Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 hingga saat ini merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu proses demokratisasi di Indonesia. Proses itu melibatkan pelbagai unsur yang melembaga dalam masyarakat, antara lain kampus, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan dan sudah barang tentu partai politik. Suatu partai politik memiliki tujuan utama "to place their avowed leaders into the offices of government" (Encyclopedia Americana, 2001: 337). Dalam upaya mencapai tujuan untuk menempatkan para pimpinannya ke dalam lembaga pemerintahan, partai politik melakukan kegiatan yang dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi primer, sekunder dan indirect (tidak langsung).
Fungsi primer partai politik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu "the nominations of candidates for public office" dan "the mobilization of voters to elect these nominees ". Fungsi sekunder nya adalah " influencing the content and conduct of public policy ...pursuing a set of ideological principles... prepair platforms that prescribe program of public policy" (ibid. 2001) yang tujuannya untuk menarik dukungan dari para konstituen. Ketika suatu partai politik menguasai pemerintahan, para pimpinannya biasanya menjadi pengambil keputusan dalam membuat kebijakan publik. Mereka diharapkan mengalokasikan sumber-sumber publik bagi konstituen sesuai dengan kebijakan yang mereka inginkan. Sedangkan fungsi tidak langsungnya terlihat pada upaya memperkuat nilai-nilai politik masyarakat ke dalam rasionalitas tindakan dan program mereka. Partai politik juga berupaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dengan memberi kesadaran pada masyarakat akan peranan politiknya. Di dalamnya termasuk bagaimana pemerintahan dijalankan, bagaimana kebijakan publik mempengaruhi hidup mereka serta cara untuk ikut mengarahkan para pejabat publik.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dalam sistem politik lazimnya disebut dengan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan tersebut, maka pendidikan politik di kalangan internal dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak. Terlebih jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa selama berpuluh-puluh tahun di era floating mass (massa mengambang), partai politik tidak memiliki kesempatan untuk itu, terutama pada partai-partai yang tidak sempat memerintah seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PDI yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Fusi tersebut tidak terlepas dari rancang bangun politik Orde Baru yang menyederhanakan sistem kepartaian dari 10 partai menjadi 3 kelompok. Kelompok spiritual diwujudkan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kelompok nasional diwujudkan dalam PDI dan kelompok tengah (kekaryaan) diwakili oleh Golkar. Dalam perkembangannya PDI menegaskan bahwa fusi telah paripurna dan eksistensi masing-masing telah diakhiri pada Kongres ke-2 di Jakarta tanggal 17 Januari 1981. Didorong oleh tuntuntan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional serta hasil keputusan Kongres ke-5 di Denpasar Bali, maka pada tanggal 1 Februari 1999 PDI berubah nama menjadi PDI Perjuangan dengan asas Pancasila dan bercirikan Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Perubahan ini juga menandai berubahnya era kepemimpinan Suryadi yang merupakan representasi Orde Baru ke era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang menjadi simbol dari Era Reformasi. Megawati bersama-sama Amin Rais, Abdurrahman Wahid dan Sri Sultan Hamengkubuwono X didaulat oleh gerakan mahasiswa menjadi pemimpin reformasi. Hal tersebut menuntut Habibie yang menjadi Presiden terakhir Orde Baru setelah Soeharto lengser keprabon, secara elegan turut mengawal kelahiran era baru dengan para pemimpinnya yang baru.
Setelah memenangi Pemilihan Umum 7 Juni 1999 yang demokratis , PDI Perjuangan menempatkan para kadernya pada lembaga eksekutif dan legislatif. Terasa sekali kesenjangan antara kapabilitas para kader dengan kapasitas tugas yang harus dijalankan yang secara umum banyak memunculkan kritik dari pelbagai kalangan. Bahkan kritik terkeras mengatakan PDI Perjuangan telah gagal mengelola kemenangan. Winters (2004:115) menyebutnya "the mistakes of the PDIP and Mega" dan mengatakan bahwa "the biggest failure is that the PDIP ”failed completely to politically `mobilize' the people… But this criticism cannot be made only for PDIP. It must be made against `all’ the parties".
