PENDIDIKAN PADA ERA POLITIK ETIS 1901-1930
(Sebuah Pengantar Diskusi)
Harjoko S.
Ketua Bidang Pendidikan ISRI
Disampaikan Pada Diskusi Tematik V
Ikatan Sarjana Republik Indonesia
Jakarta, 1 Desember 2018
I. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN POLITIK ETIS
A. Cultuur Stelsel (Tanam Paksa)
1. Mengisi Kekosongan Kas
Cultuur Stelsel atau Sistem Tanam Paksa dirancang oleh Gubernur Jendral
Johannes van den Bosch untuk mengatasi kosongnya keuangan negara Belanda
akibat Perang Dipanagara (1830), Perang Kemerdekaan Belgia dan kekurangan
penerimaan pajak tanah. Sistem Tanam Paksa merupakan gabungan antara
Preangerstelsel dan pajak tanah.
Semula untuk mengisi kekosongan kas negara itu, Belanda ingin
menjalankan pertanian sesuai adat istiadat masyarakat pribumi tetapi sistem ini
gagal dilaksanakan. Meskipun ditentang oleh para pemimpin kelompok liberal di
Belanda seperti Elout dan Raad van Indie, usul tersebut tetap disetujui oleh Raja
Willem I karena kosongnya kas negara Belanda.
2. Penyimpangan
Dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan antara kebijakan dan
implementasinya. Beberapa contoh : (1) rakyat menanam seperlima bagian
tanahnya dengan tanaman ekspor seperti kopi, tebu, nila dan tembakau secara
sukarela. Dalam praktik tanah untuk tanaman ekspor mencapai separuh bahkan
seluruh bagian sawah desa; (2) tanah yang ditanami tanaman ekspor dibebaskan
dari pajak tanah. Praktiknya tanah tetap dikenai pajak; (3) setiap kelebihan hasil
tanaman dari jumlah pajak yang harus dibayarkan akan dikembalikan ke desa atau
rakyat. Praktiknya pengembalian kelebihan hasil sangat sedikit tidak sebanding
dengan nilai kelebihan tersebut; (4) kegagalan panen akan ditanggung pemerintah.
Praktiknya kegagalan panen lebih banyak ditanggung oleh petani sendiri; (5)
wajib tanam paksa dapat diganti dengan pencurahan tenaga sukarela untuk
pengangkutan, kerja di pabrik atau perkebunan pemerintah. Praktiknya tenaga
sukarela ternyata dilaksanakan secara paksa dan melebihi waktu yang telah
ditetapkan dan tidak jarang jauh dari tempat tinggalnya sehingga petani tidak
sempat menanam padi.
2 | hs – isri 2018
Sistem insentif bagi petugas memperparah situasi. Tidak jarang para petugas
berusaha keras mempertinggi produksi dengan kekerasan dan tekanan kepada
rakyat. 800.000 keluarga atau 4 juta orang atau seperempat jumlah penduduk
terlibat dalam usaha ini. Di pulau Jawa misalnya semua laki-laki dari beberapa
desa dikerahkan menanam nila selama tujuh bulan pada tempat yang jauh dari
tempat tinggalnya. Sementara sekitar 5.000 laki-laki dan 3.000 ekor kerbau
mengerjakan tanah pabrik selama lima bulan.
Diberitakan bahwa pekerjaan di pabrik tiga kali lebih berat daripada
pekerjaan mengolah sawah. Jumlah pohon kopi diperbanyak sewenang-
wenang dan para penanam kopi dikumpulkan di lokasi konsentrasi dan sering
sangat jauh dari desanya. Pekerjaan berat juga dilakukan untuk pengangkutan,
pengolahan hasil di pabrik, pembuatan jalan, pembuatan bendungan dan saluran-
saluran airnya serta pembuatan jembatan-jembatan yang semuanya tidak diupah.
3. Keuntungan dari Cultuur |Stelsel
Selama tahun 1841-1863 Belanda memperoleh keuntungan 461 juta gulden.
Tahun 1863-1866 keuntungan mencapai 692 juta gulden. Tahun 1867-1877
keuntungan mencapai 151 juta gulden. Belanda pun dapat melunasi utangnya dan
kekosongan kas dapat diatasi. Pelayaran antara Hindia Belanda dan Belanda
berkembang melalui pengapalan barang oleh NHM (Nederlandsche
Handelmaatschappiy) dan Amsterdam menjadi pusat pasaran dunia untuk hasil-
hasil tropis. Hasil tenun juga ikut berkembang.
Tanam Paksa menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat karena menimbulkan
bencana kelaparan. Pada tahun 1848 Demak mengalami kelaparan. Hal yang sama
terjadi di Grbogan pada tahun 1849. Di sisi lain rakyat menjadi pekerja keras dan
disiplin; mengenal cara bercocok tanam yang benar dan modern; menerima
manfaat dari pembangunan bendungan, saluran air, jalan raya dan jembatan; serta
mengenal tanaman yang laku di pasaran seperti kopi, nila, kina, karet, tembakau
dan tebu.
Tokoh tokoh seperti Multatuli, Vitalis dan Baron van Hoevel melancarkan
desakan agar Tanam Paksa dihentikan. Tanam Paksa pun dihentikan secara
bertahap. Lada pada tahun 1862. Nila pada tahun 1865. Tembakau pada tahun
1866. Tebu pada tahun 1890. Kopi pada tahun 1916. UU Landreform keluar pada
tahun 1870 dan secara resmi tanam paksa dihentikan.
Menurut Sudibjo (ENI Vol. 4, 2004:204) penghapusan berbagai jenis tanam paksa
itu terlambat karena sebenarnya kaum liberal sudah berkuasa di Belanda sejak
tahun 1848. Jelas nampak keengganan kaum liberal menghentikan tanam paksa
karena sistem itu banyak menghasilkan keuntungan bagi negri mereka.
4. Tanaman Ekspor
Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa mendatangkan tanaman tanaman ekspor
baru menggantikan rempah-rempah. Titik perekonomian ekspor ini kini lebih
3 | hs – isri 2018
meningkat di Pulau Jawa (Roger Knight, Department of History, Adelaide
University).
a. Kopi.
Sekitar tahun 1800-an Jawa merupakan pengekspor padi ke pulau pulau lain
di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Kemudian kedudukan padi
sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai ekonomi tinggi. Tidak lama
kemudian segera digantikan gabungan tanaman kopi, nila dan tebu. Kopi pertama
kali diperkenalkan Belanda di Jawa Barat pada akhir abad ke-17. Kemudian
tananan ini disebar ke Jawa, Sumatra dan pulau pulau lain. Tanaman ini pertana
kali ditanam oleh VOC untuk mencari keuntungan lebih besar dalam perdagangan
ke Eropa. Pada pertengahan abad ke-19 kopi ditanam besar-besaran di bawah
Tanam Paksa yang membuat pemerintah jajahan Hindia Belanda mendapat
cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa. Setelah penghapusan
tanam paksa secara bertahap, kopi tetap ditanam oleh sebagian pemegang saham
dan pemilik lahan yang dikelola oleh penjajah Eropa.
b. Nila (indiferra sp.).
Nila adalah pewarna dengan cara merendam tanaman dalam air hingga
menghasilkan rendaman yang lekat atau kering sampai keras seperti sabun. Nila
ditanam untuk pemakaian setempat untuk mewarnai bahan dan batik. Setelah jeda
seratus tahun lamanya, nila kemudian menjadi barang dagangan dalam skala besar
untuk menjangkau pasar dunia. Seragam biru pelaut Inggris abad ke-19 diperolah
dari celupan nila. Menjelang akhir abad ke-19 perdagangan internasional untuk
barang ini disaingi oleh pewarna dari bahan kimia buatan Jerman. Akibatnya nila
mencapai titik nadir.
c. Tebu (Saccharum sp).
Sampai memasuki abad ke-19, pemanis paling terkenal di Indonesia dibuat
dari sadapan pohon aren. Sejak tebu diperkenalkan, gula tebu merupakan industri
yang tumbuh menyambut kebutuhan pasar luar negri. Pada abad ke-17 dan ke-18
pemasaran gula tebu ditujukan ke negara Asia dan pada abad ke-19 beralih ke
Eropa dan Amerika Latin. Rakyat Indonesia baru menggunakan gula putih (gula
pasir) menjelang abad ke-20.
Industri gula tebu awalnya terpusat di Pulau Jawa yang memiliki tanah
vulkanik subur dan buruh trampil. Industri gula kemudian berada di baris depan
ekonomi gula dunia. Hanya Kuba yang menjadi pesaing dan melebihi Jawa.
Sejak tanam paksa diberlakukan seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur dipenuhi
jaringan besar industri pabrik gula. Menjelang tahun 1850 terdapat ratusan pabrik
gula dan meningkat dua kali lipat pada akhir abad.
Dengan dihapusnya sistem tanam paksa, pengelola pabrik bergerak dengan
menyewa tanah petani untuk menanam tebu. Mereka juga mengambil alih
pengerahan tenaga kerja untuk menanam memanen dan mengangkut tebu.
4 | hs – isri 2018
Meski begitu bukan berarti petani menjadi merdeka karena kewenangan tetap
dijalankan oleh kepala desa atau tuan tanah yang bekerjasama dengan industri
gula. Krisis karena menurunnya ekspor setelah tahun 1930 menjadi pertanda
buruk bagi investor agribisnis seperti yang terjadi di Asia, terutama Jepang
(Knight, 2002: 121).
B. Tanam Paksa Sebagai Inspirasi Penulisan
1. Max Havelaar
Penderitaan rakyat karena Tanam Paksa menginspirasi lahirnya novel Max
Havelaar karya Eduard Douwes Dekker yang ditulis tahun 1860. Eduard Douwes
Dekker (1820-1887) menggunakan nama samaran Multatuli. Judul lengkap novel
karya E.D. Dekker adalah "Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandse
Handelsmaatschappij"(Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang
Belanda). Jakob Sumardjo menggolongkan karya Dekker sebagai roman.
Sementara Subagio Sastrowardojo menamakan karya ini roman berstruktur cerita
berbingkai. Jenis pola ini sudah tua usianya. Jakob Sumardjo menduga bahwa
teknik bercerita berbingkai dalam roman ini mungkin dikenal Dekker semasa
bertugas di Indonesia (ENI Vol. 10, 2004:209).
Ada tiga cerita pokok dalam roman Max Havelaar yang tidak saling
berhubungan yaitu cerita pedagang Droogstoopel dan pembawa naskah Sjaalman,
cerita kehidupan Max Havelaar dan cerita Saijah Adinda yang ditutup oleh kata-
kata Multatuli.
Sedikit banyak roman ini bersifat autobiografi. Inti cerita roman ini adalah
kisah Max Havelaar yang datang ke Lebak sebagai asisten residen mencurigai
Adipati Karta Natanegara sebagai penindas rakyat dan pembunuh pejabat yang
digantikannya. Ancaman-ancaman yang datang bagai musibah terhadap diri dan
keluarganya semakin memperkuat kecurigaannya terhadap karakter buruk pejabat
pribumi yang memeras rakyatnya sendiri. Max Havelaar dipecat ketika mencoba
melaporkan kecurigaan ini kepada atasannya. Roman ini lahir karena sakit hati
dan dendam penulisnya akibat perlakuan para pejabat tinggi Hindia Belanda yang
dianggap tidak adil terhadap dirinya. Laporan dan usulnya untuk membebaskan
rakyat petani dari penindasan tidak semena-mena para pejabat pribumi kurang
ditanggapi.
Roman Max Havelaar telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia dan
melambungkan penulisnya sebagai pengarang terhormat dari negri Belanda.
Bagian-bagian roman ini, terutama bagian cerita Saijah Adinda dan Pidato Lebak
sangat populer di lingkungan masyarakat Indonesia. Roman inipun pernah
difilmkan oleh sebuah perusahaan film Belanda dan sempat diputar di Indonesia
sekitar tahun 80-90 an. Kisah Saijah Adinda telah ada sebelumnya dalam karya
sastra Belanda di Indonesia.
Kepopuleran roman ini di lingkungan kaum pergerakan disebabkan karena
isi dan semangatnya membela rakyat kecil di zaman penjajahan Belanda.
Roman Max Havelaar pada tahun 80-an diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh
5 | hs – isri 2018
penerbit Pustaka Jaya - kalau saya tidak salah. Jika kita sempat membacanya kita
akan merasakan kepedihan dalam alur ceritanya. Multatuli begitu tajam
mengkritisi perilaku pejabat pribumi dan menunjukkan simpatinya kepada rakyat
yang tertindas.
2. Multatuli
Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker (1820-1887) yang
mendedikasikan keahlian mengarang untuk membela rakyat Banten yang
menderita akibat penjajahan bangsanya sendiri. Multatuli masih bertalian darah
dengan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau Danu Dirja Setya Budhi (Dr.
Setiabudi) tokoh politik indo yang juga membela rayat Indonesia melalui jalur
politik.
Sejak berusia 18 tahun Multatuli bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda
di Sumatra Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Minahasa. Jabatannya yang
terakhir adalah asisten residen Lebak di Rangkasbitung, Banten. Saat di Banten
inilah keprihatinannya terhadap penderitaan rakyat memuncak. Penduduk Lebak
diperas habis-habisan oleh Belanda melalui bupati beserta sanak keluarganya.
Tahun 1856 Multatuli diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat
dengan atasannya. Di pengadilan ia kalah dalam perkara itu dan ia pun kembali ke
Eropa (Sorbagijo I.N., 2004:397).
Di Eropa Multatuli merekam penderitaan rakyat Banten yang ia saksikan
sendiri ke dalam buku jenis roman berjudul Max Havelaar. Ia menggunakan nama
samaran Multatuli yang artinya sangat menderita. Walaupun bukunya terbilang
laku tetapi kehidupan Multatuli bisa dikatakan merana. Ia memiliki banyak utang.
Ia pun gemar bergaul dengan banyak wanita. Multatuli meninggal sebagai orang
miskin yang tersia-sia. Karya karyanya justru terkenal setelah ia tiada. Rumah
kelahirannya di Amsterdam dijadikan museum.
Karya Multatuli yang lain adalah Ideeën (Gagasan-gagasan) yang terdiri
dari tujuh bundel, Vorstenschool (Sekolah Kerajaan) dan riwayat penghidupan
Wouterje Pieterse.
C. Ledakan Penduduk di Jawa
Tingkat kesuburan penduduk di Hindia Belanda berbeda beda. Para sarjana
sepakat bahwa masyarakat berburu dan meramu di daerah tropik lembab di
Sumatra dan Kalimantan mempunyai tingkat kesuburan rendah. Angka kematian
juga rendah. Para petani menetap di Sumatra Jawa Bali dan Sulawesi memiliki
kesuburan tinggi. Tetapi kematian bayi juga tinggi. Kelaparan yang berdampak
pada kematian tidaklah besar. Perang dan serangan menambah faktor angka
kematian normal. Sekitar tahun 1800 para wanita di Pulau Jawa rata-rata
mempunyai tujuh anak tapi jarang sampai tingkat dewasa karena tingginya
kematian bayi dan anak.
6 | hs – isri 2018
Pada abad ke-19 pembasmian cacar berjalan dengan baik. Cacar
menyebabkan 4% kematian pada tahun 1820. Penyakit cacar menyumbang 10%
pada angka kematian total. Variolasi (vaksinasi dengan zat cacar manusia) telah
dimulai tahun 1799. Vaksinasi dengan zat cacar sapi pada tahun 1804. Program
ini ditentang di beberapa daerah. Meskipun demikian 50% penduduk Jawa
tervaksinasi pada tahun 1860.
Antara tahun 1820-1850 kolera mewabah hebat di Jawa. Sementara tipus
mewabah pada tahun 1840-an. Pada akhir abad ke-19 malaria menyebar ke daerah
baru di Jawa. Pengobatan dengan kina nampaknya belum ditemukan.
Kelaparan berkurang di akhir tahun 1840. Kegagalan panen yang mencemaskan di
awal abad ke-20 membuktikan bahwa kelaparan yang meluas belum dapat diatasi.
Karena kematian karena perang, cacar dan kelaparan berlangsung turun, akibatnya
tingkat pertumbuhan penduduk tinggi.
Angka kematian yang terkait dengan perang di Sumatra Utara, Sulawesi
Tengah, Kalimantan, Bali dan Lombok masih tinggi pada awal abad ke-20.
Peter Boomgard dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde
(KITVL) Leiden, menyodorkan data jumlah penduduk pada tahun 1800 sebesar
15.700.000 dan tahun 1930 menjadi 59.300.000. Pertumbuhan paling tinggi
terjadi di Jawa yaitu sebesar 1,3%.
Penduduk Jawa pada tahun 1800 sebesar 7.500.000. Sumatra 3.500.000.
Kalimantan 700.000. Sulawesi 2.000.000. Sunda Kecil 1.600.000. Maluku dan
Papua 400.000.
Penduduk Jawa tahun 1930 sebesar 40.900.000. Sumatra 7.700.000.
Kalimantan 2.200.000. Sulawesi 4.200.000. Sunda Kecil 3.400.000. Maluku dan
Papua 900.000. Oleh karena penduduk Jawa meningkat jauh lebih cepat, pada
tahun 1900 terjadi ketidakseimbangan secara mencolok di Indonesia.
D. Masuknya Sistem Ekonomi Liberal
1. Kapitalisme Swasta
Beberapa peneliti dan penulis asing hanya sepintas lalu membicarakan
zaman liberal ini. Di antara yang membahas agak panjang adalah Ricklefs dan
Rao. Ricklefs menulis soal ini di Bagian IV bertajuk Munculnya Konsepsi
Indonesia 1900-42, pada Bab 14 berjudul Zaman Penjajahan Baru, tidak
menempatkan pada bab tersendiri. Dia menulis begini :
"Selama zaman 'liberal' (+\- 1870-1900), kapitalisme swasta memainkan pengaruh
yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai
melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu
ditingkatkan. Modal Belanda maupun internasional mencari peluang-peluang baru
bagi investasi dan eksploitasi bahan-bahan mentah, khususnya di darah luar Jawa.
Kebutuhan akan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan modern
pun terasa. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan bisnis mendukung
keterlibatan yang semakin intensif dari penjajah dalam rangka mencapai
ketentraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Para pejuang kemanusiaan
7 | hs – isri 2018
membenarkan apa yang oleh kalangan pengusaha diperkirakan akan
menguntungkan itu, dan lahirlah politik Etis tadi."
Jelas Ricklefs menempatakan zaman liberal ini sebagai conditio sine quanon dari
munculnya Politik Etis.
2. Politik Dalam Negeri Belanda
Sementara Rao menulis dalam History of Asia bahwa dengan Konstitusi
1848 Belanda menjadi liberal. Partai Liberal berkuasa tahun 1863 dan
melanjutkan reformasi. Menteri Koloni, Van de Putte menghapus tanam paksa
dan mendorong privatisasi. Banyak pengusaha Eropa memproduksi dan
memasarkan tanaman komersial. Mereka juga menanam modal di luar Jawa untuk
karet, tembakau, minyak dan pertambangan. Mereka diizinkan menyewa tanah
dan mengimpor modal dan buruh. Perusahaan besar meraup untung besar tapi
pelit untuk memberi kesejahteraan bagi buruhnya. Pemerintah Hindia Belanda
memandang perlu memperbaiki keadaan ini (2005:221).
Sedangkan Knight hanya mengatakan bahwa pada pertengahan abad ke-19 ada
sistem tanam paksa. Sementara Reid menulis bahwa pada tahun 1870 ada UU
Agraria yang menjadi kemunduran cultuurstelsel.
Dari Indonesia, Masyhuri menulis lebih dari satu halaman perihal Jaman Liberal
ini pada ENI Vol. 9. Dia juga menulis mengenai Politik Liberal pada volume yang
sama.
Dalam historiografi Indonesia, periodisasi tahun 1870 sampai 1900 sebagai
zaman liberal berdasarkan visi Neerlando-sentris atau Eropa sentris. Visi
Neerlando-sentris mengalami keruntuhan sejak berkembangnya penulisan sejarah
dengan visi Indonesia-sentris dimulai oleh J.C. van Leur (1940) dan studi sejarah
Indonesia kritis (1950).
Menurut Masyhuri, zaman liberal ditandai oleh berkembangnya usaha dan
modal swasta dari negeri Belanda dan negara-negara Eropa lainnya pada sektor
perkebunan kopi, teh, tebu, kina dan tembakau. Dengan UUD Agraria tahun 1870
terbukalah peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah dari penduduk pribumi
untuk usaha perkebunan terutama di Jawa dan Sumatra.
Sejalan pandangan Rao, pelaksanaan sistem liberal tidak lepas dari perkembangan
politik dalam negri Belanda pertengahan abad ke-19. Pendukung liberalisme
berpikir bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam ekonomi. Pada tahun
1850 golongan liberal menang. Kaum liberal berpandangan sama dengan
penguasa sebelumnya bahwa daerah jajahan tetap harus menghasilkan keuntungan
bagi negri induk (wingewest). Mereka menghendaki agar saldo surplus (batig slot)
ditransfer ke negeri Belanda. Bedanya, pendukung sistem tanam paksa melihat
Hindia Belanda sebagai suatu perusahaan Belanda sedang kaum liberal
menganggap Hindia Belanda sebagai perusahaan swasta.
Penanaman modal swasta di Hindia Belanda meningkat dengan cepat. Ekspor pun
meningkat. Sebagai contoh, produksi gula dari 2.440.000 pikul pada tahun 1870
menjadi 12.050.544 pikul pada tahun 1900.
Perkembangan usaha swasta tidak hanya terjadi pada sektor industri
perkebunan tetapi juga di bidang pertambangan dan impor barang jadi yang
8 | hs – isri 2018
dihasilkan di Belanda. Perdagangan internasional makin ramai antara Hindia
Belanda dan negara-negara lain. Perkembangan perdagangan ini juga mendorong
perkembangan perdagangan perantara untuk distribusi maupun perantara untuk
koleksi. Uang makin menerobos jauh ke dalam kehidupan rakyat.
Sekalipun keuntungan mengalir ke negri Belanda namun peningkatan
kehidupan ekonomi penduduk pribumi tidaklah seperti yang diharapkan. Pribumi
sebagai warga negara kelas tiga dan kekurangan modal serta kecakapan menjadi
hambatan besar.
Pada tahun 1855 terjadi krisis perkebunan akibat jatuhnya harga berbagai
produksi perkebunan di pasaran dunia. Sistem ekonomi liberal dianggap gagal
meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan gagal mempertahankan
tingkat kehidupan ekonomi yang ada. Pendapatan penduduk juga terpenguruh
baik berupa upah maupun sewa tanah. Pada masa tanam paksa penduduk Jawa
memperoleh sewa tanah f 42,48 untuk setahun sementara pada tahun 1900
pendapatan itu turun menjadi f 25. Sistem pajak regresif sangat memberatkan
golongan berpendapatan rendah. Selain itu penduduk Jawa harus menanggung
beban finansial daerah lain di luar Jawa. Kehidupan ekonomi penduduk pribumi
pada akhir abad ke-19 menjadi parah.
3. Mindere Welvaarts Commissie
Pemerintah Belanda membentuk panitia yang dikenal dengan Mindere
Welvaarts Commissie untuk meneliti sebab-sebab terjadinya kemelaratan yang
melanda Jawa. Hasil komisi ini adalah laporan yang menyatakan bahwa
pendapatan penduduk Jawa setahun hanya f 80 setahun. Untuk membayar pajak
kepada pemerintah sebesar f 16. Kritik pada sistem ekonomi liberal makin keras
sehingga mendorong lahirnya kebijakan baru yang disebut sebagai Politik Etis.
Sejak saat itu asas-asas liberalisme murni yang menjunjung tinggi usaha
swasta dan persaingan bebas lambat laun ditinggalkan dan diganti dengan suatu
tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan ekonomi di Hindia Belanda mulai
dikendalikan oleh kepentingan industrial dan finansial di negri Belanda daripada
oleh pemimpin-pemimpin atau pemilik-pemilik perkebunan besar yang
berkedudukan di Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi dapat
dijalankan sebagai usaha dan milik perorangan tetapi direorganisasi sebagai
perseroan terbatas raksasa yang bermarkas di Belanda atau negara Eropa lainnya.
Merkantilisme negara berubah ke merkantilisme perusahaan besar.
4. Madzhab Merkantilisme
"Memasuki abad ke-19 selesailah perubahan dari merkantilisme negara ke
merkantilisme perusahaan besar di Hindia Belanda."
Apakah merkantilisme itu.
Merkantilisme adalah sebuah madzhab ekonomi yang menganggap bahwa
kekuatan negara diukur dari besarnya emas yang dimiliki oleh negara yang
bersangkutan. Oleh karena itu merkantilisme menganjurkan ekspor besar-besaran
dan impor sekecil-kecilnya. Dengan demikian neraca perdagangan selalu
9 | hs – isri 2018
mengalami surplus. Surplus neraca perdagangan mengakibatkan masuknya emas
ke negara yang bersangkutan. Pada dasarnya merkantilisme muncul untuk
berdikari dalam ekonomi, lepas dari ketergantungannya dengan luar negri. Karena
pola pemikirannya tersebut merkantilisme sangat proteksionistis. Tokoh tokoh
merkantilisme antara lain adalah Colbert, menteri pada zaman pemerintahan Louis
XIV , Perancis) dan Thomas Mun pada zaman Elizabeth I, Inggris. (Soewartoyo,
Madzhab Ekonomi dalam ENI Volume 20, 2004:214).
Di samping merkantilisme masih ada beberapa madzhab ekonomi yang lain.
Salah satunya bertentangan dengan merkantilisme, yaitu madzhab fisiokrasi.
Ajaran fisiokrasi muncul sebagai perlawanan terhadap praktik-
praktik merkantilisme. Menurut ajaran ini kehidupan ekonomi harus berkembang
bebas, karena semuanya akan diatur oleh alam. Negara sebaiknya hanya bertindak
sebagai polisi yang menyelenggarakan keamanan, ketertiban dan melindungi
rakyat terhadap serangan dari luar. Tokoh utama ajaran ini adalah Francois
Quesnay, dokter pribadi Raja Louis XV dari Perancis. Quesnay menuangkan
teorinya melalui buku yang berjudul Tableau Economique.
E. Masuknya Modernisasi
1. Teknologi
Pada akhir abad ke-19 Indonesia memasuki modernisasi. Pembukaan
Terusan Suez pada tahun 1869 memudahkan orang Indonesia mengunjungi Eropa
atau tanah suci Mekah. Pada tahun 1880 telah ada kapal api kecil yang secara
teratur yang memudahkan orang Eropa mengunjungi Nusantara. Tahun 1860 rel
kereta api mulai menggantikan angkutan yang dihela kuda di jalur utama Jawa.
Karena kapal api dan kereta api terwujudlah pelayanan pos umum yang teratur
dan berjalan dengan prangko pos pra-bayar dan kantor pos di kota besar Jawa
pada tahun 1862.
Prasarana industri pabrik gula dan rel kereta api mendukung bandar utara
Jawa seperti Semarang dan Surabaya. Pertumbuhan pesat pusat perniagaan kota
ini yang didukung jaringan angkutan dan sistem pos mendukung revolusi besar di
abad ke-19 berupa kemunculan koran. Pada dasawarsa pertama surat kabar
dicetak oleh orang Indo-Eropa dengan orang Cina yang datang menguasai
kepemilikan tahun 1880-an, sedangkan pribumi baru mulai memiliki pada abad
ke-20.
2. Media Massa
Ian Proudfoot dari Faculty of Asian Studies, ANU, mengatakan bahwa
teknologi percetakan pertama datang ke Hindia Belanda tahun 1659 namun
cetakan koran dalam bahasa Indonesia baru muncul pada abad ke-19 oleh markas
penginjil Protestan di Straits Settlements (1817), Ambon (1819) dan Batavia
(1822).
Pada tahun 1855 diluncurkan surat mingguan Jawa di Surakarta bernama
Bromartani oleh orang Indo bernama G.F. Winter. Bromartani memuat berita
10 | hs – isri 2018
keagamaan mengenai kelahiran dan kematian, keputusan, penjualan dan
pelelangan, dan ketetapan pemerintah bersama artikel tentang pertanian dan dan
kutipan sastra. Pada tahun 1856 di Surabaya terbit Soerat Kabar Bahasa Melaijoe
yang merupakan perintis surat kabar komersial dengan berpusat pada iklan, harga
pasar terbaru dan informasi perkapalan.
Pada tahun 1861 di Surabaya terbit Bintang Timor yang memberitakan
persoalan setempat khususnya sosial ekonomi dan "berita dari surat" yang
berhubungan dengan Eropa dan Cina.
Kesegaran pemberitaan terbaru ditingkatkan oleh telegraf. Setelah tahun
1870 surat kabar menerjemahkan berita baru dari kantor telegraf yang dijalankan
pemerintah. Surat untuk redaksi menjadi umum. Bahkan pada tahun 1869 Bintang
Timor mengundang pembacanya dari berbagai daerah untuk mengirim berita dan
artikel untuk ditukar dengan langganan bebas surat kabar tersebut.
Perkumpulan sukarela menampakkan bentuk nyata pada tahun 1872 ketika
kelompok priyayi dibentuk untuk membeli dan berlangganan surat kabar Melayu
atau Jawa.
Pada tahun 1900 perkumpulan sukarela besar Cina bernama Tiong Hoa Hwe
Koan menggunakan surat kabar untuk memperluas keanggotaan. Hal yang sama
dilakukan oleh Sarekat Islam pada tahun 1911.
Beberapa surat kabar awal membuat halaman berbahasa Jawa dan juga Melayu.
Selompret Melayu yang terbit di Semarang tahun 1860 memberi daftar kata
Melayu untuk pembaca Cina. Bahasa Melayu rendah digunakan oleh surat kabar
karena bahasa itu digunakan oleh penduduk asli, Cina, Arab dan juga Indo Eropa
serta Eropa. Pada tahun 1890 terbit surat kabar dwibahasa Jawa-Melayu di
Surakarta dan Yogyakarta.
Pada tahun 1883 penerbit Cina menerbitkan surat kabar dan buku. Mereka
menerjemahkan roman sejarah dan klasik Cina dan laporan telegraf mengenai
peristiwa di Cina sehingga Perang Cina-Jepang bisa diikuti. Pers juga memuat
laporan telegraf mengenai peristiwa Timur Tengah dan Turki termasuk Perang
Rusia-Turki sehingga umat Islam merasa terlibat.
Sastra baru berbahasa Melayu pun muncul. Abdullah bin Muhammad al-Misri
pada tahun 1823 dan Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1838 menulis kisah
perjalanan yang berkisah mengenai orang pertama terhadap orang-orang istimewa,
orang-orang kota maupun orang pinggiran pada masyarakat tradisional.
Novel Eropa Robinson Crusoe karya Defou termasuk yang pertama
diterjemahkan. Versi Melayunya diterbitkan di Singapura pada tahun 1855 dan
Batavia pada tahun 1875. Versi Jawanya terbit tahun 1881. Robinson Crusou
memperkenalkan keunggulan orang Kristen melalui penjelajahan dan
individualisme.
F. Pergeseran Ekonomi ke Luar Jawa
Dengan meluasnya kekuasaan Belanda dan pembangunan ekonomi baru di
luar Jawa diperlukan sarana transportasi untuk menghubungkan puluhan pulau di
daerah jajahan. Pada tahun 1888 didirikan sebuah pelayaran besar yang kemudian
beroperasi tahun 1891 dengan nama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)
11 | hs – isri 2018
yang menangani seluruh keperluan pelayaran pemerintah kolonial di seluruh
Indonesia.
Sementara itu di tangan perusahaan-perusahaan swasta, produksi komoditi
daerah tropis meningkat dengan cepat di luar Jawa. Antara tahun 1900-1930,
produksi gula hampir empat kali lipat. Produksi teh meningkat sebelas kali lipat.
Produksi tembakau berkembang pesat mulai tahun 1860 terutama di pesisir timur
Sumatra. Produksi lada, kopra, timah, kopi dan komoditi-komoditi lainnya
semakin meningkat. Sebagian besar dikembangkan di luar Jawa dan yang paling
penting adalah minyak bumi dan karet. Kedua komoditas tersebut telah
menempatkan Indonesia pada garis depan kepentingan perekonomian dunia pada
abad ke-20.
1. Minyak Bumi.
Kandungan minyak bumi di Langkat, Sumatra Utara, diketahui sejak tahun
1860-an. Pada tahun 1883, Zijlker mendapat persetujuan pemerintah untuk suatu
konsesi dari Pangeran Langkat dan dimulailah eksplorasi. Pada tahun 1888
akhirnya minyak mulai mengalir dalam jumlah yang menjanjikan. Pada tahun
1890 Zijlker mendirikan "Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie
van Petroleum-bronnen in Nederlandsch-Indie" (Perusahaan Kerajaan Belanda
Bagi Eksploitasi Sumber-sumber Minyak Bumi di Hindia Belanda) yang lazim
disebut sebagai de Koninklijke. Pada tahun 1892 mulai berproduksi dan tahun
1900 mulai mengekspor minyak bumi ke kawasan Asia, mulai dari pelabuhan-
pelabuhan Cina sampai India. Pada tahun 1901 de Koninklijke berekspansi ke
Kalimantan.
Pada tahun 1920-an ada kira-kira 50 perusahaan minyak yang beroperasi di
pesisir timur Sumatra, Jawa (Semarang Rembang Surabaya) dan pesisir timur
Kalimantan.
Pada tahun 1897 di London didirikan suatu perusahaan dengan modal
Inggris bernama Shell Transport and Trading Company (perusahaan
pwngangkutan dan dagang Shell). Pada tahun 1907 Shell dan Koninklijke
bergabung dan menjadi perusahaan multinasional minyak yang besar dengan
nama Royal Dutch Shell. Pada tahun 1930 Royal Dutch Shell memproduksi 85%
dari keseluruhan produksi minyak bumi Indonesia.
Pada tahun 1920-an perusahaan-perusahaan Amerika telah mendapatkan
konsesi-konsesi. Di antaranya adalah Caltex (California Texas Oil Corporation)
dan Stanvac (Standard Vacuum Oil Co.).
Pada tahun 1930 Jepang pun ikut bermain dalam busnis minyak Indonesia
lewat Borneo Oil Company yang beroperasi di Kutai, Kalimantan Timur.
Pembentukan Royal Dutch Shell pada 1907 mencerminkan internasionalisasi
investasi secara umum. Pada tahun 1925, hampir 99% nilai ekspor minyak bumi
berasal dari daerah luar Jawa.
Minyak digunakan untuk menyalakan lampu. Pertambangan minyak
bersamaan dengan penemuan lampu pijar. Pada saat lampu pijar menggantikan
lampu pada tahun 1880 datanglah penggunaan mobil sebagai alat transportasi
yang memerlukan minyak bumi sebagai bahan bakar pada tahun 1900.
12 | hs – isri 2018
2. Karet.
Selain minyak bumi, karet berhubungan erat dengan industri mobil yang
baru muncul. Pohon karet ficus elastica awalnya di tanam di Jawa Barat dan
pesisir timur Sumatra pada tahun 1864. Tetapi pohon karet impor, hevea
brasiliensies, pada tahun 1900 lah yang membawa keberhasilan. Mulai tahun
1906, hevea brasieliensis berkembang pesat di Sumatra. Setelah lima tahun karet
diekspor pada tahun 1912. Rencana Pembatasan Karet Stevenson tahun 1922 yang
disetujui secara internasional tidak berlaku di Indonesia dan hanya berlaku untuk
membatasi produksi di Malaysia, jajahan Inggris. Produksi karetpun meledak.
44% luas tanah perkebunan ditanami karet pada tahun 1930. Indonesia memasok
separuh pasokan karet dunia. Depresi pada tahun 1930 membawa krisis besar
pada industri karet.
3. Pengembangan Pertanian.
Pengembangan pertanian hampir sepenuhnya dikuasai modal Belanda. 70%
investasi Belanda diinvestasikan di Jawa, 50% nya pada tebu. Sementara di luar
Jawa lebih menginternasional. 40% investasi pertanian pada tahun 1929 adalah
non Belanda, 18% di antaranya modal Inggris. Orang Indonesia juga aktif dalam
pertanian khususnya di luar Jawa. Pada tahun 1931 pengusaha kecil Indonesia
memproduksi 35% hasil karet, 89% tembakau, 57% kopi, 19% teh dan hampir
seluruh produksi kelapa, lada dan kapas.
Komoditi ekspor Jawa yang terpenting adalah kopi, teh, gula, karet, ubi
kayu dan tembakau. Ekspor kopi Jawa menurun 70% pada tahun 1880-1930. Pada
tahun 1930 ekspor kopi luar Jawa menjadi dua kali lipat kopi Jawa, ekspor
tembakau luar Jawa empat kali lipat ekspor tembakau Jawa. Jawa hanya unggul
pada teh dan gula. Nilai ekspor gula dari Jawa mencapai puncaknya pada tahun
1920, tapi nilainya merosot 75% pada dasawarsa berikutnya karena rendahnya
harga. Ekspor teh Jawa semakin meningkat nilainya tapi hanya mencapai separuh
nilai ekspor karet daerah luar Jawa. Ekspor ubi kayu hampir seluruhnya dari Jawa
tapi pada tahun 1930 nilainya hanya seperdelapan ekspor karet luar Jawa.
Pada tahun 1930 komoditi ekspor ubi kayu, kopi, kopra, karet, gula, teh,
tembakau, timah dan minyak bumi mencapai 930,5 juta gulden. 55,3% berasal
dari luar Jawa. Jawa menghasilkan 44,7% tetapi lebih dari 60% berupa ekspor
gula, sehingga Jawa - terutama Jawa Timur - menjadi penghasil gula terbesar di
dunia. Turunnya harga gula dan alih fungsi lahan mengancam komoditi ekspor
yang penting ini (Ricklefs, 2005:324, berdasarkan tulisan Campo, Booth,
Lindblad, Maddison dan Prince, Elson, Allenn dan Donnithorne, Breman, Gould,
Stoler, Pelzer, Burger, Schadee, Paulus, Bezemer, Bakker, dan lain lain).
13 | hs – isri 2018
II. POLITIK ETIK
A. "Een Eereschuld" (Suatu Hutang kehormatan)
Kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang dilontarkan dalam
novel Max Havelaar (1860) dan lain-lain membuahkan hasil. Semakin banyak
suara di Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan
rakyat Jawa yang tertindas.Pada akhir abad ke-19 para pegawai kolonial baru
berangkat menuju Indonesia dengan membawa Max Havelaar di dalam kopor
mereka dan isi novel itu dalam kepala mereka.
Selama zaman liberal industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai
pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan.
Pada tahun 1899, Th. van Deventer -seorang ahli hukum yang pernah tinggal di
Indonesia - menerbitkan sebuah artikel berjudul "Een eereschuld" (suatu hutang
kehormatan) di dalam jurnal Belanda, de Gids. Dia mengatakan bahwa negri
Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia atas semua kekayaan yang telah
diperas dari negeri mereka. Hutang ini harus dibayar kembali dengan memberi
prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam kebijakan kolonial.
Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu
penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan dengan demikian Politik Etis
secara resmi disahkan.
B. Trilogi Van Deventer
Pada tahun 1902, Alexander W.F. Idenburg menjadi Menteri Urusan Daerah
Jajahan dan kemudian menjabat sebagai Gubernur Jendral. Idenburg
mempraktikkan pemikiran-pemikiran politik Etis berdasarkan tiga prinsip :
pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk. Dikenal sebagai Trias van
Deventer: Edukasi, irigasi, emigrasi. Pemerintah Hindia Belanda mendapat
bantuan sebesar 40 juta gulden dari pemerintah Belanda untuk menjalankan
Politik Etis.
Pada saat itu kegiatan ekonomi sedang bergeser ke luar Jawa sehingga
menimbulkan kesulitan yang besar dalam menjalankan kebijakan pemerintah.
Lapangan investasi dan penghasil komoditi ekspor yang terpenting berada di luar
Jawa sedangkan masalah kesejahteraan yang utama adalah di Jawa.
Secara teoretik daerah luar Jawa harus membiayai Jawa dengan membayar pajak
lebih tinggi dan tentu saja ini tidak terjadi. Orang Sunda dan Jawa menyadari
bahwa untuk menjalankan program dari Politik Etis, tenaga kerja diminta dari
mereka. Ketika PD I pecah, pajak yang dikenakan pada rakyat Indonesia naik
sangat besar dan kesejahteraan rakyat dikalahkan oleh anggaran berimbang.
Ricklefs mengatakan bahwa perbedaan antara Jawa dan luar Jawa yang berakar
pada masa lalu menjadi semakin mencolok. Luar Jawa ditandai oleh ikatan
dengan Islam yang lebih mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar,
komoditi ekspor yang lebih berharga dan investasi asing yang lebih besar.
Sebaliknya Jawa merupakan kawasan yang pengislamannya kurang mendalam,
yang kegiatan kewiraswastaannya kurang besar, yang nilai komoditi ekspornya
14 | hs – isri 2018
merosot, yang pertumbuhan ekonominya tidak pesat, yang menghadapi campur
tangan penjajah lebih lama dan lebih mendasar dan jumlah penduduknya lebih
padat.
Pertumbuhan ekonomi dan masalah kesejahteraan penduduk pribumi
berkaitan dengan proyek infrastruktur saja. Pemerintah Belanda gagal membuat
kebijakan yang dapat mendorong industrialisasi. Belanda juga kalah berpacu
dengan jumlah penduduk Jawa meski ada eksperimen dengan transmigrasi.
Terkait pendidikan ada dua aliran pemikiran : pendekatan elite a la Hurgronje dan
Abendanon dan pendekatan merakyat a la Idenburg dan van Heutz. Tapi kedua
pendekatan itu tidak mempunyai cukup dana yang memadai.
Kegagalan politik etis tampak jelas pada akhir Perang Dunia I. Kemiskinan
dan kemelaratan merupakan keadaan umum. Sejak tahun 1914 muncul kecaman.
Gerakan sosial terjadi berbagai daerah. Proses radikalisasi bertambah kuat setelah
krisis pabrik gula tahun 1918 dan krisis ekonomi tahun 1921. Gubernur Jenderal
Van Limburg Stirum yang toleran terhadap perjuangan bangsa Indonesia diganti
oleh D. Fock yang menjalankan pemerintahannya secara otokratis. Politik
pemerasan terjadi kembali (Masyhuri, Niel, Kartodirdjo).
C. Infrastruktur Irigasi Transmigrasi dan Kesehatan
1. Irigasi.
Pada tahun 1867 jaringan rel kereta api di Hindia Belanda baru 25 km, pada
tahun 1873 menjadi 260 km, pada tahun 1930 rel kereta api dan trem mencapai
7.425 km. Tetapi yang terkait langsung dengan kesejahteraan adalah proyek
pengairan. Suatu rencana besar untuk mengairi lembah Bengawan Solo mangkrak
setelah menghabiskan dana 17 juta gulden. Luas kawasan persawahan yang bisa
diairi meningkat 180% antara tahun 1885-1930.
Belanda meningkatkan produksi bahan pangan dengan mengadakan percobaan
bibit-bibit baru, mendorong pemakaian pupuk dsb. Meski usaha ini berhasil
namun tidak sebanding dengan banyaknya penduduk. Konsumsi beras per kepala
di Jawa dan Madura menurun antara tahun 1913 dan 1924. Pangan substitusi
meningkat tetapi kurang bergizi.
2. Transmigrasi.
Pada tahun 1900 jumlah penduduk di Jawa dan Madura 28,4 juta jiwa. Pada
tahun 1920 sudah mencapai 34,4 juta jiwa. Pada tahun 1930 dilakukan sensus dan
menunjukkan angka 40,9 juta jiwa di Jawa dan Madura. Sementara di luar Jawa
18,2 juta jiwa. Total jumlah penduduk asli 59,1 jiwa. Jumlah orang Eropa 1,6 juta
jiwa. Orang Timur Asing 1,2 juta jiwa. Jumlah seluruhnya menjadi 60,7 juta jiwa.
Karena 70% penduduk Indonesia tinggal di Jawa dan Madura yang luasnya hanya
7%, maka Jawa sebagai lumbung pangan Nusantara menjadi wilayah yang
kekurangan pangan. Anehnya pada tahun 1936 Jawa mengekspor beras lagi
karena lahan tebu digunakan untuk menanam padi.
15 | hs – isri 2018
Pemerintah Belanda melakukan emigrasi dari Jawa ke Luar Jawa. Pada
tahun 1905 koloni-koloni orang Jawa pertama ditempatkan di Lampung dan
daerah lainnya. Sampai tahun 1930 jumlahnya mencapai 36.000 jiwa.
Banyak juga penduduk Jawa meninggalkan pulau mereka dan bekerja sebagai kuli
kontrak di perkebunan Sumatea Timur dll. Jumlahnya mencapai 306.000 jiwa
pada tahun 1931.
3. Kesehatan.
Belanda menaikkan anggaran kesehatan 10 kali lipat antara tahun 1900-
1930. Untuk menurunkan angka kematian dilakukan program imunisasi,
kampanye anti malaria dan perbaikan kesehatan. Hasil yang paling langgeng
adalah dipakainya genteng sebagai atap rumah sebagai pengganti jerami setela
wabah pes tahun 1911.
Perlengkapan medis yang profesional tidak memadai. Pada tahun 1930
hanya ada 1.030 orang dokter , 667 orang di antaranya di Jawa. Ada satu dokter
untuk 62,5 ribu penduduk di Jawa dan 52,4 ribu di luar Jawa. Para dokter tinggal
di kota besar maupun kecil, di perkebunan dsb. Perawatan medis profesional
untuk penduduk desa hampir tidak ada.
D. Restrukturisasi Desa
Pemerintah Hindia Belanda akan menjadikan desa sebagai perangkat pokok
dalam mengusahakan kesejahteraan. Peraturan Desa tahun 1906 dan
implementasinya oleh pihak Belanda bertujuan untuk meningkatkan peran serta
rakyat secara demokratis dalam urusan-urusan desa, untuk meningkatkan
kepaduan sosial, serta untuk memungkinkan Residen dan Controleur Belanda,
bersama Kepala Desa, memimpin desa menuju langkah-langkahkesejahteraan
yang diperlukan. Namun usaha usaha tersebut gagal. Kemiskinan dan kelebihan
penduduk merusak kehidupan desa-desa di Jawa yang otonom dan
semidemokratis.
Belanda berpendapat bahwa desa Jawa merupakan unit penerintahan yang
tidak efisien. Untuk menciptakan suatu struktur pemerintahan yang lebih rasional
dan untuk menjamin penghasilan yang lebih besar bagi kepala desa,
dilaksanakanlah suatu kebijakan penggabungan desa-desa. Pada tahun 1897
terdaftar 30.500 desa di Jawa yang masing-masing berpenduduk rata-rata 800
jiwa. Pada tahun 1927 menjadi 18.584 desa gabungan masing-masing
berpenduduk rata-rata 1.800 jiwa. (Ricklefs, 2005:329).Unit-unit yang baru ini
sering tidak mempunyai dasar dalam masyarakat pribumi dan gagal tumbuh
menjadi organisasi-organisasi kesejahteraan yang bersifat otonom yang berusaha
dicapai oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah Belanda mendorong perkembangan bank-bank desa, kedai-kedai
beras dan proyek-proyek lainnya. Hasilnya bercampur aduk. Banyak terjadi
korupsi dan salah urus.
16 | hs – isri 2018
Pertambahan jumlah penduduk terus mengakibatkan sawah-sawah dan
ladang-ladang dibagi-bagi menjadi lebih kecil. Kemiskinan dan pengangguran
mendorong timbulnya tindak-tindak kekerasan dan kejahatan. Banyak penduduk
desa juga terlibat dalam kerusuhan dan kekerasan politik. Hal itu tidak aneh
karena para pejabat pemerintah koloniallah (baik yang berkebangsaan Belanda
maupun Indonesia) yang sesungguhnya mengarahkan langkah-
langkahkesejahteraan, dan bukannya penduduk desa sendiri.
E. Desentralisasi
Para pendukung Politik Etis menghendaki desentralisasi dari Den Haag ke
Batavia dan dari Batavia ke daerah-daerah. Juga desentralisasi dari orang-orang
Belanda ke orang-orang Indonesia. Meski ada perubahan namun Den Haag masih
tetap menguasai Indonesia.
1. Dewan-dewan Lokal.
Dewan-dewan lokal untuk kota-kota besar mulai dibentuk pada tahun 1905.
Dewan ini dibentuk dengan mayoritas orang Belanda dan hak suara hanya
diberikan kepada penduduk pribumi yang melek huruf dan yang tingkat pajak
penghasilannya tinggi. Dewan dewan juga dibentuk untuk setiap 76 kabupaten di
Jawa. Pada tahun 1939 ada 32 dewan kota, 19 di antaranya berada di Jawa. Semua
dewan tersebut pada dasarnya adalah penasihat dan sebetulnya ada pembagian
wewenang yang kurang dari Batavia. Sebagian besar orang Indonesia yang
menjadi anggotanya adalah para pegawai sedangkan ketuanya adalah bupati. Para
bupati menjadi kelompok utama yang diuntungkan oleh perbaikan-perbaikan
tersebut. Sekitar tahun 1915 aksi politik meningkat, pemerintah tidak lagi begitu
mencurigai para bupati, bahkan mulai mendukung mereka lagi sebagai pemimpin
masyarat mereka.
2. Volksraad.
Pada tahun 1918 Voksraad (Dewan Rakyat) menyelenggarakan sidangnya
yang pertama. Asal usul lembaga ini berkaitan erat dengan agitasi Indië weerbaar
(Pertahanan Hindia). Volksraad didirikan sebagai lembaga dengan satu majelis
yang hanya mempunyai wewenang menasihati. Jika terkait masalah keuangan
harus dikonsultasikan oleh Gubernur Jendral. Awalnya lembaga ini terdiri atas 19
orang anggota yang ditunjuk, lima di antaranya bangsa Indonesia, ditambah
seorang ketua. Lembaga yang memilih anggota Volksraad adalah dewan-dewan
lokal yang konservatif dan didominasi para pegawai. Orang-orang Indonesia yang
lebih radikal dapat menjadi anggota Volksraad apabila diangkat oleh Gubernur
Jendral. Orang Indonesia yang menjadi anggota 30% kemudian 40% ketika
anggota Volksraad menjadi 49 orang pada tahun 1921. Bertambah menjadi 42%
ketika anggota Volksraad menjadi 60 orang pada tahun 1927. Menjadi 50% ketika
perbandingan antara anggotanya yang berkebangsaan Belanda Indonesia dan
17 | hs – isri 2018
bangsa lain terutama Cina berubah pada tahun 1931. Jumlah anggota yang dipilih
melebihi anggota yang ditunjuk. Pemilihnya tetap dewan yang konservatif. Pada
tahun 1939 hanya 2.228 orang berhak menjadi pemilih dari 70 juta penduduk
Hindia Belanda.
Keberadaan Volksraad awalnya mendapat kecaman karena suatu
Staatsinrichting (konstitusi) baru yang diberlakukan tahun 1925 menurunkan
fungsi Dewan Hindia menjadi badan penasihat dan memberi Volksraad fungsi
legislatif yang terbatas. Meski anggaran belanja dan pembuatan aturan di Hindia
Belanda harus melalui persetujuan Volksraad namun kenyataannya wewenang
parlemen di Den Haag masih sebesar waktu waktu sebelumnya. Gubernur Jendral
dan para pimpinan departemen pemerintahan tidak bertanggungjawab kepada
Volksraad dan tidak bisa diberhentikan oleh lembaga tersebut. Volksraad tidak
pernah tumbuh menjadi parlemen yang sebenarnya. Meskipun demikian
Volksraad mengambil tempat dalam kesadaran politik.
3. Bestuurshervormingwet
Pada tahun 1922 Bestuurshervormingwet atau Undang-undang
Pembaharuan Pemerintah menetapkan Hindia Belanda menjadi daerah-daerah
yang luas yang memiliki dewan-dewan lokal. Yang pertama adalah Jawa Barat
pada tahun 1926. Jawa Timur pada tahun 1929. Jawa Tengah pada tahun 1930.
Tiga daerah di luar Jawa pada tahun 1934. Pembentukannya disertai kecaman
karena mayoritas yang duduk di Dewan adalah orang Belanda dan Cina. Orang
pribumi yang menjadi wakil biasanya pegawai pemerintah. Pemerintahan pun
masih bersifat sentralisasi.
III. PENDIDIKAN PADA ERA POLITIK ETIK
A. Pendekatan Elite.
Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon Direktur Pendidikan Etis yang
pertama (1900-1905) menginginkan pendidikan yang bergaya Eropa dengan
bahasa Belanda sebagai pengantar bagi kaum elite Indonesia yang dipengaruhi
Barat. Mereka dapat mengambil alih banyak pekerjaan yang ditangani para
pegawai pemerintah yang berkebangsaan Belanda. Ini akan menciptakan suatu
elite yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran
belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam dan akhirnya menciptakan
suatu keteladanan yang akan menjiwai masyarakat golongan bawah Indonesia.
Pendekatan elitis diharapkan diharapkan menghasilkan pimpinan bagi zaman
pencerahan baru Belanda-Indonesia.
Pada tahun 1900, tiga hoofdenschoolen (sekolah para kepala) yang lama di
Bandung, Magelang dan Probolinggo disusun kembali menjadi sekolah untuk
menghasilkan pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA
18 | hs – isri 2018
(Opleidingscholen Voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pelatihan Untuk Para
Pejabat Pribumi ). Masa pendidikannya kini berlangsung selama lima tahun
dengan pengantar bahasa Belanda dan terbuka bagi semua orang Indonesia yang
telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Calon-calon muridnya tidak lagi harus
berasal dari kalangan elite bangsawan. Pada tahun 1927 masa pendidikannya
dikurangi menjadi tiga tahun.
Pada tahun 1900-1902 Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden diganti menjadi
STOVIA (School Toot Opleiding Van Inlandsche Artsen, Sekolah Untuk
Pelatihan Dokter-dokter Pribumi ). Mata pelajarannya juga diberikan dalam
bahasa Belanda.
Sejak tahun 1891, sekolah-sekolah rendah Eropa, yang merupakan prasyarat
wajib untuk dapat memasuki OSVIA dan STOVIS terbuka untuk orang-orang
Indonesia. Faktanya hanya orang-orang kayalah yang mampu membayar iuran
sekolahnya. Abendanon memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang
bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan iuran sekolah bagi para
orang tua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per tahun.
Abendanon mendapat tentangan dari berbagai kalangan termasuk dari para
bupati yang konservatif. Abendanon ingin memperluas kesempatan pendidikan
bagi kaum wanita Jawa kalangan atas. Cita-cita yang sama dengan yang dimiliki
Raden Ajeng Kartini (1879-1904) putri Raden Mas Adipati Arya Sasraningrat dari
Jepara. Sasraningrat adalah satu di antara bupati yang paling maju.
Cita-cita Abendanon dan Kartini tidak pernah mendapat prioritas
pemerintah karena konservatisme para bupati dan skeptisisme pejabat kolonial.
Pada tahun 1911 Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini kepada istrinya dan
orang lain antara tahun 1899-1904 dengan judul Door Duisternis tot licht (Habis
Gelap Terbitlah Terang).
Pada tahun 1913 di Negeri Belanda berdiri suatu yayasan swasta bernama
Kartini Fonds untuk membantu pendidikan berbahasa Belanda bagi kaum wanita
Jawa. Pemerintah kolonialpun memberi subsidi. Sekolah-sekolah Kartini yang
didirikan yayasan ini di Jawa berperan penting pada masa mendatang.
Idenburg dan Gubernur Jendral van Heuttsz (1904-1909) mendukung
pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantarnya bagi golongan-golongan bawah. Pendekatan yang merakyat
diharapkan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan. Tidak
satu kebijakan pun dijalankan dengan dana yang cukup memadai, dan satupun
menghasilkan apa yang diinginkan oleh pendukungnya (Ricklefs, 2004:330).
Kita akan melihat bagaimana perkembangan pendidikan dengan pendekatan
kerakyatan ini pada tulisan selanjutnya.
B. Pendekatan Kerakyatan
Idenburg dan Gubernur Jendral van Heuttsz (1904-1909) mendukung
pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantarnya bagi golongan-golongan bawah. Pendekatan yang merakyat
diharapkan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.
19 | hs – isri 2018
Selama van Heutz menjabat sebagai Gubernur Jendral (1904-1909) dan Dirk
Fock menjabat sebagai Menteri Urusan Daerah Jajahan (1905-1908), gagasan
mengenai pendidikan rakyat memperoleh lebih banyak dukungan. Fock
mengutamakan sekolah-sekolah teknik dan kejuruan. Meski Snouck Hurgronje
dan pengikutnya mengatakan bahwa para tamatan sekolah-sekolah tersebut tidak
akan membangkitkan perusahaan-perusahaan pribumi melainkan hanya mendapat
pekerjaan di perusahaan-perusahaan Eropa. Meskipun demikian Fock tetap
bersikeras.
Berbagai sekolah kejuruan telah didirikan oleh misi-misi Kristen sejak tahun
1881 di Minahasa, di Tapanuli dan Jawa. Sekolah kejuruan pemerintah yang
pertama didirikan di Batavia, Semarang dan Surabaya pada tahun 1909. Sekolah
sekolah tersebut juga mengajarkan kursus-kursus bagi para pandai besi dan tukang
kayu, para tukang listrik, montir mobil dsb. Lulusan sekolah itu kadang
membangkitkan perusahaan pribumi tetapi sebagian besar memang menjadi
karyawan perusahaan-perusahaan Eropa. Pandangan orang-orang skeptis terbukti
benar.
Menurut Ricklefs, perbaikan-perbaikan pendidikan yang paling berarti
adalah dalam sistem sekolah dasar dua kelas yang dibuka secara kecil-kecilan
untuk orang Indonesia sejakntahun 1892-1893. Sekolah Kelas Satu diperuntukkan
bagi golongan atas, sedangkan sekolah-sekolah Kelas Dua untuk rakyat jelata.
