat (weapon) kaum penguasa (dominant class) untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri atau sistem sosial yang timpang (unequal) itu. Di sini kita mengenal jargon-jargon seperti “hegemony”, dan “ruling idea is the idea of the ruling class”.
5. Teknik Observasi
Metoda riset yang digunakan adalah studi kasus etnografis. Studi kasus etnografis melibatkan penggunaan observasi dan observasi partisipan yang disertai wawancara dan pembicaraan tak berstruktur. (Kuper &Kuper, 2000:657)
Studi etnografi (ethnographic studies) mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau sistem. Meskipun makna budaya itu sangat luas, tetapi studi etnografi biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara hidup (Sukmadinata, 2006: 62).
Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas. Hasil akhir penelitian komprehensif, suatu naratif deskriptif yang bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang menginterpretasikan seluruh aspek-aspek kehidupan dan menggambarkan kompleksitas kehidupan tersebut.
E. Sinergi dengan Stakeholders
Konflik sosial dapat diatasi, salah satunya dengan memberdayakan modal sosial yang ada di masyarakat.
1. Modal Sosial
Menyimak berbagai pengertian modal sosial kita bisa mendapatkan pengertian modal sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban, serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Di sini, dalam level mekanismenya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain.
Para kader PDI Perjuangan harus melakukan kerjasama dengan para pemangku kepentingan agar terjadi sinergi dalam mengatasi konflik di masyarakat. Di bawah ini dua pemangku kepentingan yang merupakan mitra dalam perjuangan : LSM dan Masyarakat Adat.
Social Bounding
Nilai, Kultur, Persepsi:
Simpati dan kepercayaan
Social linking
Institusi : (kelompok)
Ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan dan asosiasi
Social Bridging
Mekanisme : (aksi kelompok)
Tingkah laku kerjasama, sinergi
Sumber : Woolcock
2. Lembaga Swadaya
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. (Masyarakathttp://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Swadaya_Masyarakat)
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO).
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
• Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
• Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
• Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sbb :
• Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
• Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
• Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
• Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah
Sebuah laporan PBB tahun 1995 mengenai pemerintahan global memperkirakan ada sekitar 29.000 ONP internasional. Jumlah di tingkat nasional jauh lebih tinggi: Amerika Serikat memiliki kira-kira 2 juta ONP, kebanyakan dibentuk dalam 30 tahun terakhir. Russia memiliki 65.000 ONP. Lusinan dibentuk per harinya. Di Kenya, sekitar 240 NGO dibentuk setiap tahunnya.
3. Masyarakat Adat
Komunitas Masyarakat Adat terdapat di Desa budaya berikut:
1) Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung;
2) Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung;
3) Kampung Kuta, Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis;
4) Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi;
5) Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut;
6) Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut;
7) Kampung Adat Ciburuy, Desa Palamayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut;
8) Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya;
9) Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor;
10) Rumah Adat Citalang, Desa Citalang, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta;
11) Rumah Adat Lengkong, Desa Lengkong, Kecamatan Garangwangi, Kabupaten Kuningan;
12) Rumah Adat Panjalin, Desa Panjalin, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar