Jumat, 26 Oktober 2012

Wajib Belajar


Compulsory Education dan Universal Education
Sa’ud dan Sumantri dalam Ali dkk. (2007:1117) membedakan antara compulsory education dan universal education sebagai berikut :
Wajib belajar (compulsory education) yang dilaksanakan di negara-negara maju memiliki ciri-ciri : (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar; (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tidak ada orang tua yang terkena sanksi karena mereka telah mendorong anak mereka tidak bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Universal education berusaha membuka kesempatan belajar dengan menumbuhkan aspirasi pendidikan dari orang tua agar anak yang telah cukup umur mengikuti pendidikan. Universal education mengutamakan : (1) pendekatan persuasif; (2) tanggungjawab moral orangtua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk mengikuti pendidikan karena pelbagai kemudahan yang disediakan; (3) pengaturan tidak dengan undang-undang khusus; dan (4) penggunaan ukuran keberhasilan yang bersifat makro, yaitu peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar.
Indonesia meskipun menggunakan istilah wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) Sembilan tahun nampaknya tidak mengacu pada compulsory education karena dalam praktiknya lebih banyak mengadopsi konsep pendidikan universal (universal education).
konsep pendidikan universal lebih tepat digunakan di Indonesia karena penggunaan ukuran keberhasilan makro yang berupa peningkatan angka partisipasi pendidikan dasar menjadi salah satu kriteria yang digunakan oleh Pemerintah  untuk mengukur Indeks Pendidikan di samping rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.

Kamis, 25 Oktober 2012

Esensi Pendidikan Dasar


Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa 

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga  menetapkan pendidikan dasar sebagai jenjang terbawah dari sistem pendidikan nasonal dan diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan tingkat menengah. Pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya Sembilan tahun diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Esensi pendidikan dasar adalah “paspor” bagi setiap peserta didik untuk pengembangan dirinya di masa depan dan “bekal dasar” untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat di mana pun di dunia ini. Program belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu dan dan sinergis. Pola pembelajarannya harus dilakukan secara terpadu karena secara psikologis perkembangan kemampuan pengembangan kognisi, sosio-emosional moral perkembangan fisik peserta didik usia pendidikan dasar terjadi secara terpadu dan saling ketergantungan. Pendidikan dasar masa depan menurut Komisi Pendidikan untuk Abad ke-21 yang dibentuk UNESCO dikonsepsikan sebagai pendidikan awal untuk setiap anak (formal maupun non formal) yang berlangsung dari usia sekitar tiga tahun sampai dengan sekurang-kurangnya berusia 12 sampai 15 tahun.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Konsep Pendidikan