Sekolah Kelas Satu diubah pada tahun 1907. Sekolah Kelas Satu kini menerapkan
masa pendidikan lima tahun yang mengajarkan bahasa Belanda dan pada tahun
keenam bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar dalam proses pembelajaran.
Pada 1911 ditambah dengan tahun ketujuh. Guru guru Belanda kini muncul di
sekolah tersebut, kebanyakan perempuan, karena guru laki-laki enggan mengajar
rakyat pribumi.
Pada tahun 1852 dibuka sekolah guru pribumi (Kweekscholen) yang
kemudian disusul oleh sekolah serupa pada tahun 1870 dengan kembali
mengajarkan bahasa Belanda setelah ditiadakan selama dua tahun dan kemudian
bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar.
Sekolah Kelas Satu berada dalam sistem pendidikan pribumi dan tidak ada
kesempatan bagi seorang Indonesia untuk melompat dari sistem ini ke sistem
Eropa yang paralel untuk bisa menuju ke pendidikan lanjutan. Karenanya pada
tahun 1915 Sekolah Kelas Satu diubah menjadi sekolah Belanda-Pribumi yang
disebut HIS ( Hollandsch-Inlandsche School). Dengan demikian menjadi bagian
dari sekolah Eropa di Indonesia, walaupun masih tetap diperuntukkan bagi bangsa
Indonesia dari golongan atas dengan persyaratan mengenai penghasilan terendah
orang tua. Pada tahun 1908 dibuka Sekolah Belanda-Cina (Hollandsch-
Chineesche School). Meskipun sekolah Pribumi, Cina dan Cina itu berbeda dalam
hal suku bangsa namun semuanya mengarah ke pendidikan tingkat lanjutan dan
kemudian ke lapangan kerja birokrasi yang lebih tinggi.
Di atas HIS pemisahan ras dalam pendidikan sudah tidak ada lagi. Pada
tahun 1914 didirikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) semacam SLTP.
Pada tahun 1919 didirikan AMS (Algemene Middlebare Scholen) semacam SMU
untuk mereka yang akan masuk Perguruan Tinggi.
20 | hs – isri 2018
Hingga saat itu belum ada PT di Indonesia. Mereka yang hendak memasuki
PT harus ke negri Belanda setelah menembus sistem Eropa melalui HBS
(Hoogere Burgetschool). Pada tahun 1905 hanya ada 36 orang Indonesia yang
berhasil memasuki HBS.
Pada tahun 1913 Hoesein Djajadiningrat dari keluarga bupati di Jawa Barat
menjadi orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di Universitas Leiden
dengan disertasi berjudul Sejarah Banten (2005:333).
Pada tahun 1920 dibuka THS (Technische Hoogeschool atau Sekolah
Tinggi Teknik) yang tidak memandang ras di Bandung. Pada tahun 1924 berdiri
Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Pada tahun 1927
STOVIA diubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool atau Sekolah Tinggi
Kedokteran.
Untuk rakyat Indonesia dari golongan bawah pemerintah kolonial
menyediakan Sekolah Kelas Dua. Namun memperluas pendidikan untuk rakyat
banyak merupakan masalah keuangan yang luar biasa dan nyatanya tidak
mendapat dukungan penuh pemerintah kolonial bahkan dari pendukung politik
etis sekalipun. Menurut hitungan Ricklefs, cost (biaya) yang diperlukan untuk
mengurus Sekolah-sekolah Kelas Dua untuk seluruh penduduk Indonesia
diperkirakan akan menghabiskan dana 417 juta gulden setahun. Biaya ini jauh
lebih besar daripada seluruh pengeluaran pemerintah kolonial. Karena alasan
keuangan ini maka rencana untuk memperbanyak sekolah-sekolah Kelas Dua pun
ditunda.
C. Sekolah-sekolah Alternatif
1. Desascholen.
Pada tahun 1907 van Heutz mendapatkan jawabannya. Desascholen yang
juga disebut volksscholen (Sekolah Rakyat) akan dibuka yang sebagian besar
biayanya ditanggung oleh penduduk desa sendiri dengan bantuan pemerintah
seperlunya. Di sekolah-sekolah yang tidak memungut biaya tersebut akan
diterapkan masa pendidikan tiga tahun dan mata pelajaran yang memberikan
ketrampilan dasar membaca berhitung dan ketrampilan praktis yang diajarkan
dalam bahasa daerah. Ternyata desa desa kurang menyambut gagasan tentang
sekolah desa tersebut sehingga pihak Belanda menggunakan perintah halus atau
desakan lembut dari atas. Perintah halus merupakan ciri pendekatan pihak
Belanda bagi langkah-langkah kesejahteraan desa.
Pada tahun 1912 telah berdiri lebih dari 2.500 Sekolah Desa. Pada tahun
1930 sekitar 40% anakanak Indonesia berumur 6-9 tahun memasuki 9.600
Sekolah Desa meski kebanyakan dengan rasa terpaksa.
2. Standaardscholen.
Pada tahun 1908 Sekolah Kelas Dua menjadi Standaardscholen (Sekolah
Standar) yang diperuntukkan bagi mereka yang menggeluti perdagangan atau
yang meninggalkan kehidupan desa yang agraris. Orang orang Cina kini
21 | hs – isri 2018
memasuki Sekolah Standar yang secara teoretis menjadi sekolah golongan
menengah, berada di antara Sekolah Desa golongan bawah dan Sekolah Kelas
Satu golongan elite. Ini merupakan penyimpangan dalam sistem pendidikan dan
ketika terjadi Depresi tahun 1930, sekolah-sekolah itu diubah menjadi sekolah
desa bersama Vervolgscholen.
3. Inlandsche Vervolegscholen.
Pada tahun 1915 pemerintah kolonial mendirikan Inlandsche
Vervolegscholen (Sekolah Lanjutan Pribumi) agar para murid pribumi bisa
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4. Schakelschool.
Pada tahun 1921 Schakelschool (Sekolah Sambungan) yang pertama dibuka.
Masa pendidikannya lima tahun. Ini merupakan lanjutan dari Sekolah Desa
sampai tingkat akhir HIS. Muridnya bisa melanjutkan ke MULO . Sekolah
Sambungan tidak begitu penting. Orang Indonesia golongan atas lebih suka
menyekolahkan anaknya ke HIS atau sekolah sekolah Eropa. Di sisi lain
penduduk desa tidak tertarik pada pendidikan yang lebih tinggi dan jarang yang
kuat membayar uang sekolahnya. Pada tahun 1929 sebagian besar Sekolah
Sambungan ditutup.
D. Jumlah Orang Yang Bersekolah
Pada tahun 1900, orang Indonesia yang menuntut ilmu di sekolah-
sekolah swasta maupun pemerintah di seluruh Indonesia hanya berjumlah 265.940
orang. Pada tahun 1931 orang Indonesia yang bersekolah sudah mencapai lebih
dari 1,7 juta orang. Namun jika diperbandingkan dengan jumlah penduduk yang
sangat besar yaitu lebih dari 60 juta orang, maka upaya tersebut terlihat sangat
terbatas.
Pada tahun 1931 sekitar 1,66 juta orang Indonesia menuntut ilmu di
sekolah-sekolah dasar yang menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar.
Jumlah ini berarti 2,8% dari keseluruhan penduduk usia sekolah. Jumlah orang
Indonesia yang menuntut ilmu di dalam sistem sekolah Eropa di bawah
universitas (HIS, MULO, AMS dan sekolah kejuruan) adalah 84.609 orang atau
0,14% dari keseluruhan jumlah penduduk. Di perguruan tinggi hanya terdapat 178
orang Indonesia, itu berarti hanya 0,0003% atau 3/1.000.000 penduduk.
Sementara di sekolah-sekolah kejuruan pertanian dan kehutanan (suatu bidang
yang seharusnya diutamakan), hanya terdapat 392 orang Indonesia setara dengan
0,0007% dari jumlah penduduk.
Pada tahun 1930, berdasarkan sensus diperoleh data mengenai rata rata
angka melek huruf di Hindia Belanda yaitu 7,4 %. Di Sumatra 13,1%, di Jawa dan
Madura 6%, di Bali dan Lombok 4%. Sebagian berasal dari lembaga-
lembaga pribumi baik sekolah agama dan pondok pesantren maupu n yang lebih
modern. Tingkat melek huruf yang tertinggi yaitu 50% terdapat di daerah Maluku
22 | hs – isri 2018
Selatan yang beragama Kristen di mana misi-misi Kristen aktif di bidang
pendidikan. Penduduk yang melek huruf dan bahasa Belanda hanya 0,32%.
Perkecualian terdapat di Kota Ambon, yaitu 13%. Bandingkan dengan di Filipina.
AS sebagai penjajah mampu membuat lebih dari seperempat jumlah penduduk
Filipina mampu berbahasa Inggris.
Ricklefs berpendapat pendidikan tidak menghasilkan elite baru yang tahu
berterima kasih dan bersedia bekerja sama. Tidak pula melahirkan semangat baru
yang berkobar-kobar di kalangan rakyat. Pendidikan menghasilkan beberapa
pegawai yang cakap dan setia, tetapi juga menghasilkan sedikit kaum elite yang
tidak puas yang memimpin gerakan-gerakan anti penjajahan.
Langkah-langkah kesejahteraan umumnya tidak menghasillan kesejahteraan
(2005:336). Semua penelitian menyimpulkan menurunnya kesejahteraan hidup
sesudah tahun 1914 dan tidak ada bukti tentang meningkatnya kemakmuran
umum setelah tahun 1930. Cerita yang sama terjadi pula dalam perbaikan-
perbaikan di bidang politik dari Politik Etis.
IV. MUNCULNYA KAUM INTELEKTUAL
A. Raden Ajeng Kartini
1. Door Duisternis Tot Licht
Abendanon memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang bukan
bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan iuran sekolah bagi para orang
tua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per tahun. Abendanon mendapat
tentangan dari berbagai kalangan termasuk dari para bupati yang konservatif.
Abendanon ingin memperluas kesempatan pendidikan bagi kaum wanita Jawa
kalangan atas. Cita-cita yang sama dengan yang dimiliki Raden Ajeng Kartini
(1879-1904) putri Raden Mas Adipati Arya Sasraningrat dari Jepara. Sasraningrat
adalah satu di antara bupati yang paling maju.
Cita-cita Abendanon dan Kartini tidak pernah mendapat prioritas pemerintah
karena konservatisme para bupati dan skeptisisme pejabat kolonial. Pada tahun
1911 Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini kepada istrinya dan orang lain
antara tahun 1899-1904 dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap
Terbitlah Terang).
Sebuah versi menceritakan bagaimana asal muasal terbitnya buku
Door Duisternis Tot Licht yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah
Terang oleh Armijn Pane. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan,
bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada
cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur). Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-
Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan
sendiri proses perubahan dirinya. Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-
nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap
Kepada Cahaya” ini. Istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa
23 | hs – isri 2018
Belanda “Door Duisternis Tot Licht” diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat
“Habis Gelap Terbitlah Terang”. Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat
Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini.
Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari
Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut,
tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia
dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang
(petunjuk, hidayah atau kebenaran).
2. Pembaca dan Penulis Ulung
Raden Ajeng Kartini lahir di desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, pada
tanggal 21 April 1879. Ibunya adalah selir dari Raden Mas Adipati Aria
Sasraningrat, bupati Jepara. Saudara kandungnya 11 orang. Dua adik
perempuannya yang sangat dekat dengannya adalah Rukmini dan Kardinah.
Kartini masuk Sekolah Kelas Satu Belanda yang hanya boleh diikuti oleh anak
pribumi dari keluarga ningrat, Belanda dan Indo Belanda. Di rumah ia diajari tata
krama Jawa dan pelajaran agama Islam. Pada usia 12 tahun ia dipingit sesuai adat
ketika itu. Dengan sangat terpaksa Kartini menjalankan adat pingitan itu.
Beruntung ayah dan saudara-saudaranya membawa banyak buku bacaan
untuknya. Salah satu buku yang disukainya adalah Minnebrieven karangan
Multatuli penulis Max Havelaar. Dari buku itu Kartini mengetahui akibat buruk
penindasan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Sementara buku De Vrouw en
Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karangan August Bebel menyadarkan akan
kodrat yang sama antara wanita dan pria sebagai manusia . Pengaruh buku itu atas
dirinya tersirat dalam suratnya kepada sahabatnya Stella Zeehandelar. Dalam surat
itu Kartini menyimpulkan bahwa suatu bangsa akan maju sepenuhnya bila kaum
wanita berpeluang sama dengan kaum pria dalam hal pendidikan.
Kartini menulis artikel berjudul Van een Vergeten Uithokje (Dari Pojok
yang Dilupakan) untuk membela para pengukir kayu yang terancam kehilangan
pekerjaannya ketika itu. Dalam artikelnya ia memperkenalkan ukiran kayu Jepara
yang indah dan bagaimana cara membuatnya. Ia pun mengumpulkan para
pengukir kayu untuk membuat barang ukiran seperti jahitan, meja, kursi dan
sebagainya. Barang-barang ukiran itu kemudian dikirimkan ke berbagai kota lain
sehingga ukiran Jepara dikenal di banyak kota. Khusus untuk Ratu Belanda,
Kartini memberi sebuah peti jahitan berukir yang sangat indah.
Ketika di Den Haag diadakan pameran berbagai karya wanita pada tahun
1898, sebuah stand Jawa ikut memperkenalkan proses pembuatan batik. Kartini
menulis artikel pengantar untuk pameran itu, yakni Handschrift Japara. Artikelnya
itu kemudian dimuat sebagai pedoman tentang batik dalam buku De Batikkunst in
Nederlandsch en Hare Geschiedenis.
Kartini berhasrat menjadi seorang dokter. Ketika Direktur Pengajaran
Belanda Mr J.H. Abendanon berkunjung ke Jepara, Kartini mengemukakan
keinginannya belajar ke Belanda. Namun karena tidak ada kepastian ia
memutuskan belajar ke Jakarta. Sambil menunggu keberangkatan ke Jakarta
Kartini membuka sekolah bagi gadis Jepara. Muridnya sembilan orang dan
24 | hs – isri 2018
berasal dari kerabat dekatnya. Di sekolah ini ia mengajar ketrampilan menjahit,
memasak, menyulam dan bahasa Jawa.
Saat sekolahnya berjalan lancar, orangtua Kartini mendapat pinangan dari
Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, seorang duda berusia 50 tahun
dengan beberapa anak. Menjelang perkawinannya di tahun 1903, Kartini
menerima surat dari pemerintah Belanda bahwa permohonannya bersekolah di
Belanda dikabulkan dan ia diberi bea siswa sebesar 4.800 gulden. Namun Kartini
tidak mungkin lagi menggunakan peluang emas tersebut. Ia pun mengusulkan
agar pemerintah Belanda mengalihkan bea siswa itu kepada seorang pemuda
Minang yang sangat cerdas bernama Agus Salim.
Pada tanggal 8 November 1903 Kartini menikah dan tinggal di Rembang.
Di rumahnya ia mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan, dibantu oleh
seorang wanita Belanda. Suaminya mengabulkan keinginan Kartini untuk
mendatangkan pengukir kayu dari Jepara untuk dijadikan guru dalam sekolah
pertukangan kayu bagi anak laki-laki.
Pada masa kehamilannya Kartini jatuh sakit dan setelah melahirkan seorang
bayi laki laki kesehatannya memburuk. Ia wafat pada tanggal 17 September 1904
dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Rembang.
Pada tahun 1911 surat-surat Kartini untuk teman-temannya di Belanda
diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis Tot Licht atas prakarsa
Abendanon. Buku ini dicetak berkali-kali dan hasil penjualannya digunakan untuk
mendanai Kartini Fonds di Den Haag. Sekolah Kartini dibangun antara lain di
Semarang Surabaya Yogyakarta Malang dan Madiun. Bukunya diterjemankan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang dan ke dalam bahasa Jawa oleh Raden Sosrosoegondo (Priyatmoko, ENI
Vol. 8, 2004:197).
Pada tahun 1920 Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu berjudul R.A.
Kartini. Pada tanggal 2 Mei 1964 pemerintah Indonesia mengangkat Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tanggal 21 April dijadikan hari libur
nasional.
B. Haji Agus Salim
Menjelang perkawinannya di tahun 1903, Kartini menerima surat dari
pemerintah Belanda bahwa permohonannya bersekolah di Belanda dikabulkan
dan ia diberi bea siswa sebesar 4.800 gulden. Namun Kartini tidak mungkin lagi
menggunakan peluang emas tersebut. Ia pun mengusulkan agar pemerintah
Belanda mengalihkan bea siswa itu kepada seorang pemuda Minang yang sangat
cerdas bernama Agus Salim. Agus Salim menolak bea siswa itu. Setelah beberapa
lama bekerja sebagai penerjemah, ia merantau ke Riau, Indragiri dan ke Jedah,
Arab Saudi. Agus Salim menguasai sembilan bahasa antara lain : Belanda,
Inggris, Jerman, Perancis ,Arab dan Turki.
Agus Salim bernama kecil Masyhudul Haq berasal dari Sumatra Barat. Ayahnya,
Sutan Muhammad Salim adalah seorang jaksa. Karena itu ia berhak bersekolah di
HBS di Jakarta. Setelah itu ia belajar secara mandiri.
Saat berada di Arab Saudi, Agus Salim berkenalan dengan banyak tokoh dunia. Ia
25 | hs – isri 2018
pun dipengaruhi oleh pandangan ulama besar seperti Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al Afghani yang merupakan tokoh pembaru ajaran Islam.
Saat Agus Salim berada di Jedah pada tahun 1906-1911, ia bekerja pada Konsulat
Belanda dan berurusan dengan urusan ibadah haji, meskipun semula ia bertekad
tidak akan menjadi pegawai pemerintah. Kemudian ia menjadi pegawai pada
Jawatan Pekerjaan Umum saat kembali ke Jakarta. Setelah itu ia pulang ke Koto
Gadang dan mendirikan HIS. Dari sana ia kembali ke Jakarta dan mendirikan
surat kabar Neratja pada tahun 1917. Selanjutnya ia diangkat sebagai pemimpin
redaksi bahasa Melayu pada Commissie voor de Volkslectuur yang kemudian
berkembang menjadi Balai Pustaka. Pada tahun 1917-1919 ia menjadi redaktur
surat kabar Belanda Bataviaash Nieuwsblad.
Di bidang politik Agus Salim bergabung dalam Sarekat Islam dan menjadi
tangan kanan Tjokroaminoto, ia pun pernah menjadi anggota Volksraad selama
satu periode (1922-1925) menggantikan Tjokroaminoto. Sewaktu Sarekat Islam
disusupi unsur-unsur komunis seperti Semaoen, Tan Malaka, Sudarsono, ia
menegakkan disiplin partai. Anggota Sarekat Islam tidak diperkenankan
merangkap menjadi anggota organisasi politik lain. Ia pun menggalang gerakan
Pan Islam namun tidak berhasil. Sarekat Islam berubah menjadi Partai Sarekat
Islam pada tahun 1923 kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Setelah Tjokroaminoto meninggal pada tahun 1934, Agus Salim menggantikan
kedudukannya sebagai pemimpin PSII.
Saat menjadi anggota Volksraad Agus Salim tetap aktif memimpin redaksi
Fajar Asia di Yogyakarta dan Hindia Baru di Jakarta. Atas permintaan NVV
(Nederlands Verbond van Vakverinigingen, Himpunan Perkumpulan Sarekat
Sekerja Belanda), Agus Salim menjadi penasihat delegasi Belanda dalam
konferensi buruh di Jenewa pada tahun 1929.
