Senin, 25 Februari 2013

OTONOMI DAERAH DAN DESENTERALISASI PENDIDIKAN


Surakhmad, Winarno dalam “Kebijakan Pendidikan yang Mengindonesiakan” (Tempo, 1 Desember 2009) mengatakan bahwa pada umumnya kita tidak peka terhadap sekolah dan pendidikan yang telah “berbeda” dengan konsep dasarnya di dalam Undang-undang Dasar 1945. Kini dibutuhkan kebijakan yang berjangka lebih jauh ke masa depan dan sinkron dengan pendidikan pembangunan secara luas. Lebih lanjut Surakhmad berpandangan kebijakan pendidikan yang benar-benar dibutuhkan sekarang ialah kebijakan yang paling sedikit mengutarakan tiga hal berikut :
Pertama, pendidikan sebagai proses yang mengutamakan wujudnya nilai-nilai kehidupan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kebijakan pendidikan bukan hanya menjadi kebijakan sekolah, tetapi juga kebijakan hidup yang secara menyeluruh berarti kebijakan berbangsa setiap warga Negara.
Kedua, pendidikan sebagai proses dan sumber pembudayaan tempat sekolah mengutamakan tidak semata-mata kebudayaan kognitif, tetapi juga kebudayaan yang membudayakan. Dengan demikian pendidikan sekaligus berarti kebijakan pembudayaan yang diperlukan oleh setiap warga Negara.
Ketiga, pendidikan yang mengutamakan semangat keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan otonomisasi, yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagaman.

Pandangan tersebut membawa pada pemikiran pentingnya nilai-nilai kehidupan untuk hidup berbangsa dan bernegara serta untuk menjadi manusia berbudaya yang bukan hanya pada tataran kognitif tetapi pada setiap aspek pada diri manusia secara menyeluruh untuk membangun semangat keindonesiaan dengan mengembangkan keberagaman melalui desentralisasi dan otonomisasi.
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan , yaitu : pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan distrik), dan kedua, desentrasasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah (Alisyahbana, Armida S.: 2005 dalam www.geocities.com/arief_anshory/otda_pendidikan.pdf).
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa Negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisasi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumberdaya (school resources; dana pendidikan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat). Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar dan mengajar dan kualitas dari proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan.
Pada kenyataannya desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah

Rabu, 06 Februari 2013

Konsep Pendidikan Bermutu

Menurut Sa’ud dan Sumantri (2007:1118) upaya pemerataan dan perluasan kesempatan pendidikan dasar di Indonesia tidak hanya bernuansa kuantitatif melainkan juga kualitatif. Strategi perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan dasar yang bermutu dijadikan sebagai wahana untuk aktualisasi asas pendidikan sepanjang hayat ( life long education).
Secara etimologi dalam Kamus Ilmiah Popular mutu dapat diartikan sebagai kualitas; derajat; tingkat dan dalam bahasa Inggris berasal dari kata quality artinya kualitas. Secara terminologi mutu di definisikan oleh para ahli sebagai berikut :
Goetsch dan Davis dalam buku Total Quality Management  (Subardiman et. al.,  2009: 7  ).mendefinisikan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Mutu merupakan ide yang dinamis, sedang definisi-definisi yang kaku sama sekali tidak akan membantu. Makna mutu yang demikian luas juga sedikit membingungkan pemahaman kita. Akan tetapi beberapa konsekuensi praktis yang signifikan akan muncul dari perbedaan-perbedaan makna tersebut.
Menurut  Sallis, Edward ada beberapa konsep tentang mutu (Subardiman et. al.,  2009: 7  ). Pertama mutu sebagai konsep absolut. Dalam konsep ini kualitas atau mutu adalah pencapaian standar tertinggi dalam suatu pekerjaan, produk, dan layanan yang tidak mungkin dilampaui. Kedua mutu sebagai konsep relatif. Dalam konsep ini kualitas atau mutu masih ada peluang untuk peningkatan. Kualitas atau mutu adalah sesuatu yang masih dapat ditingkatkan. Akan tetapi jika dalam tahap peningkatan itu pelaksanaan sebuah pekerjaan telah mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya maka pekerjaan tersebut berkualitas. Ketiga adalah kualitas atau mutu menurut pelanggan. Dalam definisi ini mutu sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan  dan kebutuhan pelanggan. Peters berpendapat bahwa definisi yang dikemukakan oleh pelanggan sangat penting, karena Peters menemukan kenyataan bahwa pelanggan akan membayar lebih untuk mutu yang baik, tanpa menghiraukan tipe produknya.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa mutu merupakan keunggulan dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan melalui proses kerja yang telah terencana dengan baik. Mutu atau kualitas merupakan tujuan akhir dari sebuah proses panjang yang dilakukan oleh organisasi. Mutu merupakan jaminan dari sebuah lembaga kepada pelanggannya. Pelangganlah yang akan menentukan apakah lembaga tersebut mutu produknya (barang atau jasa) baik atau buruk. Karena mereka adalah raja, yang dapat memilih dan menentukan barang mana yang akan dibeli atau dimanfaatkan. Untuk itu sebuah lembaga harus menjaga kualitas atau mutu yang telah ada atau meningkatkan agar lebih baik untuk menjaga eksistensi mereka agar tidak di tinggalkan oleh pelanggannya.
Para pelanggan (konsumen, consumer) dapat melakukan protes terhadap produsen apabila merasa dirugikan karena pihak produsen ternyata memberikan produk yang kurang bermutu. Protes  para pelanggan bisa menjadi sebuah gerakan yang dinamakan konsumerisme. “Consumerism consist of all those activities that are undertaken to protect the rights of consumers” (Hughes dan Kapoor, 1985: 4 dalam Alma & Hurriyati, 2007:33).
Dari beberapa definisi diatas tentang mutu atau kualitas ada beberapa elemen dasar bahwa sesuatu dikatakan berkualitas, yakni: 1) Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan; 2) Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan dan 3) Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat yang lain).
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun diluar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup susbtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran.
Berkenaan dengan mutu pendidikan, hampir semua bangsa-bangsa di dunia ini, tengah berproses untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara masing-masing. Mereka meyakini bahwa kunci masa depan suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan sistem pendidikan yang berkualitas.
Dalam peningkatan mutu pendidikan tidak dikenal sesuatu praktek yang semudah  teori, seperti yang disitir oleh  Lewin (2008) : “There is nothing to practical as good as a theory”. Pendapat ini berarti pula, bahwa tidak mungkin ada peningkatan mutu pendidikan tanpa didasari oleh suatu teori (Subardiman et. al.,  2009: 8 ). Peningkatan mutu pendidikan memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel.
Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa melepaskan diri dari intervensi politik. Memang pendidikan khususnya sekolah bukan lembaga atau organ politik, namun kebijakan pemerintah yang harus dilaksanakan adalah merupakan kebijakan politik.
Peningkatan mutu pendidikan, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill, art dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. 