Kegagalan seperti yang dimaksudkan Winters disebabkan oleh kondisi nyata sumber daya manusia yang ada dalam tubuh Partai, berkaitan dengan kepribadian mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kader Partai yang menduduki jabatan-jabatan publik berperilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat, misalnya berjudi, bermabuk-mabukan, berfoya-foya, berselingkuh hingga berperilaku koruptif. Perilaku seperti itu menurut Kartono (1983:10) termasuk dalam kategori perilaku yang menyimpang (deviasi atau diferensiasi). Hal-hal seperti itu menjauhkan mereka dari tanggungjawabnya terhadap Partai dan masyarakat dan mempengaruhi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam percaturan antara bangsa Indonesia menempati peringkat pendidikan di bawah Vietnam (Matrikulasi PPS UPI 2001), dengan produktivitas yang rendah karena rendahnya daya saing (Pikiran Rakyat, Desember 2003). Laporan UNDP tahun 2004 (United Nations Depelovment Program) menempatkan posisi HDI (Human Develovment Index) manusia Indonesia pada urutan ke-111 dari 177 negara. Di Jawa Barat khususnya, yang dikenal sebagai centre of knowledge (kiblat ilmu pengetahuan karena dihuni 300 perguruan tinggi swasta maupun negeri yang prestisius), ternyata tidak manunjukan kualitas SDM yang tinggi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai parameter untuk menentukan kualitas SDM ternyata memprihatinkan. Menurut catatan, IPM Jawa Barat baru mencapai angka 68. Padahal standar internasional UNDP dan UNESCO menyaratkan angka minimal 80 (“PR” 8/1/2003). Komponen dalam IPM adalah indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks kesehatan (angka harapan hidup) dan indeks daya beli (konsumsi per kapita) (Perda No. 3 Tahun 2003 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat). Angka melek huruf sebesar 91,87% sedangkan rata-rata lama sekolah adalah 6,68 tahun, dengan Indramayu terendah sebesar 3,9 tahun dan Kota Bandung tertinggi sebesar 9,6 tahun (Rencana Pembangunan Makro Pendidikan, 2002).
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat, Angka Harapan Hidup (AHP) penduduk Jawa Barat meningkat dari 62,92 tahun pada 1998 menjadi 64,40 tahun pada tahun 2000 (Setiawan, 2002:7). Namun demikian peringkat kesehatan penduduk Jawa Barat masih berada diurutan 16 dari 30 provinsi di Indonesia (Galamedia, 12/1/2004). Penyebab rendahnya derajat kesehatan warga Jawa Barat antara lain karena 10 juta dari 35 juta jiwa Jawa Barat masih hidup di bawah garis kemiskinan dan belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini menyebabkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia berada di bawah negara ASEAN lainnya. Dirjen Pelayanan Medik, dr. Sri Astuti S. Suparmanto, MSc. mengatakan bahwa rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan pula oleh rendahnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat. (Galamedia, 12/1/2003). Indikator IPM lainnya adalah daya beli masyarakat (purchasing power) yang merupakan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi barang-barang kebutuhan baik primer, sekunder, maupun tersier dari pendapatan atau gaji yang mereka peroleh. Daya beli masyarakat Jawa Barat ditandai dengan indeks sebesar 38,5 pada tahun 1999, dan 55,1 pada tahun 2001 (Setiawan, 2002:34).
Menyadari akan hal tersebut Megawati ( Buku Panduan Badiklatpus PDI Perjuangan, 2002) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada pengalaman bangsa-bangsa lain, dan berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang tidak terbantahkan. Tidak akan pernah ada Partai yang besar tanpa disiplin. Disiplin memang telah secara keliru diasosiasikan dengan militer. Karenanya, ketika coba ditegakkan ada saja yang mengira sebagai proses militerisasi padahal disiplin bukan soal militer apalagi militerisasi. Juga bukan monopoli militer karena disiplin pada intinya merupakan kepatuhan pada sistem dan aturan bermain, disiplin diperlukan oleh semua institusi, disiplin bahkan menjadi prinsip bagi bekerjanya sebuah sistem sosial yang baik.
Untuk memperbaiki kinerja orang-orang partai dalam lembaga-lembaga pemerintahan maupun pada struktur internal partai; didirikanlah Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) yang merupakan realisasi dari keputusan Kongres I PDI Perjuangan di Semarang. Lembaga ini merupakan sayap partai dan bertanggungjawab pada Dewan Pimpinan Partai (DPP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Pada tingkat propinsi dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Daerah Daerah (Badiklatda) dan di tingkat kota dan kabupaten dibentuk Badan Pendidikan dan Latihan Cabang (Badiklatcab). Pembentukan Badiklat adalah untuk menyiapkan anggota partai menjadi kader melalui suatu proses pendidikan dan latihan.
Di samping membentuk Badiklat, Partai pun membentuk sayap Partai yang bernama Baitul Muslimin Indonesia (BMI), yang dimasudkan untuk mewadahi kelompok keagamaan Islam yang juga merupakan sumber kader bagi Partai. Lahirnya BMI mendapat apresiasi publik ditandai dengan kehadiran pimpinan tertinggi Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Muzadi dan Prof. Dr. Dien Syamsudin.