Pada zaman pendudukan Jepang, Agus Salim diangkat menjadi anggota
Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Dia juga duduk sebagai anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) dan anggota Komite Bahasa
Indonesia yang dibentuk Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim menjadi Menteri Muda Luar Negeri
dalam Kabinet Sjahrir II dan III (1936-1947) dan Menteri Luar Negeri pada
Kabinet Amir Sjarifuddin dan Kabinet Hatta (1947-1949). Ia juga menjadi Ketua
Delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India dan membuka
hubungan diplomatik dengan negara negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi.
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tahun 1948, ia ditawan
bersama Sukarno, Hatta, Sjahrir. Semula ditahan di Parapat kemudian ke Bangka.
Menurut catatan Soebagijo I.N. , pada tahun 1953 Agus Salim ditugaskan
mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri pelantikan Ratu Elizabeth II di
Inggris. Ia juga diminta memberikan kuliah agama Islam di Cornwell University
dan Princeton University, AS. Haji Agus Salim wafat tahun 1954 dan
dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Ia meninggalkan beberapa buku seperti
Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia, Dari Hal Ilmu Quran, Muhammad voor
en na de Hijrah dan Gods Laatse Boodshap (ENI, Vol. 15, 2004:350).
26 | hs – isri 2018
C. Husein Djajadiningrat (1886-1960).
Pangeran Aria Husein Djajadiningrat lahir tahun 1886 di Serang, Banten. Ia
dididik dalam lingkungan orang-orang yang taat beragama Islam. Ayahnya
seorang Bupati yang berpandangan maju dan menyekolahkan putra-putranya pada
sekolah yang berpendidikan Barat. Setamat HBS pada tahun 1899 ia meneruskan
pendidikan ke Belanda atas anjuran Snouck Hurgronye. Ia mengikuti kursus
bahasa Latin dan Yunani Kuno tahun 1904-1905 dan diterima pada Universitas
Kerajaan di Leiden. Ia lulus pada tahun 1910 dan menjadi Doktor pertama dari
Indonesia dengan disertasinya yang berjudul Critische Beschouwing van de
Sadjarah Banten.
Ketika Universitas Leiden mengadakan sayembara mengarang tentang
sejarah Kesultanan Aceh ia melakukan penelitian atas naskah-naskah Melayu-
Indonesia dan memenangkan sayembara itu dengan mendapat medali emas. Pada
Mei 1914 sampai April 1915 ia berada di Aceh untuk mempelajari Bahasa Aceh
dan membuat kamus Aceh dua jilid berjudul Atjeh-Nederlandsche Woordenboek
yang terbit tahun 1934 yang merupakan kamus Atjeh terlengkap hingga saat ini.
Karyanya itu membuat kagum gurunya dan menyamai gurunya dalam lapangan
yang sama, Snouck Hurgronye.
Pada tahun 1919 Husein mendirikan Java Instituut dan menjadi redaktur
jurnal triwulan Jawa bersama Kats, Koperberg, Purbacaraka dan Teiler.
Husein juga merupakan guru besar pribumi pertama di Rechtshoogeschool
te Batavia (sekarang FHUI) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam,
Bahasa Jawa, Melayu dan Sunda dari tahun 1924-1935. Di tahun 1935 ia diangkat
menjadi anggota Dewan Hindia dan Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah.
Di zaman Jepang ia menjadi Kepala Departemen Urusan Agama dan kemudian
menjadi anggota Tjuo Sangiin Pusat. Di tahun 1951, ia diangkat menjadi guru
besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selain itu pada tahun 1957 ia menjadi
Pemimpin Umum Lembaga Bahasa dan Budaya merangkap sebagai Ketua Komisi
Istilah.
Beberapa karyanya adalah De Magische Achtergrond van de Maleische
Pantoen (pidato ilmiah), De Mohammefaansche Wet en het Geestesleven der
Indonesische Mohammedanen (pidato ilmiah), Apa Artinya Islam (pidato ilmiah)
dan Islam in Indonesia (dalam Islam The Straight Path).
Oleh karena kiprahnya dan sebagai pelopor tradisi keilmuan, Universiteit
Leiden mendirikan patung Prof. Hoesein Djajadiningrat (karya Aart Schonk),
yang berlokasi di Academiegebouw Universiteit Leiden, Belanda.
D. Sukarno (1901-1970).
Sukarno termasuk salah satu lulusan HBS yang sedikit itu. Ia pun termasuk
mahasiswa dan lulusan THS (Technische Hogere School) yang pertama. THS
didirikan di Bandung dalam rangka politik etis di Hindia Belanda. Tugas akhirnya
di THS mengenai konstruksi jembatan. Ia kemudian mampu menjembatani
keanekaragaman pandangan politik dan keyakinan bangsa Indonesia dan menjadi
bangsa yang merdeka.
27 | hs – isri 2018
Sukarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Ayahnya Raden Sukemi
Sosrodihardjo berprofesi sebagai guru sekolah kelas dua. Ibunya bernama Ida
Nyoman Rai. Lahir dengan nama Kusno, namanya diganti menjadi Sukarno saat
berumur lima tahun karena sakit-sakitan. Nama Sukarno diilhami dari nama
Karna dalam pewayangan, tokoh ksatria yang pandai membalas budi. Sukarno
sejak kecil menyukai wayang dan mengagumi tokoh bernama Bima yang tegas
dan selalu berjuang menegakkan keadilan. Ia mempunyai seorang kakak bernama
Sukarmini.
Sukemi mendidik Sukarno dengan disiplin keras. Sarinah (pembantu di
runahnya) amat menyayanginya. Tidak heran nama Sarinah diabadikan menjadi
toko serba ada yang pertama di Indonesia.
Sukarno menuntut ilmu di sekolah desa di Tulungagung hingga kelas lima.
Kemudian ayahnya menyekolahkannya di ELS (Europese Lagere School). Ia
harus mengikuti les Bahasa Belanda untuk menutupi kekurangannya dalam mata
pelajaran itu. Setamat ELS pada usia 15 tahun ia diterima di HBS (Hogere Burger
School) di Surabaya atas bantuan Tjokroaminoto. Ia pun mondok sambil berguru
pada Ketua Sarekat Islam itu. Di tempat itu mondok pula Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo, Agus Salim, Muso, Alimin, Kartosuwiryo dan Darsono. Bahkan
Tan Malaka pernah mondok di rumah ini. Mereka pun sering bertukarpikiran satu
sama lain. Di kota ini pula pada usia 16 tahun ia menjadi anggota Tri Koro Darmo
(Tiga Tujuan Suci) yang kelak bernama Jong Java. Dari berbagai muridnya
Tjokroaminoto paling suka dengan Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno
dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para
murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah
seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-
muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga
membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya
terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Setelah menamatkan studinya di HBS, pada Juni 1921 ia melanjutkan
studinya di THS (Tenische Hogere School) di Bandung. Atas bantuan
Tjokroaminoto pula ia mondok di rumah Haji Sanusi. Di kota ini ia bergabung
dalam Algemene Studieclub yang dididirikan di Bandung pada 29 November atas
inisiatif bekas anggota Perhimpunan Indonesia, tokoh nasionalis kota Bandung
dan para mahasiswa THS. Ia pun menjadi singa podium dan dipercaya memimpin
majalah bulanan Indonesia Moeda. Di majalah ini Sukarno menulis Nasionalisme-
Islamisme-Marxisme dan melihat kesamaannya dalam menentang kapitalisme
imperialisme dan kolonialisme.
Sukarno sempat cuti dari kuliahnya karena mertuanya, Tjokroaminoto, sakit.
Ia pun harus bekerja di jawatan kereta api untuk membiayai keluarga. Pada saat
itu ia pun menceraikan istrinya, Oetari, dan menyerahkannya kepada
Tjokroaminoto. Tidak lama kemudian ia menikah dengan Inggit Garnasih, induk
semangnya. Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1926 ia terjun
sepenuhnya ke politik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari Inggit.
Sukarno sempat menjalankan profesinya sebagai insinyur dan turut merancang
beberapa bangunan di Bandung seperti Hotel Preanger dan sebuah sekolah serta
28 | hs – isri 2018
rumah di Jl. Gatot Subroto. Namun panggilan politik lebih kuat dan iapun
mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia).
Suatu ketika Sukarno mendayung sepedanya di pesawahan Bandung Selatan dan
bertemu seorang petani bernama Marhaen. Nama itu kemudian digunakannya
sebagai nama paham hasil penggaliannya, Marhaenisme.
Pada tahun 1930 pemerintah kolonial menyeret Sukarno dan rekan-rekannya ke
pengadilan Kabupaten Bandung. Pengadilan menuntut Sukarno dengan hukuman
4 tahun, Gatot dengan hukuman 2 tahun, Maskun dengan hukuman 20 bulan dan
Supriadinata dengan hukuman 15 bulan. Sukarno mengajukan pembelaan yang
kemudian dibukukan menjadi Indonesia Menggugat. Buku ini menarik perhatian
dunia internasional.
Sukarno menjalani hukuman di Banceuy dan kemudian Sukamiskin.
Sementara itu PNI dibekukan oleh Sartono, tokoh PNI yang tidak ikut ditangkap.
Sementara Mohammad Hatta dan Sjahrir membentuk PNI-Baru. Saat keluar dari
penjara Sukarno mencoba menyatukan keduanya namun tidak berhasil. Ia pun
bergabung dengan Partindo yang dipimpin Sartono. Pada kongres Partindo yang
pertama ia terpilih menjadi Ketua, membuka cabang di berbagai kota dan
menerbitkan majalah Fikiran Ra'jat. Pada saat inilah ia menulis risalah Mencapai
Indonesia Merdeka (1933). Pemerintah Belanda di bawah gubernur jendral De
Jonge menangkapnya. Tanpa proses pengadilan Sukarno dibuang ke Ende, Flores.
Pada 17 Februari 1934 Sukarno - yang terkenal dengan panggilan Bung Karno-
berlayar menuju tempat pembuangan didampingi istrinya Inggit Garnasih, ibu
mertua dan putri angkatnya, Ratna Djuami. Di Ende, Sukarno memperdalam
agama Islam dan berkorespondensi dengan A. Hasan, ulama dari Bandung. Surat
menyurat mereka diterbitkan dengan judul Surat-surat Islam dari Ende.
Pada awal 1938 Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu. Di sini ia menjadi ketua
bidang pengajaran Muhammadiyah dan aktif menulis artikel keislaman pada
majalah Panji Masyarakat. Selain itu ia juga turut merancang arsitektur Masjid
Raya Bengkulu yang masih terpelihara hingga saat ini. Ia juga mendirikan
kelompok sandiwara seperti waktu berada di Ende. Ia menulis naskah menjadi
sutradara dan bermain. Kegemarannya melukis nampaknya tidak tersalurkan
seperti saat di Ende. Ia justru jatuh cinta pada Fatmawati putri Hasan Din, aktivis
Muhammadiyah. Fatmawati adalah teman sekolah putri angkatnya, Ratna Juami.
Hubungan dengan Inggit mulai retak.
Ketika Jepang mendarat di Palembang ia dilarikan pemerintah Belanda ke
Padang. Ia kemudian dibawa tentara Jepang ke Jawa dan pad bulan Juli 1942
mendarat di pelabuhan Pasar Ikan Jakarta.
Jepang yang mempropagandakan diri sebagai "saudara tua" memanfaatkan
Sukarno untuk menghimpun massa melalui Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
bersama Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansyur. Melalui
Putera Jepang mengerahkan romusha (kerja paksa) yang mendapat protes dari
para pemuda. Putera kemudian dibubarkan dan pada tahun 1944 berdiri Jawa
Hokokai yang dipegang Gunseikan dan Sukarno menjadi penasihatnya. Jepang
melaui PM Koiso pun berjanji akan memberi kemerdekaan. Jepang mengundang
Sukarno dan Hatta ke Saigon pada 9 Agustus 1945 dan memberi wewenang
29 | hs – isri 2018
kepada keduanya menentukan saat kemerdekaan Indonesia. Kembali ke Indonesia
Sukarno berpidato bawa sebelum jagung berbunga Indonesia sudah merdeka.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 lewat pidatonya Bung Karno
mengajukan lima butir pemikiran yang kemudian ditetapkan sebagai dasar negara
Indonesia merdeka dan diberi nama Pancasila. Karena itu ia dipandang sebagai
penggali Pancasila.
Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945
menyusul dijatuhkannya bom atom oleh AS di Nagasaki dan Hiroshima. Para
pemuda menculik Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 dan
membawa mereka ke Rengasdengklok. Namun malamnya mereka dibawa
kembali ke Jakarta atas upaya Ahmad Subardjo. Malam itu diadakan rapat PPKI.
Menjelang dinihari teks proklamasi sudah tersusun. Pada hari Jumat bulan
Ramadhan, tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 Sukarno -atas nama bangsa
Indonesia- membacakan teks proklamasi kemerdekaaan itu di Jalan Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta. Lahirlah Negara Indonesia yang merdeka.
V. MUNCULNYA NASIONALISME
A. Penggerak Perubahan
Hindia Belanda mengalami perubahan-perubahan besar dan yang terpenting
adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan definisi mengenai
identitas. Gerakan-gerakan anti penjajahan dan pembaharuan banyak dipelopori
Jawa dan Minangkabau. Prakarsa banyak diambil oleh priyayi Jawa baru dan para
pejabat yang maju dan memandang pendidikan sebagai kunci bagi kemajuan.
Kelompok ini -terutama kaum abangan- oleh Ricklefs dianggap mewakili suatu
aliran sosial budaya yang penting. Abangan dinisbahkan pada kaum muslim yang
keislamannya formal dan nominal saja. Dengan memperoleh pendidikan barat
kaum priyayi dan abangan mendapat kunci untuk melakukan peremajaan kembali
kebudayaan, kelas dan masyarakat mereka.
1. Abdul Rivai
Ada dua nama yang pantas dicatat sebagai motor penggerak perubahan,
Abdul Rivai dan Wahidin Soedirohoesodo. Pada tahun 1902 Abdul Rivai
menerbitkan jurnal Bintang Hindia di Belanda . Rivai orang Minangkabau lulusan
Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden, bertindak sebagai pemimpinnya. Bintang
Hindia diedarkan secara luas di Hindia Belanda dan dibaca amat luas oleh
kalangan elite Indonesia sebelum penerbitannya berhenti pada tahun 1906.
Gagasan pembebasan bangsa Indonesia lewat pendidikan kaum priyayi didorong
sejak awal oleh jurnal ini.
2. Wahidin Sudirohusodo
30 | hs – isri 2018
Sementara itu, Wahidin Soedirohoesodo adalah inspirator bagi
pembentukan organisasi modern pertama untuk kalangan priyayi Jawa. Ia juga
lulusan Sekolah Dokter Jawa dan bekerja sebagai dokter pemerintah di
Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 ia menjadi redaktur majalah
Retnadhoemilah (Ratna Yang Berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan
Melayu untuk kalangan pembaca priyayi. Meski berpendidikan Barat, Wahidin
adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat.
Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi terutama oleh ilham Hindu-
Budha. Secara tersirat ia berpandangan bahwa salah satu penyebab kemerosotan
masyarakat Jawa adalah karena kedatangan agama Islam. Karena itu ia berusaha
memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda.
Upaya Wahidin menghimpun beasiswa guna memberikan pendidikan Barat
kepada golongan priyayi Jawa hanya didukung sedikit pejabat dan bupati yang
sebenarnya merasa terancam. Pada tingkatan tertinggi, hanya ada seorang seorang
pangeran dari Pakualaman yang mendukungnya.
Belakangan cara pandang Wahidin memunculkan berbagai aliran dalam
politik Indonesia.
B. Budi Utomo
Pada tahun 1907 Dr Wahidin Sudirohusodo berkunjung ke STOVIA dan
mendapat sambutan bersemangat dari mahasiswa sekolah tersebut dan diambil
keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan
kepentingan priyayi rendah. Pada bulan Mei 1908 diselenggarakansuatu
pertemuan yang melahirkan Budi Utomo yang berarti perkumpulan yang akan
mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi. Budi Utomo diterjemahkan ke
dalam Bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schoone streven
(ikhtiar yang indah). Pada pertemuan pertama itu hadir perwakilan mahasiswa
dari STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, sekolah pertanian dan kedokteran
hewan. Cabang-cabang Budi Oetomo didirikan pada lembaga-lembaga pendidikan
tersebut. Diketuai Sutomo, pada bulan Juli 1908 Budi Utomo sudah mempunyai
anggota 650 orang. Bahasa Melayu -dan bukan bahasa Jawa- dipilih sebagai
bahasa resmi. Mereka yang bukan mahasiswa juga menggabungkan diri sehingga
pengaruh mahasiswa mulai berkurang dan organisasi tersebut tumbuh menjadi apa
yang disebut Ricklefs sebagai "partai priyayi rendah Jawa pada umumnya."
Tujuan Budi Utomo adalah (1) memajukan pendidikan, (2) memajukan pertanian,
peternakan dan perdagangan, (3) memajukan teknik dan industri dan (4)
menghidupkan kebudayaan (Wardhani, 2004:506).
Pada bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang
pertama di Yogyakarta. Tjipto Mangunkusumo yang tidak mengagumi budaya
Jawa menghendaki Budi Utomo menjadi partai politik dan menghendaki agar
Budi Utomo berjuang mengangkat rakyat pada umumnya, bukan priyayi saja. Dr
31 | hs – isri 2018
Rajiman Wediodiningrat mengemukakan ide-idenya yang dipengaruhi
kebudayaan Jawa, dialektika Hegel, subyektifisme Kant dan antirasionalisme
Bergson serta diktrin mistik teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat.
Keduanya tidak berhasil meraih kemenangan dalam kongres. Tjipto dianggap
radikal dan Rajiman seorang reaksioner yang kaku. Tjipto keluar dan mendirikan
Indische Partij yang radikal (Ricklefs, 2005:345).
Gubernur Jendral Van Heutsz menyambut baik penerbitan Bintang Hindia
oleh Rivai dan prakarsa pendirian Budi Utomo oleh Wahidin sebagai tanda
keberhasilan Politik Etis. Pada Desember 1909 Budi Utomo dinyatakan sebagai
organisasi yang sah. Budi Utomo hidup setidaknya sampai tahun 1935.
Anggotanya paling banyak 10.000 orang yang kebanyakan terdiri dari priyayi
Jawa dan Sunda, yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rao, B.V.. History of Asia From Early Times to the Present. UK USA
India, New Dawn Press Inc., 2005.
2. Reid, Anthony (ed.). Indonesian Heritage Vol. 1- 6. ---, Grolier
International, 2002.
3. Riclefs, M.C.. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta, Serambi,
2005.
4. --- (ed.). Ensiklopedi Nasional Indonesia Vol. 1-18. Jakarta, PT Delta
Pamungkas, 2004.
32 | hs – isri 2018
TENTANG PENULIS
Dr. H. Harjoko Sangganagara M.Pd., lahir di Ngawi pada tanggal 17
Oktober 1959, menikah dengan Hj. Aat Atikah S.Sos., Am. Keb., Pegawai
Negeri Sipil pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dan dikaruniai tiga orang
anak : (1) Idea Wening Nurani S.Si., M.Sc., MIL., lulusan Program Magister
Lingkungan Hidup Universitas Padjadjaran Bandung dan Tweente University
Leeuwarden Belanda (double degree), bekerja sebagai dosen pada Fakultas
Geografi Pembangunan, UGM, Yogyakarta; (2) Abdurrahman Sidiq
Suryasemesta, SH., lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,
assistant manager Bank Mandiri Thamrin Jakarta; dan (3) Muhammad Agustus
Prajakusuma, mahasiswa tingkat akhir Program Studi MBTI FEB Universitas
Telkom Bandung.