Untuk menghasilkan kualitas yang baik harus ada kebijakan,  proses, sumber daya dan isi pendidikan terorganisir dan dengan  memanfaatkan nilai-nilai yang tumbuh dalam budaya masyarakat.
UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan  diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain:
1.      Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently
2.      Pilar kualitas sekolah adalah learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3.      Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas.
4.      Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5.      Meningkatkan pemanfaatan information and communication technology (ICT) dalam pembelajaran dan pengelolaan sekolah.
6.      Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan profesional guru.
7.      Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8.      Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan pihak-pihak lain.
9.      Melaksanakan Quality Assurance (UNESCO, 2001).

Pembangunan pendidikan nasional tidak dapat lepas dari perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun global. Berdasarkan Global Information Technology Rank 2008 yang dilansir baru-baru ini oleh World Economic Forum, di bidang teknologi derajat penguasaan teknologi informasi di Indonesia tergolong rendah. Indonesia berada di peringkat ke-76. Peringkat tersebut masih kalah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnnya seperti Signapura (5), Malaysia (26), Thailand (40) dan Vietnam (73). Dilihat dari bidang ekonomi, Global Competitiveness Report 2003-2004 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah untuk ranking indeks daya saing pertumbuhan, yakni 72 dari 102 negara atau jatuh dari tangga ke-66 (2002 - 2003) dan ranking indeks daya saing bisnis berada pada ranking 60 atau turun dari tahun sebelumnya di posisi 62. Korupsi hanyalah salah satu indikator lemahnya daya saing pertumbuhan. Ada lingkungan makro, yakni stabilitas makro dan peringkat kredit yang masuk sebagai komponen utama.  Untuk lingkungan makro, kedudukan Indonesia justru paling rendah di semua negara ASEAN yang berada pada peringkat 64 dibandingkan dengan Malaysia (11), Singapura (2), Thailand (26), danVietnam (45). Dalam stabilitas makro, posisi Indonesia tetap di bawah rata-rata, yakni di ranking 69 sedangkan peringkat kredit malah melorot hingga ranking 80. Lembaga publik, yang menjadi indikator bagi daya saing pertumbuhan tidak berbeda jauh dengan indikator lain. Masih di bawah negara Asia Tenggara, yakni di peringkat 76.
Pendidikan harus dibangun dalam keterkaitannya secara fungsional dengan berbagai bidang kehidupan yang memiliki persoalan dan tantangan yang semakin kompleks.  Dalam dimensi sektoral tersebut, pembangunan pendidikan tidak cukup hanya berorientasi pada SDM dalam rangka menyiapkan tenaga kerja. Pembangunan pendidikan nasional juga harus dilihat dalam perspektif pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam perspektif demikian, pendidikan harus lebih berperan dalam membangun seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupaya meningkatkan mutu pendidikan di Daerah melalui berbagai kebijakan sebagai berikut :


1.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan
2.      Memenuhi kekurangan guru pada pada berbagai jenjang pendidikan serta meningkatkan kinerja professional guru disertai peningkatan kesejahteraannya
3.      Meninjau ulang muatan lokal pada kurikulum SD, SLTP dan SLTA serta PT.
4.      Mengkaji bidang pendidikan menengah dalam rangka persiapan memasuki pasar kerja
5.      Memberikan bantuan dan kemudahan fasilitas bagi siswa dan mahasiswa tidak mampu yang berprestasi
6.      Meningkatkan minat baca tulis bagi siswa dan mahasiswa
7.      Mengembangkan sistem  informasi pendidikan (Renstra Jawa Barat, 2001-2005)

Goal dari upaya-upaya peningkatan mutu melalui pelbagai kebijakan tersebut adalah meningkatkan Indeks Pendidikan yang merupakan salah satu komponen dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di samping Indeks Kesehatan dan Indeks Daya Beli. Konsep IPM dikembangkan oleh United Nations Development Program (UNDP) berdasarkan teori paradigma pembangunan manusia seperti dinyatakan Ul Haq (1985) yang mengatakan bahwa tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Kartasasmita, 1997: 17).