Kader berasal dari kata "le cadre" (bingkai) adalah orang-orang yang ditempatkan pada struktural partai dan juga orang orang yang ditempatkan pada struktural pemerintahan maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti parlemen (cadre are persons appointed to paid positions in either the government or party apparatus) . Kader merupakan tenaga inti penggerak partai. Partai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: partai proto (protoparties) , partai kader, partai massa, partai diktatorial dan partai kombinasi kader-massa ( catchall parties) (Encyclopedia Americana, 2001:337, 491). Kader partai diperlukan pada semua partai terutama partai kader, partai massa, dan partai kombinasi kader-massa. Adanya kader juga merupakan prasyarat bagi sebuah partai modern. Muradi mengutip Satori (PR, 28 Februari 2005) menyatakan bahwa 4 syarat partai modern adalah terbuka, memiliki ideologi demokratis, regenerasi yang teratur dan sistem pengkaderan yang baik .
Tantangan yang nampak di depan mata bagi kader partai adalah masuknya Indonesia ke dalam era kesejagadan (globalisasi). Era kesejagadan itu umumnya dipersepsi secara negatif baik karena pandangan ideologis (karena dianggap sebagai westernisasi) maupun pragmatis (karena dampaknya).
Noer (2003:249) berpandangan bahwa globalisasi yang berkembang sekarang memperlihatkan mengecilnya dunia bagaikan menjadi satu sehingga batas-batas negara dan budaya serta peradaban lebih menipis dan kecenderungan yang ada ialah menjurus ke satu arah, praktis dalam semua bidang hidup dari Barat.
Menanggapi globalisasi , Madjid (1998:198) mengajak kita "mulai sungguh-¬sungguh memperhatikan segenap potensi nasional kita, baik dalam artian sumber daya manusia maupun dalam sumber daya alam"
Memperhatikan secara sungguh-sungguh potensi nasional dengan ketangguhan ekonomi nasional adalah dengan menyiapkan mutu sumber daya manusia. Dalam pernyataan tersebut terkandung makna pemberdayaan potensi¬ potensi nasional. Frasa pemberdayaan nasional membawa kita pada sentimen nasional dan akan membantu jika kita memahami pula nasionalisme (faham kebangsaan). Nasionalisme termasuk dalam ideologi poltik kontemporer (Eatwell dan Wright, ed., 2004:20), yang merupakan:
"Ideologi yang daya dorong afektifnya adalah rasa memiliki dan melayani suatu komunitas nasional. Para pengikut ideologi ini memberikan identitas budaya yang khas kepada bangsa mereka yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain dan memberinya tempat istimewa dalam proses sejarah. Komunitas ini dikenali (biasanya secara tidak sadar) dengan sekumpulan karakteristik khas yang diperoleh dari realitas konstitusional, historis, geografis, religius, linguistik, etnis, dan atau genetis”.
Agar nasionalisme berjalan secara positif menjadi penguat potensi nasional vis a vis gejala globalisasi yang mengancam , dan tidak sebaliknya menjadi chauvinisme, etnosentrisme, kebencian terhadap bangsa asing (xenofobia) dan diskriminasi atas dasar etnisitas (rasisme), diperlukan pendidikan nilai yang benar. PDI Perjuangan sebagai partai yang bercirikan nasionalisme, kerakyatan dan demokrasi dengan caranya sendiri melakukan proses pendidikan tersebut.
Pendidikan nilai-nilai kebangsaan dalam kerangka membangun persatuan dan karakter bangsa oleh Soekarno (Yudhoyono dalam Ishak, 2001: 162) disebut sebagai ‘state, nation and character building' yang pada intinya bertumpu pada kedaulatan di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan atau Trisakti. Domain dan dimensi budaya amat luas, terkandung di dalamnya nilai dan perilaku; etika, moral, budi pekerti; gagasan, pengetahuan, dan teknologi; kepribadian dan jati diri.
Kuatnya nilai-nilai kebangsaan diharapkan dapat menguatkan keinginan untuk berbuat dan mengabdi pada bangsa. Untuk menimbulkan pengabdian yang tulus diperlukan rasa cinta. Gandhi (1980: 164) mengatakan jika pengabdian dilakukan karena pamer atau takut pada pendapat umum, akan menjadi beban dan menekan jiwa. Pengabdian harus dilakukan dengan rasa gembira, agar menguntungkan bagi pelaku maupun yang dilayaninya. Semua kesenangan dan harta benda akan sirna di hadapan pengabdian yang dijalankan dengan hati gembira.