Riwayat pendidikan penulis : (a) SD Negeri Jelambar Pagi II, Jakarta,
lulus tahun 1972; (b) SMP Kusuma Bangsa, Ngawi, lulus tahun 1975; (c) SMEA
Panti Pamardi Siwi, Ngawi, lulus tahun 1980; (d) Universitas Pasundan, Bandung
(sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, lulus tahun 1988); (e) Pendidikan Non Gelar
dari Universitas Padjadjaran dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tahun 1992; (f)
Program S2 Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
(memperoleh gelar Magister Pendidikan pada program studi Pendidikan Umum
dengan konsentrasi Teori dan Filsafat Pendidikan pada tahun 2008); (g) Program
S3 Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
(memperoleh gelar Doktor Administrasi Pendidikan tahun 2011) .
Riwayat pekerjaan : (a) Karyawan Yayasan Widya Bhakti ditempatkan
pada SMP Santa Angela Bandung (1981-1992) ; (b) Pengurus Lembaga
Pengabdian Masyarakat di Bandung (1999) ; (c) Ketua STIA Bagasasi Bandung
(1998); (d) Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Galuh Ciamis pada
Program Studi Administrasi dan Manajemen Pendidikan; (e) Pengajar pada
Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Metro pada Program Studi
Manajemen Pendidikan.
33 | hs – isri 2018
Pengalaman dalam bidang pemerintahan : (a) menjadi anggota DPRD
Kabupaten DT II Bandung (1992-1997); dan (b) anggota DPRD Provinsi Jawa
Barat (2000-2004 dan 2004-2009).
Pengalaman sebagai penulis : menulis buku mengenai anggaran
pendidikan (2017) dan masalah-masalah pembangunan serta bisnis pada surat
kabar Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kompas, Suara Pembaruan, Kontan, Daily
Investor & Koran Jakarta ( tahun 2003-2009).
Pengalaman internasional : (a) penyelenggara World Peace Exhibition; (b)
partisipan Seminar dan Kongres Asia and Pacific Social Work Education ; (c)
partisipan International Congress for AIDS of Asia and Pacific (ICAAP IX); (d)
trade visitor International Dubai Expo dan (e) trade visitor China International
Exhibition.
Pengalaman di bidang organisasi : (a) Sekretaris PDI Kabupaten DT II
Bandung tahun 1997; (b) Pimpinan Sementara DPRD Kabupaten Bandung 1992;
(c) Pjs. Ketua Fraksi PDI Kabupaten Bandung tahun 1997; (d) Sekretaris
Balitbang PDI Perjuangan Jawa Barat tahun 2002 ; (e) Sekretaris Fraksi PDI
Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Barat tahun 2007; (f) Wakil Ketua Komisi D
DPRD Provinsi Jawa Barat tahun 2008; (g) Sekretaris Panitia Legislasi DPRD
Provinsi Jawa Barat tahun 2005; (h) Sekretaris Forum Parlemen Indonesia untuk
Kependudukan dan Pembangunan Provinsi Jawa Barat tahun 2009; (i) Wakil
Ketua Pimpinan Daerah DPP GMNI Provinsi Jawa Barat tahun 2009 sampai
sekarang ; (j) Ketua Bidang Pendidikan DPP ISRI (2018- ); (k) Ketua I Forum
RT dan RW Provinsi Jawa Barat (2013- ); (l) Ketua I IMPPSI (1987- ) dan
lain-lain.
34 | hs – isri 2018
LAMPIRAN.
A. BACAAN KARTINI
De Vrouw en het Socialisme
Sejak dipingit pada umur 12 tahun, Raden Ajeng Kartini banyak membaca
buku berbahasa Belanda. Salah satunya De Vrouw en het Socialisme karya
August Bebel. Saya mencari tahu seperti apa buku itu.
Dari laman sebuah organisasi Marxis internasional yang bermarkas di Inggris saya
mendapat informasi sebagai berikut.
Edisi pertama buku De Vrouw en Socialisme ditulis dan diterbitkan di
Jerman pada tahun 1879. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Meta L.
Stern (Hebe) menjadi Woman and Socialism; Diterbitkan oleh Socialist Literature
Co., 15 Spruce Street, New York.
Buku Woman and Socialism banyak diterbitkan ke dalam berbagai bahasa
dan mengalami revisi. Edisi yang lengkap diterbitkan untuk memperingati 50
tahun Serikat Kerja Jerman di AS.
Isi buku De Vrouw en het Socialisme kurang lebih sebagai berikut :
ISI
Pengantar
WANITA DALAM MASA LALU.
Bab I. – Posisi Wanita di Masyarakat Purba
1. Kepala Epochs dari Sejarah Purba
2. Bentuk-bentuk Keluarga
3. Matriarkat
Bab II. - Konflik Antara Matriarkat dan Patriarkat
1. Bangkitnya Patriarkat
2. Jejak Matriarkat dalam Mitos dan Drama Yunani
3. Istri Sah dan Pelayan di Athena
4. Sisa-sisa Matriarkat di Berbagai Bangsa
5. Bangkitnya Negara - Pembubaran Gens di Roma
Bab III. - Kekristenan
Bab IV. - Wanita di Abad Pertengahan
1. Posisi Wanita Diantara Orang Jerman
2. Feudalisme dan Hak Malam Pertama
3. Kebangkitan Kota - Urusan Monastik - Prostitusi
4. Ksatria dan Penghormatan Perempuan
Bab V. - Reformasi
1. Luther
2. Hasil Reformasi - Perang Tiga Puluh Tahun
35 | hs – isri 2018
Bab VI. - Abad Delapan Belas
1. Kehidupan Pengadilan di Jerman
2. Komersialisme dan Undang-undang Perkawinan Baru
3. Revolusi Perancis dan Kebangkitan Industri
WANITA DI HARI SEKARANG.
Bab VII. - Perempuan sebagai seorang Subyek Seksual
1. Impuls Seksual
2. Selibat dan Frekuensi Bunuh Diri
Bab VIII. - Pernikahan Modern
1. Pernikahan sebagai Profesi
2. Penurunan Angka Kelahiran
3. Pernikahan Mercenary dan Pasar Matrimonial
Bab IX. - Gangguan Keluarga
1. Peningkatan Perceraian
2. Pernikahan Borjuis dan Proletar
Bab X. - Pernikahan sebagai Sarana Dukungan
1. Penurunan Angka Pernikahan
2. Infanticide dan Aborsi
3. Pendidikan untuk Pernikahan
4. Kesengsaraan Perkawinan Hari Ini
Bab XI. - Kemungkinan Matrimony
1. Proporsi numerik dari jenis kelamin
2. Hambatan untuk Menikah - Kelebihan Wanita
Bab XII. - Prostitusi Lembaga Sosial Masyarakat Bourgeois yang Penting
1. Prostitusi dan Masyarakat
2. Prostitusi dan Negara
3. Perdagangan budak putih
4. Peningkatan Prostitusi - Kefanaan yang Tidak Sah
5. Kejahatan Terhadap Moralitas dan Penyakit Seksual
Bab XIII. - Wanita dalam Industri
1. Pengembangan dan Perluasan Tenaga Kerja Perempuan
2. Pabrik Kerja Wanita Menikah - Pekerja Sweatshop dan Pekerjaan Berbahaya
Bab XIV. - Perjuangan Perempuan untuk Pendidikan
1. Revolusi dalam Kehidupan Domestik
2. Kemampuan Intelektual Perempuan
3. Perbedaan dalam Kualitas Fisik dan Mental Manusia dan Perempuan
4. Darwinisme dan Kondisi Masyarakat
5. Wanita dan Profesi yang Dipelajari
Bab XV. - Status Hukum Wanita
1. Perjuangan untuk Kesetaraan di Hadapan Hukum
2. Perjuangan untuk Kesetaraan
NEGARA DAN MASYARAKAT.
Bab XVI. - Negara Kelas dan Proletariat Modern
1. Kehidupan Publik Kami
2. Agravasi Ekstrem Sosial
Bab XVII. - Proses Konsentrasi dalam Industri Kapitalistik
36 | hs – isri 2018
1. Perpindahan Pertanian oleh Industri
2. Meningkatkan Kemapanan - Mempermudah Perusahaan Industri Besar
3. Konsentrasi Kekayaan
Bab XVIII. - Krisis dan Persaingan
1. Penyebab dan Efek dari Krisis
2. Perdagangan Menengah dan Peningkatan Biaya Hidup
Bab XIX. - Revolusi dalam Pertanian
1. Kompetisi Transatlantik dan Desersi Negaranya
2. Petani dan Pemilik Tanah Besar
3. Kontras Antara Kota dan Negara
SOSIALISASI MASYARAKAT.
Bab XX. - Revolusi Sosial
1. Transformasi Masyarakat
2. Perampasan para pengambilalihan
Bab XXI. - Hukum Fundamental Masyarakat Sosialistik
1. Tugas untuk Bekerja dari Semua Orang berbadan sehat
2. Harmoni Kepentingan
3. Organisasi Perburuhan
4. Pertumbuhan Produktivitas Buruh
5. Menghapus Kontras Antara Pekerjaan Mental dan Manual
6. Peningkatan Konsumsi
7. Tugas Sama untuk Bekerja untuk Semua
8. Penghapusan Perdagangan - Transformasi Lalu Lintas
Bab XXII. - Sosialisme dan Pertanian
1. Penghapusan Kepemilikan Tanah Pribadi
2. Ameliorasi Tanah
3. Berubah Metode Pertanian
4. Pertanian dalam Skala Besar dan Kecil - Peralatan Listrik
5. Kebudayaan Masa Depan
6. Langkah-langkah untuk Mencegah Kelelahan Tanah
7. Penghapusan Kontras Antara Kota dan Negara
Bab XXIII. - Penghapusan Negara
Bab XXIV. - Masa Depan Agama
Bab XXV. - Sistem Pendidikan Sosialis
Bab XXVI. - Sastra dan Seni Masyarakat Sosialistiknya
Bab XXVII. - Pengembangan Individu Gratis
1. Kebebasan Dari Perawatan
2. Perubahan Metode Nutrisi
3. Dapur Komunistik
4. Transformasi Kehidupan Domestik
Bab XXVIII. - Perempuan di Masa Depan
Bab XXIX. - Internasionalitas
Bab XXX. - Pertanyaan Populasi dan Sosialisme
1. Takut akan Overpopulasi
2. Produksi Overpopulasi
3. Kemiskinan dan Fekunditas
37 | hs – isri 2018
4. Kurangnya Manusia dan Kelimpahan Makanan
5. Kondisi Sosial dan Kemampuan Reproduksi
Kesimpulan
B. Kutipan Bab II Woman and Socialism karya August Bebel.
August Bebel. Woman and Socialism.
Woman in the Past
CHAPTER II. Conflict between Matriarchate and Patriarchate.
1. – Rise of the Patriarchate.
With the increase in population a number of sister gentes arose that again brought
forth several daughter gentes. The mother gens was distinguished from these as
the phratry. A number of phratries constituted the tribe. So strong was this social
organization that it still constituted the unit of military organization in the states of
antiquity, when the old gentile constitution had already been abandoned. The tribe
was subdivided into several branches, all having a common constitution and in
each of which the old gens could be recognized. But as the gentile constitution
prohibited intermarriage among remote relatives even on the mother’s side, it
undermined its own existence. A social and economic development made the
relation of the various gentes to one another more and more complicated, the
interdict of marriage between certain groups became untenable and ceased to be
observed. While production of the necessities of life was at its lowest stage of
development, and destined to satisfy only the simplest demands, the activities of
men and women were essentially the same. But with increasing division of labor
there resulted not only a diversity of occupations, but a diversity of possessions as
well. Fishing, hunting, cattle-breeding and agriculture, and the manufacture of
tools and implements, necessitated special knowledge, and these became the
special province of the men. Man took the lead along these lines of development
and accordingly became master and owner of these new sources of wealth.
Increasing population and the desire for an extensive ownership of land for
agricultural and pastoral purposes, led to struggles and battles over the possession
of such land; it also led to a demand for labor-power. An increase in labor-power
meant greater wealth in produce and flock. To procure such labor-power the rape
38 | hs – isri 2018
of women was at first resorted to, and then the enslavement of vanquished men,
who had formerly been killed. Thus two new elements were introduced into the
old gentile constitution that were incompatible with its very nature.
Still another factor came into play. The division of labor and the growing demand
for tools, implements, weapons, etc., led to a development of handicraft along
distinct lines apart from agriculture. A special class of craftsmen arose, whose
interests in regard to the ownership and inheritance of property diverged
considerably from those of the agricultural class.
As long as descent was traced from female lineage, members of the gens, became
heirs to their deceased relatives on the mother’s side. All property remained
within the gens. Under the changed conditions the father had become owner of
flocks and slaves, weapons and produce, but being a member of his mother’s gens
he could not will his property to his children, but had to leave same to his brothers
and sisters or to his sisters’ children. His own children were disinherited. A strong
desire for changing this state of affairs therefore began to manifest itself, and it
was changed accordingly. Polygamy and polyandry gave way to the pairing
family. A certain man lived with a certain woman, and the children born from this
relation were their children. These pairing families developed gradually, being
hampered by the marriage interdicts of the gentile constitution, but favored by the
above enumerated economic causes. The old household communities were not in
keeping with the idea of private property. Class and occupation became
determining factors in the choice of a place of residence. An increased production
of commodities gave rise to commerce among neighboring and more widely
separated nations and necessitated the development of finance. Man was the one
to conduct and control this development. His private interests, therefore, were no
longer harmonious to the old gentile organization; on the contrary, they were
frequently diametrically opposed to it. Therefore this organization became of less
and less importance, and finally all that remained of the gens was the conducting
of a number of religious rites within the family group. The economic significance
was lost and the final dissolution of the gentile constitution only remained a
question of time.
With the breaking up of the old gentile organization the power and influence
of woman rapidly declined. The matriarchate disappeared and the patriarchate
took its place. Man, being an owner of private property, had an interest in having
legitimate children to whom he could will his property, and he, therefore, forced
upon woman the prohibition of intercourse with other men.
But for himself he reserved the right of maintaining as many concubines as his
means would permit beside his legitimate wife or wives, and their offspring were
regarded as legitimate children. The Bible furnishes important evidence on this
subject in two instances. In the first book of Moses, 16, 1 and 2, it says: “Sarai,
39 | hs – isri 2018
Abram’s wife, bore him no children; and she had an handmaid, an Egyptian
whose name was Hagar. And Sarai said unto Abram: Behold now, the Lord bath
restrained me from bearing; I pray thee, go in unto my maid; it may be that I may
obtain children by her. And Abram hearkened to the voice of Sarai.” The second
noteworthy evidence is found in the first book of Moses, 30, 1; it reads as follows:
“And when Rachel saw that she bore Jacob no children, Rachel envied her sister,
and said unto Jacob: Give me children or else I die. And Jacob’s anger was
kindled against Rachel and he said: Am I in God’s stead who has withheld from
thee the fruit of the womb? And she said: Behold my maid, Billah, go in unto her;
and she shall bear upon my knees that I may also have children by her. And she
gave him Billah, her handmaid, to wife, and Jacob went in unto her.”
Thus Jacob was not only married to two sisters, the daughters of Laban, but both
also gave him their handmaids to wives, a custom that was not immoral according
to the moral conceptions of the time. His two chief wives he had married by
purchase, having served their father Laban seven years for each of them. At that
time it was the general custom among the Jews to purchase wives, but besides
they carried on a widespread robbery of women from nations conquered by them.
Thus, for instance, the Benjamites robbed the daughters of Shiloh. The captured
woman became a slave, a concubine. But she could be raised to the position of a
legitimate wife, upon fulfillment of the following command: She had to cut her
hair and nails and exchange the garments in which she was captured with others
given to her by her captors. Thereupon she had to mourn for her father and mother
during an entire month, her mourning being destined to signify that her people
were dead to her. These regulations having been complied with, she could enter
into wedlock. The greatest number of women were owned by King Solomon,
who, according to the first book of Kings, chapter 11, had no less than 700 wives
and 300 concubines.
As soon as the patriarchate, that is, paternal descent, was established in the
gentile organization of the Jews, the daughters were excluded from inheritance.
Later this rule was modified in cases when a father left no sons. This is shown in
the fourth book of Moses, 27, 28. There it is told that when Zelophehad died
without leaving sons, his daughters complained bitterly that they should be
excluded from their father’s inheritance that was to pass to the tribe of Joseph.
Moses decides that in this case the daughters should be heirs to their father. But
when, according to an old custom, they decide to choose husbands from another
tribe, the tribe of Joseph complain that thereby they are losing an heritage. There
upon Moses decides that the heiresses may choose freely, but that they must make
their choice from among the men in their father’s tribe. So it was in behalf of
property that the old marriage laws were annulled. As a matter of fact, in the days
of the old Testament, i. e., in historical times, the patriarchal system was prevalent
40 | hs – isri 2018
among the Jews, and the clan and tribal organization were founded on descent in
the male line, as was the case with the Romans. According to this system the
daughters were excluded from inheritance. Thus we read in the first book of
Moses, 31, 14 and 15, the complaint of Lea and Rachel, daughters of Laban: “Is
there yet any portion or inheritance for us in our father’s house? Are we not
counted of him strangers? For he hath sold us and hath quite devoured also our
money.”
Among the ancient Jews, as among all other nations where the matriarchate
was succeeded by the patriarchate, women were utterly devoid of rights. Marriage
was a purchase of the woman. Absolute chastity was demanded of her; but not so
of the man, who moreover was entitled to have several wives. If the man had
cause to believe that the woman had lost her virginity prior to marriage, he was
not only entitled to cast her off she might also be stoned to death. The same
punishment was meted out to the adulteress; but the man was subjected to the
same punishment only then when he committed adultery with a Jewish matron,
According to the first book of Moses, 24, 1–4, a man was entitled to cast off a
woman he had just married if she found no favor in his eyes, even though his
displeasure be only i whim. Then he might write her a bill of divorcement, give it
in her hand and send her out of his house. A further proof of the degraded position
of woman among the Jews may be gathered from the fact that to this day women
attend services in the synagogue in a space separated from the men, and are not
included in the prayer.[1] According to the Jewish conception, woman is not a
member of the congregation; in religion and politics she is a mere cipher. When
ten men are assembled they may hold services, but women are not permitted to do
so, no matter how many of them are assembled.
In Athens, Solon decreed that a widow should marry her nearest relation on her
father’s side, even if both belong to the same gens, although such marriages were
forbidden by an earlier law. Solon likewise decreed that a person holding property
need not will it to his gens but might, in case he were childless, will it to
whomsoever he pleased. We see, then, that man, instead of ruling his property, is
being ruled by it.
With the established rule of private property the subjugation of woman by
man was accomplished. As a result of this subjugation woman came to be
regarded as an inferior being and to be despised. The matriarchate implied
communism and equality of all. The rise of the patriarchate implied the rule of
private property and the subjugation and enslavement of woman. The
conservative Aristophanes recognized this truth in his comedy, “The Popular
Assembly of Women,” for he has the women introduce communism as soon as
41 | hs – isri 2018
they have gained control of the state, and then proceeds to caricature communism
grossly in order to discredit the women.