Pendidikan memiliki spektrum filosofis, teoretis dan konsep dan gagasan yang sangat luas dan kaya.  Beberapa dari konsep mengenai pendidikan penulis kutip untuk mempertajam pemahaman mengenai pendidikan.
Engkoswara dalam Ali dkk. (2007: 1228) berpandangan bahwa dalam khasanah filsafat pendidikan, sekurang-kurangnya terdapat lima pandangan dominan : (1) Perenialisme, yaitu filsafat pendidikan yang memiliki keyakinan bahwa pengetahuan merupakan dasar pokok bagi pendidikan;  (2) Esensialisme, yaitu filsafat pendidikan yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya dan sejarah kepada generasi penerus; (3) Progresivisme, yaitu filsafat pendidikan yang menekankan pentingnya pemberian ketrampilan dan alat kepada individu yang diperlukannya untuk berintegrasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri dan bukan suatu masa persiapan untuk hidup; (4) Rekonstruksionisme, yaitu filsafat pendidikan yang berpandangan bahwa dalam suasana perkembangan teknologi yang amat cepat, pendidikan harus mampu melakukan rekonstruksi masyarakat dan membangun tatanan dunia baru selaras denggan perubahan teknologi itu. Pendidikan harus memandang ke depan; (5) Eksistensialisme, yaitu filsafat pendidikan yang sangat menghormati martabat manusia sebagai individu yang unik dan memperlakukan individu sebagai pribadi.
Teori-teori tentang pendidikan yang datang dari luar dan banyak digunakan, baik secara langsung atau tidak langsung antara lain adalah sebagai berikut:  (1) Teori pendidikan naturalistik yang dikembangkan J.J. Rousseau. (2) Teori-teori pendidikan yang dikembangkan oleh Pestalozzi, Montessori, Decroly dan Froberl. (3) Gagasan-gagasan Rabindranath Tagore. (4) Teori pendidikan fenomenologis yang dikembangkan M.J. Langeveld. (5) Teori pendidikan yang bersifat pragmatis-instrumentalistik yang dipelopori oleh John Dewey. (6) Teori pendidikan behavioristik. (7) Teori pendidikan holistik humanistik.
Selama ini menurut Engkoswara (2007: 1238) penggunaan dan penerapan teori-teori dan gagasan pendidikan dilaksanakan sendiri-sendiri, yaitu dalam memecahkan persoalan-persoalan khusus. Hal ini mengakibatkan praktek pendidikan yang terpilah-pilah. Misalnya dalam mengembangkan program kurikulum sekolah dilaksanakan dengan menggunakan prinsip perilaku, di pihak lain strategi belajar-mengajar dikembangkan dengan dasar teori holistik-humanistik. Hal ini mengandung bibit kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan.
Apabila hendak menggunakan teori-teori dan gagasan-gagasan itu secara sistemik, tidak ada jalan lain, selain terlebih dulu menata teori-teori dan gagasan itu secara sistemik, selain terlebih dahulu menata teori-teori dan gagasan-gagasan itu dalam bentuk teori pendidikan atau ilmu pendidikan Indonesia sendiri.
Engkoswara berpandangan bahwa struktur kurikulum harus berbasis kompetensi hidup, yang minimum meliputi : (1) Pendidikan umum bagi semua. (2) Pendidikan keilmuan dan kecakapan hidup. (3) Pendidikan penyerta.
Pada pendidikan umum, kurikulum berisi budaya utama yang wajib diikuti oleh semua orang tanpa kecuali. Moral dan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari,minimal hidup bersih, sehat, jujur, toleran, disiplin, menghargai pemimpin yang baik, berikhtiar dengan ikhlas dan berpandangan ke depan (civic responsibilities). Misal : pendidikan agama, budaya dasar, olah raga dan kesehatan serta pendidikan bahasa.
Pada pendidikan keilmuan dan kecakapan hidup kurikulum berisi budaya profesi bagi kelompok-kelompok sebagai makhluk sosial. Budaya berusaha, belajar dan bekerja yang dilandasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk mengembangkan diri (social responsibilities). Mata pelajaran yang bisa disampaikan misalnya: MIPA, IPS, Bahasa atau ilmu komunikasi.
Pada pendidikan penyerta kurikulum berisi pendididikan budaya kreatif terpuji secara individual untuk membekali karakteristik atau kekhasan masing-masing. Kekhasan itu diharapkan mampu menampilkan pribadi-pribadi terpuji yang terbaik dan bernilai estetik dalam kebersamaan yang menjadi tanggungjawab pribadi masing-masing (personal responsibilities). Misalnya : berenang, musik klasik, memelihara kelinci, bertanam bunga, komputer atau bahasa asing.         