Proses pendidikan nilai tersebut dilakukan oleh Badiklat yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader yang memiliki tradisi intelektual dan kenegarawanan dengan memahami ideologi Pancasila, trampil berpolitik, mampu memimpin dan berorganisasi, memiliki kepekaan dan keberpihakan sosial.
Untuk menyiapkan kader atau biasa dinamakan kaderisasi Badiklat membentuk rangkaian kegiatan yang terorganisir yang dinamakan Sekolah. Sekolah ini hanya berlangsung beberapa hari , dimulai sejak subuh hingga malam hari . Sebagaimana layaknya sebuah sekolah, maka di dalamnya terdapat seorang Kepala Sekolah , Guru, Siswa, bahan ajar serta material pendukung. Di samping itu ada Panitia yang membantu proses pendidikan dan latihan berlangsung. Guru terdiri dari kader partai yang dinyatakan kompeten dan dosen-dosen tamu dari pelbagai perguruan tinggi yang diundang untuk mengajar. Kepala Sekolah, Guru dan Panitia terhimpun dalam suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh partai dengan suatu surat keputusan untuk suatu masa tertentu. Ada pun yang disebut siswa merupakan para pengurus dan anggota partai dari pelbagai daerah dan tingkatan yang ditugaskan untuk mengikuti diklat tersebut. Kurikulum yang digunakan dalam sekolah merupakan serangkaian bahan ajar yang dipilih dan ditentukan secara selektif oleh partai sedang aktifitas belajar mengajarnya dilakukan di dalam dan luar kelas, sebisa mungkin disampaikan dengan cara interaktif.
Penelitian ini menggambarkan mengenai pola kaderisasi dalam pembinaan kepribadian nasional, bertumpu pada empat hal, yakni : disiplin kader, interaksi edukasi Guru-Siswa, interaksi sosial Siswa dan sistem pembelajaran. Subyek dalam penelitian ini adalah para peserta kursus kader yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) PDI Perjuangan. Penelitian ini menyoroti lemahnya kepribadian calon kader berkaitan dengan disiplin diri yang pada gilirannya melemahkan potensi Partai pada khususnya dan bangsa secara keseluruhan. Bangsa yang memiliki kepribadian dengan disiplin diri yang kuat terbukti mampu mengembangkan seluruh potensinya secara produktif dan memiliki peran yang penting dalam pergaulan umat manusia. Kuatnya kepribadian bangsa dengan disiplin diri yang kuat memiliki hubungan dengan kuatnya rasa kebangsaan. Darwin (Kompas edisi Yogyakarta, 12 April 2007) mensinyalir bahwa Negara gagal menjalankan peran-peran dasarnya, sehingga watak bangsa yang penuh paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga kini mengalami krisis kebangsaan. Berdasarkan sinyalemen tersebut dapat disimpulkan bahwa jika diharapkan memiliki kepribadian yang kuat maka penbinaan kebangsaan dalam kerngka pengembangan kepribadian perlu dilakukan secara sistematis, antara lain melalui Partai. Dengan demikian diharapkan kader Partai memiliki kepribadian yang matang .
Manusia dengan kepribadian yang matang menurut Tillich ( 1953: 57 ) adalah orang yang memiliki kepribadian untuk hidup, bersifat serius, tekun dan punya rasa tanggungjawab, serta bisa menerima kenyataan hidup. Sedangkan menurut Allport (1937) kepribadian yang matang ditandai dengan kesadaran atau wawasan yang luas tentang diri dan orang lain; memiliki rasa kasih sayang; sadar akan kekuatan diri; mempunyai kesediaan untuk tunduk pada kekuasaan orang lain; mempunyai ambisi dan minat estetis; punya sentimen keluarga dan emosi-emosi religius. Kesejahteraan orang lain dianggap sama pentingnya dengan kesejahteraan sendiri; jadi orang lain itu dianggap identik dan sama nilainya dengan diri sendiri. Dia memiliki partisipasi yang bersungguh-sungguh terhadap kehidupan ini.
Hamka (1982: 18) mengkaitkan kepribadian dengan negara dan bangsa yang merdeka. Negara dan bangsa yang merdeka, menumbuhkan kermerdekaan pribadi. Orang menerima akan pembagian tugas dengan rela. Segala kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Dia adalah anggota dari satu bangsa besar, dan kumpulan segenap pribadi, itulah yang menjelmakan pribadi bangsa.