It is difficult to show how the details of this great transformation were
accomplished. This first great revolution that took place in human society was not
accomplished simultaneously among all the civilized nations of antiquity, and has
probably not developed everywhere along the same lines. Among the tribes of
Greece, the new order of things attained validity primarily in Athens.
Frederick Engels holds the opinion that this great transformation was brought
about peaceably, and that, all preliminary conditions making such a change
desirable being given, a mere vote on the matter in the gentes sufficed to put the
patriarchal system in place of the matriarchal system. Backofen, on the other
hand, believes – his opinion founded on ancient writers – that the women
vehemently opposed this social transformation. lie considers many myths of the
Amazon kingdoms that are met with in the histories of Oriental countries, in
South America and China, proofs of the struggle and (Opposition of women
against the new order.
With the rise of male supremacy the women were deprived of their former
position in the community. They were excluded from the council and lost their
determining influence. Men compelled women to be faithful in marriage without
recognizing a similar duty on their part. When a woman is faithless, she commits
the worst deception to which a citizen of the new order can fall a victim; she
brings another man’s children into his house to become the heirs of his property.
That is why among all the ancient peoples adultery, when committed by a woman,
was punishable by death or slavery.
Traces of the Matriarchate in Greek Myths and Dramas.
Although the women were thus deprived of their former influential position, the
customs connected with the ancient cults continued to dominate the minds for
centuries; only their deeper meaning was gradually lost, and it remained for the
present time to investigate them. Thus it was customary in Greece that women
appealed for advice and help to the goddesses only. The annual celebration of the
Thermophoria clearly derived its origin from matriarchal times. Even in later days
Greek women still celebrated this festival in honor of Demeter, which lasted for
five days, and in which no man was allowed to participate. A festival of the same
character was held annually in Rome in honor of Ceres. Demeter and Ceres were
the goddesses of fecundity. In Germany, similar festivals were observed up to the
Christian middle ages. These were consecrated to Frigga, the ancient German
goddess of fecundity, and here also men were excluded from participation.
In Athens, the matriarchate had to make way to the patriarchate at an early period,
42 | hs – isri 2018
but apparently not without strong opposition on the part of the women. The
tragedy of the transformation is pathetically presented in the “Eumenides” by
Aeschylus. The following is a synopsis of the story: Agamemnon, King of
Mycenae, husband of Klytaemnestra, on his expedition to Troy, sacrifices his
daughter Iphigeneia, in obedience to a command of the oracle. The mother is
enraged over the sacrifice of her child that, in accordance with natural law, does
not belong to her husband, and during Agamemnon’s absence she accepts
Aeghistus as her husband, thereby not committing any objectionable act according
to the ancient laws. When Agamemnon returns to Mycenae, after an absence of
many years, he is murdered by Aeghistus, whom Klytaemnestra has incited to this
deed. Orestes, son of Agamemnon and Klytaemnestra, upon a command from
Apollo and Minerva, avenges his father’s death by killing his mother and
Aeghistus. The Eumenides, representing the old maternal law, prosecute Orestes
for the murder of his mother. Apollo and Minerva – the latter, according to the
myth, not having been born by a mother, since she sprang from the head of Zeus
in full armor – defend Orestes, for they represent the new paternal law. The case is
brought before the areopagus and the following dialogue ensues in which the two
conflicting views are expressed:
Eumenides: The prophet (Apollo) bade thee then become a matricide?Orestes:
Aye: and I never yet my destiny regretted.
Eumenides: When judgment will be given thou wilt not speak thus.
Orestes: Perhaps. But from his grave my father will send aid.
Eumenides: What hopest from the dead thou, who hast killed thy mother?
Orestes: She had been guilty of a double. bloody crime.
Eumenides: How so’ Explain unto the judges what you mean? Orestes: She killed
her husband and she thereby killed my father. Eumenides: Her crime she expiated
now, but you still live.
Orestes: Why did you fail to prosecute her while she lived?
Eumenides: She was no blood relation to the man she killed.
Orestes: But I, so you assert, am of my mother’s blood.
Eumenides: Did she., thou bloody one, not bear thee ‘neath her heart? Wouldst
thou thy mother’s sacred blood deny?
The Eumenides accordingly do not recognize the right of the father and husband.
They proclaim maternal law. That Kleytaemnestra caused the murder of her
husband seems unimportant to them, for he was a stranger to her. But they
demand punishment of the matricide, for by killing his mother, Orestes committed
the most unpardonable crime that could be committed under the dominance of the
gentile organization. Apollo, on the other hand, holds the opposite point of view.
43 | hs – isri 2018
Upon a command from Zeus he has induced Orestes to murder his own mother to
avenge the patricide, and before the judges he thus defends the deed:
Then say I, listen ye unto my word of justice:
The mother is not procreatrix to her child;
She only the awakened life doth keep and bear.
The father is tile procreator; she but keeps
The forfeit for her friend, unless a god destroy it
I will submit a proof that cannot be denied.
For one can have a father, yet no mother have.
Minerva, daughter of the great Olympian Zeus,
Within the darkness of a mother’s womb ne’er rested,
And yet no goddess e’er gave birth to fairer offspring.
According to Apollo, then, procreation gives the father a superior right, while the
view that had prevailed until then proclaimed the mother, who gives life to the
child by her own blood, the child’s sole possessor, and deemed the child’s father a
mere stranger to her. Therefore, the Euminedes reply to the views of Apollo:
Thou overthrowest forces of remotest days ....
Thou, the young god, wouldst its, the ancient ones, dethrone.
The judges prepare to pronounce their verdict; half of them favor the old law and
the other half favor the new, giving an equal number of votes to both sides. There
Minerva seizes a ballot from the altar and casting it into the urn she exclaims:
Mine is the right to utter final judgment here,
And for Orestes I cast in the urn this stone;
For unto me no mother was who gave me birth,
Therefore with all my heart all manly things I praise
Excepting marriage. For I am my father’s quite.
Less criminal I deem the murder of this woman,
Because her husband she has killed, the home’s maintainer.
Though even be the vote, Orestes is victorious.
Another myth depicts the fall of the matriarchate in the following manner:
During the rule of Cecrops, a double miracle occurred. Simultaneously an olive-
tree sprang from the earth at one place, and a well at another. The frightened king
sent a messenger to Delphi to question the oracle concerning the meaning of these
miracles. The reply was: The olive-tree represents Minerva, the water represents
Neptune, and the citizens may decide after whom of the two deities they choose to
name their city. Cecrops summoned the popular assembly, in which both men and
44 | hs – isri 2018
women were entitled to vote. The men voted for Neptune, and the women for
Minerva, and since the women had a majority of one vote Minerva was,
victorious. Thereupon Neptune became infuriated and let the sea flood the lands
of the Athenians. To appease the fury of the god, the Athenians then inflicted
threefold punishment upon their women. They were to be disfranchised, their
children were no longer to bear their mother’s name, and they themselves should
no longer be called Athenians.[2]
Thus the new order was established. The father became the head of the family.
The patriarchate conquered the matriarchate.
Legitimate Wives and Courtesans in Athens. Just as the transition from the
matriarchate to the patriarchate was accomplished in Athens, it was accomplished
elsewhere as soon as a similar degree of development had been attained. Woman
was restricted to her home and isolated in special rooms, known as “gynaconus,”
in which she dwelt. She even was excluded from social intercourse with the men
who visited the house; in fact, this was the special object of her isolation. In the
Odyssee we find this change in customs expressed. Thus Telemachus forbids his
mother to be present among her suitors, and utters this command:
But go now to the home, and attend to thy household affairs;
To the spinning wheel and the loom, and bid thy maids be assiduous
At the task that to them were allotted, To speak is the privilege of men,
And mine is especially this privilege, for I am the lord of the house![3]
This was the prevailing conception in Greece at the ‘lime. Even widows were
subjected to the rulership of their nearest male relatives, and were not even free to
choose a husband. Weary of the long waiting imposed upon them by the clever
Penelope, the suitors send to Telemachus their spokesman, Antonioos, who thus
voices their demand:
See now, the suitors inform thee that thou in thy heart mayest know it
And that all the Achaeans may of the fact be informed.
Send thy mother hence, and command her to take as her husband
Whom she chooses to take, and whom her father selects.[4]
At this period woman’s freedom has come to an end. When she leaves the house
she must veil her face – not to waken the desires of some other man. In the
Oriental countries where sexual passions are stronger, as a result of the hot
climate, this method of isolation is still carried to the extreme. Among the
ancients, Athens served as a pattern of the new order. The woman shares the
man’s bed, but not his table. She does not address him by his name, but calls him
45 | hs – isri 2018
master; she is his servant. She was not allowed to appear in public anywhere, and
when walking upon the streets was always veiled and plainly dressed. When she
committed adultery she was, according to Solon’s law, condemned to pay for her
sin either with her life, or with her liberty. Her husband was entitled to sell her as
a slave.
The position of Greek women of those days is powerfully expressed in Medea’s
lamentation:
“Of all creatures that have soul and life
We women are indeed the very poorest.
By our dowery we’re obliged to purchase
A husband – and what then is far worse still,
Henceforward our body is his own
Great is the danger; will his nature be
Evil or good? Divorce is to the woman
A deep disgrace. Yet she may not say nay.
Unto the man who was betrothed to her.
And when she comes to lands with unknown customs,
She has to learn – for no one teaches her —
To understand the nature of her husband.
And when we have succeeded in all this,
And our loved one gladly with us dwells,
Then our lot is fair. But otherwise
I’d rather far be dead. – Not so the man.
If in his home he is not satisfied,
He finds outside the home what pleases him,
With friends and with companions of his age;
But we must always seek to please but one.
They say that we in peace and safety dwell,
While they must go forth to the battlefield.
Mistaken thought! I rather thrice would fight,
Than only once give birth unto a child!”[5]
Very different was the man’s lot. While the man compelled the woman to abstain
absolutely from relations with other men, for the purpose of insuring the
legitimacy of his heirs, lie was not inclined to abstain from relations with other
women. Courtesanship developed. Women noted for their beauty and intellect,
usually foreigners, preferred a free life in the most intimate association with men
46 | hs – isri 2018
to the slavery of marriage. Nor was their life deemed a loathsome. one. The name
and the fame of these courtesans who associated with the foremost men of Greece
and took part in their intellectual discussions and in their banquets, have come
down to us through history, while the names of the legitimate wives are lost and
forgotten. One of these was Aspasia, the friend of the famous Pericles, who later
made her his wife. Phryne had intimate relations with Hyperides, and served
Praxiteles, one of the foremost sculptors of Greece, as a model for his statue of
Venus. Danae was the mistress of Epicure, Archaeanassa was Plato’s. Lais of
Corynth, Gnethanea and others were equally famous courtesans. Every one of the
famous Greeks had intercourse with these courtesans. It was part and parcel of
their life. The great orator Demosthenes in his oration against Neaera thus
characterized the sexual relations of Athenian men: “We marry women to have
legitimate children and to have faithful guardians of our homes, we maintain
concubines for our daily service and comfort, and courtesans for the enjoyment of
love.” The wife was only destined to bear offspring and, like a faithful dog, to
guard her master’s house. But the master himself lived to suit his pleasure. In
many cases it is so still.
To satisfy the demand for mercenary women, especially among the younger men,
prostitution developed, an institution that had not been known during the
dominance of the matriarchate. Prostitution differs from free sexual intercourse by
the fact that the woman yields her body in return for material gain, be it to one
man or to a number of men. Prostitution exists wherever a woman makes the
selling of her charms a trade. Solon, who formulated the new laws for Athens and
is famed as the founder of these laws, introduced the public brothel, the
“deikterion.” He decreed that the price should be the same to all visitors.
According to Philemon this was one obolus, about 6 cents in American money.
The “deikterion” was a place of absolute safety, Pike the temples in Greece and
Rome and the Christian churches in the middle ages. It was under the immediate
protection of the public authorities. Until about 150 B. C. the temple in Jerusalem
was the general rallying-point of the prostitutes.
For the boon bestowed upon Athenian men fly his founding of the “deikterion,”
one of Solon’s contemporaries thus sings his praise: “Solon, be praised! For thou
didst purchase public women for the welfare of the city, to preserve the morals of
the city that is full of strong, young men, who, without thy wise institution, would
indulge in the annoying pursuit of the better class women.” We will see that in our
own day exactly the same arguments are being advanced to justify the existence
of prostitution and its maintenance as an institution sanctioned by the state. Thus
the state laws approved of deeds committed by men as being their natural right.
while the same deeds were branded as criminal and despicable when committed
by women. It is a well-known fact that even to-day there are a great many men
47 | hs – isri 2018
who prefer the company of a pretty offendress to the company of their wife and
who, nevertheless, enjoy the reputation of being “pillars of society” and guardians
or those sacred institutions, the family and the home. To be sure, the Greek
women frequently seem to have taken vengeance upon their husbands for their
oppression. If prostitution is the complement of monogamic marriage on the one
hand, adultery of wives and cuckoldom of husbands are its complements on the
other. Among the Greek dramatists, Euripides seems to have been the most
pronounced woman-hater, since in his dramas he preferably holds up the women
to ridicule and scorn. What accusations he hurls at them can best be seen from a
passage in “The Thesmophoria” by Aristophanes, where a Greek woman assails
him in the following manner:
With what calumny doth lie (Euripides) not vilify us women?
When e’er hath silent been the slanderer’s tongue?
Where there’s an audience, tragedy and chorus,
We are described as man-mad trailoresses.
Fond of the cup, deceitful, talkative.
We’re wholly bad, to men a tribulation.
Therefore, when from the play our husbands come,[6]
They look distrustfully at us and search about
If somewhere not a lover is concealed,
And henceforth we no longer are permitted
To do what harmlessly we did before.
Such wicked things lie tells the men about us,
That when a woman on] y makes a garland,
They think she is in love; or when at home
She works about and dropping something, breaks it,
The husband promptly asks: “For whom this broken glass?
Quite evidently for the guest from Corinth.”
It is not surprising that the eloquent Greek woman thus serves the defamer of her
sex. But Euripides could hardly have made such accusations nor would they have
found belief among the men, had it not been well known that they were justified.
Judging by the final sentences of the above quoted harangue it seems that tile
custom, well known in Germany and other countries, whereby the master of the
house honors his guest by placing his own wife or daughter at the guest’s
disposal, did not prevail in Greece. Of this custom, that was still observed in
Holland in the fifteenth century, Murner says: “It is the custom in the Netherlands
that whosoever hath a dear guest, unto him he giveth his wife in good faith.”[7]
48 | hs – isri 2018
The increasing class struggle in the Greek states and the deplorable conditions that
existed in many of these small communities led Plato to an investigation of the
best constitution of the state and its institutions. In his “State,” that he conceives
as an ideal one, he demands that among the highest class of citizens, the
guardians, women should hold a position of absolute equality. Like the men, they
should take part in military exercises and should perform all civic duties, only
should the lighter tasks be alloted to them on account of the weakness of their sex.
He holds that the natural abilities are the same with both sexes, that woman is
only weaker than man. He further demands that the women should belong to all
the men in common as should also the children, so that no father might know his
child nor a child its father.[8]
The views of Aristoteles are more in keeping with the bourgeois conceptions.
According to his “Politics,” every woman should have the right of freely choosing
her husband. She should be subservient to him, yet she should have the privilege
of giving him good advice. Thucydides expresses a view that meets with the
approval of all Philistines. He says: “To that wife is due the highest praise of
whom one speaks neither well nor ill outside of her home.”
While such views prevailed women were bound to sink lower and lower in the
esteem of men. A fear of excess of population even led men to avoid intimate
intercourse with women. An unnatural satisfaction of sexual desires was the
result. The Greek states consisted mainly of cities having very limited landed
property, and it therefore was impossible to maintain the population at their
accustomed nourishment beyond a given number. This fear of excess of
population caused Aristotle to advice the men to shun their wives and to indulge
in sodomy instead. Before him Socrates had already extolled sodomy as a mark of
superior culture. Finally the foremost men of Greece indulged in this unnatural
passion. The esteem of woman sank to its lowest level. Bawdy houses containing
male prostitutes were maintained, beside those containing female prostitutes. It
was in such a social atmosphere that Thucydides could say of woman that she was
worse than the sea raging in storm, worse than the fire’s fierce glow and the
mountain torrent’s rushing stream. “If it is a god who invented woman, whoever
he be, let him know that he is the nefarious originator of the greatest evil.”
While the men of Greece practiced sodomy, the women drifted into the opposite
extreme, indulging in the love of their own sex. This was especially the case
among the inhabitants of the island of Lesbos, wherefore this aberration was
called Lesbian love and is still called so, since it is by no means extinct but
continues to exist among us. Tile chief representative of this “love” was the
celebrated poetess Sapho, “the Lesbian nightinggale,” who lived about 600 B. C.
Her passion is fervently expressed in her Ode to Venus
49 | hs – isri 2018
“Thou who rulest all, upon flowers enthroned,
Daughter of Zeus born of foam, o thou artful one,
Hark to my call!
Not in anguish and bitter suffering, O goddess,
Let me Perish! —“
Still more passionate is the sensuality expressed in the ode to the beautiful Athis.
While in Athens and other Greek states the patriarchal system prevailed, in Sparta,
Athen’s greatest rival, we still find the matriarchate, a condition which had
become entirely foreign to most Greeks. Tradition has it that one day a Greek
asked a Spartan how the crime of adultery was punished in Sparta; whereupon the
Spartan replied: “Stranger, there are no adulterers in our midst.” “But if there
should be one?” quoth the stranger. “Then,” said the Spartan mockingly, “his
penalty would be to give an ox, so tall that he could stretch his neck across the
Taygetus and drink from the Eurotas.” Upon the astonished query of the stranger
how an ox could be so tall, the Spartan laughingly replied: “How can there be an
adulterer in Sparta?” The dignified self-consciousness of the Spartan women finds
expression in the reply given to a stranger by the wife of Leonidas. The stranger
said to her: “You Lacedemonian women are the only ones who rule over men.”
To this she replied: “And we are the only women who bring forth men.”
The freedom enjoyed by women during the matriarchate heightened their beauty
and increased their pride, their dignity and their self-reliance. There is a
uniformity of opinion among ancient writers that these attributes were highly
developed in women during the matriarchal period. The condition of servitude
that followed naturally had a deteriorating influence. The change is manifested
even in the difference of dress that marks the two periods. The dress of the Doric
woman hung loosely from her shoulders, leaving her arms and the lower part of
her legs uncovered. It is the dress worn by Diana as she is represented in our
museums, a free and daring figure. But the Ionic dress covers the figure
completely and restrains the motions. The manner in which women dress was and
is to this day a proof of their dependence and a cause of their helplessness to a far
greater extent than is generally assumed. The style of dress worn by women to
this day makes them clumsy and gives them a feeling of weakness that is
expressed in their carriage and their character. The Spartan custom of permitting
girls to go about naked until maturity – a custom that was made possible by the
climate of the country – had the effect, so an ancient writer tells us, of teaching
them simplicity of taste and regard for the care of their bodies. According to the
views of the time, this custom did not shock the sense of decency or arouse
physical passions. The girls also took part in all physical exercises just like the
50 | hs – isri 2018
boys. Thus a strong, self-respecting race was reared, conscious of their worth, as
is shown in the reply given to the stranger by the wife of Leonidas.
4. – Remnants of the Matriarchate in the Customs of Various Nations.