Minggu, 14 Oktober 2012

Pengujian Kebijakan Secara Kristis


Dalam menguji kebijakan secara kritis Fowler (2009:238) menekankan pada pembelajaran untuk menganalisis kebijakan-kebijakan publik. Mengetahui perkembangan, formulasi dan adopsi kebijakan atau tentang peranan aktor-aktor kebijakan saja tidaklah cukup bagi seorang  administrator pendidikan; mereka juga harus mengetahui bagaimana mengambil keputusan dan menelitinya sedekat mungkin. Mengapa ? karena sebagai administrator  mereka harus membuat kebijakan sendiri. Mereka bertanggungjawab mengadopsi kebijakan yang memungkinkan pendidikan  berjalan sebagai lingkungan pembelajaran positif bagi anak-anak. Mereka harus membuat rancangan proposal kebijakan pada pelbagai masalah dan merekomendasikannya untuk lembaga yang berwenang.
Fowler memberikan tiga tipe analisis bagi administrator untuk menguji kebijakan secara kritis : teknik pengawasan Lowi, instrumen-instrumen kebijakan Elmore dan analisis biaya dan keefektifan, semuanya sangat bermanfaat dalam membimbing refleksi. Pimpinan pendidikan yang menggunakannya dengan cerdas akan menemukan diri mereka lancar pada perubahan dan implementasi kebijakan.
 Penjelasan dari Tipe Analisis Kebijakan  adalah sebagai berikut:
a.      Teknik - Teknik Pengawasan Lowi
Pada sebuah artikel di tahun 1964, Lowi  mengajukan tesis mengenai tiga bentuk kebijakan : distributif, regulatori, dan redistributif. Tiga puluh tahun kemudian dia dan Ginsberg (1994) menemukan tesis orisinal, menggunakan tipe kebijakan techniques of control dan memberi nama baru kebijakan distributive sebagai kebijakan promosional.
Berikut ini tiga bentuk kebijakan menurut pandangan Lowi:
1)      Kebijakan-kebijakan Distributif (Promosional)
Kebijakan Distributif adalah kebijakan memberikan hadiah bagi warga Negara baik berupa barang-barang maupun jasa atau pelayanan istimewa. Praktek ini sudah berlangung lama sejak zaman raja-raja memberi hadiah untuk mengkonsolidasi kesetiaan dari para pengikutnya. Kebijakan tersebut bisa berupa subsidi, kontrak, dan lisensi non-regulatoris. Subsidi bisa berupa “uang kas, barang-barang dan jasa-jasa atau tanah”. Pada Kontrak,  suatu perusahaan swasta memberikan produk atau  pelayanan pada pemerintah yang ditukar dengan sejumlah dana. Dinamakan juga privatisasi. Izin non-regulatori merupakan lisensi yang diberikan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang sebaliknya bisa bersifat illegal.  Lisensi (izin) bisa diperoleh dengan mengeluarkan sejumlah uang.
2)      Kebijakan Regulatoris
Kebijakan Regulatoris merupakan formalisasi dari peraturan yang ditunjukkan secara umum dan diterapkan untuk sejumlah besar penduduk. Aturan tersebut disertai dengan sangsi. Meskipun demikian, menurut Lowi dan Ginsberg, kemampuan pemerintah menjalankan peraturan sangat lemah.
Jenis-jenis Kebijakan Regulatoris biasanya berupa hukum atau peraturan administratif  yang secara eksplisit mengatur atau melarang tindakan tertentu. Kebijakan regulatoris misalnya dapat berupa sertifikasi guru dan kepala sekolah.
3)      Kebijakan-kebijakan Redistributif
Kebijakan Redistributif adalah pergeseran sumber-sumber atau kekuasaan dari suatu kelompok khusus kepada yang lainnya.  Dengan melakukan itu pemerintah mengontrol perilaku dengan menentukan alternatif aturan main dan memanipulasi lingkungan. Jenis-jenis Kebijakan Redistributif dapat berupa program affirmative action, desegregasi, pendidikan bagi semua penyandang cacat, manajemen privatisasi sekolah dan lain-lain. Politik Redistributif biasanya kontroversial dan memotong kesenjangan antar kelas dalam masyarakat sehingga membangkitkan arena politik dengan adanya konflik.
b.      Instrument-instrumen Kebijakan McDonnell dan Elmore
McDonneell dan Elmore (1987) berpendapat bahwa empat “alternatif instrument kebijakan … mekanismenya terletak pada menerjemahkan tujuan kebijakan substantif…ke dalam tindakan konkrit”. Empat instrument kebijakan tersebut adalah : mandat, rangsangan, membangun kapasitas dan merubah sistem. Beberapa tahun kemudian (1994) McDonneell menambahkan instrument kelima : hortatory policy atau persuasi. Teknik Lowi berdasar pada dampak kebijakan pada masyarakat, McDonneell dan Elmore mempertimbangkan “ kondisi di mana instrument-instrumen  sangat mungkin menghasilkan dampak yang diinginkan” (1997:133).
Berikut ini instrument-instrumen kebijakan menurut McDonnell dan Elmore.
1)      Mandat
Mandat merupakan suatu “aturan mengelola tindakan individu dan agen-agen”. Biasanya terdiri dari dua komponen : bahasa yang menerangkan perilaku yang diinginkan untuk semua orang pada kelompok sosial tertentu dan pengenaan sangsi bagi yang gagal melaksanakannya. Inducements (rangsangan) adalah “transfer dana (grant) kepada individu atau agen yang telah menghasilkan barang dan jasa”. Terdiri dari dua komponen: (1) uang, pelayanan atau barang-barang yang ditransfer dan (2) arahan yang menerangkan bagaimana hal itu dapat diperoleh.
2)      Capacity Building
Membangun Kapasitas (capacity building) dapat didefinisikan sebagai “transfer dana untuk tujuan investasi material, intelektual, atau sumber daya manusia”. Kata investment mengindikasikan perbedaan antara capacity building dengan inducement.  
3)      Perubahan Sistem
Perubahan Sistem adalah suatu instrument kebijakan yang “ memberikan …kewenangan resmi di antara individu dan lembaga”. Komponen sentralnya adalah sebuah statuta, aturan administratif, atau kebijakan dewan yang melemahkan atau menghilangkan kewenangan suatu lembaga atas suatu area pembuatan keputuan spesifik yang secara simultan menggeser kewenangan kepada individu atau lembaga yang berbeda.
4)      Hortatory Policy
Hortatory Policy (Persuasi) merupakan kebijakan “mengirim sinyal bahwa tindakan dan tujuan tertentu dianggap sebagai prioritas utama oleh pemerintah”. Karena membujuk, kebijakan ini bersifat diskursif (tidak bersambungkan), mengggunakan simbolisme dan perumpamaan untuk mengimbau pada nilai-nilai dalam rangka mendorong warga bertindak berdasar nilai mereka. Komponen utamanya adalah tulisan, lisan atau teks grafik untuk mengkomunikasikan informasi dan sugesti pada orang-orang untuk bertindak dengan cara tertentu.
c.       Analisis Biaya dan Manfaat
Analisis biaya dan analisis keefektifan biaya merupakan alat bagi pendidik, Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai istilah cost (biaya) dan benefit (manfaat). Banyak yang berpandangan bahwa cost sinonim dengan expenditure (belanja), dan ini tidak benar.  Cost berhubungan erat dengan benefit. Benefit adalah  “anything you gain by undertaking a particular course of action” (Coplin& O’Leahy, 1981:129). Cost adalah “anything you must give up in order to obtain those benefits” (1981:129).  Cost dengan demikian termasuk baik belanja dan manfaat potensial yang hilang mengikuti suatu tindakan. Sebagai contoh,  jika sebuah ruang kelas diubah menjadi student lounge, costs tidak hanya belanja cat dan meubelair baru, tetapi juga kesempatan untuk menggunakan ruangan bagi kegiatan lain, atau sebuah opportunity cost. Baik cost maupun benefit bisa bersifat tangible dan intangible. Cost dan benefit yang tangible dapat dihitung. Skor tes yang tinggi dan angka dropout yang rendah adalah contoh tangible benefits; dukungan komunitas yang kuat adalah intangible. Termasuk  tangible cost adalah termasuk jumlah dollar yang dibelanjakan untuk upah  kerja disuatu proyek. Intangible costs termasuk moral siswa yang rendah dan guru yang pemarah.
Pemimpin perlu melakukan analisis biaya dan manfaat tangible dan intangible yang direkomendasi oleh Coplin dan O’Leary (1981). Arti dari analisis ini harus diinterpretasikan dalam konteksnya. Analisis harus berhubungan dengan konteks spesifik dalam rangka menjawab pertanyaan kunci:  apakah manfaat potensial mengadopsi kebijakan lebih besar dari biaya potensial? Jika jawabannya affirmative maka kebijakan bisa diadopsi. Coplin dan O’Leary  (1981) dalam Fowler (2009:    264) : mengingatkan : ‘ suatu proyek hanya bisa dilakukan hanya jika manfaat paling sedikit sama dengan biaya’.
Tidak ada kebijakan, bahkan yang low-cost, dapat diadop jika tidak mungkin efektif dan kebijakan eksisting bisa menjadi  terbukti ineffective. Suatu kebijakan efektif adalah yang mengarah pada outcomes yang diniatkan, seperti skore pencapaian membaca di sekolah lanjutan, kehadiran yang lebih baik, atau peningkatan keterlibatan orang tua. Analisis keefektifan biaya adalah cara sistematik untuk metode membandingkan alternatif untuk mencapai tujuan yang sama  dengan kerangka keefektifan biaya dan kemanfaatan. Kebijakan yang diinginkan adalah yang biaya lebih rendah untuk mencapai tujuan kebijakan. Ketiadaan analisis keefektifan biaya, pemimpin sering membuat kesalahan dalam memilih kebijakan atau program yang lebih tidak mahal. Jika suatu kebijakan tidak efektif, ia akan sangat costly meskipun biayanya rendah.