Certain customs are closely linked with the vanished matriarchate that modern
writers have erroneously termed “prostitution.” In Babylon, for instance, it was a
religious duty for young girls upon reaching maturity to go to the temple of
Mylitta and there yield to some male, making a sacrifice of their virginity. Similar
customs were observed in the Serapis of Memphis, in honor of the goddess
Anaitis in Armenia, in Tyrus and Sydon in honor of Astarte or Venus. The
Egyptian festivals of Isis were accompanied by the same religious rites. This
sacrifice of virginity was deemed an atonement to the goddess for the
exclusiveness of surrender to one man in marriage. “For woman is not endowed
with all the beauties nature has bestowed upon her, to fade in the arms of a single
man. The law of substance condemns all restrictions, hates all fetters, and
considers exclusive ness a crime against its divinity."[9] The continued good will
of the goddess must be purchased by this sacrifice of virginity to a stranger. In
conformity with this conception the Libyan maidens earned their dowery by their
According to the matriarchate they enjoyed sexual liberty before marriage, and the
men, far from taking offense at this pursuit, in choosing a wife gave preference to
the girl who had been most desired. The same condition existed among the
Thracians at the time of Herodotus. “They do not guard the maidens, but give
them complete freedom to have relations with whomever they choose. But the
married women are closely guarded. They buy them from their parents for a large
portion.” The Hierodules in the temple of Venus in Corynth were far famed.
There more than a thousand girls were assembled, constituting the chief attraction
for Greek men. Of the daughter of King Cheops of Egypt the legend relates, that
she had a pyramid built from the proceeds obtained by the abandonment of her
charms.
We still find similar conditions in existence in the Marquesas Islands, in the
Philippines and Polynesia, and, according to Waitz, among various African tribes.
Another custom, which was maintained on the Balearic Islands up to recent times
and that expressed the right of all men to every woman, was that in the bridal
night all the men related to the bride, were admitted to her successively in
accordance with their ages. The groom came last. Among other peoples this
custom has been changed to that effect, that one man representing the others, the
high priest or chieftain of the tribe, exercises this privilege with the bride. The
Claimars in Malabar engage putamares (priests) to deflour their wives. It is the
duty of the chief priest (namburi) to render this service to the king (zamorin) upon
his marriage, and the king pays for it with fifty pieces of gold.[10] In India and on
51 | hs – isri 2018
various islands of the Pacific either the priests or the tribal chiefs (kings) perform
this office.[11] It is the same in Senegambia, where the tribal chief practices the
defloration of virgins as one of his official duties and receives presents in return.
Among other peoples the defloration of the virgin – sometimes even of female
babies – is accomplished by idols constructed for this purpose. We may assume
that the “jus primae noctis” (right of the first night), which was in practice in
Europe until far into the middle ages, derived its origin from the same tradition.
The landlord, considering himself master over his serfs, practiced the right of the
tribal chief that had come down to him. We will return to this subject later on.
Remnants of the matriarchate are also seen in a peculiar custom of South
American tribes, that has likewise been met with among the Basques, a people
that have preserved many ancient customs and practices. Here the father takes to
his bed, instead of the mother, after the birth of a child, feigns being in labor-pain,
and lets the woman care for him. The custom designates that the father recognizes
the newly born child as his own. The same custom is said to exist among several
tribes of mountaineers in China, and it existed until a recent date in Corsica.
In the records of German colonies submitted to parliament (during its session
1904–05) there is a report of the South-West-African region that contains the
following passage: “The tribal chief in a Herero village cannot decide upon the
slightest matter without the advice of his council, and not only the men but
generally the women also give their advice.” In the report of the Marshall Islands
it says: Rulership over all the islands of the Marshall groups was never
concentrated upon a single chief ... but as there is no female member of this class
(The Irody) living, and the child inherits nobility and station from the mother
only, The Irodies will be come extinct with the death of their chiefs.” The manner
of expression and description used by the informants shows how utterly foreign
the conditions they describe are to them and that they fail to understand them.[12]
Dr. Henry Weislocky, who for many years lived among the Gypsies of
Transylvania and finally was adopted into one of their tribes, reports,[13] that two
of the four tribes in whose midst lie lived, the Ashani and the Ishale, observed
maternal law. if the migratory Gipsy marries, he enters the clan of his wife, and to
her belong all the furnishings of the Gipsy household. Whatever wealth she has
belongs to her and to her clan, the man is a stranger. In accordance with maternal
law the children also remain in their mother’s clan. Even in modern Germany
remnants of the matriarchate survive. The “Westdeutsche Rundschau” (published
in Westphalia) reports in the issue of June 10, 1902, that in the parish of Haltern
the laws of inheritance were still subject to the old her be lifts her on his horse and
carries her away toward the forest. Thereupon men, women and children set up a
loud clamor and try to prevent the flight. But as soon the man has succeeded in
reaching the shelter of the forest the woman is considered his wife. This is the
52 | hs – isri 2018
case even if the robbery was perpetrated against tile parents’ will. Similar customs
are met with among Australian tribes.
Among civilized nations the custom of wedding journeys still serves as a reminder
of the ancient rape of women; the bride is abducted from her paternal hearth. in
the same way the exchange of wedding rings is a symbol of tile old
submissiveness of woman and her being chained to tile man. This custom
originated in Rome. The bride received all iron ring from her husband to signify
that she was chained to him. Later on th is ring was made of gold, and much later
still the exchange of rings was introduced to signify the mutual bond.
Polygamy has existed and still exists among the Orientals; but owing to the
limited number of women that are at a man’s disposal, and owing to the expense
of their maintenance, it is at present practised only by tile privileged and
propertied classes. The counter-part of polygamy is polyandry. This is found
especially among the mountaineers of Thibet, the Garras living at the boundary of
India and China, the Baigas in Godwana, the Nairs in the southernmost part of
India, and also among the Eskimos and Aleuts. Descent is determined on the
mother’s side – as must needs be the case – and the children belong to her. The
woman’s husbands usually are brothers. If an oldest brother marries, the other
brothers thereby become husbands to his wife. But she has the right to take other
husbands beside these. The, men also are entitled to several wives. From what
conditions polyandry sprang is as yet unexplained. As the tribes practising
polyandry without exception live either in mountainous regions of a high attitude
or in the frigid zone, polyandry may perhaps be explained by a phenomenon that
Tarnowsky has pointed out.[14] Tarnowsgy was told by reliable travelers that a
lengthy sojourn on high altitudes greatly diminishes sexual desire, which
reawakens with renewed vigor upon descending. This diminution of sexual desire,
so Tarnowsky believes, might explain the slow increase in population in
mountainous regions, and by becoming hereditary might be one of the symptoms
of degeneration leading to perversity.
Continuous living in high altitudes or in frigid zones might in the same manner
signify that polyandry did not make extraordinary demands on women. Women
themselves are influenced accordingly by their nature, since among Eskimo girls
menstruation, as a rule, does not set in until the nineteenth year, while in the torrid
zone it sets in with the ninth or tenth year, and in the temperate zone between the
fourteenth and sixteenth year. It is generally known that hot countries have a
stimulating effect upon sexual desire; that is why polygamy is especially prevalent
in hot countries. In the same way cold lands, and high altitudes having a similar
climate, may have a restrictive influence. It is also a matter of experience that
conception is less frequent when a woman has cohabitation with several men. The
increase in population is, therefore, weak where polyandry exists, and is adapted
53 | hs – isri 2018
to the difficulty of obtaining food in cold climes and high altitudes. This goes to
show that even in regard to this strange custom of polyandry, the relations of the
sexes are in the last instance determined by the methods of production. It still
remains to be investigated whether the frequent killing of female infants is
practised among the tribes living in mountainous regions or in the frigid zone, as
has been reported of Mongolian tribes living in the mountainous regions of China.
5. – Rise of the State. – Dissolution of the Gens in Rome.
After the dissolution of the matriarchal gens, the patriarchal gens took its place
with considerably diminished functions. The chief function of the patriarchal gens
was the strict observation of common religious and funeral rites and mutual aid
and protection. It entailed
the right, and sometimes the duty, to marry within the gens; the latter being the
case especially in regard to rich heiresses and orphans. The gens also controlled
all the remaining common property.
With the rise of private property and the right of inheritance connected with it,
class distinctions and class antagonism came into existence. In the course of time
the propertied members made common cause against the propertyless ones. The
former sought to gain control of the administrative positions and to make them
hereditary. Finance had become a necessity and entailed conditions of
indebtedness that bad previously been unknown. Struggles against external
enemies, internal conflicts of interest, and the varied interests and relations created
by agriculture, industry and trade, necessitated a complicated system of laws and
the formation of public bodies destined to keep the social machine in orderly
motion and to settle disputes. The same was true concerning the relations of
masters and slaves, debtors and creditors. Thus a power was needed to control all
these relations, to conduct, regulate, arbitrate, protect and punish. The state came
into existence as a necessary product of the new social order based on conflicting
interests. Its direction naturally was assumed by those who had the greatest
interest in its founding and who, thanks to their social power, were most
influential: the propertied classes. Thus aristocracy of wealth and democracy
opposed one another, even where complete equality of political rights was
maintained.
During the old matriarchal system no written law existed. Conditions were simple
and custom was hallowed. In the new, far more complicated order, written law
became one of the urgent necessities and special officials were needed for its
administration.But as the legal relations became more and more complicated, a
special class of persons arose, devoted exclusively to the study of law and having
a special interest in still further complicating them. The jurists, the lawyers, came
into Existence, and owing to the importance of the law to the body social, they
soon became one of the most influential estates. The new civic jurisprudence in
54 | hs – isri 2018
the course of time found its most classic expression in the Roman state, that
explains the influence exerted by Roman law down to the present time.
We see then that the state organization is the natural outcome of a society divided
into a great variety of occupations and having varied, frequently opposing and
contending, interests. An inevitable result was oppression of the weaker members.
This truth was recognized by the Nabastaeans, an Arabian tribe, who, according to
Diodorus, issued the command neither to sow nor to plant, to drink no wine, and
to build no houses, but to live in tents, for if they did all these things they might be
compelled to obey by a superior power (the state). Among the Rachebites, the
descendants of the father-in-law of Moses, we find similar decrees.[15] In fact,
Mosaic law is framed in a manner destined to prevent the Jews from developing
beyond the stage of an agricultural society, because their lawmakers feared that it
might bring about the downfall of their democratic, communistic organization.
For the same reasons the “holy land” was selected in a territory that was bounded
on the one side by a mountain range which was difficult of access, the Libanon,
and on the other, especially in the East and South, by barren lands and a desert,
making isolation possible. For the same reasons, moreover, the Jews were kept at
a distance from the sea , which is favorable to commerce, colonization and the
acquirement of wealth. For the same reasons there were strict laws forbidding
mingling and intermarriage with other nations; and the poor laws, the agrarian
laws, the year of jubilee, all were institutions destined to prevent the acquirement
of great fortunes by individuals. The Jews were to be prevented from becoming a
state-forming nation. That is why the old gentile constitution founded on tribal
organization was maintained by them until their dissolution, and has left its traces
among them even to-day.
Apparently the Latin tribes who participated in the foundation of Rome had
already superseded the matriarchal development. As previously stated, they
robbed the women who were wanting among them from the tribe of the Sabines
and called themselves Quirites after these. At a much later date the Roman
citizens in the popular assembly were still addressed as Quirites. “Populus
Romanus” designated the free population of Rome generally; but “populus
Romanus quiritium” designated Roman citizenship by descent. The Roman gens
was patriarchal; the children’ inherited from their natural parent. In case there
were no children the property fell to relatives on the man’s side, and if these were
wanting, It fell to the gens. By marriage the woman lost all rights of inheritance to
her father’s property and that of her father’s brothers. She withdrew from her
gens, and thus neither she nor her children could inherit from her father or his
brothers. Otherwise the hereditary portion would have been lost to the paternal
gens. The division into gentes and phratries for centuries remained the foundation
of military organization and the enactment of civic. rights. But with the decay of
55 | hs – isri 2018
the patriarchal gentes and the decline of their significance, conditions became
more favorable to Roman women. They not only obtained the right of inheritance,
they also obtained the right to control their own fortunes; they accordingly held a
far more favorable position than their Greek sisters. This freer position gradually
won by them, gave the elder Cato – born 234 B. C. – cause for the following
complaint: “If the head of each family, following the example of his ancestors,
would seek to maintain his wife in proper submissiveness,the entire sex would not
give so much trouble publicly.” When a few tribunes in the year 195 B. C., moved
to repeal a law enacted previously, for the purpose of restricting the luxury of
women in dress and personal adornment, he stormed: “If each of us had
maintained his manly authority with his own wife, we would have less bother here
with all the women. Our power that has been shattered in the home, now is being
broken and trampled upon in the forum too by the unruliness of women, and
because we are incapable of resisting them individually, we fear them all together.
Our ancestors decided that women should not even attend to their private affairs
without the control of a guardian, that they should be subject to their fathers,
brothers, husbands. But we submit to it that they take possession of the republic
and interfere with the popular assembly. If you give free reign to the imperious
natures of these unruly creatures, do not imagine that they will recognize any
limits of their tyranny. The truth is that they desire freedom, nay, dissoluteness, in
all things, and when they have begun to be our equals, they will soon be our
superiors.”
At the time Cato delivered this speech the father was guardian to his daughter
during his lifetime, even when she was married, unless he appointed another
guardian. When the father died the nearest male relative assumed the
guardianship. The guardian had the right to transfer this guardianship to
whomever and whenever he pleased. Originally then the Roman woman had no
will of her own before the law.
The forms of marriage ceremonies were varied and underwent many changes in
the course of the centuries. The most ceremonious marriage ceremony was
performed by the high priest in the presence of at least ten witnesses, whereupon
the bridal pair ate a cake made of flour, salt and water as a symbol of their union.
This ceremony has a strong resemblance to the eating of the sacramental wafer at
the celebration of the Lord’s Supper. A second form of marriage was merely by
taking possession. If a woman had lived with her chosen husband under the same
roof for one year, with the consent of her father or guardian, the marriage was
legalized. A third form was a sort of mutual purchase. The man and woman
exchanged some coins and promised to be husband and wife. At the time of
Cicero[16] free divorce to both partners in the marriage contract was already
established, and it was even denied that an announcement of the divorce was
56 | hs – isri 2018
necessary. But the “lex Julia de adultriis” prescribed that a divorce must be
solemnly announced. This law was caused by the frequent occurrence that
women, having committed adultery and then having been called to account,
claimed to have divorced their husbands. Justinian (The Christian)[17] prohibited
divorce, except when both parties wished to enter a monastery. But his successor,
Justinian II, found it necessary to introduce it again.
As Rome grew in wealth and power, vice and licentiousness of the worst kind
replaced the moral austerity of its early days. Rome became the center from which
lewdness, debauchery and sensual finesse spread over the entire civilized world of
that period. Especially during the time of the emperors, and frequently encouraged
by the emperors themselves, the debauchery assumed forms that could only have
been inspired by insanity. Men and women vied with each other in immorality.
The number of public brothels increased rapidly, and besides the “Greek love”
(sodomy) was practised more and more by the men. At one time the number of
male prostitutes in Rome was greater than the number of female prostitutes.
The courtesans appeared in great pomp, surrounded by their admirers, on the
streets and the promenade, in the circus and theater, sometimes reclining on
couches carried by Negroes, holding a mirror in their hand, decked with jewels,
partly nude, fanned by slaves, surrounded by a swarm of boys, eunuchs and flute-
players, with grotesque dwarfs bringing up the rear.
These debaucheries assumed such dimensions in the Roman empire, that they
threatened its very existence. The bad example set by men, was followed by
women. There were women, so Seneca[18] reports, who did not count years by
the consuls, as was customary, but by the number of their husbands. Adultery was
general, and in order to escape the severe penalties attached to it, women had
themselves registered as prostitutes. Even some of the most aristocratic ladies of
Rome were among these.
Besides these debaucheries, civil wars and the system of the latifundia caused
such a marked decline of the marriage and birth-rate, that the number of Roman
citizens and patricians was greatly diminished. In the year 16 B. C. Augustus
enacted the so-called Julian law;[19] that placed a penalty upon the unmarried
state of Roman citizens and patricians, and rewarded them for having children.
Whoever had children was deemed of higher station than childless or unmarried
persons. Unmarried persons could not inherit property from anyone except their
nearest relatives. People who had no children could only claim half of an
inheritance, the other half was turned over to the state. Women who had been
convicted of adultery, were compelled to give a part of their dowery to their
deceived husbands. This provision caused some men to marry with a desire for
adultery on the part of their wives. That caused Plutarch to remark: “Romans do
not marry to have heirs, but to become heirs.” Later on the Julian law was still
57 | hs – isri 2018
increased in severity. Tiberius issued an edict that no woman whose grandfather,
father or husband had been or was a Roman knight, might prostitute herself.
Married women, who had their names entered in the lists of prostitutes, should be
banished from Italy. For the men, of course, no such punishments existed. As
Juvenal reports, husband-murder by poison was a frequent occurrence in Rome of
his day.
Footnotes
1. In the oldest quarter of Prague is an old synagogue, built during the sixth
century, the oldest synagogue in Germany. Up” descending about seven steps into
the dusky chamber, the visitor beholds a row of small loop-holes on the opposite
wall leading into an utterly dark room. Upon inquiry we are told by the guide that
this is the woman’s room. where the women attended service,;. Modem
synagogues are less gloomy, but the separation of men and women is still
maintained.
2. Backofen: “The Matriarchate.”
3. “Homer’s “Odyssee.”
4. Homer’s “Odyssee.”
5. “Comedies by Aristophanes.”
6. The theatre, to which Greek women were not admitted.
7. “German History of Manners and Civilization,” by Johann Scherr Sudermann
deals with the same subject in his drama, “Honor.”
8. Plato: “The State.”
9. Backofen: “The Matriarchate.”
10. K. Kautsky: “Origin of Marriage and the Family.” Kosmos, 1883.
11. Mantagazza: “Love in Human Society.”
12. Similar conditions are still met with in Camerun and in other parts of Western
Africa. A German naval surgeon who studied the land and people from his own
observations sends us the following information: “Among a great many tribes the
right of inheritance is founded on maternity. Paternity is a matter of indifference.
only children of the same mother consider one another brothers and sisters. A man
does not will his property to his own children, but to his sisters! children., his
nephews and nieces, who can be shown to be his nearest blood relations. A chief
of the Way tribe explained to me in broken English: ‘My sister and I surely are
blood relations, for we are children of the same mother. My sister again surely is
the blood relation of her son. So her son is my heir, and when I die he will be king
of my town.’ ‘And your father?’ I asked. I do not know what that is, my father,’
he replied. When I then went on to ask him whether he had no children of his
own, he was convulsed with laughter and replied that with them not men but only
women had children. I can assure you,” our informant goes on to say, “that even
58 | hs – isri 2018
the heir of King Bell in Camerun is not his son, but his nephew. The children of
Bell, many of whom are being trained in German cities, are but the children of his
wives, while their fathers are unknown. One of them I might lay claim to myself.”
– How are the people who deny the existence of maternal law impressed by this
description of present-day conditions?! Our informant is a keen observer who
goes to the bottom of things. But few who live among these savages do so.
Therefore we are given such false descriptions of the alleged “immorality” of the
natives.
13. H. v. Weislocky: “Sketches of the Life of the Transylvanian Gypsies.”
14. Tarnowsky: “Pathological Phenomena of Sexual Desire.”
15. “Mosaic Law,” by John David Michaelis.
16. Born 106 B. C.
17. From 527 to 565 A. D.
18. Seneca lived from 2 to 65 A. D.
19. Augustus, the adopted son of Caesar, was by adoption a member of the Gens
Julia, from which the Julian law derived its name.