Sabtu, 13 Oktober 2012

Analisis Kebijakan


Patton dan Savicky (Tjiptowardoyo 2010:151) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik kebijakan yang sama sekali baru maupun kebijakan baru yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat dua jenis analisis kebijakan, yaitu analisis deskriptif yang hanya memberikan gambaran dan analisis perspektif yang menekankan pada rekomendasi-rekomendasi.
Menurut Dye (Tjiptowardojo, 2010: 87) analisis kebijakan mempunyai beberapa model yang digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek kebijakan. Sembilan model analisis kebijakan adalah : model kelembagaan, model proses, model elit, model kelompok, model rasional, model incremental, model sistem, model elit dan model permainan, dan  model pilihan publik.
Analisis kebijakan  pada  model proses (process model)  melalui tahap-tahap : (1) identifikasi masalah dan kebutuhan bagi diambilnya tindakan pemerintahan ; (2) pengajuan rumusan kebijakan dari pelbagai kelompok seperti komisi-komisi di parlemen, kelompok pemikir dan kelompok kepentingan; (3) pemilihan dan pengundangan sebuah kebijakan yang dikenal sebagai legitimasi kebijakan;   dan (4) adalah evaluasi kebijakan.
Langkah-langkah pada analisis kebijakan publik menurut Dunn (2000:121) adalah : formulasi masalah kebijakan, formulasi tujuan, penentuan kriteria, penyusunan model, pengembangkan alternatif, penilaian alternatif dan rekomendasi kebijakan.